• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas pemberian senyawa xilazin pada ikan patin dapat terlihat dari onset, durasi, kematian, dan tahapan anastesi xilazin. Pemberian xilazin pada ikan patin menggunakan metode perendaman (dipping). Hasil penelitian dapat disajikan pada uraian berikut.

Onset pemberian xilazin

Onset kerja anastetikum merupakan waktu kerja obat dari mulai awal pemberian obat sampai terlihat adanya efek anastesi (Hitner 1999). Onset kerja xilazin ditandai dengan hilangnya kesadaran ikan patin setelah dilakukan pemberian senyawa xilazin. Onset xilazin pada beberapa hewan menurut literatur berkisar antara 1 sampai dengan 2 menit dengan efek maksimum 3 sampai dengan 10 menit secara per injeksi (Daelami 2002). Selanjutnya gambar ikan patin yang teranastesi dan hasil rataan onset pemberian xilazin disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Ikan patin yang teranastesi.

Rataan hasil pengamatan onset anastesi pada ikan patin akibat pemberian senyawa xilazin pada media perendaman dengan dosis 0, 10, 20, 30, 40, dan 50 ppm disajikan pada Tabel 1.

22

Tabel 1 Rataan onset anastesi pada ikan patin yang direndam pada media dengan xilazin pada berbagai dosis

Dosis Xilazin (ppm) Onset (menit)

0 0 10 210,3 ± 45,2a 20 183,9 ± 32,8a 30 175,2 ± 98,5a 40 96,2 ± 27,9b 50 98,3 ± 24,5b

Keterangan : Huruf superskrip yang sama pada masing-masing kolom menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05).

Onset anastesi paling panjang ditunjukkan oleh ikan patin yang direndam dalam media dengan dosis xilazin 10 ppm, sementara itu onset terpendek ditunjukkan oleh ikan patin yang direndam dalam media dengan dosis xilazin 40 ppm. Onset terpendek dapat memberikan gambaran waktu pemberian anastesi yang efektif. Oleh karena itu, anastesi dapat dilakukan minimal 96 menit sebelum transportasi dilaksanakan. Hal tersebut terjadi karena ikan patin pada media kontrol tidak mendapat perlakuan perendaman menggunakan xilazin, sehingga ikan patin tidak menunjukkan efek anastesi. Semakin besar dosis xilazin yang diberikan dalam media perendaman, maka semakin cepat onset yang ditunjukkan oleh ikan patin. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa semakin tinggi dosis obat yang diberikan, maka onset kerja obat tersebut akan semakin cepat (Crowell & Murray 2005). Sementara itu, menurut Plumb (2005) semakin tinggi pemberian dosis suatu anastetikum, maka onset kerja obat tersebut akan semakin cepat. Hal tersebut disebabkan karena konsentrasi molekul obat yang terkandung juga akan semakin banyak, sehingga memudahkan kerja obat tersebut pada target organ di dalam tubuh. Suatu anastetikum dikatakan efektif untuk digunakan apabila onset kerja anastetikum tersebut singkat dengan menggunakan dosis tertentu (Katzung 1988).

Berdasarkan hasil analisa statistik dapat diketahui bahwa H0 dapat diterima dan H1 ditolak, hal ini membuktikan bahwa dosis xilazin memengaruhi lamanya onset. Pengambilan hasil hipotesa tersebut berdasarkan nilai sigifikasi (p<0,05) yang menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Kelompok dengan hasil uji

23

berbeda nyata menunjukkan bahwa perbedaan jumlah dosis xilazin yang dilarutkan dalam media akan menghasilkan onset anastesi yang relatif berbeda pada ikan patin. Sementara itu, data hasil uji yang tidak berbeda nyata menunjukkan bahwa perbedaan jumlah dosis xilazin yang dilarutkan pada media akan menghasilkan onset anastesi yang relatif sama bergantung pada dosis masing-masing.

Menurut Crowell & Murray (2005) faktor-faktor yang dapat memengaruhi onset kerja suatu obat, yaitu kecepatan penyerapan obat anastesi dan bobot badan ikan patin. Pemberian senyawa anastetikum xilazin dengan dosis yang tinggi akan mempunyai onset obat yang pendek. Hal ini disebabkan karena adanya penyerapan yang tinggi pada tubuh ikan patin. Xilazin akan terabsorbsi melalui insang dan akan memberikan efek berupa pendepresan pada medulla spinalis. Sementara itu, onset kerja xilazin juga dipengaruhi oleh bobot badan ikan patin. Semakin besar bobot badan ikan, maka onset kerja xilazin akan lebih pendek dibandingkan dengan ikan yang mempunyai bobot badan rendah.

Ikan patin mulai mengalami anastesi ditandai dengan mulai berkurangnya kesadaran ikan patin, tidak seimbangnya gerakan renang ikan, tonus otot mulai hilang, refleks mulai hilang ketika diberikan rangsangan berupa sentuhan, dan hilangnya respons rasa sakit pada ikan patin. Menurut Plumb (2005), sifat suatu obat anastesi bergantung pada kelarutannya di dalam lemak, ikatan dengan protein, difusi pada jaringan, dan efek vasodilatasi.

Durasi pemberian xilazin

Durasi anastetikum merupakan waktu kerja obat saat hewan teranastesi sampai dengan hewan menunjukkan tanda-tanda kesadaran (recovery). Hal ini berarti ditandai dari mulai ikan patin teranastesi sampai ikan patin mulai pulih kembali (Hitner 1999). Durasi pemberian xilazin mencapai 90 menit sampai 120 menit. Periode recovery setelah pemberian xilazin mencapai 120 menit sampai 240 menit pada hewan kecil (Daelami 2002). Selanjutnya gambar ikan patin yang

24

Gambar 4 Ikan patin yang mulai pulih (recovery).

Rataan hasil pengamatan durasi anastesi pada ikan patin akibat pemberian senyawa xilazin pada media perendaman dosis 0, 10, 20, 30, 40, dan 50 ppm disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rataan durasi anastesi pada ikan patin yang direndam pada media dengan xilazin pada berbagai dosis

Dosis xilazin (ppm) Durasi (menit)

0 0 10 147,0 ± 24,8a 20 137,9 ± 29,5ab 30 183,7 ± 39,8b 40 229,2 ± 19,7c 50 256,2 ± 30,5c

Keterangan : Huruf superskrip yang sama pada masing-masing kolom menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05).

Durasi anastesi paling panjang ditunjukkan oleh ikan patin yang direndam dalam media dengan dosis xilazin 50 ppm. Sementara itu, durasi terpendek ditunjukkan oleh ikan patin yang direndam dalam media dengan dosis xilazin 20 ppm. Durasi anastesi ikan patin yang direndam pada media dengan dosis xilazin 10 ppm menurun menuju durasi ikan patin pada media perendaman dengan dosis xilazin 20 ppm. Durasi anastesi terpanjang dapat memberikan gambaran lamanya anastesi berlangsung. Oleh karena itu, dengan durasi terpanjang sebesar 256 menit maka anastesi dapat diberikan minimal setiap 4 jam pada saat transportasi

25

berlangsung. Metode ini dilakukan dengan cara memberikan sediaan anastesi pada media recovery setelah ikan berada pada fase recovery total. Selanjutnya setelah ikan patin teranastesi kembali, ikan patin dipindahkan ke dalam media

recovery yang baru. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 1 bahwa semakin

besar dosis anastetikum yang diberikan maka semakin lama durasi obatnya. Menurut Plumb (2005), semakin tinggi dosis pemberian suatu obat maka durasi anastesinya juga akan semakin tinggi. Hal ini bertentangan dengan hasil pengamatan rataan durasi pada dosis 20 ppm yang mengalami penurunan dari hasil rataan durasi perlakuan sebelumnya. Perbedaan tersebut dapat terjadi akibat beberapa hal ialah kekurangtelitian peneliti dalam mengamati tahapan pemulihan (recovery) ikan patin, adanya pengaruh perubahan suhu lingkungan yang terjadi selama penelitian, dan lain-lain. Sementara itu, kontrol menunjukkan hasil rataan durasi sebesar 0. Hal ini terjadi karena ikan patin tidak mengalami perlakuan dan hanya direndam dengan menggunakan air mineral biasa tanpa adanya penambahan xilazin.

Berdasarkan hasil analisa statistik dapat diketahui bahwa H0 dapat diterima dan H1 ditolak, hal ini membuktikan bahwa dosis xilazin memengaruhi lamanya onset. Pengambilan hasil hipotesa tersebut berdasarkan nilai sigifikasi (p<0,05) yang menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Kelompok dengan hasil uji berbeda nyata menunjukkan bahwa perbedaan jumlah dosis xilazin yang dilarutkan dalam media akan menghasilkan durasi anastesi yang relative berbeda pada ikan patin. Sementara itu, data hasil uji yang tidak berbeda nyata menunjukkan bahwa perbedaan jumlah dosis xilazin yang dilarutkan pada media akan menghasilkan durasi anastesi yang relatif sama pula bergantung pada dosis masing-masing.

Menurut Hitner (1999) tanda-tanda pemulihan (recovery) dari efek suatu senyawa anastesi, yaitu pulihnya kemampuan suatu individu untuk merespons rangsangan dari luar. Hal ini dapat terlihat dari perilaku ikan patin setelah beberapa menit dipindahkan ke dalam air mineral tanpa xilazin. Kesadaran ikan patin mulai muncul, ikan patin mulai berenang dengan posisi tubuh bertahap dari mulai tidak beraturan sampai seimbang kembali, tonus otot mulai berfungsi

26

kembali, adanya refleks setelah diberikan rangsangan sentuhan, dan respons rasa sakit mulai muncul ketika diberikan rangsangan.

Kematian pada ikan patin

Faktor-faktor yang memengaruhi kematian pada ikan patin ialah kekurangan oksigen, kelebihan CO2, kelebihan sisa metabolisme, dan akibat kerusakan fisik pada tubuh ikan. Kematian pada ikan dapat diakibatkan pula karena meningkatnya kadar CO2 dalam air, sehingga menyebabkan menurunnya pH air. Penurunan pH mempunyai risiko meningkatnya proses ionisasi molekul amonia yang bersifat toksik bagi ikan pada kadar yang tinggi. Kadar amonia 15 hingga 60 mg/L dapat menyebabkan kematian pada ikan (Hernowo 2001). Selanjutnya gambar kematian pada ikan patin dan hasil rataan kematian ikan setelah pemberian xilazin disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Ikan patin dalam kondisi mati.

Rataan hasil pengamatan kematian ikan patin akibat pemberian senyawa xilazin pada media perendaman dengan dosis 0, 10, 20, 30, 40, dan 50 ppm disajikan pada Tabel 3.

27

Tabel 3 Rataan tingkat kematian ikan patin yang direndam pada media dengan xilazin pada berbagai dosis

Dosis xilazin (ppm) Rataan kematian (%) 0 0 10 8,8 ± 0,1a 20 5,6 ± 0,04a 30 4,0 ± 0,04a 40 0 ± 0a 50 0,8 ± 0.01a

Keterangan : Huruf superskrip yang sama pada masing-masing kolom menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05).

Secara umum, angka kematian ikan patin yang direndam dalam berbagai dosis xilazin (0 hingga 50 ppm) menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Tingkat kematian paling tinggi ditunjukkan oleh ikan patin yang direndam pada media dengan dosis xilazin 10 ppm sebesar 8,8%. Sementara itu, tingkat kematian yang paling rendah ditunjukkan oleh ikan patin yang direndam pada media dengan dosis xilazin 40 ppm sebesar 0%. Kematian ikan patin sebesar 0% itu menunjukkan bahwa dosis senyawa xilazin yang digunakan pada air mineral aman untuk digunakan terhadap ikan patin. Hasil pengamatan tingkat kematian ikan patin menunjukkan hasil yang berada di dalam kisaran normal (tidak menunjukkan angka kematian yang tinggi). Menurut literatur, suatu sediaan obat dinyatakan efektif dan aman untuk digunakan apabila tingkat kematiannya maksimal 20% (Velisek et al. 2007). Sementara itu, tingkat kematian pada kontrol adalah 0%. Tidak adanya kematian pada kontrol, karena ikan patin hanya mengalami perendaman dengan air mineral biasa tanpa mengalami pencampuran dengan xilazin. Berdasarkan hasil analisa statistik dapat diketahui juga bahwa H0 dapat diterima dan H1 ditolak, hal ini membuktikan bahwa dosis xilazin memengaruhi lamanya onset. Pengambilan hasil hipotesa tersebut berdasarkan nilai sigifikasi (p>05) yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.

Kematian pada saat pengangkutan dapat disebabkan karena beberapa hal yaitu kekurangan oksigen, kelebihan CO2, kelebihan kotoran (sisa metabolisme), dan akibat kerusakan fisik. Kandungan CO2 pada proses pengangkutan ikan

28

merupakan salah satu faktor penghambat. Kandungan CO2 yang meningkat dalam wadah dapat menyebabkan menurunnya pH, sehingga terjadi peningkatan proses ionisasi molekul amonia. Molekul amonia ini bersifat racun bagi ikan. Kandungan CO2 sebesar 15 sampai dengan 60 mg/L dalam air sudah cukup efektif untuk mengurangi racun amonia (Hernowo 2001).

Pembahasan umum

Obat merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosa penyakit (gangguan) tertentu, dan menimbulkan suatu kondisi tertentu, misalnya membuat seseorang infertil atau melumpuhkan otot rangka selama pembedahan (Suryanto 1998). Menurut Bowser (2001), obat adalah suatu sediaan kimia berbentuk padat, cair atau gas yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan fisik dan atau fungsi faal pada tubuh. Hampir semua obat berpengaruh pada sistem saraf pusat. Obat tersebut bereaksi terhadap otak dan dapat memengaruhi pikiran seseorang yaitu perasaan atau tingkah laku, hal ini disebut obat psikoaktif

Salah satu jenis obat yang paling banyak digunakan di antaranya adalah obat bius (anastetikum). Penggunaan obat bius kini tidak hanya digunakan pada hewan besar, tetapi dapat juga digunakan sebagai salah satu alternatif dalam anastetikum pada ikan. Penggunaan obat bius pada ikan harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi ikan, lingkungan, dan manusia. Perhatian khusus ditekankan pada jenis obat bius, dosis, cara penyimpanan obat yang digunakan, ukuran ikan, limbah yang dihasilkan dan efek residunya pada ikan. Beberapa jenis obat bius yang biasa digunakan pada ikan, yaitu novacaine (50 mg/kg ikan), amobarbital sodium (85 mg/kg ikan), barbital sodium (50 mg/kg ikan), sodium amital (52 hingga 172 mg/kg ikan), tertiary amil alkohol (2 mg/4,5 L air), methyl paraphynol (1 hingga 2 ml/4,5 L air), chloral hidrat (3-3,5 g/4,5 L air), hidroksi quinaldine (1 ppm), tricaine methane sulphonate atau MS- 222 (2,5 ppm), urethane (100 ppm), thiouracil (10 ppm), quinaldine (5 hingga 10 ppm), phenoxyethanol, benzocaine, dan minyak cengkih (Hernowo 2001).

29

Pemilihan jenis dan dosis obat bius berfungsi agar tujuan penggunaan obat bius dapat tercapai secara efisien, ekonomis, dan aman. Akhir-akhir ini penggunaan obat bius dalam media angkut banyak dipraktikkan di masyarakat. Beberapa keuntungan penggunaan obat bius antara lain mengurangi stres pada ikan, mengurangi konsumsi oksigen, mengurangi produksi CO2, mengurangi gerakan ikan sehingga dapat menekan kerusakan fisik ikan, dan menghemat waktu penanganan ikan. Penggunaan obat bius lebih disarankan pada transportasi benih, tetapi untuk ikan dengan tujuan konsumsi penggunaan obat bius hanya diperbolehkan pada saat dirasa sudah mendesak (Hernowo 2001). Selain itu, menurut Hernowo (2001) hal-hal yang harus diperhatikan dalam memberikan anastesi pada ikan patin yaitu jenis obat yang diberikan, dosis pemberian obat bius, cara penyimpanan obat bius yang digunakan, ukuran ikan, serta limbah dan efek residunya pada ikan

Secara umum anastesi dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu anastesi lokal dan general. Anastesi lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Obat anastesi yang digunakan sebaiknya tidak bersifat mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen. Batas keamanan obat anastesi juga harus lebar, awal kerja obat harus sesingkat mungkin. Sementara itu, masa kerja obat anastesi tersebut harus cukup lama. Senyawa anastesi juga harus larut dalam air, stabil dalam larutan, dan dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan. Anastesi general merupakan suatu anastesi yang dikontrol dan secara tidak sadar dapat bersifat

reversible. Pemberian anastesi dapat dilakukan secara injeksi atau per inhalasi.

Karakteristik dari anastesi general yaitu hilangnya efek rasa sakit, memori, reseptor motor untuk stimuli, atau pun respons terhadap refleks. Idealnya, pemberian anastesi general harus diberikan tanpa adanya pengaruh pada sistem vital, sistem respirasi dan sistem sirkulasi. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian anastesi general ialah pemilihan obat yang tepat, pemberian yang tepat dan hati-hati, dan monitor yang konstan (Bowser 2001). Menurut Scott (2009), tanda-tanda anastesi pasca pemberian senyawa anastesi ialah menurunnya aktivitas (gerakan dan motilitas) ikan, menyebabkan relaksasi otot, pelebaran pada pupil mata (efek okular), dan keseimbangan gerak renang ikan terganggu

30

Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan efek biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap), cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration of action), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk memberikan respons tertentu (Ahyari 2007). Selain itu, Ahyari (2007) mengungkapkan bahwa obat sebaiknya dapat mencapai reseptor kerja yang diinginkan setelah diberikan melalui rute tertentu yang nyaman dan aman seperti suatu obat yang memungkinan diberikan secara intravena dan diedarkan di dalam darah langsung dengan harapan dapat menimbulkan efek yang relatif lebih cepat dan bermanfaat.

Media yang digunakan untuk melarutkan senyawa anastesi xilazin dalam penelitian yaitu air mineral yang terstandar. Penggunaan air mineral yang terstandar ini bertujuan untuk meminimalkan risiko kesalahan pada saat penelitian dilakukan. Tetapi, kondisi di lapangan untuk transportasi biasanya dapat menggunakan air sumur, air ledeng, dan air PAM tergantung dari tempat asal ikan yang akan ditransportasikan. Hal ini menjadi salah satu alasan penggunaan air mineral terstandar dalam penelitian.

Menurut Daelami (2002) faktor-faktor fisika dan kimia yang memengaruhi pemberian obat dan anastesi, yaitu spesies, kondisi ikan, dan kualitas air. Spesies ikan di antaranya bobot badan ikan, umur ikan, dan kandungan lemak dalam tubuh ikan yang berpengaruh pada absorbsi senyawa anastesi yang diberikan. Sementara itu, menurut literatur lain spesies ikan yang mempunyai pengaruh terdiri atas umur, bobot badan, jenis kelamin, persentase lemak, variasi genetik, tingkat emosi, dan kehadiran penyakit (Hitner 1999). Kondisi ikan dapat menjadi lemah antara lain dapat disebabkan oleh cara perawatan yang buruk sehingga ikan menjadi stres, pemberian pakan yang tidak mencukupi, dan komposisi pakan yang tidak mencukupi. Lemahnya kondisi ikan dapat menyebabkan peningkatan risiko kematian ikan pada saat dilakukan anastesi.

Kualitas air terdiri atas suhu air, keadaan pH, kandungan oksigen terlarut, gas amonia (NH3), kandungan belerang, zat beracun, dan pestisida. Ikan

31

umumnya mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan suhu air yang mendadak. Oleh karena itu, terjadinya kenaikan dan penurunan suhu secara mendadak berakibat kurang baik bagi kehidupan ikan (Daelami 2002). Daelami (2002) mengungkapkan dalam bukunya bahwa dampak yang dapat terlihat jelas dari perubahan suhu yaitu terjadinya stres. Risiko yang terjadi dari adanya stres yaitu berkurangnya nafsu makan dan berakibat pada berkurangnya ketahanan tubuh bagi ikan. Pemberian obat dan senyawa anastesi pada saat kondisi ikan menurun dapat mengakibatkan tingginya risiko kematian pada ikan. Suhu yang baik untuk kehidupan ikan berkisar antara 25°C hingga 32°C, sementara itu suhu pada saat penelitian dilakukan berkisar antara 27°C hingga 30°C.

Faktor lain yang sangat berpengaruh juga pada pemberian obat dan anastesi ikan yaitu oksigen terlarut. Hampir semua ikan selama hidupnya hanya mengonsumsi oksigen terlarut dalam air. Namun, berbeda dari golongan catfish yang mampu menggunakan oksigen secara langsung dari udara bebas. Hal ini disebabkan karena golongan catfish mempunyai alat pernapasan tambahan khusus untuk mengambil O2 secara langsung dari udara bebas. Untuk memproduksi oksigen secara optimal ikan membutuhkan kandungan oksigen minimal 5 mg/L (Daelami 2002). Sementara itu, menurut Leagler (2004) kadar oksigen terlarut yang baik untuk ikan sebesar 5 ppm.

Tingkat keasaman atau pH yang dibutuhkan oleh ikan umumnya berkisar antara 6,5 hingga 9 (Daelami 2002). Sementara itu, menurut literatur lain pH yang baik untuk kehidupan ikan berkisar antara 5 hingga 9 (Khairuman 2009). Menurut Sneddon (2003), pH yang rendah dalam lingkungan dapat menghambat reaksi katalisasi enzim dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi efektivitas metabolisme ikan. Kepadatan ikan juga dapat menjadi salah satu faktor yang memengaruhi anastesi pada ikan patin. Kepadatan ikan patin yang ideal dalam 1 liter air berkisar 300 ekor ikan patin dengan ukuran sekitar 3 cm (Susanto 1999).

Menurut literatur lainnya beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas suatu sediaan anastetikum yaitu konsentrasi penggunaan anastetikum, temperatur air dan media yang digunakan, ukuran ikan, kondisi fisiologis ikan, dan spesies ikan (Soto 1995). Sementara itu, Velisek et al. (2007) menambahkan bahwa

32

semakin tinggi suhu lingkungan maka semakin besar pula efektivitas suatu sediaan anastetikum.

Dokumen terkait