• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil penelitian ini disajikan dalam beberapa bagian yaitu : (1) mikrotofografi dan penetapan zona diplotelmik, (2) sifat fisik dan C-organik tanah (3) simpanan karbon tanah, dan (4) emisi gas karbon.

Mikrotofografi dan Penetapan Zona Diplotelmik

Pengukuran mikrotofografi dilakukan untuk mengetahui perbedaan tinggi permukaan tanah dan muka air tanah dengan metode water pass (prinsip bejana berhubungan). Keragaan mikrotofografi berdasarkan jarak tegak lurus dari saluran drainase (Gambar 9). Dari pengukuran yang dilakukan diketahui bahwa tinggi muka air tanah dipengaruhi oleh permukaan lahan. Muka air tanah semakin dangkal dengan semakin jauhnya jarak dari saluran drainase dan sebaliknya, kecuali pada jarak 140 m (transek III) dimana terjadi penurunan permukaan lahan sebesar 20 cm dari jarak sebelumnya (47 cm) sehingga muka air tanah menjadi lebih dangkal (-61 cm). -200 -150 -100 -50 0 50 100 0 m 20 m 40 m 60 m 80 m 100 m120 m140 m160 m180 m200 m

cm

Transek I

Tinggi Muka Air Tanah (cm) Permukaan Tanah (cm) -200 -150 -100 -50 0 50 100 0 m 20 m 40 m 60 m 80 m 100 m120 m140 m160 m180 m200 m

cm

Transek II

Tinggi Muka Air Tanah (cm) Permukaan Tanah (cm)

Tinggi Muka Air di Sungai Jabiren

21

Gambar 9. Mikrotofografi lokasi penelitian

Muka air tanah berperan penting dalam proses akumulasi dan dekomposisi gambut yang akan mempengaruhi besaran emisi karbon (CO2 dan CH4).

Mikrotopografi perlu dilakukan untuk menghilangkan pengaruh relief mikro permukaan tanah dalam pengukuran tinggi muka air tanah. Pada wilayah yang cekung dimana muka air tanahnya dangkal akan mengemisikan CO2 lebih rendah

dibandingkan pada wilayah yang lebih tinggi (jauh dari permukaan tanah) sehingga produksi dan emisi karbon di lahan gambut dapat bervariasi pada skala <1 m2 (Jauhiainen et al. 2005). Data tinggi muka air tanah dalam setahun (Lampiran 2) digunakan sebagai dasar penetapan zona gambut akrotelmik dan katotelmik. Dari pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa zona gambut akrotelmik berada pada kedalaman 0 sampai 109 cm sedangkan zona gambut katotelmik pada kedalaman > 109 cm (Gambar 10).

Gambar 10 Batas zona gambut akrotelmik dan katotelmik berdasarkan tinggi muka air tanah yang diukur selama tahun 2013

-200 -150 -100 -50 0 50 100 0 m 20 m 40 m 60 m 80 m 100 m 120 m 140 m 160 m 180 m 200 m

cm

Transek III

Tinggi Muka Air Tanah (cm) Permukaan Tanah (cm)

Gambut Akrotelmik

Gambut Katotelmik Muka air terendah Saat musim kemarau

Bulan

Muka air tanah fluktuatif

22

Zona akrotelmik merupakan lapisan aktif gambut tempat akar tanaman yang kondisinya sering reduktif-oksidatif seiring dengan fluktuasi muka air tanah walaupun pada suatu waktu dapat jenuh. Zona katotelmik merupakan lapisan gambut yang hampir tidak terdapat oksigen (Ivanov 1981). Dalam kondisi ideal, konduktivitas hidrolik gambut akrotelmik jauh lebih tinggi daripada gambut katotelmik. Tidak seperti akrotelmik, katotelmik tetap permanen jenuh karena tingkat pergerakan air hampir tidak ada. Gambut akrotelmik akan menurun kapasitas menyimpan airnya secara signifikan bila ada aktivitas pembuatan saluran drainase, hal ini karena degradasi gambut akibat oksidasi dan kompresi diiringi dengan terjadinya subsiden. Pada zona akrotelmik, gambut fibrik dapat menyimpan air lebih banyak dari gambut hemik dan saprik tetapi pada zona katotelmik, kemampuannya bervariasi menurut jarak terhadap muka air tanah. Sifat Fisik dan C-organik Tanah

Kapasitas menyimpan air yang tinggi pada gambut dapat dicirikan salah satunya oleh nilai kadar air. Kapasitas menyimpan air yang tinggi merupakan salah satu sifat alami dan penting dari gambut. Kemampuan tersebut disebabkan adanya gugus-gugus fungsional yang bersifat mengikat air (Valat et al. 1991). Kemampuan maksimum gambut menyimpan air sangat besar berkisar antara 200 sampai 1000% atas dasar bobot atau 50-90% atas dasar volume (Andriesse 1988). Tingginya kadar air karena struktur gambut yang kasar (berserat), sangat longar dan berongga yang dapat menampung sejumlah besar air. Selain itu, gambut memiliki bobot isi dan daya dukung yang rendah sebagai hasil dari tingginya daya apung dan volume pori. Nilai kadar air dipengaruhi oleh tinggi muka air tanah, bahan asal pembentuk gambut dan tingkat dekomposisi gambut. Dekomposisi gambut menyebabkan hilangnya struktur gambut dan mengubah komposisi kimia utama gambut yang dipengaruhi oleh komponen utama pembentukan seperti kandungan mineral, kandungan organik, kelembaban dan udara. Ketika salah satu dari komponen ini berubah, maka akan mengakibatkan perubahan sifat fisik seluruh gambut. Tingkat dekomposisi mempengaruhi porositas gambut dan porositas dikendalikan oleh tata letak ukuran partikel atau serat gambut.

Gambut mempunyai karakteristik yang bervariasi. Variabilitas ini merupakan hasil dari perbedaan iklim, fluktuasi muka air tanah, kualitas dan kuantitas bahan anorganik yang diendapkan selama proses akumulasi gambut. Pada lokasi penelitian ini, tingkat kematangan gambut yang dominan adalah hemik dan saprik yang ditandai dengan rerata bobot isi antara 0.11 – 0.18 g cm-3, rerata kadar air antara 510 – 886%, dan rerata C-organik antara 37.9 – 54.8%.

23

(a) (b)

Gambar 11 (a) Variasi bobot isi, kadar air dan C-organik pada lapisan gambut diplotelmik, (b) contoh tanah pada salah satu titik pengamatan (ber- urutan dari atas ke bawah : 50 cm, 100 cm, 150 cm, 200 cm, 250 cm, 300 cm)

Gambar 11 memperlihatkan variasi nilai bobot isi, kadar air dan C-organik serta contoh tanah pada salah satu titik pengamatan. Nilai bobot isi meningkat dengan meningkatnya kedalaman tanah sedangkan kadar air dan C-Organik menurun dengan bertambahnya kedalaman tanah (Gambar 11a). Menurunnya kapasitas menyimpan air karena ukuran partikel gambut menjadi lebih halus dan lebih padat (Gambar 11b). Hal ini dapat disebabkan antara lain karena terdapatnya bahan mineral yang tercampur pada gambut sehingga kadar air lebih rendah dan bobot isi yang terukur lebih tinggi berkisar antara 0.16 – 0.28 g cm-3 diikuti dengan menurunnya nilai C-organik atau meningkatnya kadar abu. Tingginya kadar abu karena adanya pengkayaan bahan mineral dari luapan sungai akibat pengaruh pasang surut dan terakumulasi pada lapisan gambut. Menurut Chaudhari

et al. (2013) bobot isi sangat dipengaruhi oleh intensitas pemadatan, bahan asal gambut, tingkat dekomposisi dan adanya bahan mineral pada saat sampling.

24

Gambar 12 Sebaran nilai kadar abu pada beberapa nilai bobot isi

Pada gambut katotelmik terlihat peningkatan kadar abu yang sejalan dengan meningkatnya bobot isi sedangkan pada gambut akrotelmik meningkatnya bobot isi tidak selalu diikuti dengan meningkatnya kadar abu (Gambar 12). Hal ini semakin memperjelas keberadaan bahan mineral dalam lapisan gambut terutama pada kedalaman 150 – 300 cm yang ditunjukan dengan nilai kadar abu antara 16.55 – 36.43% dan bobot isi antara 0.147 – 0.216 g cm-3. Keberadaan bahan mineral juga terlihat pada kedalaman 109 – 150 cm walaupun tidak sebesar lapisan dibawahnya karena masih terdapat banyak bahan gambut dengan bobot isi antara 0.070 – 0.163 g cm-3 dan kadar abu berkisar antara 2.26 – 15.74%.

Berbeda dengan gambut katotelmik, gambut akrotelmik mempunyai kadar abu yang jauh lebih rendah, yaitu berkisar antara 1.12 - 5.83% dengan bobot isi antara 0.068 – 0.155 g cm-3. Bervariasinya nilai bobot isi karena perbedaan tingkat kematangan (hemik dan saprik) dan adanya pemadatan yang dapat meningkatkan bobot isi yang salah satunya dicirikan oleh ukuran partikel gambut

25

yang lebih halus dan padat. Pada zona ini, semua lapisan merupakan bahan gambut dan masih dijumpai serat – serat tanaman terutama pada kedalaman 0 – 50 cm.

Besaran nilai bobot isi dipengaruhi pula oleh kadar air. Penurunan bobot isi akan meningkatkan kadar air gambut (Gambar 13). Kedalaman gambut akrotelmik 0 – 50 cm mempunyai kadar air yang lebih rendah dibandingkan kedalaman 50 – 109 cm. Hal ini disebabkan karena pengaruh pemadatan yang dapat menyebabkan berkurangnya daya apung pada permukaan gambut sehingga menurunkan kapasitas menyimpan air. Sebaliknya pada kedalaman 50 – 100 cm, kondisi gambut yang lembab meningkatkan kadar air. Kondisi berbeda terlihat pada gambut katotelmik, dimana pada kedalaman 150 – 300 cm dengan bobot isi yang tinggi mempunyai kadar air yang lebih rendah dari lapisan diatasnya yaitu 507.55 – 714.77%. Hal ini berkaitan dengan adanya bahan mineral pada gambut yang mempunyai kemampuan memegang air lebih rendah. Dari gambar tersebut diketahui bahwa kadar air pada gambut akrotelmik bervariasi pada rentang nilai bobot isi yang sempit sedangkan pada gambut katotelmik mempunyai rentang nilai bobot isi yang luas yaitu 0.070 – 0.216 g cm-3.

26

Simpanan Karbon dan Kemasaman Tanah Gambut

Simpanan karbon pada gambut sangat dipengaruhi oleh bobot isi dan persentase karbon/kadar abu (Hooijer et al. 2006). Dari hasil penelitian diketahui bahwa simpanan karbon pada gambut akrotemik sebesar 658.68 ± 22.99 t C ha-1 (Gambar 14 dan Lampiran 1) atau tiap 1 cm kedalaman gambut akrotelmik mempunyai simpanan karbon sebesar 6.59 t C ha-1 sedangkan cadangan karbon pada gambut yang mewakili zona katotelmik (109-300 cm) sebesar 1 335.68 ± 30.67 t C ha-1. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa terdapat korelasi positif antara kedalaman gambut dengan simpanan karbon sehingga simpanan karbon dapat diduga dengan menggunakan data kedalaman gambut. Nurzakiah et al. (2013) melaporkan bahwa gambut yang didominasi tingkat kematangan fibrik dengan kedalaman 36 – 338 cm di Desa Tegal Arum, Kalimantan Selatan mempunyai simpanan karbon yang bervariasi yaitu 161.8 – 1 142.2 t C ha-1 sehingga untuk gambut dangkal di lokasi tersebut mempunyai simpanan karbon sekitar 3.45 t C ha-1 cm-1. Angka ini berada di bawah angka yang disebutkan oleh Page et al. (2002) yaitu sekitar 6.00 t C ha-1 cm-1 dan yang diperoleh pada penelitian ini dimana tingkat kematangan gambutnya didominasi hemik dan saprik.

Kadar serat dapat dijadikan indikator tingkat kematangan gambut. Butiran gambut yang dikelompokkan sebagai serat adalah butiran yang tidak lolos saringan 100 mesh atau setara dengan butiran yang bergaris tengah > 0.15 mm. Berdasarkan kadar serat sebelum digosok (unrubbed fibre), gambut fibrik mengandung > 66%, hemik 33–66%, dan saprik < 33% (Andriesse 1988). Kadar serat pada penelitian ini berada dalam kisaran 16.28 – 35.56%. Berbedanya tingkat kematangan gambut menyebabkan perbedaan simpanan karbon. Perbedaan besaran simpanan karbon akan mempengaruhi potensi emisi karbon.

Gambar 14 Hasil pengukuran simpanan karbon dan beberapa parameter lainnya pada gambut akrotelmik dan katotelmik

BI (Bobot Isi, g cm-3) Kadar Abu (%) Kadar Serat (%) pH C-Organik (%) Kadar Air (%)

C-Stock (Simpanan Karbon, t ha-1)

Parameter Pengamatan

BI (:100) K.Abu K. Serat pH (:10) C-Org K.Air (x10)C-Stock (x10) 0 20 40 60 80 100 120 140 160 Gambut Akrotelmik Gambut Katotelmik

27

Pendugaan simpanan karbon dapat pula dilakukan dengan pendekatan kerapatan karbon (Wellock et al. 2011), namun pendekatan ini harus dilakukan dengan lebih rinci karena terdapatnya variabilitas ketebalan dan kematangan gambut dalam suatu lahan. Nilai kerapatan karbon meningkat dengan meningkatnya kematangan gambut, tetapi tidak diikuti dengan meningkatnya kandungan karbon seperti yang dilaporkan oleh Dariah et al (2012), hal ini dapat terjadi karena proses dekomposisi baik secara alami ataupun akibat aktivitas manusia.

Proses dekomposisi gambut menghasilkan asam-asam organik yang akan membentuk lebih banyak koloid organik dalam komplek jerapan. Asam- asam organik tersebut berasal dari kelompok aromatik terutama dari derivat asam fenolat (Gambar 15). Urutan asam organik yang banyak ditemui dari konsentrasi tertinggi sampai terendah adalah sebagai berikut: asam ferulat ≈ asam synapat > asam p-kumarat > asam p-hidroksibenzoat > asam vanilat > asam syringat (Sabiham 2010). Asam-asam organik tersebut dikategorikan sebagai sumber utama pelepasan karbon. Hal ini berhubungan dengan tingginya konsentrasi dari golongan karboksil (-COOH) dan metoksil (-OCH3). Karboksil (-COOH)

yang akan terurai secara sempurna menjadi CO2 dan CH4 melalui peristiwa

oksidasi reduksi (Van der Gon dan Neue 1995). Emisi karbon merupakan hasil dari proses dekomposisi gambut menjadi senyawa karbon dengan rantai pendek.

Gambar 15 Struktur kimia beberapa derivat asam fenolat : (1) Asam Ferulat; (2) Asam Synapat; (3) Asam ρ-Kumarat; (4) Asam Vanilat; (5) Asam Syringat; (6) Asam ρ-Hidroksibenzoat

Kemasaman tanah pada penelitian ini berada dalam kisaran nilai pH 3.21 – 4.03. pH yang rendah berkaitan dengan bahan asal pembentuk gambut yang didominasi tumbuhan berkayu (lignin). Biodegradasi lignin akan menghasilkan senyawa

28

dengan ikatan C-karboksilat (Chapman et al. 2001). Gugus karboksilat hasil biodegradasi lignin berperan penting dalam proses pemasaman pada tanah gambut. Disosiasi asam-asam organik ini akan melepaskan ion H+ ke dalam larutan tanah. Konsentrasi ion H+ didalam tanah akan menentukan terjadi atau tidaknya proses pemasaman tanah, tergantung pada banyaknya ion H+ yang dihasilkan dan banyaknya ion H+ yang digunakan/dikonsumsi (Raubuch et al. 1998). Sejumlah reaksi kimia yang terjadi didalam tanah melibatkan proses produksi dan konsumsi H+ ke atau dari larutan tanah. Semakin banyak gugus karboksilat, maka makin rendah pH tanah. Oleh karena itu, pH gambut akrotelmik lebih rendah dari gambut katotelmik. Hal ini berkaitan dengan banyaknya bahan gambut pada zona akrotemik berbeda dengan gambut katotelmik yang terdapat pengkayaan bahan mineral. pH tanah mempengaruhi rasio perubahan CO2 ke CH4 yang berasal dari dekomposisi anaerobik/zona

katotelmik.

Emisi Gas Karbon

Zona akrotelmik utamanya mengemisikan gas karbon dioksida (CO2) yang

dihasilkan melalui proses dekomposisi secara aerob sedangkan zona katotelmik akan mengemisikan gas metan (CH4) melalui proses dekomposisi secara anaerob.

Namun terbentuknya gas metan tidak hanya karena kondisi yang anaerob tetapi harus didukung dengan nilai pH 5.5 – 7.0 dan potensial redoks (Eh) < -200 mV (Mer dan Roger 2001). Nilai pH dan Eh tersebut sulit ditemui pada gambut Indonesia yang kahat hara (walaupun kaya bahan organik) karena mengandung polifenol yang tinggi seperti lignin. Kadar hara rendah dapat mengurangi tingkat respirasi. Distribusi hara antara fraksi labil dan non labil sangat penting mengingat keduanya dapat mengatur ketersediaan hara bagi organisme dekomposer (Chimner dan Ewel 2005). Akibat rendahnya hara pada gambut maka sulit terjadi penurunan nilai redoks potensial sehingga pelepasan karbon dalam bentuk CO2 lebih besar dari CH4.

Selama periode pengamatan, gas CH4 berada pada konsentrasi yang sangat

rendah sehingga tidak terdeteksi oleh alat mikro GC type CP 4900. Batas deteksi alat tersebut adalah 1 ppm, sehingga emisi yang terukur hanya berasal dari gas CO2. Oleh karena itu, prediksi potensi emisi karbon hanya dilakukan pada

gambut akrotelmik, walaupun pada gambut katotelmik mempunyai potensi untuk mengemisikan gas CH4 jika kondisi atau syarat lingkungan terbentuknya gas CH4

terpenuhi. Tetapi dalam penelitian ini kondisi tersebut tidak terpenuhi sehingga tidak dapat dilakukan prediksi potensi emisi karbon pada gambut katotelmik. Dari hasil pengukuran fluks CO2 yang telah dilakukan diperoleh rerata emisi

sebesar 26.5 t ha-1 tahun-1.

Gambar 16 memperlihatkan fluks CO2, fluktuasi muka air tanah dan

regresi kedua parameter tersebut serta fluktuasi curah hujan selama penelitian berlangsung. Fluks CO2 pada musim kemarau lebih tinggi dan berbeda dengan

musim hujan. Kandungan air pada musim kemarau lebih sedikit daripada musim hujan. Rendahnya kandungan air pada musim kemarau berhubungan dengan penurunan muka air tanah. Penurunan muka air tanah meningkatkan laju difusi oksigen ke dalam tanah dan meningkatkan proses dekomposisi aerobik yang akan

29

meningkatkan emisi CO2. Sedangkan kandungan air yang tinggi akan membatasi

difusi oksigen ke atmosfer dan aktivitas mikroba. Proses pembasahan dan pengeringan pada gambut, menyebabkan gambut mengalami proses oksidasi- reduksi. Oksidasi umumnya dianggap sebagai proses yang paling penting yang menyebabkan hilangnya bahan organik.

Hirano et al. (2007) melaporkan bahwa hasil pengukuran emisi CO2 dari

gambut tropik sangat tinggi variasinya tergantung pada waktu dan tempat, kapan lahan mulai di konversi (tingkat humifikasi), variasi tempat (perbedaan mikroklimat seperti suhu tanah dan suhu udara), status hara dan variasi saat pengukuran (perubahan musim), sehingga musim berpengaruh terhadap hasil pengukuran emisi gas CO2 pada suatu wilayah.

Gambar 16 Fluks CO2, fluktuasi muka air tanah dan curah hujan berdasarkan

hasil pengukuran selama satu tahun (2013)

Pada Gambar 16 terlihat kecenderungan meningkatnya emisi CO2 dengan

menurunnya muka air tanah. Menurunnya muka air tanah tidak selalu berbanding lurus dengan meningkatnya emisi CO2 karena pada suatu waktu akan terjadi kondisi

yang stagnan (leveling off) dimana tidak lagi terjadi emisi CO2 atau bahkan terjadi

penurunan emisi CO2 dengan menurunnya muka air tanah (semakin jauh dari

permukaan gambut). Hal ini dapat disebabkan permukaan gambut mengering dan sulit menjadi basah atau bersifat kering tak balik (irreversible drying). Kondisi ini

y = -0.372x R2 = 0.331

r = -0.667

Periode Pengamatan

Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agust Sept Okt -140 -120 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60

Fluks CO2 (t.ha-1.tahun-1)

Tinggi Muka Air Tanah (cm) Regresi

Gambut Akrotelmik

Gambut Katotelmik

Muka air terendah saat musim kemarau

Muka air tanah fluktuatif

30

dikarenakan berkurangnya gugus fungsional karboksilat (COOH) dan/atau OH- fenolat (Masganti et al. 2001; Sabiham 2000; Stevenson 1994). Selain itu, sifat kering tak balik pada gambut terjadi karena penyelimutan koloid-koloid gambut oleh senyawa hidrokarbon aromatik. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya daya tarik antara partikel-partikel koloid gambut dengan molekul-molekul air (Valat et al. 1991). Proses kehilangan air yang besar menyebabkan terjadinya perubahan struktur molekul koloid-koloid gambut, sehingga koloid-koloid saling berinteraksi membentuk struktur yang lebih stabil. Perubahan ini bersifat tidak dapat balik dan menyebabkan gambut menjadi hidrofobik.

Gugus-gugus fungsional –COOH, –C=O, –C-OH, dan fenol-OH merupakan bahan aktif koloid organik yang berperan dalam menentukan sifat inheren gambut. Kejadian kering tak balik pada gambut Indonesia cukup tinggi karena gambut banyak mengandung lignin. Proses kering tidak balik akan menjadi lebih dipercepat apabila kadar air gambut berada di bawah kadar air kritis. Kadar air kritis pada gambut di Kalimantan Tengah yaitu 73% (hemik) dan 55% (saprik) (Masganti 2001). Pada kondisi tersebut, gambut tidak lagi berfungsi sebagai tanah karena tidak mampu membentuk koloid organik dan tidak lagi dapat mengemisikan gas CO2. Emisi CO2 hanya dapat terjadi bila ada proses

dekomposisi dan respirasi akar, sedangkan subsiden atau penurunan permukaan gambut tidak menyebabkan emisi CO2 tetapi menyebabkan pemadatan gambut.

Emisi CO2 dapat diprediksi dengan meregresikan data fluks CO2 dengan

tinggi muka air tanah, sehingga untuk fluks CO2 antara 11.87 sampai 36.75 t ha-1

tahun-1 dan tinggi muka air tanah antara 49.6 sampai 109 cm dibawah permukaan tanah, terjadi emisi CO2 sebesar 0.37 t ha-1 tahun-1 tiap penurunan muka air tanah

sedalam 1 cm (Gambar 16). Nilai tersebut berdasarkan beberapa asumsi yaitu emisi CO2 hanya terjadi dari lapisan 0 sampai 109 cm tidak dari lapisan yang lebih

dalam, semua emisi CO2 yang terukur berasal dari respirasi heterotropik dan emisi

CH4 diabaikan karena sangat rendah.

Penelitian ini menghasilkan nilai faktor emisi CO2 yang lebih rendah yaitu

0.37 t ha-1 tahun-1 atau sekitar 59.3% dibandingkan nilai yang dikemukakan oleh Hooijer et al. (2010) sebesar 0.91 t ha-1 tahun-1 tiap penurunan 1 cm muka air tanah/penambahan kedalaman drainase. Besarnya perbedaan nilai faktor emisi CO2 tersebut dapat disebabkan oleh berbedanya sifat bahan asal gambut dan

fluktuasi muka air tanah serta dimasukannya data emisi CO2 dari hasil kebakaran

hutan. Hooijer et al. (2010) melakukan kajian pustaka sifat tanah seperti bobot isi dan kandungan karbon dari beberapa bahan gambut yang mempunyai sifat asal (inheren) yang berbeda serta menggabungkan sifat-sifat tersebut dengan kedalaman drainase rata-rata dan emisi CO2 dari wilayah/tempat kajian yang lain,

dari data tersebut diprediksi berapa besar emisi CO2 yang terjadi tiap penambahan

1 cm kedalaman drainase dengan asumsi proses pemadatan yang terjadi akibat penurunan muka air tanah menghasilkan emisi CO2. Hal ini kurang tepat karena

yang menyebabkan terjadinya emisi CO2 adalah proses dekomposisi bahan

organik akibat oksidasi gambut sedangkan pemadatan tidak menyebabkan hilangnya bahan organik tetapi menyebabkan gambut lebih terkonservasi.

Ketebalan dan kematangan gambut Indonesia sangat bervariasi. Hooijer et al. (2006) mengasumsikan gambut Kalimantan mempunyai ketebalan 3 m. Pada kenyataannya, gambut di Kalimantan mempunyai ketebalan hingga 16 m dengan tingkat kematangan yang bervariasi yang mempengaruhi besaran simpanan dan

31

emisi karbon. Oleh karena itu, dalam menentukan berapa faktor emisi CO2 pada

suatu lahan harus mempertimbangkan karakteristik gambut suatu wilayah dan tidak memasukan data emisi CO2 dari kebakaran hutan/lahan. Walaupun

kebakaran lahan gambut di Indonesia terjadi hampir setiap tahun, baik secara alami atau akibat pembukaan /persiapan lahan. Emisi CO2 hasil dari kebakaran

lahan pasti lebih tinggi dari emisi CO2 yang dihasilkan dari proses dekomposisi

bahan organik. Pada saat proses kebakaran, gambut secara cepat akan hilang ke atmosfer sedangkan laju hilangnya gambut akibat proses dekomposisi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti adanya mikroorganisme dekomposer, ketersediaan substrat dan tinggi muka air tanah.

32

5 SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait