• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prediksi Potensi Emisi Karbon Pada Lapisan Gambut Akrotelmik Dan Katotelmik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prediksi Potensi Emisi Karbon Pada Lapisan Gambut Akrotelmik Dan Katotelmik"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

PREDIKSI POTENSI EMISI KARBON PADA LAPISAN

GAMBUT AKROTELMIK DAN KATOTELMIK

SITI NURZAKIAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Prediksi Potensi Emisi Karbon pada Lapisan Gambut Akrotelmik dan Katotelmik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Siti Nurzakiah

NIM A151120041

____________________________

(4)

RINGKASAN

SITI NURZAKIAH. Prediksi Potensi Emisi Karbon pada Lapisan Gambut Akrotelmik dan Katotelmik. Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM, BUDI NUGROHO dan DEDI NURSYAMSI.

Kemampuan gambut akrotelmik dan katotelmik dalam menyimpan karbon sangat dipengaruhi oleh muka air tanah. Kedalaman muka air tanah penting dalam menentukan intensitas proses dekomposisi gambut. Penurunan muka air tanah dapat dijadikan indikasi besarnya potensi emisi. Dari beberapa review hasil penelitian telah disimpulkan bahwa tiap 1 cm penurunan muka air tanah/penambahan kedalaman drainase akan mengemisikan CO2 sebesar 0.91 t

ha-1 tahun-1. Data tersebut menghasilkan taksiran berlebih dan memungkinkan terdapatnya ketidakpastian pengukuran. Oleh karena itu perlu dikaji metode prediksi emisi karbon yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan gambut agar diperoleh data emisi karbon yang mendekati kondisi di lapang. Tujuan penelitian ini adalah memprediksi potensi emisi karbon berdasarkan simpanan karbon pada gambut akrotelmik dan katotelmik dengan acuan tinggi muka air tanah di lahan gambut.

Penelitian dilakukan dengan metode survey. Penentuan areal lokasi penelitian menggunakan metode purposive sampling, yaitu penentuan lokasi secara sengaja yang dianggap representatif. Penelitian dilaksanakan di desa Jabiren Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah pada koordinat 02o30’30‖ Lintang Selatan dan 114o09’30‖ Bujur Timur. Lahan di lokasi penelitian merupakan endapan gambut yang mempunyai ketebalan antara 5 – 7 meter dengan substratum klei, tingkat kematangan hemik dan saprik. Waktu penelitian dari bulan Januari sampai Desember 2013. Penggunaan lahan berupa intercropping tanaman karet dan nenas. Pengambilan contoh tanah dan gas rumah kaca (CO2 dan CH4) dilakukan berdasarkan transek tegak lurus dari saluran

drainase.

Pengamatan meliputi pengukuran mikrotofografi, fluks karbon (CO2 dan

CH4), tinggi muka air tanah, pH tanah, kadar serat dan penetapan simpanan

karbon. Parameter yang diperlukan untuk menetapkan simpanan karbon adalah bobot isi (bulk density), persentase karbon dan ketebalan lapisan gambut. Pengolahan data dilakukan dengan program MS Excel, untuk melihat variasi data dianalisis dengan galat baku dan digambarkan dengan program sigma plot. Hasil pengukuran aktual fluks CO2 dan CH4 dihubungkan dengan fluktuasi muka air

tanah untuk memperoleh nilai prediksi potensi emisi karbon.

(5)

sedangkan zona katotelmik akan mengemisikan metan (CH4) melalui proses

dekomposisi secara anaerob. Selama periode pengamatan, gas CH4 berada pada

konsentrasi yang sangat rendah sehingga tidak terdeteksi oleh alat mikro GC type CP 4900. Batas deteksi alat tersebut adalah 1 ppm, sehingga emisi yang terukur hanya berasal dari gas CO2. Oleh karena itu, prediksi potensi emisi karbon hanya

dilakukan pada gambut akrotelmik. Nilai prediksi potensi emisi karbon (CO2)

diperoleh dengan meregresikan data fluks CO2 dengan tinggi muka air tanah,

sehingga untuk fluks CO2 antara 11.87 sampai 36.75 t ha-1 tahun-1 dan tinggi muka

air tanah antara 49.6 sampai 109 cm dibawah permukaan tanah, terjadi emisi CO2

sebesar 0.37 t ha-1 tahun-1 tiap penurunan muka air tanah sedalam 1 cm. Nilai tersebut berdasarkan beberapa asumsi yaitu emisi CO2 hanya terjadi dari lapisan 0

sampai 109 cm tidak dari lapisan yang lebih dalam, semua emisi CO2 yang

terukur berasal dari respirasi heterotropik dan emisi CH4 diabaikan karena sangat

rendah.

(6)

SUMMARY

SITI NURZAKIAH. Estimation of The Potential Carbon Emission from Acrotelmic and Catotelmic Peats. Supervised by SUPIANDI SABIHAM, BUDI NUGROHO, and DEDI NURSYAMSI.

Carbon stocks in acrotelmic and catotelmic peats are strongly influenced by groundwater level. The depth of the groundwater level is important in determining the intensity of the decomposition process of peat decomposition. The decrease groundwater level can be used as an indication of potential carbon emissions. Review the results of several studies have concluded that each 1cm decrease in groundwater level will emit CO2 of 0.91 Mg ha-1 yr-1. The data

resulted in overestimated and allow the presence of uncertainty in measurement. Therefore, necessary to study the other carbon emission prediction methods or to improve the existing emission prediction methods adapted to the environmental condition in order to obtain carbon emission data which are closer to the conditions in the field. The purpose of this study was to predict the potential carbon emissions based on carbon stocks in acrotelmic and catotelmic peats with the reference of groundwater level of peatland.

The study was conducted by a survey method. The location of the study area was determined by using the purposive sampling method. The study was conducted in Jabiren Village, Jabiren Raya District, Central Kalimantan in the coordinates of 02o30’30‖ S and 114o09’30‖ E. The thickness of peat was between 5 to 7 meters with clay substratum, degree of maturity hemic and sapric peats. Research time started from January until December 2013. Land use is in the form of intercropping between rubber and pineapple. Soil and greenhouse gases (CO2 dan CH4) sampling were conducted based on the perpendicular

transect of the drainage channel.

The observations were microtofografi measurements, the flux of carbon (CO2 and CH4), groundwater level, soil pH, fiber content and determination of

carbon stocks. Parameters observed to determine the carbon stock were bulk density, carbon content and peat thickness (directly observed in the field by using a drill peat). The data processing was carried out using MS Excel program by Systat Software Inc. The results of the actual measurements of CO2 and CH4

fluxes were linked with the fluctuations of groundwater level to obtain the potential predictive value of carbon emissions.

The results showed that groundwater levels is influenced by the soil surface. From the observation results it is known that acrotelmic peat is the depth of 0 to 109 cm, while catotelmic peat is the depth of > 109 cm. The acrotelmic and catotelmic peat affected by the values of observation parameters. Bulk density and percentage of carbon/ash content are the parameters that influence the amount of carbon stocks in peat. Carbon stocks in acrotemic peat is 658.68 ± 22.99 Mg C ha-1. The amounts of carbon stocks influence the potential carbon emissions. The acrotelmic zone will primarily emit carbon dioxide (CO2) generated through

aerobic decomposition process while catotelmic zone will emit methane (CH4)

(7)

detection limit is 1 ppm, so that emissions measured were obtained only from CO2. Therefore, the prediction of the carbon emission potential is only performed

on acrotelmic peat. The predicted value of potential carbon emissions (CO2)

obtained by regression between CO2 flux and groundwater level. Thus, for the

CO2 flux between 11.87 to 36.75 Mg ha-1 yr-1 and groundwater level between

49.6 to 109 cm below soil surface, CO2 emissions occur at 0.37 Mg ha-1 yr-1 of

each 1 cm decrease in groundwater level. These value with some assumptions that is emissions only occur from the layer of 0 to 109 cm, not from the deeper layer, that all CO2 emissions measured come from heterotrophic respiration, and CH4

emissions are ignored due to its emission was very low.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

PREDIKSI POTENSI EMISI KARBON PADA

LAPISAN GAMBUT AKROTELMIK DAN KATOTELMIK

SITI NURZAKIAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada

Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

Judul Tesis : Prediksi Potensi Emisi Karbon pada Lapisan Gambut Akrotelmik dan Katotelmik

Nama : Siti Nurzakiah NIM : A151120041

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Supiandi Sabiham, MAgr Ketua

Dr Ir Budi Nugroho, MSi Anggota

Dr Ir Dedi Nursyamsi, MAgr Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Tanah

Dr Ir Atang Sutandi, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penelitian dan penyusunan tesis dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini mengenai Prediksi Emisi Karbon dengan judul Prediksi Potensi Emisi Karbon pada Lapisan Gambut Akrotelmik dan Katotelmik yang dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Desember 2013.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Supiandi Sabiham, MAgr, Bapak Dr Ir Budi Nugroho, MSi dan Bapak Dr Ir Dedi Nursyamsi, MAgr selaku pembimbing yang telah banyak membantu, mengarahkan dan membimbing dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis ini serta Bapak Prof Dr Ir Fahmuddin Agus, MSc atas diskusinya selama ini. Terima kasih kepada Bapak Dr Ir Atang Sutandi, MSi sebagai ketua Program Studi Ilmu Tanah dan Dr Ir Muhammad Ardiansyah sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis. Terima kasih kepada seluruh Staf Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB yang telah memberikan tambahan ilmu kepada penulis.

Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Dr Ir Dedi Nursyamsi, MAgr) atas izin belajar, dukungan dan segala bantuan yang telah diberikan untuk kelancaran penelitian dan selama menempuh pendidikan di IPB. Terima kasih penulis sampaikan pula kepada Bapak Dr Ir Muhrizal Sarwani, MSc (Kepala BBSDLP periode tahun 2010 – 2014), Bapak Dr Ir Trip Alihamsyah, MSc dan Bapak Dr Ir Haris Syahbuddin, DEA (Mantan Kepala Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa) yang telah memberikan kepercayaan, kesempatan dan bantuan kepada penulis sejak mulai bergabung dengan Balittra sampai sekarang. Kepada rekan-rekan di Balittra terima kasih atas doa dan dukungannya.

Terima kasih penulis sampaikan pula kepada Kepala Balitklimat dan Bapak Dr Ir Budi Kartiwa, DEA atas izin yang diberikan dalam mengakses data tinggi muka air tanah, kepada Balittanah yang telah menerima penulis dengan hangat sebagai pegawai detasir selama mengikuti pendidikan di IPB dan kepada Badan Litbang Pertanian atas izin belajar yang diberikan. Selain itu, terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Zainuddin dan Bapak Slamet yang telah membantu pelaksanaan penelitian di lapang. Kepada teman-teman seperjuangan (Prasetyo, Priyo, Dede, Joko, Azis, Liza, Giri, Priyadi, dan Evi) terima kasih atas kebersamaannya selama ini, semoga silahturahmi diantara kita tetap terjaga. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Orangtua, adik-adik dan seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih tak terhingga untuk nenek tersayang Siti Fatimah (alm) atas segala kasih dan doanya, pengorbanan, kesabaran, dukungan dan kebersamaan dalam menghadapi kehidupan ini.

Akhir kata penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama untuk pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dalam kaitannya dengan emisi gas rumah kaca.

Bogor, Juli 2014

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN . 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Sebaran Lahan Gambut Nasional 4

Simpanan Karbon Lahan Gambut 4

Emisi Karbon dari Tanah Gambut 6

3 METODE 10

Tempat dan Waktu 10

Bahan dan Alat 11

Prosedur Penelitian 12

Analisis Data 19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 20

Mikrotofografi dan Penetapan Zona Diplotelmik 20

Sifat Fisik dan C-Organik Tanah 22

Simpanan Karbon dan Kemasaman Tanah Gambut 26

Emisi Gas Karbon 28

5 SIMPULAN DAN SARAN 32

Simpulan 32

Saran 32

DAFTAR PUSTAKA 33

LAMPIRAN 38

(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Skema produksi dan emisi gas karbon 8

2 Peta lokasi penelitian 10

3 Peralatan yang digunakan untuk mengukur fluks CO2 dan CH4 11

4 Pengukuran mikrotofografi 12

5 Lokasi pengambilan contoh tanah dan gas karbon di lahan gambut yang ditanami karet dan nenas secara intercropping

13 6 Pengambilan contoh gas rumah kaca (CO2 dan CH4) dan profil

piezometer beserta petunjuk dasar perhitungan tinggi muka air tanah

14 7 Pengukuran fluks CO2 dan CH4 dengan alat micro GC tipe CP 4900 15

8 Pengambilan contoh tanah menggunakan bor gambut Eijkelkamp 16

9 Mikrotofografi lokasi penelitian 20

10 Batas zona gambut akrotelmik dan katotelmik berdasarkan tinggi muka air tanah yang diukur selama tahun 2013

21 11 (a)Variasi bobot isi, kadar air dan C-organik pada lapisan gambut

diplotelmik, (b) contoh tanah pada salah satu titik pengamatan (ber-urutan dari atas ke bawah : 50 cm, 100 cm, 150 cm, 200 cm, 250 cm, 300 cm)

23

12 Sebaran nilai kadar abu pada beberapa nilai bobot isi 24 13 Sebaran nilai kadar air pada beberapa nilai bobot isi 25 14 Hasil pengukuran simpanan karbon dan beberapa parameter lainnya

pada gambut akrotelmik dan katotelmik

26 15 Struktur kimia beberapa derivative asam fenolat : (4) Asam Ferulat;

(5) Asam Synapat; (6) Asam ρ-Kumarat; (7) Asam Vanilat; (8) Asam Syringat; (9) Asam ρ-Hydroxybenzoat

27

16 Fluks CO2, fluktuasi muka air tanah dan curah hujan berdasarkan

hasil pengukuran selama satu tahun (2013)

29

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rata-rata dan galat baku beberapa sifat tanah di lokasi penelitian 38 2 Rata-rata dan galat baku kedalaman muka air tanah dan fluks CO2

(16)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lahan gambut merupakan salah satu agroekosistem lahan rawa yang banyak dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian. Pengembangan pertanian di lahan gambut terkendala oleh isu lingkungan yang mengemuka belakangan ini terkait dengan terbebaskannya gas – gas rumah kaca pada saat pembukaan lahan. Perubahan penggunaan lahan dari hutan alam menjadi areal pertanian umumnya tidak terjadi secara langsung. Pembukaan lahan gambut yang dimulai sejak tahun 1970-an dilakukan melalui beberapa tahapan sebelum menjadi lahan pertanian. Akibat penebangan liar, hutan alam menjadi hutan sekunder/hutan terdegradasi kemudian menjadi lahan perkebunan (HTI, HGU). Meningkatnya permintaan dunia terhadap kelapa sawit mendorong ekstensifikasi perkebunan kelapa sawit ke lahan gambut. Dampak yang ditimbulkan akibat perubahan penggunaan lahan tersebut diantaranya adalah berubahnya pola hidrologi, terjadinya sedimentasi, penurunan keanekaragaman hayati, berkurangnya kemampuan menyimpan karbon dan terjadinya emisi gas rumah kaca terutama gas karbon dioksida. Besar kecilnya perubahan tergantung dari sifat hutan dan sifat perubahan penggunaan lahan (Pagiola 2000).

Lahan gambut mempunyai simpanan karbon yang besar karena keseluruhan gambut dan tanaman yang tumbuh diatasnya merupakan karbon tersimpan. Total karbon yang tersimpan di lahan gambut dunia diperkirakan sebesar 550 Giga ton (Joosten 2009). Gambut dapat berfungsi sebagai penyimpan (sink) karbon ataupun sebagai sumber (source) emisi karbon sedangkan tanaman merupakan carbon sink melalui proses sekuestrasi (sequestration process).

Vegetasi yang tumbuh di atas tanah gambut dapat menambat karbon dioksida dari atmosfer melalui proses fotosintesis dan menambah simpanan karbon. Kehilangan karbon dapat juga terjadi dalam bentuk karbon organik terlarut (DOC,

dissolved organic carbon).

Pada tanah gambut terdapat dua zona hidrologis yang memiliki karakteristik yang berbeda dan digambarkan sebagai "diplotelmik", yaitu zona akrotelmik dan katotelmik. Zona akrotelmik merupakan lapisan gambut yang secara hidrologis ―aktif‖ atau sangat dipengaruhi oleh fluktuasi muka air tanah dimana batas kedalaman lapisan ini adalah muka air tanah terendah saat musim kemarau. Zona katotelmik merupakan lapisan gambut yang permanen jenuh air dan memungkinkan muka air tanah tetap tinggi meskipun tetap terjadi peningkatan lapisan katotelmik (Ivanov 1981). Kriteria hidrologis ini berguna untuk menganalisis proses akumulasi dan dekomposisi gambut (Belyea dan Malmer 2004; Clymo 1984). Perubahan zona hidrologis sangat mempengaruhi penyimpanan karbon dan tingkat emisi karbon dari tanah gambut.

(17)

2

gambut. Keberadaan oksigen di dalam gambut merupakan pengendali utama proses dekomposisi. Input oksigen juga merupakan faktor penting untuk pembaharuan akseptor elektron anorganik yang berpotensi menekan methanogenesis (Knorr et al. 2009) dan untuk aktivasi dan deaktivasi exo-enzim yang mengendalikan dekomposisi gambut (Freeman et al. 2001). Fluktuasi muka air tanah berpengaruh terhadap ketersediaan oksigen tanah, potensial redoks (Eh) dan pH tanah.

Di daerah rawa pasang surut, tinggi muka air berfluktuasi akibat adanya pasang surut air laut ataupun karena curah hujan. Hal ini menyebabkan gambut mengalami proses pengeringan dan pembasahan yang berpengaruh terhadap kadar air tanah dan tingkat emisi karbon. Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa terdapat korelasi positif antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2 (Agus et al. 2011a; Couwenberg et al. 2010; Dinsmore et al. 2009; Hirano et

al. 2009; Jauhiainen et al. 2005). Semakin dalam muka air tanah (jauh dari permukaan tanah) maka volume gambut yang berada dalam kondisi aerob juga semakin banyak sehingga bahan gambut yang terdekomposisi dan menghasilkan emisi, juga semakin banyak. Proses pengeringan dan pembasahan juga akan mempengaruhi stabilitas asam – asam organik yang dihasilkan dari dekomposisi gambut, ditandai dengan hilangnya karbon melalui emisi CO2 dan CH4 (Sabiham

2010). Karbon dioksida (CO2) dihasilkan melalui proses dekomposisi secara

aerob sedangkan metana (CH4) secara anaerob.

Emisi karbon dapat diketahui melalui dua pendekatan yaitu pengukuran konsentrasi gas karbon secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran konsentrasi gas karbon secara langsung yaitu dengan metode mikro-meteorologi (Eddy kovarians) dan sungkup tertutup (Grøndahl 2006). Kedua metode tersebut berbeda dalam skala pengukuran dan tujuan yang ingin dicapai. Mikro-meteorologi menggunakan menara yang digunakan untuk mengkarakterisasi fluks CO2 secara terus menerus pada tingkat lapangan (skala hektar) dan sangat

tergantung pada kecepatan angin selama periode pengukuran. Metode ini memberikan informasi mengenai fluks bersih (net flux) dan sering digunakan untuk studi keseimbangan ekosistem. Metode sungkup tertutup memberikan perkiraan fluks GRK pada tingkat plot pengamatan kurang dari 1 m2 (skala kecil) dan digunakan untuk mempelajari proses – proses yang terjadi didalam tanah termasuk aktivitas mikroba. Metode ini telah diterapkan untuk studi yang lebih rinci terhadap berbagai perlakuan seperti pemupukan dan pemberian bahan amelioran. Metode ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pengambilan contoh GRK kemudian dianalisis dengan Gas Chromatografi (GC) atau pengukuran langsung menggunakan Infra Red Gas Analyzer (IRGA).

Pengukuran konsentrasi GRK secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pendekatan subsiden (Hooijer et al. 2006), kadar abu (Gronlund et al. 2008) dan simpanan karbon (Agus 2009). Penetapan simpanan karbon di dalam tanah memerlukan data bobot isi, kandungan karbon, ketebalan dan luas lahan gambut. Parameter lain yang perlu diamati untuk membantu interpretasi data adalah kematangan gambut. Kadar serat dapat digunakan sebagai indikator tingkat kematangan gambut. Penelitian ini mempelajari prediksi potensi emisi karbon berdasarkan simpanan karbon dengan acuan tinggi muka air tanah. Tinggi muka air tanah akan dihubungkan dengan pengukuran aktual fluks CO2 dan CH4

(18)

3

Perumusan Masalah

Perbedaan zona akrotelmik dan katotelmik berperan dalam proses pelepasan gas-gas rumah kaca. Kedalaman muka air tanah penting dalam menentukan sejauh mana proses dekomposisi gambut berlangsung. Pada zona akrotelmik akan membebaskan gas CO2 sedangkan pada zona katotelmik akan

membebaskan gas CH4. Kondisi tersebut akan menentukan besaran emisi karbon.

Besaran emisi karbon dapat diprediksi dengan beberapa pendekatan salah satunya berdasarkan subsiden (Hooijer et al. 2010). Hooijer et al. (2010) melaporkan bahwa tiap 1 cm penurunan muka air tanah/penambahan kedalaman drainase akan mengemisikan CO2 sebesar 0.91 t ha-1 tahun-1. Pendekatan ini menghasilkan

perhitungan yang kurang tepat karena estimasi emisi CO2 tersebut memasukan

emisi CO2 dari kebakaran hutan Indonesia yang terjadi sejak tahun 1997 sampai

2006 sebesar 1 400 - 4 300 Mt tahun-1. Berdasarkan data ini, Indonesia dikatakan sebagai penyumbang emisi ketiga terbesar didunia. Perhitungan tersebut tidak akurat karena estimasi emisi karbon tidak hanya berdasarkan besaran karbon yang terbebaskan saat lahan gambut terbakar tetapi juga harus mempertimbangkan karbon yang diserap oleh hutan Indonesia sebelum terjadinya kebakaran. Selain itu, data yang digunakan berasal dari beberapa hasil penelitian, sehingga memungkinkan terdapatnya ketidakpastian pengukuran. Ketidakpastian pengukuran tersebut diantaranya adalah ketebalan dan kematangan gambut, bobot isi, kandungan karbon dan penurunan muka air tanah. Lahan gambut di Indonesia mempunyai variabilitas ketebalan dan kematangan serta bahan asal pembentuk gambut yang berbeda. Ketebalan gambut yang dapat dijumpai berkisar antara 1 m sampai 12 meter, bahkan ada yang memiliki ketebalan 16 m (Hope et al. 2005) dan berada pada berbagai landform yang berpengaruh terhadap besaran simpanan dan emisi karbon. Nilai bobot isi sangat dipengaruhi oleh bahan asal pembentuk gambut. Oleh karena itu, metode prediksi emisi karbon yang lain perlu dikaji atau metode prediksi emisi yang telah ada diperbaiki sesuai dengan kondisi lingkungan gambut agar diperoleh data emisi karbon yang mendekati kondisi di lapang.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah memprediksi potensi emisi karbon berdasarkan simpanan karbon pada gambut akrotelmik dan katotelmik dengan acuan tinggi muka air tanah di lahan gambut.

Manfaat Penelitian

(19)

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Sebaran Lahan Gambut Nasional

Indonesia mempunyai lahan gambut seluas 14.905.574 ha yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan gambut terluas berada di pulau Sumatera yaitu 6.436.649 ha dengan luasan berimbang antara kedalaman dangkal (50-100 cm) sampai sangat dalam (>300 cm). Sebaran lahan gambut terluas di Sumatera terdapat di Provinsi Riau, kemudian Sumatera Selatan dan Jambi. Sedangkan provinsi lainnya <262.000 ha. Lahan gambut terluas kedua yaitu di pulau Kalimantan sekitar 4.778.004 ha. Kedalaman gambut hampir merata antara dangkal sampai sangat dalam. Lahan gambut terluas (2.644.438 ha) berada di Kalimantan Tengah. Lahan gambut di Provinsi Kalimantan Barat seluas 1.046.483 ha. Provinsi Kalimantan Timur hanya sekitar 332.365 ha dan Kalimantan Selatan 106.271 ha. Papua mempunyai lahan gambut seluas 3.690.921 ha, didominasi gambut dangkal (50-100 cm) sekitar 2.425.523 ha, gambut sedang (100-200 cm) sekitar 817.651 ha, dan gambut dalam (200-300 cm) sekitar 447.747 ha. Penyebaran terluas terdapat di Provinsi Papua yaitu 2.644.438 ha atau 71.65% dari total lahan gambut Pulau Papua, sedangkan di Provinsi Papua Barat sekitar 1.046.483 ha atau 28.35% dari total luas gambut Pulau Papua (BBSDLP 2011).

Berdasarkan data-data yang telah disebutkan di atas, menunjukan adanya potensi lahan gambut untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan. Perubahan penggunaan lahan, termasuk konversi hutan gambut akan merubah laju emisi dan sekuestrasi. Saat ini konversi lahan dianggap sebagai suatu hal yang sifatnya alami dari segi ekonomi karena meningkatnya jumlah penduduk, sehingga tidak mungkin dihentikan tetapi tentunya dapat dikendalikan dengan cara memperhatikan karakteristik sifat fisik-kimia gambut yang berkaitan dengan kestabilan gambut. Pengembangan lahan gambut yang akan dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta/perusahaan perkebunan dan masyarakat harus memperhatikan fungsi gambut sebagai penyimpan karbon dan sebagai daerah resapan air yang mampu mencegah banjir di wilayah disekitarnya pada musim hujan dan mencegah intrusi air asin pada musim kemarau. Bagian aktif dari gambut adalah fase cairnya sehingga apabila gambut kering akan kehilangan fungsinya sebagai tanah dan akan menjadi menolak air (hidrofobik). Kondisi tersebut akan menyebabkan gambut mudah terbakar. Terbakarnya gambut akan berdampak terhadap lingkungan yaitu pemanasan global akibat terbebaskannya gas CO2 ke atmosfer. Oleh karena itu,

pengelolaan air di lahan gambut sangatlah penting.

Simpanan karbon Lahan Gambut

(20)

5

gambut, bobot isi, kandungan karbon dan vegetasi yang tumbuh diatasnya. Posisi dan pembentukan gambut turut mempengaruhi besaran simpanan karbon. Pada tanah gambut pasang surut yang menempati cekungan besar mempunyai ketebalan yang bervariasi. Di bagian pinggir ditempati gambut dangkal dengan ketebalan 0.5 – 1 m dan gambut sedang dengan ketebalan 1 - 2 m (Subagyo 2006), oleh karena perbedaan pertumbuhan vegetasi hutan di bagian pinggir dan bagian tengah cekungan, permukaan tanah gambut semakin meninggi di bagian tengah dan membentuk semacam kubah dari gambut yang disebut kubah gambut (peat dome) dengan ketebalan hingga 3 – 5 m. Endapan gambut di lahan lebak (pedalaman) biasanya menempati wilayah lebak tengahan dan lebak dalam. Kubah gambut biasanya tidak terbentuk karena ukuran cekungan relatif kecil dan bentuk wilayah lahan lebak merupakan dataran rendah (Noor 2007). Oleh karena itu, simpanan karbon pada gambut pasang surut umumnya lebih tinggi dari gambut pedalaman.

Besarnya simpanan karbon pada lahan gambut telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Page et al. (2011) melaporkan bahwa kandungan total karbon pada gambut tropik sebesar 89 Gt atau sekitar 15 – 19% dari total karbon yang tersimpan di lahan gambut dunia yaitu 550 Gt, sedangkan total karbon di Asia Tenggara diperkirakan sebesar 42000 Mt. Simpanan karbon pada tanah gambut jauh lebih besar daripada yang tersimpan dalam biomasa tanaman. Proporsi simpanan karbon dalam biomas tanaman hanya berkisar antara 0.5 - 3% dari total simpanan karbon (Dariah et al. 2009).

Wahyunto et al. (2010) melaporkan bahwa di Indonesia total simpanan karbon yang tersimpan di dalam tanah sekitar 37 Gt CO2. Terdapat korelasi

positif antara ketebalan gambut dengan simpanan karbon. Gambut dengan ketebalan ± 5 m mempunyai simpanan karbon sebesar 3 989 t ha-1 (Nursyamsi et al. 2012). Pada penelitian dan pengembangan teknologi pengelolaan lahan gambut berkelanjutan untuk meningkatkan sekuestrasi karbon dan mitigasi gas rumah kaca yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Pertanian melalui BBSDLP bekerjasama dengan ICCTF (Indonesian Climate Change Trust Fund) - BAPPENAS pada empat lokasi menunjukan bahwa simpanan karbon sangat dipengaruhi oleh ketebalan gambut, dimana di lokasi Desa Jabiren, Kalimantan Tengah dan Desa Lubuk Ogong, Riau yang mempuyai ketebalan gambut antara 5-7 m dengan simpanan karbon sebesar 2 500 – 3 490 t ha-1 dan 2 750 – 3 235 t ha-1 sedangkan di Desa Arang-arang, Jambi dengan ketebalan gambut 1.5 – 3 m mempunyai simpanan karbon sebesar 775 – 1 570 t ha-1 dan simpanan karbon terendah (140 – 1 318 t ha-1) terdapat di lokasi Desa Tegal Arum Kalimantan Selatan dengan ketebalan gambut yang sangat bervariasi yaitu 0.36 – 3 m (Badan Litbang Pertanian 2011).

(21)

6

Emisi Karbon dari Tanah Gambut

Emisi karbon sangat berkaitan dengan laju dan proses dekomposisi. Faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi yaitu suhu, oksigen, kelembaban dan kandungan hara (Minkkinen et al. 2007; Moore dan Dalva 1997). Proses dekomposisi dipengaruhi oleh jenis gambut, kehadiran mikroorganisme dekomposer, ketersediaan hara dan kondisi lingkungan (Laiho 2006). Askaer et al. ( 2010) melakukan pengukuran kadar oksigen pada tanah gambut di daerah temperate dan memperoleh hasil bahwa berkurangnya kadar oksigen dalam tanah akan mempengaruhi laju dan proses dekomposisi. Dibawah kisaran suhu normal (sekitar 27.5 – 29oC), produksi CO2 meningkat dua sampai tiga kali lipat untuk

setiap kenaikan 10oC, bervariasi dengan kedalaman dan belum diketahui pengendali suhu pada laju mineralisasi karbon (Blodau 2002).

Kondisi lingkungan seperti tinggi muka air tanah berperan dalam mengkondisikan gambut apakah, aerob atau anaerob yang dapat mempengaruhi pelepasan karbon. Dinsmore et al. (2009) melakukan studi perubahan/modifikasi tinggi muka air tanah dalam kaitan dengan produksi CO2 di laboratorium dan

hasilnya menunjukan bahwa ketika muka air tanah berada pada kedalaman 30 cm dibawah permukaan tanah akan melepaskan CO2 hingga 155 mg m-2 jam-1.

Jauhiainen et al. (2005) melaporkan bahwa fluks CO2 hampir nol ketika tinggi

muka air tanah berada pada 20 cm dibawah permukaan tanah sedangkan bila terjadi penurunan muka air tanah hingga 80 cm akan membebaskan CO2 sebesar

530 mg m-2 jam-1 setara dengan 46.43 t ha-1 tahun-1. Peneliti lain melaporkan bahwa pada kedalaman muka air tanah 70 cm menghasilkan CO2 sebesar 173 mg

m – 2 jam- 1 setara dengan 15.15 t ha-1 tahun-1 dan meningkat menjadi 289 mg m–2 jam-1 setara dengan 25.32 t ha-1 tahun-1 dengan bertambahnya kedalaman air tanah (semakin jauh dari permukaan tanah) sebesar 10 sampai 20 cm (Hirano et al. 2007). Hal ini menunjukan pentingnya pengelolaan air kaitannya dengan potensi emisi CO2 melalui dekomposisi aerobik.

Dekomposisi aerobik pada gambut terjadi ketika kondisi di dalam gambut oksidatif. Mikroba dalam gambut menghasilkan enzim ekstraseluler yang memecah serat tumbuhan (selulosa, hemi-selulosa dan lignin) oleh kombinasi hidrolisis dan oksidasi. Produk akhir dari dekomposisi aerobik antara lain CO2,

karbon organik terlarut (DOC) dan humus (Bragazza et al. 2006). Kondisi oksidatif dapat terjadi saat gambut di drainase. Pembuatan saluran drainase dapat menyebabkan subsiden. Subsiden akibat pembuatan drainase dapat dibedakan atas tiga proses yaitu penghilangan gambut, pengerutan lapisan gambut permukaan dan hilangnya daya apung pada permukaan lapisan gambut (Brandyk

et al. 2001). Subsiden terjadi karena proses pemadatan dan hilangnya masa gambut akibat kebakaran dan/atau proses dekomposisi bahan organik secara aerob yang dapat membebaskan CO2 ke udara dan merupakan fenomena umum yang

ditemui pada lahan gambut yang telah dikonversi ke berbagai penggunaan lahan. Konversi hutan gambut menyebabkan perubahan siklus karbon dan mempunyai pengaruh terhadap fluks karbon global.

(22)

7

melalui proses hidrolisis, asidogenesis dan asetogenesis (Mer dan Roger 2001). Tahap akhir dekomposisi adalah metanogenesis yaitu senyawa sederhana yang dihasilkan oleh proses sebelumnya (yaitu H2, CO2 dan asetat) digunakan oleh

bakteri metanogen untuk menghasilkan CH4 sebagai produk akhir dari

dekomposisi anaerob (Mer dan Roger 2001). Methanogenesis hanya terjadi ketika tidak ada oksigen dengan potensial redoks adalah <-200 mV (Mer dan Roger 2001) dan menurun dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah.

Emisi CH4 dari tanah gambut dipengaruhi oleh laju produksi dan konsumsi

CH4 serta kemampuan tanah dan tanaman dalam mentransportasikan gas ke

permukaan. Tiga faktor lingkungan utama yang mengendalikan emisi CH4 pada

tanah gambut adalah tinggi muka air tanah yang menentukan kondisi gambut aerob atau anaerob (Moore dan Dalva 1993), suhu gambut yang mengontrol oksidasi dan produksi CH4 oleh mikroba (Nyakanen et al. 1995), pH dan kualitas

substrat yang mempengaruhi mineralisasi karbon (Moore dan Dalva 1997). Selain itu emisi metan juga dipengaruhi oleh pengelolaan lahan seperti drainase dan pemadatan (Hansen et al. 1993). Kirk (2004) melaporkan bahwa dalam kondisi anaerob, metan dapat pula dioksidasi oleh sulfat. Konsentrasi sulfat yang tinggi terdapat pada lapisan yang dekat dengan substratum yang mengandung pirit.

Emisi CH4 banyak terdapat pada lahan basah di daerah tropis. Bloom et al.

(2010) melaporkan bahwa sebanyak 58% emisi CH4 dari lahan basah berasal dari

daerah tropis dan hanya 2% berasal dari daerah boreal. Namun Couwenberg et al. (2010) melaporkan sebaliknya bahwa emisi CH4pada daerah tropik lebih rendah

dibandingkan daerah boreal dan temperate (sedang). Kesimpulan tersebut diperoleh setelah dilakukan meta-analisis data yang tersedia dari gambut Asia Tenggara, bahwa fluks CH4 adalah nol bila muka air tanah lebih dari 40 cm di

bawah permukaan gambut sedangkan pada tinggi muka air tanah antara 0 dan 40 cm di bawah permukaan gambut fluks CH4 antara 0 dan 0.5 mg m-2 jam-1.

Pada lahan basah, nilai Eh dapat berkisar dari +750 mV sampai -200 mV (Niedermeier dan Robinson 2007). Nilai Eh > +300 mV menunjukan lahan dalam kondisi oksidatif, +300 sampai -100 mV kondisi agak tereduksi, -100 sampai -200 mV kondisi reduktif dan < -200 mV kondisi sangat reduktif (Reddy dan DeLaune 2008). Fluktuasi muka air tanah mempengaruhi potensial redoks berkaitan dengan kondisi oksidatif dan reduktif pada tanah. Kondisi anaerob pada tanah tidak dapat dijadikan indikator nilai Eh yang rendah/negatif, karena dapat saja ditemui pada gambut yang tergenang mempunyai nilai Eh +450 mV. Kondisi tersebut disebabkan lambatnya perubahan kondisi reduksi-oksidasi tanah akibat ion O2 dalam molekul H2O berperan sebagai cadangan akseptor elektron.

Selain itu pertukaran gas yang terjadi di daerah perakaran (rhizosfer) menyebabkan konsentrasi O2 di sekitar perakaran meningkat. Kehadiran oksigen

di sekitar perakaran meningkatkan aktivitas bakteri metanotropik, sehingga jumlah CH4 yang teroksidasi menjadi CO2 makin besar. Serasah yang ada di

permukaan gambut juga dapat meningkatkan fluks CO2 dengan menyediakan

karbon labil dan input hara (Hirano et al. 2009;. Williams dan Yavitt 2010). Semakin meningkat kedalaman gambut, kadar hara rendah dan dapat membatasi produksi CO2 dan CH4. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa ketersediaan

(23)

8

(Sjögersten et al. 2010) dan aplikasi hara pada lahan basah yang mengalami defisiensi hara dapat meningkatkan dekomposisi karena meningkatnya konsumsi C dari mikroba dan oleh sebab itu dapat meningkatkan pelepasan CO2 (Cheesman

et al. 2010).

Gambar 1 Skema produksi dan emisi gas karbon Ebulisi

Difusi

Oksidasi Transport melalui

aerenkhima

Dekomposisi Bahan organik Oksidasi

Oksidasi metan metanmatan

Sumber : Rydin dan Jeglum 2006

(24)

9

Gas metan dilepaskan dari lahan basah ke atmosfer melalui tiga proses yaitu difusi, ebulisi dan melalui jaringan tanaman (aerenkhima) (Gambar 1). Proses difusi ditentukan oleh adanya perbedaan konsentrasi CH4 dalam air dan

kecepatan mensuplai CH4 kepermukaan air. Ebulisi merupakan proses lepasnya

bentuk gelembung gas dari dalam larutan ke permukaan tanah dan ke atmosfer. Pembuluh aerenkhima berfungsi sebagai cerobong bagi pelepasan CH4 ke

atmosfer. Suplai O2 untuk respirasi pada akar juga melalui pembuluh aerenkhima.

Pertukaran gas akan berlangsung dengan cepat jika ruang udara pada pembuluh aerenkhima daun, batang dan akar berkembang dengan baik. (Wagatsuma et al. 1990).

Pembuluh aerenkhima pada tanaman dapat berperan sebagai agen bagi pelepasan gas CH4. Besarnya pelepasan CH4 ke atmosfer dipengaruhi oleh sifat

morfologi (jumlah anakan dan sistem perakaran) dan fisiologis tanaman seperti eksudat akar. Produksi gas CH4 sangat erat kaitannya dengan kemampuan

pertukaran oksigen akar tanaman dalam tanah. Fauna tanah/rayap dapat juga mengemisikan gas rumah kaca khususnya metan (biogenic methane) selama proses dekomposisi selulosa oleh simbiosis mikroorganisme (protozoa) di dalam saluran pencernaan (Velu 2011).

Dari uraian diatas diketahui bahwa emisi karbon sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan gambut. Data emisi karbon yang diperoleh pada kondisi lapang atau tanpa adanya perlakuan pemupukan dan bahan amelioran dapat digunakan sebagai baseline/dasar perhitungan emisi karbon (CO2 dan CH4) yang

dilepaskan lahan gambut sebelum diberi perlakuan mitigasi yang dikenal dengan istilah faktor emisi. Faktor emisi CO2 untuk wilayah Kalimantan Tengah,

Kalimantan Selatan, Riau dan Jambi berturut-turut sebesar 475.3; 370.1; 684.6 dan 240.4 mg m-2 jam-1 dengan nilai rata-rata secara keseluruhan sebesar 442.6 mg m-2 jam-1 atau setara dengan 38.8 t ha-1 tahun-1 (Badan Litbang Pertanian 2011). Faktor emisi CO2 tersebut berada pada kisaran yang disebutkan oleh

Rieley et al. (2008) yang melakukan pengukuran emisi di hutan alam yaitu berkisar antara 20 – 40 t ha-1 tahun-1.

Konversi hutan alam menjadi lahan pertanian menyebabkan perubahan kondisi hidrologis gambut karena adanya pembuatan saluran drainase. Kedalaman saluran drainase/penurunan muka air tanah dapat dijadikan indikasi besarnya potensi emisi. Atas dasar tersebut, Hooijer et al. (2010) menyatakan faktor emisi sebesar 0.91 t ha-1 tahun-1 tiap penambahan 1 cm kedalaman drainase. Angka tersebut menghasilkan pendugaan yang berlebih, untuk itu Agus et al. (2010) menyarankan agar faktor emisi CO2 yang dikemukakan oleh Hooijer et al.

(2010) dikoreksi menjadi angka 0.7 t ha-1 tahun-1. Koreksi diperlukan karena faktor emisi umumnya diperoleh berdasarkan pengukuran fluks CO2 dari sungkup

tertutup dimana tercampur aliran gas CO2 dari dekomposisi gambut dan respirasi

akar tanaman.

Faktor-faktor yang mengontrol respirasi gambut meliputi: kimia organik gambut (Yavitt et al. 1997), tingkat humifikasi (Glatzel et al. 2004), suhu gambut (Minkkinen et al. 2007), kelembaban gambut (Waddington et al. 2002) dan kandungan hara (Minkkinen et al. 2007). Biasanya, emisi CO2 lebih tinggi pada

(25)

10

3 METODE

Penentuan areal lokasi penelitian menggunakan metode purposive sampling, yaitu penentuan lokasi secara sengaja yang dianggap representatif. Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama yaitu pengukuran mikrotofografi, pengambilan contoh tanah dan gas rumah kaca (CO2 dan CH4),

sedangkan tahap kedua adalah analisis tanah dan gas rumah kaca di laboratorium.

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah pada koordinat 02o30’30‖ Lintang Selatan dan 114o09’30‖ Bujur Timur (Gambar 2). Lokasi penelitian merupakan endapan gambut dengan ketebalan antara 5 – 7 meter dan substratum klei, tingkat kematangan hemik dan saprik. Lokasi penelitian dapat ditempuh dari Palangkaraya melalui jalan utama (Palangkaraya-Pulang Pisau) dan sampai di Desa Jabiren sekitar ± 1 jam, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kendaraan air (klotok) melalui Sungai Jabiren selama ± 20 menit. Lokasi penelitian berada di antara saluran sekunder yang menghubungkan saluran primer PLG (Pengembangan Lahan Gambut) dengan Sungai Jabiren yang alirannya bermuara di Sungai Kahayan. Landform lokasi penelitian merupakan bagian dari dataran rawa belakang (back swamp) dari Sungai Kahayan. Penggunaan lahan berupa intercropping tanaman karet dan nenas.

(26)

11

Penelitian dilakukan dari bulan Januari - Desember 2013. Analisis tanah dan gas rumah kaca (CO2 dan CH4) dilaksanakan di Laboratorium Tanah Balai Penelitian

Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gas standar CO2 300 ppm

dan CH4 10 ppm serta gas helium (carrier) dengan tingkat kemurnian sangat

tinggi (UHP 99.999%). Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Bor gambut Eijkelkamp dengan volume mata bor 500 cm3 (panjang 50 cm ;

diameter 10 cm2). Bor ini dilengkapi dengan satu pasang handle, pisau dan batang bor hingga kedalaman tertentu. Selain itu diperlukan kunci pas nomor 23 (2 buah); pisau/sendok/sudip plastik; spidol, kantong plastik; kertas label; sikat ijuk pembersih bor; kain lap, dan GPS (Global Positioning System). 2. Peralatan yang digunakan untuk pengambilan dan pengukuran fluks CO2 dan

CH4 (Gambar 3).

a. Jarum suntik 10 ml yang dilengkapi dengan karet penutup jarum untuk menghindari kebocoran gas. Jarum suntik harus dibungkus dengan kertas perak untuk menghindari panas.

b. Termometer, (digunakan untuk mengetahui perubahan suhu dalam sungkup, yang dicatat setelah pengambilan contoh gas pada interval 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21 dan 24 menit.

c. Stop watch, (digunakan untuk penanda interval waktu pengambilan contoh gas).

d. Sungkup gas berbentuk balok terbuat dari bahan polikarbonat (panjang 50 cm; lebar 15 cm; tinggi 30 cm). Bagian atas sungkup dilengkapi dengan lubang yang ditutup dengan septum untuk mengambil contoh gas dan lubang untuk termometer.

e. Micro gas chromatografi tipe CP 4900, (digunakan untuk mengukur fluks CO2 dan CH4).

Gambar 3 Peralatan yang digunakan untuk mengukur fluks CO2 dan CH4

(27)

12

permukaan air gambut pada masing – masing titik pengamatan. Tongkat bambu dimasukan ke dalam lubang hingga mencapai permukaan air gambut dan kedalaman muka air dapat diukur dengan mistar.

Alat lainnya berupa mistar gulung 300 m dan 2 m, selang air dan peralatan lapang lainnya. Analisis tanah di Laboratorium memerlukan alat pH meter, neraca analitik, oven, tanur, cawan porselin, lumpang porselin (mortar dan pestle),

syringe tanpa jarum bervolume 10 ml dan ayakan dengan ukuran lubang 150 μm atau 0.0059 inci.

Prosedur Penelitian

1. Tahap Pertama

Pengukuran mikrotofografi dilakukan pada setiap titik pengamatan untuk mengetahui perbedaan tinggi permukaan tanah dan muka air tanah dengan metode

water pass (prinsip bejana berhubungan). Selang air yang digunakan dalam penelitian ini berdiameter 3/4 inchi sepanjang 25 m dengan bantuan mistar 1 m yang diberi tanda agar selalu tegak lurus dengan permukaan gambut. Pengukuran dimulai dari titik acuan untuk menentukan titik awal kolom air didalam selang (titik nol). Ujung selang lainnya digunakan untuk mengukur titik pengamatan terdekat dengan titik nol. Pemasangan titik pengamatan kedua dan selanjutnya selalu dibantu dengan mistar ukur. Setelah permukaan air di titik kedua tidak bergerak lagi akibat terjadi sistem kesetimbangan air dalam bejana berhubungan, maka selisih tinggi antara titik nol dengan titik yang lain dapat ditentukan (Gambar 4).

Gambar 4 Pengukuran mikrotofografi

Pengambilan contoh tanah dan gas rumah kaca (CO2 dan CH4) dilakukan

(28)

13

Gambar 5 Lokasi pengambilan contoh tanah dan gas karbon di lahan gambut yang ditanami karet dan nenas secara intercropping

Pengukuran simpanan karbon dilakukan pada bulan Juli 2013. Pengambilan contoh tanah dengan bor gambut dilakukan hingga kedalaman 300 cm dengan pertimbangan tinggi muka air tanah terendah saat musim kemarau pada tahun 2012 adalah 150 cm dibawah permukaan tanah, sehingga kedalaman 0 sampai 150 cm merupakan gambut akrotelmik sedangkan kedalaman 150 sampai 300 cm mewakili gambut katotelmik. Pada masing – masing titik pengamatan dilakukan enam kali pengambilan contoh tanah pada titik yang saling berdekatan. Keenam titik pengambilan contoh tanah tersebut dengan rincian tiga titik untuk penetapan simpanan karbon dan tiga titik lainnya untuk análisis pH dan kadar serat sehingga pada setiap titik pengamatan mempunyai ulangan sebanyak tiga kali.

(29)

14

gambut dapat menyebabkan berkurangnya kadar air karena penyusutan volume bahan gambut. Bahan gambut yang terambil oleh mata bor terkadang tidak penuh atau hanya sedikit dari volume sebenarnya, namun dalam penetapan bobot isi,

bahan gambut yang terambil tersebut tetap dibagi sesuai volume mata bor yaitu 500 cm3. Penetapan bobot isi dapat terganggu dengan adanya

bongkahan-bongkahan kayu yang terdapat pada mata bor. Hal ini karena pada gambut tropika utamanya terbentuk dari tumbuhan kayu-kayuan yang tidak mudah lapuk sehingga masih banyak ditemui bahan organik dalam bentuk aslinya seperti batang, cabang dan akar-akar besar. Hal ini pula yang menjadi salah satu penyebab beragamnya nilai bobot isi pada gambut tropika. Namun penggunaan bor gambut memudahkan para surveyor untuk mengambil contoh tanah hingga kedalaman yang jauh dari permukaan tanah, kelebihan ini lah yang tidak dimiliki oleh ring sample atau ring kubus yang hanya dapat mengambil contoh tanah pada lapisan permukaan (± 1 m). Oleh karena itu perlu diketahui faktor koreksi untuk menjembatani perbedaan nilai bobot isi yang diperoleh dari alat bor gambut Eijkelkamp dengan ring sample atau ring kubus.

Pengambilan contoh gas rumah kaca (CO2 dan CH4) dilakukan pada pagi

hari (06.00 – 08.00) mulai bulan Februari sampai Oktober yang mewakili kondisi lahan dalam keadaan basah/musim hujan (Februari - Mei), sedang/peralihan (Juni - Juli) dan kering/musim kemarau (Agustus - Oktober) sehingga diketahui emisi karbon dalam setahun (Gambar 6). Pengukuran tinggi muka air tanah dilakukan satu kali dalam seminggu (Januari sampai Desember 2013) pada 48 buah piezometer dalam luasan lahan 5 hektar.

Gambar 6 Pengambilan contoh gas rumah kaca (CO2 dan CH4) dan profil

piezometer beserta petunjuk dasar perhitungan tinggi muka air tanah Pengukuran fluks CO2 dan CH4 dilakukan dengan metode close chamber

(30)

15

Gambar 7 Pengukuran fluks CO2 dan CH4 dengan alat micro GC tipe CP 4900

Konsentrasi gas CO2 dan CH4 dari contoh gas yang dianalisis akan keluar secara

simultan. Perhitungan fluks pada setiap titik pengamatan menggunakan persamaan sebagai berikut:

(31)

16

Gambar 8 Pengambilan contoh tanah menggunakan bor gambut Eijkelkamp 2.1. Tingkat Dekomposisi Gambut (Volume Serat)

Terhadap gambut segar diambil segenggam dan dimasukkan ke dalam syringe

bervolume 10 ml. Kemudian gambut dimampatkan dengan menekan pompa

syringe dan dilakukan pencatatan berapa volume gambut yang tidak bisa lagi dimampatkan (Vol 1). Gambut yang berada di dalam syringe dipindahkan ke dalam ayakan dengan ukuran lobang 150 μm atau 0,0059 inci. Untuk membilas gambut yang halus digunakan botol semprot atau semprotan air. Sesudah serat halus lolos dari ayakan, serat kasar yang tersisa dimasukan kembali ke dalam

syringe, dimampatkan dan dicatat berapa volume serat kasar (Vol 2). Kadar serat dihitung berdasarkan rumus :

Vol 2/Vol 1X 100%

Kematangan gambut (kadar serat sebelum digosok) dikelompokkan berdasarkan kriteria berikut (Andriesse 1988):

- Gambut saprik : gambut yang sudah melapuk dan kadar seratnya < 33%. - Gambut hemik : gambut setengah lapuk dan kadar seratnya 33 – 66%. - Gambut fibrik : gambut yang belum melapuk dan kadar seratnya > 66%. 2.2. Bobot isi dan Kadar Air

(32)

17

diperlukan waktu 4 sampai 5 x 24 jam untuk mencapai berat konstan. memperoleh berat contoh yang konstan, maka contoh tanah dimasukan kedalam desikator selama kurang lebih 10 menit. Berat kering tanah (Ms) + berat cawan (Mc) ditimbang. Dari penimbangan berat basah dan berat kering contoh tanah serta berat cawan, dapat diperoleh data bobot isi/berat isi dengan perhitungan sebagai berikut :

Apabila satuan berat adalah gram (g) dan satuan volume adalah cm3 maka satuan untuk BI adalah g cm-3 (kg dm-3 atau t m-3). Contoh tanah disimpan untuk analisis kadar bahan organik dengan prosedur pengabuan kering (loss on ignition) sedangkan cawan dibersihkan (dicuci) dan dikeringkan didalam oven pada suhu 105oC selama 1-2 jam. Setelah cawan kering ditimbang beratnya (Mc). Kadar air tanah (berdasarkan volume), KAv, dapat dihitung dengan rumus:

Kadar air berdasarkan berat kering, KAm,

Satuan yang digunakan untuk KAv adalah cm3 cm-3 untuk memberikan indikasi bahwa kadar air dihitung berdasarkan volume. Satuan bisa ditulis dalam bentuk % volume. Satuan untuk KAm adalah g g-1 atau % berat. Nilai kadar air berdasarkan volume (KAv) dapat dikonversi menjadi kadar air berdasarkan berat (KAm) dengan rumus:

KAm = KAv * ρw/BI

dengan ρw adalah berat jenis air yang nilainya mendekati 1 g cm-3 2.3. Kandungan Karbon (Pengabuan Kering, LOI)

Pada analisis dengan metode pengabuan kering, semua bahan organik yang ada dalam contoh tanah dibakar pada suhu 550oC selama 6 jam. Bahan organik yang terbakar akan menguap dan bahan yang tertinggal adalah bahan anorganik seperti tanah liat dan butiran debu dan pasir halus. Kehilangan berat contoh tanah kering oven dalam pembakaran merupakan berat dari bahan organik. Konversi dari berat bahan organik ke berat C-organik menggunakan faktor 1/1,724.

Cara penetapan sebagai berikut :

Sebanyak satu sendok contoh tanah (yang telah diperoleh dari hasil pengeringan untuk memperoleh data bobot isi) digiling/ditumbuk dengan menggunakan lumpung porselen (mortar and pestle) sampai halus. Contoh tanah yang telah

(2a)

(2b)

(2c)

(33)

18

halus ditimbang sebanyak 1 atau 2 g dan dipindahkan secara kuantitatif ke dalam cawan porselin yang sudah diketahui beratnya (Mc). Cawan porselin yang berisi contoh tanah disusun di dalam tanur pemanas (furnace). Suhu tanur dinaikkan secara bertahap dan untuk setiap kenaikan suhu 100oC dibiarkan selama satu jam hingga mencapai 550oC. Pengabuan berlangsung pada suhu 550oC selama 6 jam. Setelah itu tanur dimatikan dan biarkan menjadi dingin selama kurang lebih 8 jam. Abu yang tersisa di dalam cawan ditimbang (Ma). Untuk koreksi kadar air, contoh tanah yang sudah digiling ditimbang sekitar 3 g (BB = berat basah) dan dimasukan ke dalam cawan aluminium yang sudah diketahui beratnya kemudian dimasukan kedalam oven pada suhu 105oC selama 2-4 jam sehingga diperoleh berat kering (BK). Persen kadar airnya (KAm) dapat dihitung dengan rumus:

Persamaan [4] ini sama dengan persamaan [2b] di mana :

Ms + Mw = Mt.

Berat kering tanah yang telah diabukan dapat dihitung dengan rumus,

Persamaan [5] berlaku bila KAm menggunakan satuan fraksi (berat air/berat tanah kering). Akan tetapi bila KAm menggunakan satuan % berat maka persamaan [5] berubah menjadi,

Ms = Mt * (100%- KAm%)

Kandungan Corg gambut berdasarkan berat kering (g/g) yaitu :

Kadar abu dapat dihitung dengan rumus :

Kandungan C organik (Corg) biasanya menggunakan satuan % berat (%) atau fraksi berat bahan organik terhadap berat kering total (berat bahan organik dan berat abu, g/g). Kandungan C per satuan volume tanah dapat dihitung dengan persamaan:

Cv menggunakan satuan g cm-3 atau kg dm-3 atau t m-3 (Mg m-3). Nilai Cv

merupakan berat karbon untuk satu satuan volume tanah.

(4)

(5)

(6)

(7)

(34)

19

2.4. pH tanah

Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion H+ dalam larutan tanah, yang dinyatakan sebagai – log[H+]. Peningkatan konsentrasi H+ menaikkan potensial larutan yang diukur oleh alat dan dikonversi dalam skala pH. Elektrode gelas merupakan elektrode selektif khusus H+, hingga memungkinkan untuk hanya mengukur potensial yang disebabkan kenaikan konsentrasi H+. Potensial yang timbul diukur berdasarkan potensial elektrode pembanding (kalomel atau AgCl). Biasanya digunakan satu elektrode yang sudah terdiri dari elektrode pembanding dan elektrode gelas (elektrode kombinasi). Tahapannya sebagai berikut : Ditimbang 10 gram contoh tanah segar, masukan kedalam botol kocok, ditambahkan 50 ml aquadest. Kocok dengan mesin pengocok selama 30 menit. Suspensi tanah diukur dengan pH meter yang telah dikalibrasi menggunakan larutan buffer pH 7,0 dan pH 4,0.

Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan program MS Excel, untuk melihat variasi data dianalisis dengan galat baku dan digambarkan dengan program sigma plot. Hasil pengukuran aktual fluks CO2 dan CH4 dihubungkan dengan fluktuasi

muka air tanah untuk memperoleh nilai prediksi potensi emisi karbon. Perhitungan besaran simpanan karbon berdasarkan Agus et al. (2011b). yaitu :

Cstock = Corg (%vol) * H * L, dimana :

Corg (%vol) : berat karbon per volume tanah. Satuan Corg (%vol) : g cm-3 atau ton m-3. Corg (%vol) = Corg(%berat) * BD-ash Corg (%berat) = BO/1.724

(35)

20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini disajikan dalam beberapa bagian yaitu : (1) mikrotofografi dan penetapan zona diplotelmik, (2) sifat fisik dan C-organik tanah (3) simpanan karbon tanah, dan (4) emisi gas karbon.

Mikrotofografi dan Penetapan Zona Diplotelmik

(36)

21

Gambar 9. Mikrotofografi lokasi penelitian

Muka air tanah berperan penting dalam proses akumulasi dan dekomposisi gambut yang akan mempengaruhi besaran emisi karbon (CO2 dan CH4).

Mikrotopografi perlu dilakukan untuk menghilangkan pengaruh relief mikro permukaan tanah dalam pengukuran tinggi muka air tanah. Pada wilayah yang cekung dimana muka air tanahnya dangkal akan mengemisikan CO2 lebih rendah

dibandingkan pada wilayah yang lebih tinggi (jauh dari permukaan tanah) sehingga produksi dan emisi karbon di lahan gambut dapat bervariasi pada skala <1 m2 (Jauhiainen et al. 2005). Data tinggi muka air tanah dalam setahun (Lampiran 2) digunakan sebagai dasar penetapan zona gambut akrotelmik dan katotelmik. Dari pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa zona gambut akrotelmik berada pada kedalaman 0 sampai 109 cm sedangkan zona gambut katotelmik pada kedalaman > 109 cm (Gambar 10).

Gambar 10 Batas zona gambut akrotelmik dan katotelmik berdasarkan tinggi muka air tanah yang diukur selama tahun 2013

-200 -150 -100 -50 0 50 100

0 m 20 m 40 m 60 m 80 m 100 m 120 m 140 m 160 m 180 m 200 m

cm

Transek III

Tinggi Muka Air Tanah (cm) Permukaan Tanah (cm)

Gambut Akrotelmik

Gambut Katotelmik Muka air terendah Saat musim kemarau

Bulan

Muka air tanah fluktuatif

(37)

22

Zona akrotelmik merupakan lapisan aktif gambut tempat akar tanaman yang kondisinya sering reduktif-oksidatif seiring dengan fluktuasi muka air tanah walaupun pada suatu waktu dapat jenuh. Zona katotelmik merupakan lapisan gambut yang hampir tidak terdapat oksigen (Ivanov 1981). Dalam kondisi ideal, konduktivitas hidrolik gambut akrotelmik jauh lebih tinggi daripada gambut katotelmik. Tidak seperti akrotelmik, katotelmik tetap permanen jenuh karena tingkat pergerakan air hampir tidak ada. Gambut akrotelmik akan menurun kapasitas menyimpan airnya secara signifikan bila ada aktivitas pembuatan saluran drainase, hal ini karena degradasi gambut akibat oksidasi dan kompresi diiringi dengan terjadinya subsiden. Pada zona akrotelmik, gambut fibrik dapat menyimpan air lebih banyak dari gambut hemik dan saprik tetapi pada zona katotelmik, kemampuannya bervariasi menurut jarak terhadap muka air tanah.

Sifat Fisik dan C-organik Tanah

Kapasitas menyimpan air yang tinggi pada gambut dapat dicirikan salah satunya oleh nilai kadar air. Kapasitas menyimpan air yang tinggi merupakan salah satu sifat alami dan penting dari gambut. Kemampuan tersebut disebabkan adanya gugus-gugus fungsional yang bersifat mengikat air (Valat et al. 1991). Kemampuan maksimum gambut menyimpan air sangat besar berkisar antara 200 sampai 1000% atas dasar bobot atau 50-90% atas dasar volume (Andriesse 1988). Tingginya kadar air karena struktur gambut yang kasar (berserat), sangat longar dan berongga yang dapat menampung sejumlah besar air. Selain itu, gambut memiliki bobot isi dan daya dukung yang rendah sebagai hasil dari tingginya daya apung dan volume pori. Nilai kadar air dipengaruhi oleh tinggi muka air tanah, bahan asal pembentuk gambut dan tingkat dekomposisi gambut. Dekomposisi gambut menyebabkan hilangnya struktur gambut dan mengubah komposisi kimia utama gambut yang dipengaruhi oleh komponen utama pembentukan seperti kandungan mineral, kandungan organik, kelembaban dan udara. Ketika salah satu dari komponen ini berubah, maka akan mengakibatkan perubahan sifat fisik seluruh gambut. Tingkat dekomposisi mempengaruhi porositas gambut dan porositas dikendalikan oleh tata letak ukuran partikel atau serat gambut.

(38)

23

(a) (b)

Gambar 11 (a) Variasi bobot isi, kadar air dan C-organik pada lapisan gambut diplotelmik, (b) contoh tanah pada salah satu titik pengamatan (ber-urutan dari atas ke bawah : 50 cm, 100 cm, 150 cm, 200 cm, 250 cm, 300 cm)

Gambar 11 memperlihatkan variasi nilai bobot isi, kadar air dan C-organik serta contoh tanah pada salah satu titik pengamatan. Nilai bobot isi meningkat dengan meningkatnya kedalaman tanah sedangkan kadar air dan C-Organik menurun dengan bertambahnya kedalaman tanah (Gambar 11a). Menurunnya kapasitas menyimpan air karena ukuran partikel gambut menjadi lebih halus dan lebih padat (Gambar 11b). Hal ini dapat disebabkan antara lain karena terdapatnya bahan mineral yang tercampur pada gambut sehingga kadar air lebih rendah dan bobot isi yang terukur lebih tinggi berkisar antara 0.16 – 0.28 g cm-3 diikuti dengan menurunnya nilai C-organik atau meningkatnya kadar abu. Tingginya kadar abu karena adanya pengkayaan bahan mineral dari luapan sungai akibat pengaruh pasang surut dan terakumulasi pada lapisan gambut. Menurut Chaudhari

(39)

24

Gambar 12 Sebaran nilai kadar abu pada beberapa nilai bobot isi

Pada gambut katotelmik terlihat peningkatan kadar abu yang sejalan dengan meningkatnya bobot isi sedangkan pada gambut akrotelmik meningkatnya bobot isi tidak selalu diikuti dengan meningkatnya kadar abu (Gambar 12). Hal ini semakin memperjelas keberadaan bahan mineral dalam lapisan gambut terutama pada kedalaman 150 – 300 cm yang ditunjukan dengan nilai kadar abu antara 16.55 – 36.43% dan bobot isi antara 0.147 – 0.216 g cm-3. Keberadaan bahan mineral juga terlihat pada kedalaman 109 – 150 cm walaupun tidak sebesar lapisan dibawahnya karena masih terdapat banyak bahan gambut dengan bobot isi antara 0.070 – 0.163 g cm-3 dan kadar abu berkisar antara 2.26 – 15.74%.

(40)

25

yang lebih halus dan padat. Pada zona ini, semua lapisan merupakan bahan gambut dan masih dijumpai serat – serat tanaman terutama pada kedalaman 0 – 50 cm.

Besaran nilai bobot isi dipengaruhi pula oleh kadar air. Penurunan bobot isi akan meningkatkan kadar air gambut (Gambar 13). Kedalaman gambut akrotelmik 0 – 50 cm mempunyai kadar air yang lebih rendah dibandingkan kedalaman 50 – 109 cm. Hal ini disebabkan karena pengaruh pemadatan yang dapat menyebabkan berkurangnya daya apung pada permukaan gambut sehingga menurunkan kapasitas menyimpan air. Sebaliknya pada kedalaman 50 – 100 cm, kondisi gambut yang lembab meningkatkan kadar air. Kondisi berbeda terlihat pada gambut katotelmik, dimana pada kedalaman 150 – 300 cm dengan bobot isi yang tinggi mempunyai kadar air yang lebih rendah dari lapisan diatasnya yaitu 507.55 – 714.77%. Hal ini berkaitan dengan adanya bahan mineral pada gambut yang mempunyai kemampuan memegang air lebih rendah. Dari gambar tersebut diketahui bahwa kadar air pada gambut akrotelmik bervariasi pada rentang nilai bobot isi yang sempit sedangkan pada gambut katotelmik mempunyai rentang nilai bobot isi yang luas yaitu 0.070 – 0.216 g cm-3.

(41)

26

Simpanan Karbon dan Kemasaman Tanah Gambut

Simpanan karbon pada gambut sangat dipengaruhi oleh bobot isi dan persentase karbon/kadar abu (Hooijer et al. 2006). Dari hasil penelitian diketahui bahwa simpanan karbon pada gambut akrotemik sebesar 658.68 ± 22.99 t C ha-1 (Gambar 14 dan Lampiran 1) atau tiap 1 cm kedalaman gambut akrotelmik mempunyai simpanan karbon sebesar 6.59 t C ha-1 sedangkan cadangan karbon pada gambut yang mewakili zona katotelmik (109-300 cm) sebesar 1 335.68 ± 30.67 t C ha-1. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa terdapat korelasi positif antara kedalaman gambut dengan simpanan karbon sehingga simpanan karbon dapat diduga dengan menggunakan data kedalaman gambut. Nurzakiah et al. (2013) melaporkan bahwa gambut yang didominasi tingkat kematangan fibrik dengan kedalaman 36 – 338 cm di Desa Tegal Arum, Kalimantan Selatan mempunyai simpanan karbon yang bervariasi yaitu 161.8 – 1 142.2 t C ha-1 sehingga untuk gambut dangkal di lokasi tersebut mempunyai simpanan karbon sekitar 3.45 t C ha-1 cm-1. Angka ini berada di bawah angka yang disebutkan oleh Page et al. (2002) yaitu sekitar 6.00 t C ha-1 cm-1 dan yang diperoleh pada penelitian ini dimana tingkat kematangan gambutnya didominasi hemik dan saprik.

Kadar serat dapat dijadikan indikator tingkat kematangan gambut. Butiran gambut yang dikelompokkan sebagai serat adalah butiran yang tidak lolos saringan 100 mesh atau setara dengan butiran yang bergaris tengah > 0.15 mm. Berdasarkan kadar serat sebelum digosok (unrubbed fibre), gambut fibrik mengandung > 66%, hemik 33–66%, dan saprik < 33% (Andriesse 1988). Kadar serat pada penelitian ini berada dalam kisaran 16.28 – 35.56%. Berbedanya tingkat kematangan gambut menyebabkan perbedaan simpanan karbon. Perbedaan besaran simpanan karbon akan mempengaruhi potensi emisi karbon.

Gambar 14 Hasil pengukuran simpanan karbon dan beberapa parameter lainnya pada gambut akrotelmik dan katotelmik

(42)

27

Pendugaan simpanan karbon dapat pula dilakukan dengan pendekatan kerapatan karbon (Wellock et al. 2011), namun pendekatan ini harus dilakukan dengan lebih rinci karena terdapatnya variabilitas ketebalan dan kematangan gambut dalam suatu lahan. Nilai kerapatan karbon meningkat dengan meningkatnya kematangan gambut, tetapi tidak diikuti dengan meningkatnya kandungan karbon seperti yang dilaporkan oleh Dariah et al (2012), hal ini dapat terjadi karena proses dekomposisi baik secara alami ataupun akibat aktivitas manusia.

Proses dekomposisi gambut menghasilkan asam-asam organik yang akan membentuk lebih banyak koloid organik dalam komplek jerapan. Asam- asam organik tersebut berasal dari kelompok aromatik terutama dari derivat asam fenolat (Gambar 15). Urutan asam organik yang banyak ditemui dari konsentrasi tertinggi sampai terendah adalah sebagai berikut: asam ferulat ≈ asam synapat > asam p-kumarat > asam p-hidroksibenzoat > asam vanilat > asam syringat (Sabiham 2010). Asam-asam organik tersebut dikategorikan sebagai sumber utama pelepasan karbon. Hal ini berhubungan dengan tingginya konsentrasi dari golongan karboksil (-COOH) dan metoksil (-OCH3). Karboksil (-COOH)

yang akan terurai secara sempurna menjadi CO2 dan CH4 melalui peristiwa

oksidasi reduksi (Van der Gon dan Neue 1995). Emisi karbon merupakan hasil dari proses dekomposisi gambut menjadi senyawa karbon dengan rantai pendek.

Gambar 15 Struktur kimia beberapa derivat asam fenolat : (1) Asam Ferulat; (2) Asam Synapat; (3) Asam ρ-Kumarat; (4) Asam Vanilat; (5) Asam Syringat; (6) Asam ρ-Hidroksibenzoat

(43)

28

dengan ikatan C-karboksilat (Chapman et al. 2001). Gugus karboksilat hasil biodegradasi lignin berperan penting dalam proses pemasaman pada tanah gambut. Disosiasi asam-asam organik ini akan melepaskan ion H+ ke dalam banyaknya bahan gambut pada zona akrotemik berbeda dengan gambut katotelmik yang terdapat pengkayaan bahan mineral. pH tanah mempengaruhi rasio perubahan CO2 ke CH4 yang berasal dari dekomposisi anaerobik/zona

katotelmik.

Emisi Gas Karbon

Zona akrotelmik utamanya mengemisikan gas karbon dioksida (CO2) yang

dihasilkan melalui proses dekomposisi secara aerob sedangkan zona katotelmik akan mengemisikan gas metan (CH4) melalui proses dekomposisi secara anaerob.

Namun terbentuknya gas metan tidak hanya karena kondisi yang anaerob tetapi harus didukung dengan nilai pH 5.5 – 7.0 dan potensial redoks (Eh) < -200 mV (Mer dan Roger 2001). Nilai pH dan Eh tersebut sulit ditemui pada gambut Indonesia yang kahat hara (walaupun kaya bahan organik) karena mengandung polifenol yang tinggi seperti lignin. Kadar hara rendah dapat mengurangi tingkat respirasi. Distribusi hara antara fraksi labil dan non labil sangat penting mengingat keduanya dapat mengatur ketersediaan hara bagi organisme dekomposer (Chimner dan Ewel 2005). Akibat rendahnya hara pada gambut maka sulit terjadi penurunan nilai redoks potensial sehingga pelepasan karbon dalam bentuk CO2 lebih besar dari CH4.

Selama periode pengamatan, gas CH4 berada pada konsentrasi yang sangat

rendah sehingga tidak terdeteksi oleh alat mikro GC type CP 4900. Batas deteksi alat tersebut adalah 1 ppm, sehingga emisi yang terukur hanya berasal dari gas CO2. Oleh karena itu, prediksi potensi emisi karbon hanya dilakukan pada

gambut akrotelmik, walaupun pada gambut katotelmik mempunyai potensi untuk mengemisikan gas CH4 jika kondisi atau syarat lingkungan terbentuknya gas CH4

terpenuhi. Tetapi dalam penelitian ini kondisi tersebut tidak terpenuhi sehingga tidak dapat dilakukan prediksi potensi emisi karbon pada gambut katotelmik. Dari hasil pengukuran fluks CO2 yang telah dilakukan diperoleh rerata emisi

sebesar 26.5 t ha-1 tahun-1.

Gambar 16 memperlihatkan fluks CO2, fluktuasi muka air tanah dan

regresi kedua parameter tersebut serta fluktuasi curah hujan selama penelitian berlangsung. Fluks CO2 pada musim kemarau lebih tinggi dan berbeda dengan

Gambar

Gambar  1  Skema produksi dan emisi gas karbon
Gambar 2  Peta lokasi penelitian (Badan Litbang Pertanian 2011)
Gambar 4  Pengukuran mikrotofografi
Gambar 5 Lokasi pengambilan contoh tanah dan gas karbon di lahan gambut yang ditanami karet dan nenas secara intercropping
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[1] Karakteristik komunikasi berdasarkan hasil pemindaian spektrum oleh Cognitive Radio harus memiliki kemampuan merekonfigurasi parameter kerja antena, seperti

Bentuk relasi ini menggambarkan adanya hubungan timbal balik yang baik antara petugas atau staf bagian Ekonomi dalam proses perijinan dengan pengusaha, di mana

Steker atau Staker berfungsi untuk menghubungkan alat listrik dengan aliran listrik yang ditancapkan pada kanal stop kontak sehingga alat listrik tersebut dapat digunakan. Alat

Berdasarkan hasil percobaan didapatkan bahwa dengan menggunakan metode deteksi perubahan pada tegangan dapat mendeteksi pada jarak kurang lebih 30cm baik untuk

yang digunakan pilihan mandatory 2 Propinsi Bank Pilih lokasi bank pilihan Mandatory 3 Bank Pilih bank pilihan Mandatory 4 Nomor rekening Input no rekening ketik Mandatory 5

Jamalludin dan Zaidatun (2002) menyatakan bahawa pautan atau links membolehkan suatu navigasi tidak linear berbentuk hypermedia dapat dihasilkan. Ini dapat

Pola korelasi hasil penelitian di atas sesuai dengan hasil penelitian Singh dan Acharya (1969) yang menduga korelasi genetik produksi kumulatif bulanan dengan produksi 305