• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberian imunomodulator pada hewan coba sebelum vaksinasi ditujukan untuk merangsang sistem pertahanan tubuh induk sapi. Gambar 6 memperlihatkan bahwa setelah pemberian imunomodulator jumlah leukosit menurun. Penurunan jumlah leukosit ini diduga disebabkan oleh menurunnya salah satu jenis leukosit di dalam darah yaitu jumlah limfosit (Gambar 7). Menurut Tizard (2000), pemberian imunomodulator akan meningkatkan pembentukan antibodi, yang berasal dari diferensiasi limfosit sehingga limfosit dimobilisasi ke jaringan limfoid (Anderson & Lorraine 2006) dan jumlah limfosit di dalam darah menurun. Selanjutnya pada Gambar 8, 9, dan 10 dapat dilihat bahwa setelah pemberian imunomodulator jumlah monosit, neutrofil dan eosinofil meningkat. Menurut Widianto (1987), pemberian imunomodulator akan meningkatkan proliferasi sel yang berperan pada imunitas seperti makrofag, granulosit, limfosit T dan B. Pemberian imunomodulator juga merangsang sintesis sitokin dan dapat meningkatkan kemampuan fagositik dengan mengaktifkan makrofag. Prinsip imunomodulator yaitu suatu zat yang berasal dari bahan biologic atau sintetik yang merangsang sistem pertahanan tubuh non spesifik (Tizard 2000).

4.1. Jumlah Leukosit Total

Fungsi leukosit adalah untuk mempertahankan tubuh melawan serangan benda asing (Colville & Bassert 2002). Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral terhadap organisme asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis, leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos sel-sel endotel (Zukesti 2003).

Gambar 6 memperlihatkan rataan jumlah leukosit induk sapi FH bunting pada saat sebelum dan setelah divaksin AI H5N1 inaktif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah leukosit total sapi FH bunting setelah divaksin AI H5N1 inaktif mengalami peningkatan berturut-turut dari minggu ke-7 hingga minggu ke-5 sebelum melahirkan. Peningkatan leukosit ini diduga disebabkan karena vaksin AI yang masuk ke dalam tubuh sapi telah memicu peningkatan salah satu jenis leukosit di dalam darah. Menurut Coles (1986), sumsum tulang akan memproduksi dan memobilisasi leukosit ke peredaran darah sebagai respon terhadap vaksinasi.

7.983 7.55 7,983 8,117 8,667 7,633 8.15 8,117 6.8 7 7.2 7.4 7.6 7.8 8 8.2 8.4 8.6 8.8 9 8 7 6 5 4 3 2 Le u k o si t (1 0 3/µ L)

Waktu (Minggu sebelum melahirkan)

Sebelum imunomodulator Sebelum vaksinasi Vaksinasi I Vaksinasi II Vaksinasi III 0

Gambar 6 Rataan jumlah leukosit total pada induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi

Puncak peningkatan jumlah leukosit total terjadi pada minggu ke-5. Hal ini diduga disebabkan oleh pemberian vaksin kedua (booster) yang merangsang pembentukan respon imun sekunder sehingga jumlah leukosit total meningkat lebih banyak pada 1 minggu setelah vaksinasi kedua. Respon imun sekunder ini berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan respon imun primer karena adanya sel-sel pengingat (sel memory) dari kontak pertama dengan imunogen, sehingga sel-sel pengingat berproliferasi untuk membentuk klona sel dalam jumlah yang besar (Anderson & Lorraine 2006). Menurut Conner et al. (1967), jumlah leukosit pada minggu ke-5 ini (8,667x103 / µL) masih berada di dalam kisaran normal (7,646±1,636)x103 /µL.

Jumlah leukosit total selanjutnya mengalami penurunan pada minggu ke-4. Penurunan ini diakibatkan oleh adanya penurunan salah satu jenis leukosit di dalam darah. Penurunan jumlah leukosit ini pada banyak spesies menurut Jain (1993) berasal dari penurunan jumlah neutrofil dan/atau penurunan jumlah limfosit. Pada minggu ke-4 ini terjadi penurunan jumlah limfosit (Gambar 7), yang diduga disebabkan oleh adanya diferensiasi limfosit menjadi sel-plasma untuk menghasilkan antibodi (Tizard 1982). Menurut Jain (1993), pembentukan antibodi seringkali tidak ditunjukkan oleh tingginya jumlah limfosit di peredaran darah.

Jumlah leukosit total kemudian mengalami peningkatan kembali pada minggu ke-3 dan relatif konstan hingga minggu ke-2 sebelum induk sapi melahirkan. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya ulangan penambahan antigen asing melalui pemberian

vaksin AI yang ketiga, yang dapat memicu peningkatan jumlah leukosit total di dalam darah. Peningkatan jumlah leukosit total ini merupakan respon fisiologis untuk melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme (Anderson & Lorraine 2006). Menurut Meyer & Harvey (2004), peningkatan jumlah leukosit total dalam darah terjadi karena adanya peningkatan salah satu jenis leukosit di dalam darah yang pada umumnya disebabkan oleh meningkatnya jumlah neutrofil dan/atau limfosit. Peningkatan pada minggu ke-3 dan minggu ke-2 mungkin juga merupakan respons fisiologis induk sapi menjelang kelahiran. Mallard et al. (1997) melaporkan bahwa selama periode peripartum terjadi stres yang melepaskan hormon glukokortikoid. Menurut Colville & Bassert (2002), stres akan menyebabkan peningkatan sekresi ACTH yang mengakibatkan peningkatan glukokortikoid di dalam darah. Mehzard et al. (2002) juga melaporkan bahwa sebelum dan setelah partus jumlah leukosit dan neutrofil meningkat sebagai respons terhadap meningkatnya kadar kortisol. Menurut Nazifi et al. (2008), peningkatan jumlah leukosit secara bertahap terjadi ketika mendekati partus. Secara umum Gambar 6 memperlihatkan bahwa jumlah leukosit total setelah vaksinasi berada di atas jumlah leukosit total sebelum vaksinasi, namun demikian jumlahnya masih berada dalam kisaran normal menurut Conner et al (1967) untuk umur kebuntingan 8 dan 9 bulan masing-masing yaitu (7,646±1,636)x103 /µ L dan (7,640±2,446)x103 /µ L.

Jumlah leukosit total meningkat pada keadaan fisiologis dan sebagai respon terhadap adanya penyakit. Leukositosis fisiologis sering terjadi pada hewan stres. Stres ini dapat berupa stres fisik, emosi atau stres yang diinduksi oleh penyakit. Perubahan jumlah leukosit total pada keadaan ini diperantarai oleh pelepasan epinefrin dan kortikosteroid. Perbedaan utama pada respons yang diperantarai hormon-hormon ini adalah 1) pada sekresi epinefrin terjadi leukositosis yang bersifat sementara dan sangat singkat muncul dalam sirkulasi darah. Pelepasan epinefrin ini mengakibatkan mobilisasi neutrofil dan limfosit dari pool marginal ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi neutrofilia dan limfositosis yang bersifat sementara, 2) pada kortikosteroid leukositosis berlangsung lebih lama di dalam sirkulasi. Pelepasan kortikosteroid ini mengakibatkan kondisi neutrofilia dan limfopenia, yaitu dengan cara meningkatkan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang dan menurunkan mobilisasi neutrofil ke jaringan. Pada limfosit mengalami limfolisis di dalam darah dan membawa limfosit ke dalam jaringan limfoid (Jain 1993).

4.221 2,701 4,221 3,777 4,873 3,767 3,387 3,777 0 1 2 3 4 5 6 9 8 7 6 5 4 3 2 Li m fo si t (1 0 3/µ L)

Waktu (Minggu sebelum melahirkan)

Sebelum imunomodulator Sebelum vaksinasi Vaksinasi I Vaksinasi II Vaksinasi III 4.2. Limfosit

Limfosit berperan penting dalam menghasilkan kekebalan humoral dan kekebalan seluler (Jain 1993). Limfosit meninggalkan sumsum tulang dan tinggal di dalam berbagai organ limfoid. Terdapat dua populasi utama limfosit yaitu limfosit B (sel B) dan limfosit T (Sel T) (Kuby et al. 2007). Limfosit berperan penting dalam mendapatkan kekebalan dapatan (adaptive immunity) (Kuby et al. 2007).

Gambar 7 Rataan jumlah limfosit pada induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi

Gambar 7 memperlihatkan rataan jumlah limfosit induk sapi FH bunting pada saat sebelum dan setelah divaksin AI H5N1 inaktif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah limfosit pada induk sapi FH bunting setelah divaksin AI H5N1 mengalami peningkatan pada 1 minggu setelah vaksinasi pertama dan menurun pada 2 minggu setelah vaksinasi pertama. Kemudian jumlah limfosit meningkat kembali pada 1 minggu setelah vaksinasi kedua. Peningkatan jumlah limfosit ini merupakan salah satu bentuk respon individu sapi terhadap adanya paparan antigen asing yaitu vaksin AI. Vaksin AI ini diduga telah merangsang peningkatan jumlah limfosit di dalam darah. Menurut Tizard (1982), bila antigen disuntikkan ke dalam jaringan, sedikit kerusakan jaringan akan merangsang sel fagositik dibawah faktor kemotaktik bermigrasi ke tempat suntikan. Mula-mula neutrofil dan kemudian makrofag. Antigen ini selanjutnya diolah dan akhirnya merangsang tanggap kebal. Menurut Wibawan et al. (2003), antigen yang berhasil melewati sistem pertahanan non spesifik akan berhadapan dengan makrofag yang berfungsi sebagai Antigen Precenting Cell (APC) yang memfragmentasi antigen

tersebut dan akan mempresentasikannya kepada sel limfosit T. Interaksi APC dan sel T ini akan menginduksi limfosit B menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi. Menurut Ganong (1995), pada keadaan ini sel dirangsang untuk membelah, membentuk klona sel yang berespon terhadap antigen tersebut. Menurut Jain (1993), lymphokine dari sel T yang distimulasi antigen akan meningkatkan limfopoiesis. Menurut Coles (1986), peningkatan jumlah limfosit terjadi karena vaksinasi dan pada infeksi kronis ketika ada rangsangan antigen yang konstan yang menghasilkan peningkatan jumlah limfosit T. Anderson & Lorraine (2006) melaporkan bahwa sel limfosit B berperan dalam imunitas humoral sedangkan sel limfosit T berperan dalam imunitas seluler.

Puncak peningkatan jumlah limfosit terjadi pada minggu ke-5 (1 minggu setelah divaksinasi II). Hal ini merupakan bentuk respon imun sekunder setelah sebelumnya terpapar oleh vaksin AI yang pertama. Setelah keterpaparan terhadap antigen tertentu, sejumlah kecil sel B dan sel T aktif tetap bertahan sebagai sel memory B dan sel memory T, sel-sel ini diubah menjadi sel efektor pada paparan berikutnya terhadap antigen yang sama. Menurut Tizard (1982), limfosit berperan dalam memproduksi antibodi atau sebagai sel efektor khusus untuk menanggapi antigen yang terikat pada makrofag. Menurut Conner et al. (1967), jumlah limfosit pada minggu ke-5 ini (4,873x103 / µL) masih berada di dalam kisaran normal (4,721±1,383)x103 /µL.

Penurunan jumlah limfosit pada minggu ke-6 (2 minggu setelah vaksinasi I) dan minggu ke-4 (2 minggu setelah vaksinasi II) diduga disebabkan karena adanya diferensiasi sel-sel limfosit menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi. Antigen menginduksi proliferasi limfosit B menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi dan sel memory B (Kuby et al. 2007). Pembentukan antibodi terjadi di dalam organ-organ limfoid sekunder. Saat tubuh terpapar oleh suatu imunogen, maka kelompok (folikel limfoid) di dalam korteks kelenjar getah bening akan membentuk sentrum germinativum sebagai pusat yang aktif untuk pembelahan sel B, yang berproliferasi dan mengalami pematangan pesat menjadi sel-sel yang menghasilkan imunoglobulin (Anderson & Lorraine 2006). Sintesis antibodi terutama terjadi di dalam limfonodus dan sisanya terjadi di dalam limpa, dan sumsum tulang, termasuk juga di dalam peyer peches. Jain (1993) melaporkan bahwa respon imun yang mengarah pada pembentukan antibodi seringkali tidak ditunjukkan oleh tingginya jumlah limfosit di peredaran darah.

Tizard (2000) melaporkan bahwa pemberian antigen menyebabkan tubuh hewan akan menjalankan respon kekebalan selular dan humoral. Limfosit berperan dalam mempresentasikan antigen yang akan menginduksi pembentukan antibodi di limfonodus dan limpa. Studi yang dilakukan oleh Noviyanti (2008) membuktikan bahwa antibodi terhadap AI terdeteksi di dalam darah sapi FH bunting yang divaksin dengan vaksin AI. Penurunan jumlah limfosit pada minggu ke-6 ini, juga diduga disebabkan oleh adanya faktor stres yang menurunkan jumlah limfosit di dalam darah. Seperti yang dijelaskan oleh Colville & Bassert (2002) bahwa stres akan menyebabkan peningkatan sekresi ACTH yang mengakibatkan peningkatan glukokortikoid di dalam darah. Menurut Jain (1993), efek kortikosteroid terhadap limfosit adalah limfolisis dan limfosit diasingkan di dalam jaringan limfoid (Duncan & Keith 1986). Hal ini diikuti dengan tingginya jumlah neutrofil dan rendahnya jumlah eosinofil di dalam darah (Jain 1993).

Secara umum jumlah limfosit relatif konstan pada minggu ke-4, ke-3 sampai dengan minggu ke-2 sebelum induk sapi melahirkan, namun jumlahnya masih lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum vaksinasi. Hal ini dapat disebabkan oleh antigen yang muncul telah dikenali oleh tubuh sehingga direspon lebih cepat. Menurut Tizard (2000), pemberian dosis antigen ketiga ditunjukkan oleh respon imun yang lebih cepat dan respon antibodi yang tinggi. Gambar 7 memperlihatkan bahwa jumlah limfosit setelah vaksinasi I, II, dan III berada di atas jumlah limfosit sebelum vaksinasi, namun jumlahnya masih berada dalam kisaran normal untuk umur kebuntingan 8 dan 9 bulan, masing-masing yaitu (4,721±1,383)x103 /µL dan (4,573±1,358)x103 /µL (Conner et al. 1967). Peningkatan jumlah limfosit ini menjadi salah satu penyebab terjadinya peningkatan jumlah leukosit total. Limfositosis terjadi pada hewan yang mengalami peradangan kronis (Meyer & Harvey 2004) dan pada tahap penyembuhan infeksi tertentu (Coles 1986). Limfosit sangat berperan penting dalam regulasi respon kekebalan dapatan, kekebalan bawaan, kekebalan humoral, kekebalan seluler, dan reaksi hipersensitivitas (Haen 1995). Peningkatan jumlah limfosit juga terjadi akibat respon epinefrin, tetapi peningkatan ini bersifat sementara (Jain 1993).

4.3. Monosit

Monosit merupakan sel makrofag yang belum matang dan mempunyai sedikit kemampuan untuk melawan agen-agen penyebab infeksi. Namun saat monosit masuk

0.173 0.24 0,173 0.157 0,305 0.624 0,105 0.157 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 9 8 7 6 5 4 3 2 M o n o si t (1 0 3/µL) Sebelum imunomodulator Sebelum vaksinasi Vaksinasi I Vaksinasi II Vaksinasi III

Waktu (Minggu sebelum melahirkan)

ke jaringan, ukuran sel dapat membesar sampai 5 kali lipat dan di dalam sitoplasmanya berkembang begitu banyak lisosom dan mitokondria, dan disebut makrofag yang sangat mampu menyerang agen penyakit (Guyton & Hall 1997). Makrofag berperan untuk melakukan proses fagositosis dan menghacurkan partikel asing dan jaringan mati serta mengolah bahan asing tersebut sehingga membangkitkan tanggap kebal (Tizard 1982).

Gambar 8 memperlihatkan rataan jumlah monosit induk sapi FH bunting pada saat sebelum dan setelah divaksin AI H5N1 inaktif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah monosit pada sapi FH bunting setelah vaksinasi pertama mengalami penurunan pada minggu ke-7 dan minggu ke-6 sebelum induk sapi melahirkan. Kemudian jumlah monosit mulai mengalami peningkatan pada minggu ke-5 dan mencapai jumlah tertinggi pada minggu ke-4, atau pada 1 dan 2 minggu setelah vaksinasi kedua. Penurunan jumlah monosit pada minggu ke-7 dan minggu ke-6 ini dapat disebabkan oleh keterpaparan antigen pada vaksinasi AI pertama sebagai bentuk respon imun primer, yaitu dengan cara segera memobilisasi sel-sel monosit yang ada di dalam darah ke dalam jaringan untuk menjadi makrofag dan memfagositosis antigen asing. Peran utama sel sistem fagositik mononuklear ini adalah melakukan fagositosis dan menghancurkan partikel asing dan jaringan mati, dan mengolah bahan asing sedemikian rupa sehingga bahan asing itu dapat membangkitkan tanggap kebal. Fagositosis oleh makrofag merupakan proses yang sama dengan neutrofil (Tizard 1982).

Jumlah monosit pada minggu ke-5 (1 minggu setelah vaksinasi II) dan ke-4 (2 minggu setelah vaksinasi II) meningkat lebih tajam. Hal ini diduga disebabkan oleh respon imun sekunder sehingga jumlah monosit di dalam darah ditingkatkan untuk segera masuk ke dalam jaringan. Menurut Jain (1993), sebagai respon terhadap adanya penyakit, jumlah produksi dan pelepasan monosit ditingkatkan dari sumsum tulang ke dalam darah. Kuby et al. (2007) melaporkan bahwa monosit bersirkulasi di dalam darah dan akan bermigrasi ke dalam jaringan dan berdiferensiasi menjadi makrofag jaringan yang spesifik.

Jumlah monosit mengalami penurunan pada minggu ke-3 (1 minggu setelah vaksinasi III) dan sedikit meningkat pada minggu ke-2 (2 minggu setelah vaksinasi III). Penurunan ini dapat terjadi karena antigen yang sama telah dikenali oleh tubuh dan direspon lebih cepat oleh sistem imun tubuh. Di dalam jaringan, monosit berubah menjadi makrofag yang berperan penting dalam peradangan yang kronis. Monosit berkumpul di daerah yang mengalami peradangan dan jaringan yang rusak dalam merespon faktor-faktor kemotaktik (Jain 1993). Pengaruh kemotaktik ini akan merangsang makrofag untuk memfagosit sel-sel yang mati (Meyer & Harvey 2004). Gambar 8 menunjukkan bahwa jumlah monosit setelah vaksinasi pertama dan ketiga lebih rendah dibandingkan dengan jumlah monosit pada saat sebelum vaksinasi. Sedangkan jumlah monosit setelah vaksinasi kedua lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah monosit pada saat sebelum vaksinasi. Jumlah monosit tertinggi dicapai pada minggu ke-4 yaitu pada 2 minggu setelah vaksinasi kedua. Namun demikian jumlah ini masih berada dalam kisaran normal (25-840/µ L) (Jain 1993).

Monosit memfagosit dan memproses antigen sebelum limfosit memicu respon antibodi atau kekebalan seluler. Monosit berperan penting dalam pertahanan tubuh melawan invasi organisme patogen dengan penelanan dan fagositosis serta berperan dalam aktivasi respon imun dapatan (Jain 1993). Peningkatan jumlah monosit menurut Jain (1993) dapat terjadi pada respon peradangan yang kronis. Menurut Duncan & Keith (1986), peningkatan monosit dapat terjadi pada keadaan neutrofilia, termasuk terhadap respon epinefrin dan kortikosteroid.

2.313 2.438 2,313 3.646 2,734 1,941 3,388 3.646 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 9 8 7 6 5 4 3 2 N e u tr o fi l (1 0 3/µ L) Sebelum imunomodulator Sebelum vaksinasi Vaksinasi I Vaksinasi II Vaksinasi III

Waktu (Minggu sebelum melahirkan) 4.4. Neutrofil

Jumlah neutrofil di dalam darah meningkat cepat pada keadaan infeksi akut dan kerusakan jaringan (Frandson 1992). Neutrofil merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik, memfagosit partikel kecil dengan aktif (Zukesti 2003).

Gambar 9 memperlihatkan rataan jumlah neutrofil induk sapi FH bunting pada saat sebelum dan setelah divaksin AI H5N1 inaktif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah neutrofil sapi FH bunting setelah divaksin AI H5N1 mengalami peningkatan pada 2 minggu setelah vaksinasi pertama menjadi 3,646x103 /µ L, dan pada minggu ke-3 dan ke-2 sebelum induk melahirkan atau 1 dan 2 minggu setelah vaksinasi ketiga, masing-masing menjadi 3,388x103 /µL dan 3,646x103 /µL. Menurut Conner et al. (1967), nilai ini masih berada di dalam kisaran normal induk sapi umur kebuntingan 8 dan 9 bulan, masing-masing yaitu (2,318±1,999)x103 /µL dan 2,578±1,072x103 /µ L.

Gambar 9 Rataan jumlah neutrofil pada induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi

Peningkatan jumlah neutrofil pada minggu ke-6, ke-3 dan ke-2 diduga disebabkan oleh adanya faktor stres. Stres dapat berupa stres fisik, emosi atau stres yang diinduksi oleh penyakit (Jain 1993). Menurut Wallar (2000), stres fisiologis juga sering terjadi pada periode sekitar partus. Menurut Coles (1986), jumlah leukosit meningkat pada usia kebuntingan lanjut dan tipe sel darah putih yang meningkat adalah neutrofil. Menurut Colville & Bassert (2002), kondisi stres akan menyebabkan peningkatan sekresi ACTH yang mengakibatkan pelepasan glukokortikoid di dalam darah. Kondisi

1.276 2,171 1,276 0.537 0,755 1,301 1,269 0.537 0 0.5 1 1.5 2 2.5 9 8 7 6 5 4 3 2 E o si n o fi l (1 0 3/µ L) Sebelum imunomodulator Sebelum vaksinasi Vaksinasi I Vaksinasi II Vaksinasi III

Waktu (Minggu sebelum melahirkan)

ini mengakibatkan peningkatan jumlah neutrofil dalam darah (Duncan & Keith 1986). Mekanismenya adalah melalui pelepasan neutrofil dari sumsum tulang masuk ke dalam aliran darah dan menghambat migrasi neutrofil dari sirkulasi menuju jaringan sehingga jumlah neutrofil di dalam sirkulasi darah meningkat (Jain 1993).

4.5. Eosinofil

Gambar 10 Rataan jumlah eosinofil pada induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi

Gambar 10 memperlihatkan rataan jumlah eosinofil induk sapi FH bunting pada saat sebelum dan setelah divaksin AI H5N1 inaktif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah eosinofil pada sapi FH setelah divaksin AI H5N1 menurun tajam dari minggu ke-8 hingga minggu ke-6, mengalami peningkatan pada minggu ke-5 dan ke-4. Kemudian jumlahnya relatif konstan hingga minggu ke-3, dan menurun kembali pada minggu ke-2 sebelum induk sapi melahirkan. Jumlah eosinofil normal pada induk sapi FH umur kebuntingan 8, dan 9 bulan yaitu masing-masing sebesar 0,586±0,365 x103 /µL dan 0,469±0,416 x103 /µL (Conner et al. 1967).

Jumlah eosinofil pada minggu ke-8 (sebelum vaksinasi), minggu ke-7 (1 minggu setelah vaksinasi I), minggu ke-4 (2 minggu setelah vaksinasi II) dan minggu ke-3 (satu minggu setelah vaksinasi III) masing-masing sebesar 2,171±0,772 x103/µL, 1,276±0,180 x103/µ L, 1,301±0,785 x103/µ L dan 1,269 ±0,444 x103/µL. Jumlah ini lebih tinggi dari kisaran nilai normal. Tingginya jumlah eosinofil ini diduga disebabkan oleh adanya paparan parasit dari lingkungan. Menurut jain (1993), eosinofilia terjadi pada kondisi adanya paparan parasit yang merangsang peningkatan produksi eosinofil

dan pelepasan eosinofil dari sumsum tulang. Menurut Coles (1986), tingginya jumlah eosinofil di dalam darah dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas akibat adanya infeksi parasit dan reaksi alergi. Eosinofilia berespon terhadap parasit ketika ada sensitivitas terhadap protein parasit yang melepaskan produk-produk parasit ke dalam tubuh sehingga memicu respon ini (Jain 1993). Eosinofilia juga dapat terjadi bersamaan dengan kondisi neutrofilia dan limfositosis pada saat adanya pelepasan epinefrin akibat respon fisiologis. Efek epinefrin mengakibatkan redistribusi eosinofil dari pool marginal menuju sirkulasi darah (Jain 1993).

Jumlah eosinofil menurun setelah vaksinasi I dan setelah vaksinasi II. Penurunan ini diduga disebabkan karena faktor stres. Menurut Wallar (2000), stres fisiologis karena kebuntingan sering terjadi pada periode sekitar partus. Kondisi stres ini merangsang pelepasan kortikosteroid yang juga mengakibatkan penurunan jumlah eosinofil di dalam sirkulasi darah (Duncan & Keith 1986). Mekanisme eosinopenia meliputi penurunan pelepasan eosinofil dari sumsum tulang, lisis intravaskular, dan peningkatan migrasi ke dalam jaringan (Jain 1993).

4.6 Basofil

Basofil tidak ditemukan di sepanjang waktu pengamatan. Hal ini normal terjadi karena basofil sangat jarang ditemukan di dalam peredaran darah (Colville & Bassert 2002).

Dokumen terkait