• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

H. Prosedur Penelitian

2. Pembahasan

Tasawuf dalam praktiknya tentu tidak ada bedanya dengan yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Figur agung dan tokoh paling patut untuk diteladani dalam menjalani kehidupan sufistik adalah Beliau Rasulullah SAW. Baik di desa maupun di kota tentunya tidak ada hal mendasar yang membedakan. Namun ketika hidup di kota tentunya merupakan sebuah tantangan untuk mempertahankan kualitas iman kita dan hubungan kita dengan Allah SWT, sehingga wajar jika menjadi sebuah fenomena ketika praktik-praktik dan kajian tasawuf marak diselenggarakan di kota-kota dan menjadi nilai lebih.

Masyarakat kota adalah sekelompok masyarakat yang dinilai berasal dari kaum elit, berpendidikan dan berpenghasilan tinggi serta berada di pusat keramaian, perdagangan, industri dan pemerintahan. Sehingga kehidupan yang seperti itu membuat para penghuninya di suatu

saat akan mengalami titik jenuh dan keterhimpitan perasaan gelisah dengan rutinitas yang mereka jalani. Hal tersebut tentunya ada keterkaitan dengan fenomena semakin suburnya praktik-praktik dan kajian-kajian tasawuf dilaksanakan di daerah perkotaan.

Ada beberapa penyebab tentunya yang membuat mereka masyarakat kota berbondong-bondong mengikuti majelis-majelis dzikir maupun pengajian. Berikut akan peneliti sajikan tabel data hasil analisis yang kami peroleh dari kedua Subjek atau Responden yang telah Peneliti wawancara.

Tabel 4.1 Penyebab Masyarakat Kota Mendalami Tasawuf

Penyebab Masyarakat Kota Mendalami Tasawuf

Subjek I Subjek II

Pribadi Subjek I Analisis Subjek I tentang Masyarakat Kota

Pribadi Subjek II Analisis Subjek II tentang Masyarakat Kota Perasaan butuh

akan bimbingan dan pegangan untuk menjalani hidup Kebutuhan untuk memaknai kehidupan. Masyarakat Kota kehilangan makna hidup dan kekeringan spiritual Pengalaman sakit keras yang mebuat Subjek II sadar akan kebutuhan spiritualitas Mencari ketenangan batin

dan solusi dari depresi atas

peliknya permasalahan

hidup

Untuk menganalisa penyebab masyarakat modern atau masyarakat kota mendalami tasawuf perlu dikaji terlebih dahulu fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Sehingga nantinya kita faham mengapa fenomena berbondong-bondongnya masyarakat modern pada majelis- majelis dzikir dan pengajian dewasa ini marak. Seperti yang telah dipaparkan pada kerangka teori penelitian ini bahwa manusia itu terdiri

dari dua unsur yaitu unsur materi dan immateri. Unsur materi dalam hal ini adalah jasad sedangkan unsur immateri adalah ruh.

Seperti yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 29 yang artinya, “Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. 103 Penjelasan ayat tersebut menyatakan bahwa setelah Allah SWT menyempurnakan pembuatan manusia dari segi jasad, lalu Allah meniupkan ruh ciptaan- Nya yang menurut kaum Sufi ditafsirkan dengan makna ruh-Ku (Ruh Allah). Ini menunjukkan bahwa unsur ruh yang ada dalam manusia memiliki hubungan yang langsung dengan Allah.

Sejalan dengan yang terkandung dalam Al-Qur’an, para filsuf dan

para Sufi pun juga mengakui bahwa manusia itu tersusun dari materi dan immateri. Seperti yang diungkapkan oleh Al Farabi (Al Mualim al-Tsani) bahwa manusia itu berasal dari proses emanasi Tuhan. Ikhwan al-Shafa juga menjelaskan bahwa fisik atau jasad manusia itu berasal dari Nafs-Al- Kulli sedangkan ruhnya berasal dari al-‘Aql al-Kulli.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa ada potensi atau daya Ilahiyah dalam diri setiap manusia. Sehingga ketika salah satu dari dua unsur manusia itu tidak terpenuhi maka manusia akan merasa kurang. Lebih-lebih pada unsur kedua yang paling penting yaitu ruh. Ketika unsur yang kedua itu tidak terpenuhi maka manusia tidak akan mendapat

103 Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al-Qur’an, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Jamunu, 1965), hlm. 544

kebahagiaan sejati. Bahkan menurut para Sufi walaupun unsur jasad tersiksa namun jika unsur ruh ini terpenuhi kebutuhannya dengan berkoneksi pada Tuhan, maka manusia itu tetap merasakan kebahagiaan hakiki.

Hal senada juga dijelaskan oleh Al-Hallaj. Menurut beliau bahwa Allah dan manusia masing-masing memiliki aspek Lahut dan nasut. Nasut Allah berada dalam bentuk Adam yang dimiliki-Nya, sedangkan Lahut manusia berwujud ruh yang berasal dari Allah SWT. Manakala seorang Sufi sudah suci jiwanya maka Nasut Allah akan bertempat pada diri manusia yang bercampur dengan ruh (Lahut) manusia. Percampuran dua aspek ini oleh al-Hallaj disebut dengan Hulul. Dan ketika manusia berada dalam kondisi inilah maka akan mengalami kebahagiaan dan kedamaian.

Begitupun juga dengan Suhrawardi melalui konsep isyraqiyahnya. Bahwa manusia adalah hasil dari iluminasi Allah. Jasad manusia adalah kegelapan, sedangkan ruh adalah iluminasi cahaya Allah. Untuk memperoleh iluminasi Allah adalah tujuan akhir manusia. Setiap ruh pasti haus akan limpahan iluninasi cahaya Tuhan. Bahkan Suhrawardi lebih jauh mengatakan bahwa manusia yang tidak bisa memperoleh dan menikmati iluminasi cahaya Allah, mereka tidak akan bisa merasakan dan tidak akan bisa tahu makna dan hakikat kebahagiaan, Untuk memperoleh iluminasi Allah dengan cara purifasi terhadap

kecenderungan dunia sampai ruh menjadi bersih suci dan siap menerima iluminasi cahaya-Nya.

Dari elaborasi yang panjang di atas dapat dikatakan bahwa selama manusia masih terlarut dalam keasyikan, kesibukan, rutinitas dan glamournya dunia, mereka manusia tidak akan mengalami sebuah ketenangan bahkan kebahagiaan. Bahkan atas kemajuan karir dan segala sesuatu yang telah ia dapatkan di dunia, ia tidak akan merasa tentram namun seakan selalu merasa tidak aman dan gelisaah. Hal ini dikarenakan kebutuhan vital manusia yaitu berupa pemenuhan kebutuhan ruh atau spiritualitas belum tersentuh. Sehingga sangat wajar mereka masyarakat modern atas semua pencapaiannya itu masih merasa membutuhkan lagi kebahagiaan dan ketenangan batin.

Seperti yang dialami oleh kedua Subjek bahwa mereka pun juga merasakan pemenuhan kebutuhan spiritualitas itu sangat perlu dan tidak bisa dielakkan. Subjek I mengungkapkan bahwa ia sebagai seorang Muslim dan seorang Mukmin masih merasa sering mengalami naik dan turunnya iman. Iman ibarat daya dalam sebuah ponsel. Lalu ibadah sholat yang kita kerjakan itu merupakan chargernya. Namun sholat hanya kita kerjakan di waktu-waktu tertentu. Lalu bagaimana jika kita beraktivitas di tengah keramaian kota dan saat-saat belum memasuki waktu sholat iman kita sudah drop. Maka tasawuf itu ibarat powerbank yang bisa kita bawa ke mana-mana bahkan di saat kesibukan melanda kita.

Berbeda dengan Subjek II yang merasakan konsep kekosongan untuk mencapai kesadaran spiritual. Konsep kekosongan itu beliau rasakan ketika beliau sakit keras. Dalam keadaan itu hanyalah keheningan, ketersendirian dan kesepian yang ia rasakan. Belum lagi ditambah dengan perasaan gelisah dan sedih atas penyakitnya. Maka hal ini lah yang membuat ruh atau potensi spiritualnya tergugah.

Hal senada tentang konsep kekosongan juga dijelaskan oleh John Wong, seorang praktisi penyembuhan melalui koneksi transenden dari Singapura. Beliau menjelaskan bahwa kekosongan merupakan sebuah aspek spiritual, “Elemen kekosongan juga merupakan sebuah gerbang

paling depan untuk mengangkat diri seseorang menuju keesaan yang beresonansi dengan ritme atau gerakan yang dahsyat dari Sang Maha

Kuasa”.104

Dari beberapa elaborasi atau penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab dari masyarakat modern mendalami tasawuf apapun bentuknya esensinya hanya satu yaitu kebutuhan spiritual manusia yang tidak bisa lepas dari Sang Sumber Kehidupan. Berbagai bentuk motif dan penyebab seperti: (1) mencari ketenangan, (2) mencari makna hidup, (3) mencari solusi dari permasalahan hidup, (3) mencari pegangan dan bimbingan Ruhani, (4) mencari kesembuhan atas sakit keras, (5) ajakan guru, teman, orang tua dan (6) penelusuran ilmiah/keilmuan, itu semua sejatinya hanya disebabkan oleh satu esensi yang telah dibahas di atas

104John Wong CW, Awaken Your Healing Power, (Jakarta: Pandu Aksara, 2013), hlm. 119

yaitu fitrah manusia yang tidak bisa lepas dari Sang Sumber kehidupan mereka yaitu Tuhan.

Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi, harta, kedudukan tidak bisa menjawab permasalahan hidup bahkan tidak bisa memberikan kebahagiaan sejati, maka manusia yang dikaruniai petunjuk arah jalan yang benar sesuai fitrahnya, maka akan berlari menuju Sang Sumber Kehidupan.

B. Dinamika Kepribadian Pelaku Sufisme Perkotaan

Dokumen terkait