• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Tinjauan tentang Sufisme Perkotaan

3. Sufisme dan Krisis Spiritual Masyarakat Modern

Sejalan dengan Al Qur’an, para filsuf Islam juga mengakui bahwa

manusia itu tersusun dari elemen materi dan immateri. Kedua elemen ini merupakan hasil emanasi Tuhan. Al Farabi seorang filsuf Islam terbesar (870-950) dan dijuluki sebagai al-Mualim al-Tsani menjelaskan bahwa manusia adalah hasil dari proses emanasi Tuhan.63

Mirip dengan Al-Farabi, Ikhwan al-Shafa kelompok ahli fikir yang hidup pada abad ke IV Hijrah di Bahdad berpendapat bahwa manusia adalah limpahan Tuhan melalui pilihan dan kebebasan-Nya. Dari fisiknya, manusia berasal dari al-nafs al-kulli, sedangkan secara spiritual manusia merupakan hasil limpahan dari al-Aql al Kulli. Karena itu, unsur fisik lebih rendah dari pada unsur spiritual.

Sejalan dengan filsuf lain, Ibn Sina seorang filsuf Islam yang lahir pada tahun 370 H di Bukhara mengatakan bahwa materi dan ruh manusia adalah hasil dari emanasi wajib al-wujud (Allah). Dalam pandangannya, proses emanasi terhenti pada aqal kesepuluh, karena Aqal kesepuluh sudah tidak mempunyai kemampuan untuk melimpah ke Aqal, jiwa dan langit berikutnya. Aqal ini kemudian terpecah menjadi jiwa, jiwa manusia dan

62Ibid., hlm. 3-9

unsur awal materi, dan dari jiwa manusia dan dasar materi inilah manusia wujud. Dari elaborasi di atas diketahui bahwa manusia secara filosof merupakan wujud yang memiliki dua unsur penting, yaitu materi dan jiwa (spirit). Dan unsur yang terakhir menduduki posisi penting, karena ia adalah hasil dari emanasi kesempurnaan Tuhan.

Senada dengan Al-Qur’an, ahli sufi mengakui adanya dualitas dalam diri manusia, yaitu materi dan immateri (jasad dan ruhaniyah). Dalam pandangan Al-Hallaj, Allah dan manusia masing-masing memiliki aspek lahut dan nasut. Nasut Allah berada dalam bentuk Adam yang dimiliki-Nya sedangkan lahut manusia berwujud ruh yang berasal dari- Nya. Manakala seorang Sufi sudah suci jiwanya, maka Nasut Allah akan bertempat pada diri manusia yang bercanpur dengan ruh (lahut) manusia. Percampuran dua aspek inilah yang disebut Hulul. Dan dalam kondisi inilah manusia akan memperoleh kebahagiaan dan kesenangan serta kedamaian.64

Bagi Suhrawardi, jasad dan ruhani manusia merupakan hasil dari proses iluminasi Allah (Isyraq). Jasad manusia adalah barzah, ia adalah kegelapan, sedangkan ruh adalah cahaya yang berasal dari iluminasi-Nya. Setiap ruh mesti haus dan membutuhkan iluminasi cahaya Tuhan, karena kebahagiaan dan kesenangan manusia itu berasal dari iluminasi cahaya Ilahi. Bahkan Suhrawardi lebih jauh mengatakan, bahwa orang yang tidak

bisa menikmati iluminasi cahaya Ilahi, maka ia tidak akan tahu apa makna dan hakikat kebahagiaan itu.

Dari elaborasi di atas dapat diketahui bahwa secara teologis, filosofis dan sufis, manusia tersusun dari dua unsur yaitu materi dan immateri Dari segi hubungannya, unsur materi memiliki hubungan yang jauh dari Allah, sedangkan unsur immateri memiliki hubungan yang dekat dengan Allah. Karenanya, ruh memiliki posisi sangat dominan dan menentukan dalam pribadi manusia. Kebahagiannya mengungguli kebahagiaan jasmani. Mengingat ruh memiliki fungsi yang sangat dominan dalam diri manusia maka krisis spiritual bagi manusia menyebabkan terjadinya berbagai penyakit jiwa. Di samping itu krisis spiritual juga akan menurunkan martabat manusia ke jurang kehancuran yang mengancam peradaban dan eksistensi manusia.65

Di zaman modern ini dengan tanpa mengingkari berbagai kemajuan dan keberhasilannya eksistensialisme dan positivisme telah melahirkan manusia yang tidak sempurna, pincang, hanya berorientasi kekinian (duniawiyah), mengingkari spiritualitas dan agama. Manusia yang tidak sempurna ini selanjutnya menghasilkan perubahan dalam sosial budaya baik yang terjadi secara evolusi atau revolusi. Setiap perubahan yang tidak dilandasi oleh pegangan hidup dan tujuan hidup yang kuat akan menimbulkan krisis. Sebab hilangnya keyakinan dan ketidaktentuan dalam proses perubahan akan mengakibatkan ketidakpastian. Ketidakpastian

menyebabkan kesangsian, kebimbangan melahirkan kegelisahan dan akhirnya memunculkan rasa ketakutan.66

Menurut J. Cogley dalam Simuh dkk. bahwa, “bagi orang modern

perbedaan ruh dan jasad hanya ada dalam logika saja, tidak dalam realitas,

karena ia adalah sebuah unit dari psikosomatis”. Selanjutnya hal senada

juga dikatakan oleh J. Pelikan dalam Simuh dkk. bahwa, “manusia modern

telah kehilangan keyakinan-keyakinan metafisis dan eskatologis.”67

Manusia modern dalam istilah Auguste Comte, peletak dasar aliran positivisme, adalah mereka yang sudah sampai kepada tingkatan pemikiran positif. Pada tahapan ini manusia sudah lepas dari pemikiran religius dan pemikiran filosofis yang masih global. Mereka telah sampai pada pengetahuan yang rinci tentang sebab-sebab segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini.68

Problema spiritualitas bagi masyarakat modern merupakan hal yang tidak mudah untuk dipecahkan dan menjadi permasalahan global. Dengan kenyataan tersebut maka tidak heran jika banyak kalangan yang meramalkan bahwa tasawuf akan menjadi trend abad XXI. Ramalan ini cukup beralasan karena sejak akhir abad XX mulai terjadi kebangkitan spiritual (spiritual revival) di berbagai kawasan. Munculnya gerakan spiritualitas ini merupakan bentuk reaksi terhadap dunia modern yang terlalu menekankan pada hal-hal yang bersifat materiil-profan

66Sidi Gazalba, Islam dan Perubahan Sosiobudaya, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), hlm. 251-252

67Simuh dkk, Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 17

68Murtadha Muthahari, Kritik Islam terhadap Faham Materialisme, (Jakarta: Risalah Masa, 1992), hlm. 45-46

(keduniawian) sehingga manusia mengalami dahaga spiritual atau krisis spiritual.69

Maka di sinilah pentingnya dan peran tasawuf untuk mengatasi dan memecahkan persoalan tersebut. Tasawuf sebagai moralitas Islam dapat memberikan spirit untuk menjadi wadah dalam mencari kebahagiaan sejati dan ketenangan batin. Dengan kata lain moralitas yang menjadi inti dari ajaran tasawuf dapat mendorong manusia untuk memelihara dirinya dari menelantarkan kebutuhan-kebutuhan spiritualitasnya. Sebab, menelantarkan kebutuhan spiritualitas sangat bertentangan dengan tindakan yang dikehendaki Allah. Di samping itu hubungan perasaan mistis dan berbagai pengalaman spiritual yang dirasakan oleh sufi juga dapat menjadi pengobat, penyegar dan pembersih jiwa yang ada dalam diri manusia.

Dokumen terkait