• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagai individu yang sudah hidup sendiri selama hampir 20 tahun, responden tidak merasakan kesepian. Menurut Weiten dan Llyod (2006) mengungkapkan bahwa loneliness atau kesepian merupakan suatu keadaan ketika individu memiliki lebih sedikit hubungan interpersonal dibandingkan yang diharapkannya atau ketika hubungan tersebut tidak memuaskan seperti yang diharapkan. Responden yang hidup sendiri, tidak memiliki orang terdekat untuk berbagi dalam setiap hal. Akan tetapi, untuk hubungan interpersonal, responden merasa memiliki hal tersebut dan sudah merasa cukup dan memuaskan. Hubungan tersebut dia dapatkan oleh tetangga-tetanga atau teman-teman dekat responden.

Kepribadian responden yang mudah beradaptasi dengan orang baru dan ramah terhadap orang lain juga memudahkan responden untuk memiliki hubungan interpersonal yang baik, walaupun responden hidup sendiri, sehingga responden tidak pernah merasa kesepian.

Menurut Anderson (1994), individu yang merasa kesepian atau loneliness akan merasakan berbagai emosi negatif, seperti depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, ketidakpuasan dan menyalahkan diri sendiri. Akan tetapi, hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi pada responden. Responden tidak merasakan semua emosi-emosi negatif, dikarenakan responden memang tidak pernah merasa kesepian selama hidup sendiri. Emosi-emosi negatif yang tidak dirasakan responden, membuat responden memiliki psikologis yang sejahtera yang merujuk pada pada perasaan responden mengenai aktifitas sehari-hari.

Psikologis yang sejahtera atau psychological well-being responden dapat dilihat melalui dimensi-dimensi yang ada pada psychological well-being.

Dimensi yang pertama pada psychological well-being adalah otonomi atau kemandirian. Individu dapat dikatakan sudah mandiri dikarenakan responden sudah menjalani hidup seorang diri selama kurun waktu kurang lebih 20 tahun..

Responden merasa nyaman hidup sendiri. Hal ini dikarenakan responden tidak ingin bergantung pada orang lain mengenai keputusan-keputusan dan perilaku-perilakunya. Responden juga suka hidup sendiri karena merasa bebas dalam melakukan apapun, baik itu dalam pekerjaan atau dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa responden sudah mampu hidup sendiri sesuai dengan dimensi kemandirian atau otonomi.

Mandiri atau otonomi menurut Ryff (1995) adalah kemampuan individu untuk bebas namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah lakunya. Individu yang memiliki otonomi yang tinggi ditandai dengan bebas, mampu untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dan mengatur perilaku diri sendiri, kemampuan mandiri, tahan terhadap tekanan sosial, mampu mengevaluasi diri sendiri, dan mampu mengambil keputusan tanpa adanya campur tangan orang lain. Usia responden yang berada di kisaran umur 30 – 64 tahun (mildlife) mendukung responden memiliki rasa otonomi yang tinggi. Menurut Ryff, individu yang berada di kisaran usia 30 – 64 memiliki rasa otonomi yang tinggi.

Setelah pindah dari rumah saudara dan tinggal di rumah sewa yang jauh dari rumah saudara. Responden langsung merasa cocok dengan lingkungan baru dan menyukai orang-orang yang menjadi tetangga responden. Setelah teman

responden meninggalkan responden sendiri, responden memutuskan untuk tetap menjadi penjahit, karena responden juga merasa cocok dengan pekerjaan tersebut di tempat tinggalnya. Selama hidup sendiri juga responden tidak merasa memiliki kesulitan dalam beraktifitas sehari-hari. Responden berpikir karena dia hanya tinggal seorang diri, responden sendiri yang berhak mengatur situasi yang akan dihadapi sehari-hari dan selama ini responden dapat melakukan hal tersebut dengan baik. Ketika responden tidak mampu melakukan sesuatu pekerjaan seperi berbelanja yang membuat responden harus keluar rumah, hal ini tidak bisa dilakukan responden karena terhambat dengan kondisi fisik responden yang memiliki keterbatasan. Responden mampu memanfaatkan lingkungannya dengan meminta tolong tetangga atau teman responden, dan responden tidak merasa enggan untuk melakukan tersebut. Responden juga memanfaatkan lingkungan ketika pertama kali responden tidak memiliki pelanggan tetap yang membeli jasanya sebagai penjahit, responden menjadikan teman-temannya sebagai pelanggan. Responden yang sudah mampu mengerjakan pekerjaan, baik pekerjaan sebagai penjahit dan pekerjaan sehari-hari sendiri, mampu mengatur aktifitas kehidupannya sendiri dan mampu memanfaatkan lingkunganya untuk kesejahteraannya sendiri, sesuai atau sudah menggambarkan dimensi penguasaan lingkungan pada psychological well-being.

Penguasaan lingkungan menurut Ryff adalah kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, Individu yang tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan aktivitas

eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Selain itu, responden yang berada di kisaran usia mildlife, memang dikategorikan memiliki rasa penguasaan lingkungan yang tinggi. Kepribadian dari responden yang ramah juga sangat mempengaruhi responden agar mampu untuk menguasai lingkungan internal seperti kegiatan sehari-hari responden, dan lingkungan eksternal responden seperti mencari orang untuk menjadi langganna responden dalam bekerja.

Sejak tinggal dengan saudaranya, responden sudah punya keinginan untuk bekerja agar mendapatkan penghasilan sendiri. Responden berkeinginan seperti ini karena responden merasa bahwa responden mampu untuk bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, tidak hanya berharap dari keluarga. Hal ini sedikit banyak menggambarkan dimensi pertumbuhan pribadi pada psychological well-being.

Dimensi pertumbuhan pribadi itu sendiri adalah perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebgai individu yang selalu tumbuh dan berkembang. Selain itu, responden juga pernah membuka kursus menjahit, karena responden merasa mampu dan ingin mencoba pengalaman baru dengan mengajar orang lain menjahit. Selain membuka kursus menjahit, responden juga ada keinginan untuk belajar memborder. Selain itu, responden juga ingin memperluas pengetahuanya mengenai border dan menjahit dengan mencoba-coba model dalam tata busana yang terbaru..

Hal diatas sesuai dengan pengertian dari pertumbuhan pribadi yaitu individu terbuka akan pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Akan tetapi, karena banyaknya waktu yang terpakai untuk menjahit dan menyelesaikan permintaan pakaian- pakaian pelanggan sehingga untuk melakukan pekerjaan lain seperti membuka kursus menjahit atau mmeborder sudah tidak ada lagi. Walaupun begitu, responden tidak kecewa dan bias menjahir sudah cukup bagi responden.

Untuk usia mildlife, Ryff mengemukakan bahwa seseorang akan memiliki nilai yang rendah pada dimensi pertumbuhan pribadi. Hal ini dialami responden sedikit banyaknya dikarenakan responden sudah tidak ada keinginan untuk belajar memborder lagi. Tidak ada waktu lagi juga menjadi faktor penyebab yang membuat responden tidak memiliki keinginan untuk belajar hal lain lagi.

Sedangkan secara gender, perempuan memiliki nilai tinggi untuk dimensi pertumbuhan pribadi (Ryff, 1989).

Hidup seorang diri tidak serta merta membuat responden melupakan keluarga dan saudara-saudaranya yang tinggal di kota yang sama dan juga yang tinggal di luar kota. Responden masih menjaga komunikasi mereka yang dijalin melalu telepon atau sms. Selain itu, responden juga memiliki komunikasi dan hubungan baik dengan tetangga-tetangga dan teman-teman responden yang tinggal di derah sekitar rumah responden. Responden sering menghabiskan waktu dengan mengobrol dengan tetangga atau temannya di rumah responden. Saat teman responden menceritakan masalah yang dihadapinya terhadap responden.

Sebisa mungkin responden memberikan solusi yang dapat meringankan masalah temannya. Sebisa mungkin responden menunjukkan rasa simpatinya. Responden juga percaya kepada orang yang menjadi teman dekatnya. Responden tidak enggan membagi cerita atau masalah pribadinya kepada teman-teman atau tetangga-tetangga dekat yang tinggal di sekitar rumah responden. Responden merasa memiliki kewajiban untuk membalas setiap kebaikan yang sudah diberikan oleh teman-teman responden kepada dirinya. Hal ini dilakukan responden agar hubungan responden dengan teman-temanya terjalin dengan baik.

Hal-hal diatas menunjukkan bahwa responden memiliki dimensi hubungan positif dengan orang lain, dimensi keempat pada psychological well-being.

Hubungan positif dengan orang lain menurut Ryff adalah adalah kemampuan individu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Individu yang tinggi dalam dimensi ini ditandai dengan mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain. Selain itu, individu tersebut juga memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antarpribadi. Beberapa faktor yang menyebabkan responden dapat menjalin hubungan yang positif dengan orang lain adalah, usia, gender dan budaya.

Individu yang memiliki usia mildlife atau 30 – 64 tahun (Ryff, 1989), memiliki nilai yang inggi untuk dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sedangkan menurut gender, responden yang merupakan seseorang perempuan menurut Ryff 1995) memiliki nilai yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, dikarenakan wanita memiliki nilai yang signifikan yang lebih tinggi

dibanding pria karena kemampuan wanita dalam berinteraksi dengn lingkungan lebih baik disbanding pria. Responden yang tinggal di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki nilai yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain. Dapat dikatakan bahwa responden menjunjung tinggi budaya timur, dimana budaya timur tersebut memliki peran penting dalam mempengaruhi responden untuk mampu menjalin komunikasi dan menjaga hubugan baik dengan orang lain.

Responden tidak pernah merasa stress depresi atau tidak bahagia dengan hidupnya, terkadang responden tetap ada memikirkan bagaimana hidupnya di masa yang akan datang. Akan tetapi, responden sudah memiliki rencana untuk di masa yang akan datag, ketika dia tidak mampu lagi untuk mengurus hidupnya sendiri dan tidak mampu bekerja dan memiliki penghasilan sendiri lagi, responden akan kembali ke rumah saudara dan membiarkan saudaranya yang membantunya untuk mengurus dirinya sendiri. Oleh karena itu responden juga sudah menabung untuk dana pensiunnya sendiri. Untuk sekarang, responden sudah menjalankan tujuan hidupnya yaitu menjalani hidup sebaik-baiknya, lebih baik terhadap orang lain, lebih baik dalam beragama, lebih setia kepada Tuhan dan semakin tekun beribadah, serta lebih baik di bidang pekerjaan dan memiliki semakin banyak pelanggan. Responden memiliki keyakinan yang besar bahwa ia mampu untuk mencapai tujuan hidup dengan sebaik-baiknya.

Setiap kejadian-kejadian buruk yang terjadi dalam hidup responden seperti mengalami kesulitan keuangan, ditinggal sendirian dan gagal menikah dianggap responden memiliki makna tersendiri. Menurut responden kejadian-kejadian

tersebut adalah kehendak Tuhan untuk hidup responden dan responden menerima hal itu dengan lapang dada. Setiap kejadian tersebut tidak meninggalkan trauma bagi responden dan tidak menjadi beban bagi responden untuk menjalani hidup.

Responden sudah menganggap semua hal tersebut adalah jalan terbaik yang sudah diberikan Tuhan kepada dirinya. Akan tetapi, responden tetap memegang keyakinannya bahwa hidupnya akan baik-baik saja.

Hal-hal yang dijabarkan diatas menunjukkan responden memiliki dimensi tujuan hidup. Tujuan hidup menurut Ryff adalah pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memegang keyakinan bahwa individu mampu mencapai tujuan dalam hidupnya, dan merasa bahwa pengalaman hidup di masa lampau dan masa sekarang memiliki makna. Individu yang tinggi dalam dimensi ini adalah individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta memiliki tujuan dan sasaran hidup. Keyakinan akan kehidupan yang dijalani akan baik juga didapat responden dari religiuitas responden yang tinggi. Religiusitas yang tinggi diperoleh responden karena responden tetap pergi ke tempat ibadah secara berkesinambungan. Responden menjadikan tempat ibadah dan Tuhan sebagai tempatnya untuk berserah diri.

Individu yang berada di kisaran umur 30 – 64 tahun seperti responden, menurut Ryff (1989), memiliki nilai dimensi tujuan hidup yang rendah. Walaupun begitu, religiusitas yang tinggi yang dimiliki responden sangat berpengaruh untuk responden agar memiliki tujuan hidup yang direncanakn responden dengan baik.

Tujuan hidup responden yang ingin semakin hari pekerjaanya semakin baik sudah dijalani oleh responden. Pekerjaan responden sebagai penjahit dari awal bukanlah pekerjaan yang benar-benar diinginkan oleh responden. Akan tetapi, lambat laun responden mulai menerima pekerjaanya sebagai penjahit.

Responden yakin bahwa menjahit adalah sudah menjadi jalan Tuhan yang diatur untuk responden. Responden juga merasa hal ini mendatangkan kebaikan bagi responden.

Kondisi fisik responden yang memiliki keterbatasan sehingga membuat responden susah untuk bergerak juga dianggap responden sebagai takdir Tuhan yang harus diterima oleh responden. Responden tetap menerima semua hal yang terjadi pada dirinya dan merasa dirinya baik. Responden juga tidak merasa minder atau iri dengan orang lain karena responden menyadari bahwa dalam dirinya ada kelebihan dan ada juga kekuranga yang keduanya harus diterima dengan baik oleh responden. Responden juga mengaku selalu berpikir positif mengenai dirinya.

Kehidupan yang sudah responden lalui masa lalu juga sudah diterima responden dengan baik. Masa lalu responden yang banyak mengalami kejadian negative juga sudah diterima responden sebagai bagian dari perjalanan hidup dan tidak menjadi penilaian negatif terhadap dirinya sendiri.

Hal-hal yang disebutkan diatas sesuai dengan penjelasan dari dimensi penerimaan diri dari psychological well-being. Penerimaan diri menurut Ryff berarti merasa baik tentang diri sendiri, terhadap masa lalu, dan disaat yang bersamaan mengetahui kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Individu yang mimiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan bersikap positif

terhadap diri sendiri, mengetahui dan menerima segala aspek yang ada dalam dirinya, baik itu yang merupakan kelebihan maupun kekurangan, serta memiliki sikap yang positif terhadap kehidupan di masa yang lalu. Responden tidak secara langsung dapat menerima dirinya, baik kondisi fisik atau hal yang tidak baik lainnya. Akan tetapi, religiusitas responden yang tinggi memiliki pengaruh besar agar responden dapat menerima dirinya dengan baik. Lambat laun akirnya responden dapat menerima kondisi dirinya apa adanya.

Selain mengenai dimensi-dimesi psychological well-being diatas, ada beberapa hal lain juga yang menjadi faktor yang mempengaruhi psychological well-being responden menjadi positif, yaitu kepribadian dan religiusitas.

Kepribadian responden yang merupakan orang yang ramah dan mudah bergaul dengan orang dan lingkungan baru, membuat responden lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya yang baru, lebih mudah dalam mencari teman dan pelanggan untuk menyewa jasanya. Sedangkan religiusitas, responden yang walapun tidak pergi ke gereja secara ruti dikarenakan keterbatasan fisiknya yang menghambat, akan tetapi keyakinan responden terhadap Tuhan tinggi.

Sehingga, setip responden memiliki masalah atau lelah dalam menghadapi masalahnya, responden langsung berdoa kepada Tuhan dan responden merasa lebih baik setelah itu. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kepribadian dan religiusitas yang dimiliki responden mempengaruhi psychological well-being responden menjadi lebih positif.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan dan saran-saran sehubungan dengan hasil yang diperoleh dari penelitian ini. Pada bagian pertama akan dijabarkan kesimpulan dari penelitian ini dan pada bagian akhir akan dikemukakan saran-saran baik yang bersifat praktis maupun metodologis yang mungkin dapat berguna bagi penelitian yang akan datang dengan topik yang sama.

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa data yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa:

Pada dimensi otonomi, responden yang sudah tinggal seorang diri selama kurun waktu 20 tahun, merasa bahwa dirinya sudah mampu hidup sendiri, tidak ingin bergantung pada orang lain, merasa bebas dengan hidupnya sendiri. Selama hidup sendiri juga responden sudah berani dalam memutuskan hal-hal penting dalam hidupnya seorang diri.

Pada dimensi penguasaan lingkungan, responden yang tinggal dengan temannya setelah pindah dari rumah saudara responden, langsung menyukai dan merasa nyaman dengan tempat tinggalnya. Responden merasa bahwa lingkungan barunya itu sangat cocok dengannya sebagai tempat untuk tinggal dan juga bekerja sebagai penjahit. Setelah teman responden meninggalkan responden, responden tidak serta merta kehilangan kendali akan dirinya terhadap lingkungan..

Pada dimensi pertumbuhan pribadi, responden sudah memiliki keinginan untuk bekerja dan memiliki penghasilan sendiri sejak masih muda. Selain menjahit sebagai pekerjaan utama, responden juga bekerja sebagai pengajar karena responden membuka kursus menjahit di rumah. Hal ini lakukan karena ingin menambah pengalaman baru dalam bekerja. Selain itu juga, responden ada keinginan untuk belajar memborder, hal ini dilakukan agar pengetahuanya akan sesuatu itu bertambah.

Pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, responden memiliki hubungan baik dengan teman-teman dekat dan tetangganya. Responden sering menghabiskan waktu dengan mengobrol bersama teman atau tetangganya agar hubungan mereka semakin terjalin dengan baik. Responden juga mempercayai orang lain dengan menceritakan saat ia ada masalah kepada temannya. Selain itu, responden juga menunjukkan empati dan simpatinya kepada lain dengan memberikan solusi apabila teman-teman responden ada yang sedng kesusahan.

Pada dimensi tujuan hidup, responden memiliki tujuan dan arah hidup yang sudah direncanakan oleh responden. Responden yang hidup sendiri sudah merencanakan apa yang akan dilakukannya di masa tuanya. Tujuan hidupnya sekarang sampai masa tuanya adalah menjadi orang yang lebih baik lagi dalam hal agama, diri sendiri dan pekerjaan. Untuk pengalaman masa lalu responden dan apa yang terjadi padanya sekarag, dianggap responden memiliki makna dan juga dianggap sebagai kehendak Tuhan yang harus diterima oleh responden secara lapang dada.

Pada dimensi penerimaan diri, responden sudah menerima segala sesuatu yang ada pada dirinya. Walapun di awal responden tidak ingin menjadi seorang penjahit, akan tetapi lambat laun responden mulai menerima bahwa dirinya bekerja sebagai penjahit. Masa lalu responden yang mengalami kejadian negatif juga sudah diterima responden sebagai takdir hidupnya dan responden tetap merasa positif mengenai diriya. Responden juga mengetahui kelebihan dan kekurangannya dalam bekerja dan mengenai kondisi fisiknya. Kondisi fisik responden yang mengalami keterbatasan juga awalnya sulit diterima oleh responden, tetapi seiring berjalanya waktu, responden mulai bisa menerima kondisi fisiknya dan tidak menjadi orang yang rendah diri.

Dokumen terkait