• Tidak ada hasil yang ditemukan

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA INDIVIDU YANG HIDUP SENDIRI SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Skripsi Psikologi Sosial.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA INDIVIDU YANG HIDUP SENDIRI SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Skripsi Psikologi Sosial."

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA INDIVIDU YANG HIDUP SENDIRI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Skripsi Psikologi Sosial

Oleh :

PUTRI NOVA SARI P.

131301110

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)
(3)
(4)

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA INDIVIDU YANG HIDUP SENDIRI

Putri Nova Sari P., Ari Widiyanta ABSTRAK

Sebagai manusia kita diciptakan untuk hidup saling berdampingan dengan orang lain. Karena manusia dari lahir sampai mati, mempunyai kebutuhan untuk memiliki hubungan dekat dengan manusia lain. Untuk memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, kita seharusnya melakukan interaksi dengan orang lain sesering mungkin dan setiap hari. Hal tersebut sulit dilakukan apabila seseorang tinggal seorang diri di rumahnya dan dalam kurun waktu yang lama. Selain kebutuhannya untuk memiliki hubungan dekat dengan orang lain tidak terpuaskan, individu dapat merasa kesepian. Individu yang merasa kesepian akan sulit untuk merasa bahagia, merasa cemas, rendah diri dan malu terhadap orang- orang sekitar. Penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran psychological well-being pada individu yang hidup sendiri. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan metodologi penelitian kualitatif. Data diperoleh melalui wawancara dan observasi yang bertujuan untuk mendeskripsikan 6 dimensi psychological well-being yang meliputi otonomi, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup dan penerimaan diri. Partisipan dalam penelitian ini ada satu orang dan hidup sendiri dalam kurun waktu 20 tahun. Teknik pengambilan sampel menggunakan tehnik pengambilan sampel theory-based/operational construct sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa individu memiliki psychological well-being yang positif.

Kata kunci : psychological well-being, hidup sendiri

(5)

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING IN INDIVIDUAL WHO LIVE ALONE Putri Nova Sari P., Ari Widiyanta

ABSTRACT

As a human, we are made to live together with other people. Because of human from birth until death, have a need to get intimate relationship with other human. To get a good relationship with other people, we should do interaction with other people as often as we can and do it every day. That thing maybe little bit hard to do if somebody lived alone in her house in a long time. Beside of need to get intimate relationship is unsatisfied, human can feel loneliness. Human who feel loneliness is difficult to feel happy, feel worry, inferiority and shame on other. This research was conducted to see the description of psychological well- being in individual who live alone. The approach used in this research is qualitative with qualitative research methodology. Data obtained through interviews and observations that explore six dimensions of psychological well- being, that is autonomy, environmental mastery, personal growth, positive relations with others, purpose of life and self acceptance. Participant in this research is one person who lived alone in 20 years. Technique of sampling is using theory-based on sampling / operational construct sampling. The result show that person have a positive psychological well-being.

Key words : psychological well-being, live alone

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga telah memberikan kehidupan, ilmu, kebijaksanaan dan kebajikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Psychological well-being pada individu yang hidup sendiri” dengan baik.

Skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, bimbingan dan nasehat dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya dan sedalam-dalamnya kepada semua orang yang telah membantu penulis:

1. Kedua orang tua dan saudara peneliti yang tiada henti mendukung dan memberi semangat kepada peneliti agar menyelesaikan skripsi dengan baik.

2. Bapak Zulkarnain, Ph.D., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara beserta dengan WD1, WD2, dan WD3 yang telah memberikan dukungan moril kepada peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Kepada seluruh dosen dan pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dalam proses perkuliahan.

4. Bapak Ari Widiyanta, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan memberikan tenaga serta waktunya untuk dapat membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini.

(7)

5. Ibu Meutya Nauly, M.Psi, Psikolog, Ridhoi Meilona Purba, M.Si, Prof.

Dr. Irmawati, Psikolog, Rika Eliana, M.Psi, Psikolog dan Rahma Fauziah S, M.Psi, Psikolog selaku dosen Departemen Sosial.

6. Ibu Debby Anggraini Daulay, M.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing akademik, terima kasih untuk dukungan dan kemudahan yang ibu berikan.

7. Informan dan responden pada penelitian ini yang telah bersedia meluangkan waktu dan dan berbagi ceritanya dalam penyelesaian skripsi peneliti.

8. Ummi Kalsum Harahap, Desvinia Putri M. dan Puteri Prayakanza yang telah menjadi sahabat peneliti semenjak SMA dan yang selalu mendukung peneliti agar dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

9. Kiki, Opi, Andre, Firman, Nadine, Pandu, Kishia, Kikin, Dessy, Agita, Yolanda, Trini, Taufik dan Mutia yang menjadikan masa kuliah saya penuh arti dan banyak kenangan, semoga kita semua bisa raih kesuksesan kita masing-masing di masa depan teman-temanku.

10. Dedy, Risya dan Firman sebagai BPH PEMA Fakultas Psikologi USU 2016-2017. Peneliti tidak menyangka organisasi ini dapat merekatkan kita menjadi teman baik dan saling mendukung, semoga kita tetap bisa jaga kekompakan kita walaupun kita sudah tidak menjabat lagi, See you on top guys!

11. Cynthia dan Devira sebagai teman yang sama-sama melakukan metode penelitian kualitatif, terima kasih karena selalu dapat membantu peneliti menyelesaikan penelitian dengan baik.

(8)

12. Seluruh teman-teman angkatan 2013, saya hanya bisa mengucapkan terima kasih dan semoga sukses buat kalian semua.

13. Untuk orang-orang yang sudah mendukung peneliti dan tidak bisa disebutkan satu persatu, saya ucapkan terima kasih banyak.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dan kekurangan dalam skripsi baik dalam hal sistem penyusunan maupun materinya.

Oleh karena itu. peneliti sangat berharap atas kritik dan saran yang membangun guna mengembangkan pengetahuan dan penunjang lebih baik lagi.

Medan, 20 Oktober 2017

Putri Nova Sari Perangin-Angin

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

1.5 Sistematika penulisan ... 12

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING ... 13

2.1.1 Definisi Psychological Well-Being ... 13

2.1.2 Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being ... 15

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being . .... 19

(10)

2.1.4 Dampak Psychological Well-being ... 22

2.2 HIDUP SENDIRI ... 23

2.2.1 Definisi Hidup Sendiri ... 23

2.2.2 Tantangan Hidup Sendiri ... 24

2.2.3 Alasan-alasan Seseorang Hidup Sendiri ... 26

2.4 DINAMIKA TEORITIS ... 27

2.5 KERANGKA BERPIKIR ... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metodologi Penelitian Kualitatif ... 30

3.2 Metode Pengumpulan Data ... 31

3.3 Lokasi Penelitian ... 32

3.4 Responden Penelitian ... 32

3.4.1 Karakteristik Responden ... 32

3.4.2 Teknik Pengambilan Sampel ... 32

3.5 Alat Bantu Pengumpulan Data ... 33

3.6 Prosedur Penelitian ... 33

(11)

3.6.1 Tahap Awal Penelitian ... 33

3.6.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 34

3.6.3 Tahap Pencatatan Data ... 34

3.6.4 Analisis Data ... 35

3.7 Kredibiltas Penelitian ... 37

BAB IV DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 DESKRIPSI DATA ... 38

4.1.1 Latar Belakang Responden ... 38

4.1.2 Deskripsi ... 40

4.2 PEMBAHASAN ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 78

5.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Beberapa orang mampu menjalani hidup seorang diri, baik wanita dan pria. Setiap orang pasti berharap untuk menjalani hidup bersama dengan keluarga atau orang lain. Menikah dan memiliki anak juga merupakan hal yang diinginkan hampir setiap individu, agar mereka memiliki orang lain untuk berbagi setiap hal, baik itu kasih sayang, materi atau pendapat dan lain-lain dan juga memenuhi kebutuhan interpersonal mereka. Sejak lahir manusia sudah berhubungan dengan orang tua dan semakin bertambah usia maka akan bertambah luas pergaulannya dengan manusia yang lain di dalam masyarakat (Hurlock, 1990). Penelitian terhadap individu yang hidup sendiri oleh Dr Laura Pulkki-Raback di Finnish Institute of Occupational Health Finlandia pada tahun 2012 mengemukakan bahwa orang yang hidup sendiri memiliki resiko permasalahan kesehatan mental dibandingkan dengan individu yang tidak hidup sendiri. Penelitian ini juga menemukan bahwa usia kerja individu yang hidup sendiri memiliki resiko depresi hingga lebih dari 80 persen dibandingkan orang yang hidup bersama keluarga.

Individu yang hidup sendiri dalam jangka waktu yang relatif lama, tidak mampu membangun hubungan dekat dengan orang lain sedangkan William Schutz (1958) mengutarakan melalui Postulat Schutz-nya yang berbunyi bahwa setiap manusia memiliki tiga kebutuhan antarpribadi yang disebut dengan inklusif, kontrol dan afeksi. Asumsi dasar teori ini adalah bahwa manusia dalam hidupnya membutuhkan manusia lain (manusia sebagai makhluk sosial).

(13)

Dikarenakan kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan orang lain itu sudah lama juga tidak terpenuhi, sehingga mereka kurang mampu untuk melakukan hal tersebut dengan baik. Dalam membangun hubungan dengan orang lain, individu seharusnya memiliki rasa percaya, perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman serta memahami konsep memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia. Hal-hal tersebut tidak dapat serta-merta dilakukan oleh individu yang hidup sendiri atau individu yang tidak memiliki orang terdekat yang menghabiskan banyak waktu dengan diri sendiri mereka dikarenakan individu yang hidup sendiri dapat merasa enggan untuk memiliki ikatan atau hubungan dengan orang lain dan enggan bersikap hangat dengan orang lain.

Individu yang hidup seorang diri, ditambah lagi dalam jangka waktu yang relatif lama, tidak tertutup kemungkinan dapat mengalami loneliness atau kesepian karena individu tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam memiliki kedekatan terhadap orang lain. Weiten & Llyod (2006) mengungkapkan bahwa loneliness merupakan suatu keadaan ketika individu memiliki lebih sedikit hubungan interpersonal dibandingkan yang diharapkannya atau ketika hubungan tersebut tidak memuaskan seperti yang diharapkannya. Sullivan (dalam Brehm et al, 2002) mengungkapkan bahwa loneliness merupakan suatu perasaan yang sangat tidak menyenangkan dan menimbulkan pengalaman yang berhubungan dengan tidak terpenuhinya dan terhambatnya kebutuhan atas intimasi manusia yang diperlukan untuk intimasi interpersonal. Kebutuhan akan intimasi adalah suatu hal yang universal dan sudah menetap pada diri setiap manusia sepanjang

(14)

hidupnya. Intimasi merupakan unsur pokok dalam kepuasan suatu hubungan.

Melalui percakapan dan beraktivitas bersama, individu akan mendapatkan keuntungan untuk memenuhi tingkat kebutuhannya terhadap intimasi pada suatu hubungan (Weiten & Llyod, 2006). Keintiman menurut Erikson (dalam Santrock, 2003) merupakan kemampuan individu untuk membangun hubungan yang akrab dengan orang lain. Selanjutnya, loneliness akan disertai oleh berbagai macam emosi negatif seperti depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri (Anderson, 1994) dan malu (Jones, Carpenter &

Quintana, 1985). Emosi-emosi negatif yang muncul karena lonliness pada individu yang hidup sendiri akan mengakibatkan seseorang mengurangi interaksi dengan lingkungan sosial dan tidak ingin menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain. Seccombe dan Ishii-kunts (1994) megenmukakan bahwa 25% dari sampel mereka yang merupakan individu lajang tidak pernah bersosialisasi dengan teman mereka, dan juga 29% lainya mengatakan bahwa mereka melakukan aktifitas sosial dengan teman-teman setidaknya sekali dalam seminggu. Individu yang merasakan kesepian memiliki banyak resiko penyakit fisik, yaitu penyakit jantung, radang sendi, diabetes dan Alzheimer serta penyakit mental seperti stress dan depresi. Hal ini dikemukakan oleh Bruce Rabin, seorang direktur Program Lifestyle di University of Pittsburgh Medical Center, Amerika Serikat.

Di Indonesia sendiri, kebudayaannya berbeda dengan kebudayaan orang Barat. Di Indonesia, setiap orang cenderung hidup bersosialisasi dengan orang lain, selalu ingin berkumpul dengan orang-orang terdekat mereka. Hal ini

(15)

berbanding terbalik dengan kebudayaan orang barat, dimana mereka lebih individualis atau lebih nyaman hidup sendiri dan memiliki lingkungan social yang minim. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan bahwa orang di Indonesia memilih hidup sendiri di tempat tinggal mereka bahkan memutuskan untuk tidak menikah. Ada beberapa alasan individu untuk tidak menikah dan hidup sendiri, yaitu individu merasa memiliki kebebasan untuk memilih, antara menikah atau tidak (Tioso, 1997: 5). Menurut Hurlock (2004: 302) beberapa alasan individu memilih hidup sendiri dan tidak menikah adalah penampilan sisik mereka yang kurang menarik, memiliki cacat fisik, gagal mencari pasangan, jarang memiliki kesempatan untuk bertemu dengan lawan jenis dan memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan mengenai pernikahan. Menurut Baron (dalam Andryana, 2007) Untuk para pria, alasan mereka memilih tidak menikah dan hidup sendiri yaitu mereka menganggap komitmen jangka panjang atau menikah akan merusak hubungan indah yang sudah terjalin, dan hidup mereka tidak bisa sebebas saat mereka hidup sendiri, takut akan perceraian atau trauma mengenai kegagalan pernikahan orang terdekat mereka seperti orang tua. Tidak jauh berbeda dengan pria, wanita yang tidak menikah juga memiliki alasan bahwa mereka takut akan komitmen dan juga tidak ada lagi kebebasan untuk mereka bekerja atau melakukan sesuatu hal yang disukai.

Individu yang tidak menikah atau lajang dan hidup sendiri bukan hal tanpa masalah sehingga dapat dengan mudah dijalankan. Mereka yang tidak menikah dan hidup sendiri harus berani mengambil segala resiko dari segala permasalahan yang akan timbul nantinya. DeGenova (2008: 95-96) mengungkapkan bahwa

(16)

menjadi lajang memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif yang diperoleh dapat berupa kebebasan untuk mengembangkan diri sendiri, di antaranya kebebasan memperluas karir dan melakukan apapun sesuai keinginannya. Di sisi lain, adanya dampak negatif yang diperoleh individu yang belum menikah adalah seperti: kesulitan ekonomi, kesepian, kurangnya persahabatan, dan adanya perasaan bukan menjadi suatu bagian dalam pertemuan sosial di sekeliling orang yang sudah menikah. Menurut Hurlock (1991) antara pria dan wanita terdapat perbedaan dalam menjalani hidup sendiri. Biasanya wanita menjalani hidup lebih stress ketika belum menikah. Hal tersebut berbanding terbalik dengan pria yang tidak mempermasalahkan kapan mereka akan menikah. Para pria juga menikmati hidup sendiri karena mereka merasa memiliki kebebasan untuk menggunakan semua waktu dan tenaga agar karir mereka semakin mantap.

Beberapa hal yang berkenaan dengan tidak menikah dan hidup sendiri yang sudah dipaparkan diatas, dibenarkan oleh informan pada penelitian ini. Pada penelitian ini ada 2 informan yang masing-masing sudah hidup sendiri dan tidak menikah selama 10 tahun dan 7,5 tahun. Informan I hidup sendiri oleh keinginan pribadi sedangkan informan II hidup sendiri karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya pindah ke kota lain.

(17)

“Yaa, kekmana ya dek, namanya juga hidup sendiri, mana mungkin gak ngerasa sepi, tapi karena dah lama kayak gini, suami pun enggak ada, ya udah terbiasa aja, pun mungkin karena sendirian gini, dah malas ngobrol-ngobrol sama orang, adapun masalah atau apa, ya udah terbiasa simpan sendiri”

Informan I

Komunikasi personal 25 September 2017

“Aku bukannya gak mau tinggal sama saudara yang lain, adanya saudaraku, tapi mereka semua, entah mungkin karena kami enggaknya dekat-dekat kali, jadi ngerasa gelisah gitu kalau aku numpang di rumah mereka, risih aku liatnya, Nampak kali gak nyaman kalau aku disitu, ya akupun mikir adanya tempat tinggalku, enggaknya butuh-butuh kali aku tinggal sama mereka, ya walaupun ngerasa sepi enggak ada kawan dirumah, tapi mau cemana lagi”

Informan I Komunikasi personal 25 September 2017 “Kalau ditanya sepi, ya sepilah, cuman mau gimana lagi. Kalau hubungan sama orang lain tetaplah ada, cuman ya biasa aja, enggak ada yang dekat kali”

Informan II Komunikasi personal 25 Agustus 2017

“Ya itu, dulu masih ada keinginan menikah, tapi jodohnya enggak ketemu-ketemu, enggak dapat-dapat, padahal udah usaha. Karena gagal terus, yaudahlah udah malas berharap lagi, usaha lagi.”

Informan II Komunikasi personal 25 Agustus 2017

Dari penuturan informan mengenai hidup sendiri yang mereka jalani diatas, dapat dilihat bahwa mereka merasakan kesepian, akan tetapi mereka sudah menerima hal tersebut. Karena tidak ingin membuat perasaan kesepian yang mereka miliki membuat mereka jadi stres, mereka lebih menyibukkan diri dengan pekerjaan. Selain itu, keinginan mereka untuk memiliki hubungan yang dekat

(18)

dengan orang lain juga berkurang, sehingga mereka tidak memiliki orang terdekat dan pasangan dalam menjalani hidup dan melakukan kegiatan sehari-hari. Salah satu informan juga sudah tidak memiliki keinginan untuk mencari pasangan.

Dalam membangun hubungan interpersonal atau hubungan akrab dengan orang lain, individu seharusnya memiliki rasa percaya, perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman serta memahami konsep memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia.

akan tetapi, salah satu informan mulai tidak mampu merasa empati terhadap masalah yang dihadapi orang lain.

“…..ya memang kalau diajak pergi-pergi gitu kan sama kawan, makan atau apa gitu, malas udah, karena kalau aku lebih enak habisin waktu itu sendiri, daripada sama orang. Kalau diundang ke nikahan kawan atau yang mendesak gitu barulah pergi, ntar dikira sombong kali kita kan.”

Informan I Komunikasi personal 25 September 2017

“oh, itu aku paling malas dengar orang curhat masalahnya gitu samaku, ya aku mikir kalau udah curhat pasti orang minta solusi atau apa gitu kan, aku malas kali mikiri solusi masalah orang, ya kek gitulaah kira-kira, kalau cerita-cerita biasa ya udah.”

Informan II Komunikasi personal 25 Agustus 2017

Dari penuturan diatas dapat dilihat bahwa informan I merasa tidak ingin memiliki hubungan dekat dengan orang lain dan menghabiskan waktu dengan orang lain, sedangkan Informan II mengemukakan bahwa ia tidak menyukai apabila ada orang lain yang menceritakan masalah yang dihadapi kepadanya. Hal

(19)

tersebut membuat informan memiliki kewajiban untuk mencari solusi akan masalah orang lain, dan hal tersebut sangat tidak ingin dilakukan olehnya.

Dari kedua informan, diketahui bahwa masing-masing dari mereka tidak memiliki pasangan. Tidak memiliki pasangan juga dapat mengakibatkan seseorang merasakan kesepian, adapun bentuk dari kesepian yang dirasakan saat tidak memiliki pasangan atau orang yang berhubungan dekat ialah isolasi emosional. Menurut Weiss (2003) isolasi emosional (emotional isolation) adalah suatu bentuk loneliness yang muncul ketika seseorang tidak memiliki ikatan hubungan yang intim; orang dewasa yang lajang, tinggal seorang diri, bercerai, dan ditinggal mati oleh pasangannya sering mengalami loneliness jenis ini.

Tidak menikah dan hidup sendiri memang memiliki dampak positif dan negatif bagi tiap-tiap individu yang menjalaninya. Dampak positif dari tidak menikah dan hidup sendiri adalah memiliki kebebasan, seperti kebebasan memilih pekerjaan, memilih teman baik itu lawan jenis atau sesama jenis dan menghabiskan waktu untuk melakukan hal-hal yang disukai. Dampak negatif tidak menikah dan hidup sendiri adalah merasa stress, loneliness atau kesepian, tidak ingin memiliki hubungan dekat dengan orang lain dan hidup sendiri tanpa pasangan, keluarga atau orang terdekat dapat merujuk pada kesejahteraan psikologis atau psychological well-being yang negatif.

Psychological well-being itu sendiri adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif, menurut Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) atau merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktifitas hidup

(20)

sehari-hari menurut Bradburn (dalam Ryff & Keyes, 1995). Setiap kegiatan yang dilaksanakan dan setiap kejadian yang dihadapi, baik hal itu merupakan hal yang positif atau negatif, individu dapat berpikir postif dan tetap menjalani kehidupannya dengan baik. Terdapat enam dimensi pada psychological well- being, yaitu otonomi (kemandirian), penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup dan penerimaan diri.

Individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi adalah individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang positif, mampu melalui pengalaman-pengalaman buruk yang dapat menghasilkan kondisi emosional negatif, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas, dan mampu mengembangkan dirinya sendiri (Ryff, 1989).

Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus tunggal. Dimana penelitian ini meneliti satu orang partisipan. Partisipan pada penelitian ini adalah individu yang berusia 48 tahun dan hidup sendiri tanpa ada sanak saudara atau pasangan dan teman yang tinggal di rumah yang ditempatinya dalam kurun waktu 20 tahun.

Dari hasil observasi sehari-hari terhadap responden, dapat dilihat bahwa responden menjalani kehidupan dengan baik, responden tidak menutup diri dengan orang lain atau tetangga, tetap menjaga komunikasi dengan orang lain, tidak menjadi orang yang pendiam atau pasif saat berbincang dengan orang lain.

Responden yang sudah hidup sendiri dalam kurun waktu yang cukup lama dan juga merupakan seorang tunadaksa, dikarenakan kedua kaki yang tidak dapat

(21)

berfungsi secara sempurna, keterbatasan fisik yang dimiliki responden sudah dialami sejak kecil dan semakin parah saat partisipan beranjak dewasa.

Responden juga tinggal di rumah yang dapat dikatakan tidak layak serta memiliki pekerjan yang berpenghasilan rendah.

Penelitian mengenai psychogical well-being pada individu yang hidup sendiri dikarenakan beberapa kondisi atau aspek yang ada pada responden, dinilai dapat mempengaruhi individu memiliki psychological well-being yang negatif, seperti berpikir negatif, taidak mampu menerima diri apa adanya, tidak memiliki keinginan untuk menjalin hubungan sosial dengan lingkungan sekitar dan dan tidak adanya pertumbuhan atau usaha untuk mengembangkan dirinya menjadi lebih baik.

Berdasarkan keseluruhan uraian di atas, maka saya sebagai peneliti tertarik untuk mengulas dan menganalisis lebih dalam mengenai psychological well-being pada individu yang hidup sendiri.

1.2 Rumusan Masalah

Pertanyaan yang hendak dijawab pada penelitian ini adalah bagaimana gambaran psychological well-being pada individu yang hidup sendiri ditinjau dari dimensi psychological well-being dan kenapa individu yang hidup sendiri memiliki psychological well-being yang positif .

(22)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana psychological well-being pada individu yang hidup sendiri.

1.4. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini, diharapkan akan diperoleh manfaat antara lain:

A. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kajian ilmu pengetahuan di bidang psikologi terutama di bidang psikologi sosial.

B. Manfaat praktis

1. Untuk mengetahui bagaimana cara orang yang sudah lama hidup sendiri di rumah tanpa ada orang terdekat yang tinggal bersama dapat bertahan hidup, bekerja dan beraktifitas.

2. Untuk memotivasi individu-individu yang hidup sendiri, bahwa dengan berfungsi secara positif dalam aktifitas kehidupan sehari- hari, mereka akan tetap dapat menjalani hidup mereka dengan baik.

3. Agar para konselor di bidang psikologi klinis dan psikologi sosial dapat mengetahui bagaimana psychological well-being dari individu yang hidup sendiri.

(23)

1.5 Sistematika penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang, Pertanyaan Penelitan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan psychological well-being, diantaranya adalah definisi, dimensi pada psychological well-being, dan hal-hal yang mempengaruhi psychological well-being.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan tentang Metodologi Penelitian Kualitatif yang digunakan, Metode Pengumpulan Data, Lokasi Penelitian, Responden Penelitian, Alat Bantu Pengumpulan Data, Tahap Prosedur Pelaksanaan Penelitian, Metode Analisis Data, dan Kredibilitas Penelitian.

(24)

BAB II

LANDASAN TEORI 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

2.1.1 Definisi Psychological Well-Being

Teori psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun 1989.

Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Segala aktifitas yang dilakukan oleh individu yang berlangsung setiap hari dimana dalam proses tersebut kemungkinan mengalami fluktuasi pikiran dan perasaan yang dimulai dari kondisi mental negatif sampai pada kondisi mental positif, misalnya dari trauma sampai penerimaan hidup dinamakan psychological well-being (Bradburn dalam Ryff & Keyes,1995).

Menurut Bradburn (dalam Ryff & Keyes, 1995), psychological well-being merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari.

Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif (misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri).

Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki psychological well being merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa.

(25)

Huppert (2009) menambahkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan kehidupan seseorang yang berlangsung dengan baik. Keberlangsungan kesejahteraan psikologis seseorang tidak membutuhkan individu untuk merasa positif akan hidupnya untuk setiap saat, namun berbagai pengalaman emosi yang menyakitkan, seperti kekecewaan dan kegagalan, juga merupakan hal yang esensial untuk kesejahteraan psikologis. Pengalaman emosi negatif hanya akan menganggu kesejahteraan psikologis seseorang ketika pengalaman tersebut dialami untuk waktu yang cukup lama dan menganggu keberfungsian seseorang dalam kehidupannya. Secara umum, Jarden mendefenisikan kesejahteraan psikologis sebagai kebahagiaan, kepuasan hidup, dan pertumbuhan pribadi (Ryff 1989).

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang. Dimana individu dapat menerima segala kekurangan, kelebihan dan masa lalunya, mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta terus mengembangkan pribadinya.

(26)

2.1.2 Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being

Ryff dalam buku Human Development (2000) mengemukakan enam dimensi psychological well-being, yakni :

A. Otonomi (Autonomy)

Otonomi digambarkan sebagai kemampuan individu untuk bebas namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah lakunya.

Individu yang memiliki otonomi yang tinggi ditandai dengan bebas, mampu untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dan mengatur perilaku diri sendiri, kemampuan mandiri, tahan terhadap tekanan sosial, mampu mengevaluasi diri sendiri, dan mampu mengambil keputusan tanpa adanya campur tangan orang lain.

Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi otonomi akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk mmembuat keputusan penting, serta mudah terpengaruh oleh tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu (Ryff, 1995).

B. Penguasaan lingkungan (Environmental mastery)

Penguasaan lingkungan digambarkan dengan kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan, dan mengontrol lingkungan

(27)

sesuai dengan kebutuhan. Individu yang tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi.

Sebaliknya individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang rendah akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya serta tidak mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan diri lingkungan sekitarnya (Ryff, 1995).

C. Pertumbuhan pribadi (Personal growth)

Individu yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman- pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi rendah akan merasakan dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat

(28)

peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang baik (Ryff, 1995).

D. Hubungan positif dengan orang lain (Positive relations with others)

Hubungan positif yang dimaksud adalah kemampuan individu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Individu yang tinggi dalam dimensi ini ditandai dengan mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain. Selain itu, individu tersebut juga memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antarpribadi. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain, terisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain (Ryff, 1995).

E. Tujuan hidup (Purpose of life)

Tujuan hidup memiliki pengertian individu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memegang keyakinan bahwa individu mampu mencapai tujuan dalam hidupnya, dan merasa bahwa pengalaman hidup di masa lampau dan masa

(29)

sekarang memiliki makna. Individu yang tinggi dalam dimensi ini adalah individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta memiliki tujuan dan sasaran hidup. Sebaliknya individu yang rendah dalam dimensi tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita yang tidak jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu, serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan (Ryff, 1995).

F. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Dimensi ini didefinisikan sebagai karakteristik utama dari kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan dewasa. Penerimaan diri berarti merasa baik tentang diri sendiri, terhadap masa lalu, dan disaat yang bersamaan mengetahui kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Individu yang mimiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan bersikap positif terhadap diri sendiri, mengetahui dan menerima segala aspek yang ada dalam dirinya, baik itu yang merupakan kelebihan maupun kekurangan, serta memiliki sikap yang positif terhadap kehidupan di masa yang lalu. Menurut Maslow (dalam Calhoun & Acocella, 1990) penerimaan diri merupakan salah satu karakter dari individu yang mengaktualisasikan dirinya dimana mereka dapat menerima dirinya apa adanya,

(30)

memberikan penilaian yang tinggi pada individualitas dan keunikan diri sendiri.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Faktor-faktor sosiodemografis yang dapat mempengaruhi psychological well-being pada diri individu (Ryff, 1989), yakni :

A. Usia

Penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai kelompok usia (Ryff, 1989b, 1991; Ryff & Keyes,1995; Ryff & Singer, 1998). Ryff membagi kelompok usia ke dalam tiga bagian yakni young (25-29 tahun), mildlife (30- 64 tahun), dan older (> 65 tahun). Pada individu dewasa akhir (older), memiliki skor tinggi pada dimensi otonomi, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan penerimaan diri sementara pada dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup memiliki skor rendah. Individu yang berada dalam usia dewasa madya (mildlife) memiliki skor tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan, otonomi, dan hubungan positif dengan orang lain sementara pada dimensi pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan penerimaan diri mendapat skor rendah. Individu yang berada dalam usia dewasa awal (young) memiliki skor tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, dan tujuan hidup sementara pada dimensi hubungan

(31)

positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan otonomi memiliki skor rendah (Ryff dalam Ryan & Deci, 2001).

B. Gender

Hasil penelitian Ryff (1989) menyatakan bahwa dalam dimensi hubungan dengan orang lain atau interpersonal dan pertumbungan pribadi, wanita memiliki nilai signifikan yang lebih tinggi dibanding pria karena kemampuan wanita dalam berinteraksi dengan lingkungan lebih baik dibanding pria.Keluarga sejak kecil telah menanamkan dalam diri anak laki-laki sebagai sosok yang agresif, kuat, kasar dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, tidak berdaya, serta sensitif terhadap perasaan orang lain dan hal ini akan terbawa sampai anak beranjak dewasa. Tidak mengherankan bahwa sifat- sifat streotype ini akhirnya terbawa oleh individu sampai beranjak dewasa.

Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk membina keadaan harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki psychological well-being yang tinggi dalam dimensi hubungan positif karena ia dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain (Papalia & Feldman, 2008).

(32)

C. Status Sosial Ekonomi

Ryff mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri (dalam Ryan & Decci, 2001). Perbedaan status sosial ekonomi dalam psychological well-being berkaitan erat dengan kesejahteraan fisik maupun mental seseorang. Individu dari status sosial rendah cenderung lebih mudah stress dibanding individu yang memiliki status sosial yang tinggi (Adler, Marmot, McEwen, & Stewart, 1999).

E. Pendidikan

Pendidikan menjadi satu faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being. Semakin tinggi pendidikan maka individu tersebut akan lebih mudah mencari solusi atas permasalahan yang dihadapinya dibanding individu berpendidikan rendah. Faktor pendidikan ini juga berkaitan erat dengan dimensi tujan hidup individu (Ryff, Magee, Kling & Wing, 1999).

F. Budaya

Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme atau kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan otonomi, sedangkan budaya timur yang

(33)

menjunjung tinggi nilai kolektivisme memiliki nilai yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.

2.1.4 Dampak Psychological Well-being

Sudah dijelaskan diatas bahwa kesejahteraan psikologis atau psychological well-being memiliki enam dimensi yang harus dimiliki individu agar dapat berfungsi secara positif dalam kehidupan sehari-hari (Ryff & Keyes, 1995).

Apabila individu memiliki psychological well-beingyang tinggi, individu dapat menjadi orang yang mandiri, dimana individu mampun menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal. Individu juga mampu mengembangkan dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental.

Untuk pertumbuhan pribadi individu, hubungan dengan orang lain, tujuan hidup dan penerimaan diri tinggi yang dimiliki individu juga dapat berdampak terhadap individu, sehingga individu mampu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman serta memahami konsep memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia. Individu juga mampu mengaktualisasi diri, berfungsi secara optimal, dan dewasa (Ryff & Keyes, 1995)..

(34)

2.2 HIDUP SENDIRI 2.2.1 Definisi Hidup Sendiri.

Terdapat berbagai macam definisi yang dapat menggambarkan hidup sendiri, yaitu:

A. Being single

Menurut Degenova (2008) melajang (single) adalah individu yang tidak menikah atau tidak terlibat dalam hubungan homoseksual dan heteroseksual. Single atau lajang dapat diartikan sebagai jalan hidup atau sebuah ketetapan dalam pikiran, hidyp melajang tidak terikat dan tidak bergantung pada orang lain, tidak memiliki komitmen pada hubungan jangka panjang denga orang dewasa lain, dan tidak berganung pada orang lain mengenai masalah keuagan mereka (Brehm, 1992).

B. Mandiri

Kemandirian merupakan kemampuan untuk melakukan dan mempertanggungjawabkan tindakan yang dilakukannya serta untuk menjalin hubungan yang suportif dengan orang lain (Steinberg, 2002).

Menurut Shaffer (2002), kemandirian sebagai kemampuan untuk membuat keputusan dan menjadikan dirinya sumber kekuatan emosi diri sehingga tidak bergantung kepada orang lain.

(35)

Kemandirian mencakup pengertian dari berbagai istilah seperti Autonomy, Independency, dan Self Relience. Pada dasarnya kemandirian dapat dimanifestasikan dalam bentuk sikap maupun perbuatan, sebab sebenarnya sikap merupakan dasar dari terbentuknya suatu perbuatan (Masrun, 1986).

C. Hidup sendiri

Individu yang hidup sendiri adalah individu yang tinggal di rumah tempat tinggal mereka seorang diri, tanpa ada orang lain yang tinggal bersama mereka. Individu juga tidak menikah atau tidak memiliki pasangan hidup.

2.2.2 Tantangan Hidup Sendiri

Dalam buku Psychology of Woman dikatakan bahwa dalam budaya atau kehidupan sehari- hari, dipercaya bahwa terlihat tidak normal apabila seseorang, terutama wanita hidup sendiri pada sebuah situasi sosial (Watrous & Honeychurch, 1999). Wanita yang memasuki usia dewasa, seharusnya hidup bersama keluarga mereka yaitu pasangan dan anak-anak mereka. Beberapa orang single yang ditanya juga, mereka merasa tidak nyaman hidup sendiri dalam perkotaan atau di berada di lingkungan yang merupakan kota besar (Chasteen, 1994).

(36)

Orang-orang yang hidup sendiri juga sering menjadi objek yang dikasihani, dan juga dianggap menjalani kehidupan mereka dengan perasaan kesepian, tidak ada orang terdekat untuk berbagi. Orang yang menjalani hidup sendiri juga menjadi bahan pikiran dan bahasan keluarga mereka ketika mereka tidak menikah (K. G. Lewis & Moon, 1997). Individu yang hidup sendiri akan rentan mengalami loneliness atau kesepian.

Loneliness itu sendiri diartikan oleh Peplau & Perlman (dalam Brage, Meredith & Woodward, 1998) sebagai perasaan dirugikan dan tidak terpuaskan yang dihasilkan dari kesenjangan antara hubungan sosial yang diinginkan dan hubungan sosial yang dimiliki. Deaux, Dane & Wrightsman (1993) menyimpulkan bahwa ada tiga elemen dari definisi loneliness yang dikemukakan oleh Peplau & Perlman, yaitu :

A. Merupakan pengalaman subyektif, yang mana tidak bisa diukur dengan observasi sederhana.

B. Loneliness merupakan perasaan yang tidak menyenangkan.

C. Secara umum merupakan hasil dari kurangnya/terhambatnya hubungan sosial.

Menurut Robert Weiss (dalam Santrock, 2003), loneliness merupakan reaksi dari ketiadaan jenis-jenis tertentu dari hubungan.

Loneliness terjadi ketika adanya ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan seseorang dan kenyataan dari kehidupan interpersonalnya, sehingga

(37)

seseorang menjadi sendiri dan kesepian (Burger, 1995). Selanjutnya, loneliness akan disertai oleh berbagai macam emosi negatif seperti depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri (Anderson, 1994) dan malu (Jones, Carpenter & Quintana, 1985).

2.2.3 Alasan-alasan Seseorang Hidup Sendiri

Beberapa alasan yang dimiliki individu untuk memilih hidup sendiri adalah dengan adanya kebebasan bagi seseorang khususnya wanita untuk memutuskan menikah atau tidak (Tioso, 1997: 5). Hurlock (2004: 301) mengemukakan beberapa alasan lain yang dapat mendorong individu untuk melajang atau hidup sendiri yaitu penampilan fisik yang kurang menarik, memiliki cacat fisik, sering gagal dalam mencari pasangan, adanya kesempatan untuk berkarier, jarang mempunyai kesempatan untuk bertemu dengan lawan jenis yang cocok dan memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan pemikahan yang dialami oleh orang-orang terdekat (keluarga atau teman).

Santrock (dalam Dariyo, 2004:146) mengatakan pula bahwa dalam menjalani kehidupan melajang di usia dewasa, ada suka dan duka. Individu yang hidup melajang memiliki kebebasan yang penuh atas dirinya, bebas menjalin persahabatan baik dengan lawan jenis maupun dengan ternan sejenis, bebas melakukan apa saja, bisa fokus pada pekerjaan, dapat hidup mandiri dan tidak memiliki beban untuk mengurus rumah tangga. Namun ada saat-saat dimana

(38)

individu yang hidup melajang merasa kesepian dan rindu untuk memiliki keluarga kecil, ingin memiliki seseorang untuk berbagi suka dan duka.

2.4 DINAMIKA TEORITIS

Hidup sendiri memiliki beberapa makna. Hidup sendiri dapat diartikan sebagai hidup seorang diri, tanpa ada sanak saudara, keluarga atau orang lain yang tinggal bersama di dalam satu rumah. Individu bertanggung jawab akan keberlangsungan hidupnya sendiri, tidak bergantung pada orang lain, menyelesaikan masalah yang dihadapinya sendiri. Hal ini dapat diartikan sebagai hidup mandiri. Kemandirian pada individu yang hidup sendiri dapat sangat membantu individu dalam berpikir jernih untuk menghadapi masalah dalam hidupnya karena sejatinya tidak selamanya hidup sendiri tanpa orang lain dapat membuat individu terpuruk, tergantung pada orang lain dan tidak bisa dalam membuat keputusan dalam hidup serta menghadapi masalah yang muncul dalam keberlangsungan hidup.

Hidup sendiri juga diartikan sebagai hidup tanpa pasangan atau tidak menikah atau hidup melajang. Individu yang hidup sendiri tanpa ada sanak saudara atau orang lain yang tinggal di dalam rumah serta tidak menikah atau melajang, tidak tertutup kemungkinan merasakan kesepian dan mengisolasikan dirinya terhadap orang lain.

Hidup sendiri dapat membuat kebutuhan individu untuk memiliki hubungan interpersonal atau hubungan positif terhadap orang lain menjadi tidak terpuaskan. Hubungan positif yang dimaksud adalah kemampuan individu

(39)

menjalin hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain yang tinggi ditandai dengan mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain. Selain itu, individu juga memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antarpribadi. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki atau tidak terlalu memiliki hubungan positif dengan orang lain, terisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain (Ryff, 1995).

Kemandirian dan hubungan positif terhadap orang lain merupakan dimensi dari psychological well-being atau kesejahteraan psikologis. Selain itu, psychological well-being memiliki empat dimensi lain, yaitu penguasaan lingkungan, tujuan hidup, pertumbuhan pribadi dan penerimaan diri.

Pertumbuhan pribadi yang berarti mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia.

Memanfaatkan secara maksimal seluruh bakat dan kapasitas yang dimiliki oleh individu merupakan hal yang penting untuk mencapai psychological well-being.

Setiap individu pasti memiliki bakat yang ingin mereka kembangkan sebagai kepuasan pribadi serta memenuhi kebutuhan mereka untuk tumbuh. Selain dimensi in, ada lagi dimensi penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan penerimaan diri yang harus dimiliki oleh individu agar dapat memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi.

(40)

2.5 KERANGKA BERPIKIR

Individu

Hidup sendiri Tidak menikah / tidak

memiliki pasangan Tetap menjalani hidup dengan

baik dan mandiri.

Memiliki Psychological Well-Being yang tinggi.

Penguasaan Lingkungan Otonomi

Pertumbuhan

Pribadi Hubungan Positif dengan

Orang Lain

Penerimaan Diri Tujuan Hidup

Dimensi Psychological Well-Being

(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metodologi Penelitian Kualitatif

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih karena peneliti ingin mengetahui seluruh informasi mengenai gambaran psychological well-being pada individu yang hidup sendiri dan mengapa psychological well-being individu yang hidup sendiri positif dengan baik. Seluruh informasi tidak akan didapatkan secara maksimal apabila hanya mengandalkan skala tertulis tanpa adanya tanya jawab secara langsung dengan partisipan penelitian. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Poerwandari (2007) bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti dan sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih ’etis’ dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah.

Sehingga, untuk lebih memahami gambaran psychological well-being pada individu yang hidup sendiri, maka penelitiannya tidaklah cukup hanya dengan mencari ”Bagaimana” yaitu tentang bagaimana gambaran psychological well- being pada individu yang hidup sendiri, akan tetapi ditambah juga dengan “apa”

dan “mengapa” psychological well-being orang yang hidup sendiri positif.

Secara khusus tipe penelitian kualitatif tentang psychological well-being pada individu yang hidup sendiri adalah bertipe studi kasus tunggal. Kasus adalah

(42)

fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks. Studi kasus ini bersifat intrinsik yang artinya penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada kasus khusus yang dialami responden. Poerwandari (2007). Penelitian dilakukan untuk memahami secara utuh dan lebih mendalam tentang kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep/teori ataupun tanpa adanya upaya menggeneralisasi.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Dalam pendekatan/tipe penelitian studi kasus tunggal, Poerwandari (2007) mengemukakan bahwa metode penelitian dapat dilakukan dari berbagai sumber dengan beragam cara, bisa berupa wawancara, maupun studi dokumen/karya/produk tertentu yang terkait dengan kasus serta observasi.

Pemilihan cara apa yang hendak dilakukan adalah tergantung dari kapasitas peneliti.

Secara khusus penelitian fokus pada pengumpulan data dengan cara wawancara. Wawancara dilakukan pada responden secara langsung serta orang yang mengetahui informasi mengenai responden penelitian. Wawancara sangat bermanfaat untuk memperoleh informasi dengan lebih mendalam dan tetap terfokus pada tujuan yang telah ditetapkan di awal. Wawancara dapat tetap terfokus dengan adanya pembuatan pedoman wawancara. Probing selama wawancara juga sering dilakukan, dan selama wawancara, peneliti juga melakukan observasi terhadap responden.

(43)

3.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di rumah responden Jl. Pintu Air IV, Medan, Sumatera Utara. Pemilihan lokasi adalah kediaman responden sendiri dikarenakan kondisi fisik responden yang mungkin akan kesulitan apabila dilakukan di tempat lain.

3.4 Responden Penelitian

3.4.1 Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah:

A. Individu yang berada pada masa dewasa madya.

B. Hidup sendiri (tidak menikah dan tidak tinggal bersama dengan orang lain di rumah).

3.4.2 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan pengambilan responden berdasarkan teori psychologicall well-being atau berdasarkan konstruk operasional (theory- based/operational construct sampling). Responden dipilih berdasarkan kriteria tertentu seperti yang tertulis di kriteria sampel, yaitu sampel merupakan wanita pada dewasa awal, dimana dewasa awal adalah yang berusia 20-40 tahun dan sudah hidup sendiri (tidak menikah dan tidak tinggal bersama dengan orang lain di rumah) dalam kurun waktu yang cukup lama, yang sebelumnya telah dirumuskan oleh peneliti. Hal ini

(44)

dilakukan agar sampel benar-benar mewakili atau bersifat representatif terhadap kasus yang dipelajari.

3.5 Alat Bantu Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat bantu perekam yaitu dengan handphone dan kertas yang berisikan pedoman wawancara untuk mempermudah peneliti dalam mengumpulkan data. Mengingat cukup sulit untuk melakukan pencatatan terhadap segala hal yang disampaikan responden dalam proses wawancara sehingga kemungkinan besar akan banyak informasi yang tidak tercatat, maka alat bantu perekam diharapkan dapat merekam semua informasi selama proses wawancara berlangsung dengan lebih detail sehingga memungkinkan peneliti untuk memperoleh informasi secara utuh. Pedoman wawancara digunakan peneliti untuk membantu peneliti agar tetap fokus dengan hanya memberikan pertanyaan seputar hal-hal yang relevan dengan tujuan penelitian.

3.6 Prosedur Penelitian 3.6.1 Tahap Awal Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian yaitu sebagai berikut:

A. Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan psychological well being dan individu yang hidup sendiri.

B. Mencari dan menentukan responden penelitian.

(45)

C. Membangun rapport dengan responden penelitian.

D. Memberikan informed consent.

E. Setelah informed consent didapatkan maka peneliti dan responden mengatur jadwal pertemuan untuk melakukan wawancara.

F. Menyusun pedoman wawancara.

G. Mempersiapkan perlengkapan untuk pengumpulan data.

3.6.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini diawali dengan perkenalan serta memberi penjelasan pada responden mengenai tujuan penelitian. Peneliti juga menjelaskan mengenai prosedur dan kerahasiaan data penelitian, kemudian wawancara dilakukan di tempat yang disepakati oleh peneliti dan responden penelitian. Proses wawancara direkam dengan handphone sebagai alat bantu untuk merekam.

3.6.3 Tahap Pencatatan Data

Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Wawancara dimulai setelah responden memberikan izin untuk merekam. Setelah proses wawancara selesai dilakukan, informasi yang telah diperoleh peneliti kemudian ditulis kembali dalam bentuk verbatim.

(46)

3.6.4 Analisis Data

Proses analisis data dimulai dengan memahami kembali seluruh informasi yang telah didapatkan dari proses wawancara. Menurut Poerwandari (2005), terdapat beberapa tahapan dalam menganalisa data kualitatif, yaitu:

A. Organisasi data

Proses analisis data diawali dengan mengorganisasikan data.

Organisasi data penting (Poerwandari, 2005) mengingat data kualitatif yang diperoleh dari lapangan begitu banyak dan beragam sehingga perlu untuk diorganisasikan agar tersaji dengan rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan, data hasil rekaman), data yang telah diperoleh diproses sebagian (transkrip wawancara, catatan refleksi peneliti), data yang sudah diberikan kode-kode dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analitis.

B. Koding dan Analisa

Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang fenomena yang hendak dipelajari. Koding dilakukan dengan menyusun transkripsi verbatim atau catatan lapangan sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup di sebelah kiri dan kanan transkrip. Kemudian koding dilanjutkan dengan pemberian kode-kode pada transkrip wawancara kolom sebelah kanan atau kiri. Proses ini juga

(47)

diiringi dengan analisa data dan analisa tematik yang disesuaikan dengan teori yang digunakan dalam penelitian.

C. Pengujian Terhadap Dugaan

Setelah melalui melakukan koding dan analisis data, peneliti akan mendapatkan kesimpulan sementara, namun hal ini bukanlah kesimpulan final. Karena kesimpulan sementara yang telah diperoleh peneliti harus dipertajam dan diuji lebih lanjut. Untuk mempertajam dan mengujinya, peneliti dapat mencoba mencari kekonsistenan informasi dari responden dengan menanyakan kembali pada wawancara berikutnya serta mencari data yang memberikan gambaran berbeda dari pola-pola yang muncul.

D. Strategi Analisis

Patton (dalam Poerwandari 2005) menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata responden sendiri (indigenous concepts) maupun konsep yang dikembangkan atau dipilih peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis (sensitizing concepts). Analisa yang dilakukan adalah analisa studi kasus pada responden penelitian.

E. Tahapan Interpretasi

Kvale (dalam Poerwandari, 2005) mengatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan mengisterpretasi data melalui perspektif tersebut.

(48)

3.7 Kredibiltas Penelitian

Kredibilitas penelitian kualitatif menurut Poerwandari (2005), terletak pada keberhasilan mencapai maksud dari mengeksplorasi masalah atau mendekripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Peneliti berusaha setiap tahapan dijalankan dengan sebaik mungkin dengan hati-hati dan mengutamakan ketelitian demi menjaga kualitas rangkaian penelitian dapat berjalan dengan baik serta dapat dipertanggungjawabkan.

(49)

BAB IV

DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan diisi dengan uraian hasil analisa data wawancara yang telah dilakukan selama pengambilan data penelitian. Hasil yang didapat dari penelitian ini akan dianalisa agar dapat memperjelas bagaimana gambaran Psychological well being atau kesejahteraan psikologis pada individu yang hidup sendiri.

4.1 DESKRIPSI DATA

4.1.1 Latar Belakang Responden

Responden merupakan seseorang perempuan berusia 48 tahun. Responden sudah tinggal sendiri sejak berumur 30 tahun. Responden merupakan seseorang bersuku batak Toba. Responden bekerja sebagai penjahit untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Awalnya responden tinggal dengan saudaranya, akan tetapi salah satu teman responden mengajak untuk pindah dari rumah saudara dan menyewa rumah agar mereka dapat membuka usaha sendiri. Selama dua tahun responden tinggal bersama dengan temanya, saat berumur 20 tahun, teman responden memutuskan pindah ke rumah sewa yang lain dan meninggalkan responden hidup sendiri. Akan tetapi, responden memutuskan untuk tetap hidup sendiri dan tidak kembali ke rumah saudaranya. Responden membuka usaha menjahit di rumahnya, pekerjan ini sesuai dengan pendidikan yang ditempuh di SMK responden, di jurusan tata busana. Responden tidak pernah menikah, hal ini

(50)

dikarenakan sampai sekarang responden belum menemukan orang yang cocok untuk dirinya. Responden juga pernah mengalami gagal menikah.

Menurut hasil observasi peneliti, responden merupakan seorang yang ramah. Dilihat dari interaksi responden dengan tetangga-tetangga, teman-teman serta pelanggannya dalam bekerja sebagai penjahit. Sebagai orang yang sudah lama hidup sendiri, responden tidak mengisolasi dirinya dengan lingkungan sekitar atau menghindar apabila ada orang yang mencoba berinteraksi dengan dirinya.

Kondisi fisik responden juga memiliki keterbatasan. Kedua kaki tidak dapat berfungsi secara normal, responden tidak dapat menggerakkan kakinya untuk berjalan, sehingga harus merangkak. Kedua kaki responden sudah memiliki tanda-tanda kelainan sejak kecil, akan tetapi, kaki responden benar-benar tidak berfungsi dengan baik sejak tahun 2012. Hal ini diakui responden tidak terlalu menghambatnya dalam bekerja atau beraktifitas sehari-hari. Keseharian responden banyak dihabiskan di rumahya sendiri. Pada hari minggu atau hari besar keagamaan, responden akan pergi ke Gereja atau ke rumah saudara. Selain karena kondisi fisik dari responden yang tidak dapat dengan leluasa untuk berpergian, responden merasa lebih suka berada di rumah.

(51)

4.1.2 Deskripsi a. Otonomi

Otonomi

Responden hidup sendiri selama 20 tahun.

Responden memulai hidup tanpa bantuan saudara dengan pindah rumah bersama teman.

Responden dan temannya membuka usaha menjahit dan salon di rumah kontrak.

Responden memulai hidup sendiri di umur

30 tahun. Apabila teman responden

tidak mengajaknya pindah, responden tidak berani pindah dari rumah saudara.

Responden langsung nyaman begitu membuka usaha sendiri.

Responden langsung nyaman begitu memulai hidup sendiri.

Saat teman responden meninggal dunia,

responden tidak kembali ke rumah saudara.

Kesulitan keuangan.

Responden mendapatkan kesulitan saat hidup sendiri.

Responden tetap ingin tinggal sendiri.

Kesulitan dalam bekerja.

Responden tetap menjalankan usaha menjahit sendiri, dan tidak kembali menumpang dengan saudaranya.

Tidak ada langganan dalam pekerjaannya.

(52)

Kesulitan yang dihadapi responden, tidak membuat responden menyerah menjalani hidup sendiri.

Responden mendapatkan kesulitan saat hidup sendiri.

Responden selalu berusaha menemukan solusi untuk kesulitan yang dihadapinya.

Walapun menghadapi kesulitan;…

Responden tetap tidak keberatan hidup sendiri.

Responden ingin mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.

Responden tetap lebih nyaman hidup sendiri dibandingkan dengan orang lain.

Responden merasa hidup dengan orang lain lebih repot.

Tinggal di rumah orang lain responden harus melakukan pekerjaan rumah.

Bila tinggal sendiri, responden merasa bebas.

Bebas dalam mengerjakan pekerjaan rumah.

Waktu responden bekerja sebagai penjahit berkurang.

Bebas bekerja kapan saja.

Melakukan pekerjaan rumah.

Melakukan hal lainnya.

Melakukan pekerjaan sebagai penjahit.

(53)

Responden sudah tinggal seorang diri selama kurang lebih 18 tahun.

Sebelum tinggal sendiri, responden tinggal bersama saudaranya di Medan. Saat tinggal dengan saudaranya , yaitu kakak responden, responden berumur 15 tahun, dimana responden sedang bersekolah SMK sampai tamat, setelah tamat sekolah, responden mengikuti ajakan teannya untuk pindah ke tempat lain, untuk memulai usaha dan belajar hidup mandiri. Responden menyetujui hal tersebut karena responden ingin bekerja dan menghasilkan uang untuk dirinya sendiri. Di umur 20 tahun, responden akhirnya pindah dari rumah saudaranya dan tinggal di rumah yang ia sewa bersama dengan temannya. Responden mengakui apabila temanya tidak mengajaknya pindah, responden tidak berani untuk pindah dari rumah saudaranya. 10 tahun setelah pindah, teman responden memutuskan untuk menyewa rumah sendiri, dan meninggalkan responden di rumah yang pertama kali mereka sewa. Setelah ditinggal oleh temannya, responden tetap tinggal sendiri dan memutuskan tidak kembali ke rumah saudara. Responden mengakui bahwa responden tetap ingin hidup sendiri.

Responden memulai hidup sendiri di umur 30 tahun. Responden mengakui bahwa ia langsung nyaman begitu hidup sendiri, dan responden nyaman juga dalam membuka usaha menjahitnya seorang diri. Akan tetapi, walaupun responden mengatakan tetap ingin hidup sendiri setelah ditinggalkan temannya sendiri di rumah yang pernah ditempati bersama-sama dan merasa nyaman saat benar-benar hidup dan membuka usaha sendiri, responden tetap mendapatkan kesulitan selama menjalani hidup sendiri.

Referensi

Dokumen terkait

Nilai R square sebesar 0,067 berarti kontribusi ekspor komoditi non migas terhadap pertumbuha ekonomi propinsi Sumatera Barat tahun 2011 – 2015 hanya sebesar 6,7% dan sisanya

Maka hipotesis kesepuluh yang menyatakan bahwa ROA secara persial memiliki pengaruh positive yang signifikan terhadap CAR pada Bank Umum Swasta Nasional Non

Kondisi ini dipengaruhi oleh: (1) mekanisme pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum yang sejak awal sudah melakukan proses penurunan tekanan ruang pembeku yang juga

Menurut Naylor dan Diem dalam (Soetjipto; 2001; 195-196) mengatakan bahwa proses inkuiri meliputi enam elemen. 1) Mengetahui dan mendefinisikan masalah: pada tahap ini

United Nation Conference on Environment & Development.. Rio de Janeiro: United Nation

Honorarium Pengelola Keuangan ( Penguna Anggaran, Bendahara Pengeluaran, Pembantu Bendahara Pengeluaran, Bendahara Penerimaan, Bendahara Gaji, Penyimpanan Barang, Pengurus

 Dari hasil pengujian Tarik dan Penggujian Impact yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa penggunaan polaritas pengelasan DC (+) mempunyai nilai yang lebih tinggi pada

Berikut ini adalah hasil dari eksperimen yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan CLSC pada data uji ketiga dengan menggunakan algoritma Simulated Annealing