• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jumlah bakteri pendegradasi C dan N

Organisme perombak bahan organik memegang peranan penting karena sisa organik yang telah mati diurai menjadi unsur-unsur yang dikembalikan dalam tanah (N, P, K, Ca, Mg, dan lain-lain) dan atmosfer (CH4 atau CO2) sebagai hara yang dapat digunakan kembali oleh tanaman, sehingga siklus hara dapat berjalan sebagaimana mestinya. Adanya aktivitas organisme perombak bahan organik seperti mikroba dapat mendukung keberlangsungan proses siklus hara. Belakangan ini, mikroorganisme perombak bahan organik digunakan sebagai strategi untuk mempercepat proses dekomposisi sisa-sisa tanaman yang mengandung lignin dan selulosa, selain untuk meningkatkan biomassa dan aktivitas mikroba tanah, mengurangi penyakit, larva insek, biji gulma, volume bahan buangan, sehingga pemanfaatannya dapat meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanah yang merupakan kebutuhan pokok untuk meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah (Saraswati et al. 2010).

Penelitian kali ini menggunakan bakteri dari produk pasaran LB10 yang dibiakkan dengan beberapa campuran bahan seperti air kelapa, mengkudu, dan gula merah. Hasil biakan dari bakteri LB10 ini kemudian digunakan dalam proses pengelolaan sampah organik dengan harapan mikroorganisme yang ada dapat berguna sebagai perombak bahan organik dan dapat mempercepat proses dekomposisi sampah organik. Jenis bakteri tidak menjadi pokok bahasan pada penelitian kali ini, sehingga data yang digunakan yaitu jumlah mikroba (Tabel 2).

Jumlah mikroba yang dihitung dibagi berdasarkan 3 kelompok, yaitu bakteri pendegradasi pati dan selulosa yang merupakan kandungan dari karbon dan jumlah bakteri pendegradasi protein yang merupakan kandungan dari nitrogen, sehingga dari jumlah masing-masing bakteri akan tampak pengaruhnya pada laju degradasi karbon dan nitrogen pada sub bab berikutnya. Menurut Endah et al. (2007), senyawa karbon bersumber dari gula sederhana yaitu pati dan selulosa, sehingga jumlah bakteri yang dihitung meliputi jumlah bakteri pendegradasi pati dan selulosa. Bakteri selulolitik adalah bakteri yang tepat untuk mendegradasi selulosa. Pemakaian bakteri selulolitik memiliki banyak keuntungan antara lain yaitu hemat biaya, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, mudah ditemukan. Bakteri selulolitik biasanya hidup dalam saluran pencernaan. Hasil isolasi dari saluran pencernaan kumbang tinja (Dung beetles) pada penelitian Wiparnaningrum (2010) mendapatkan bakteri selulolitik yaitu Cellulomonas, Pseudomonas, dan Cellvibrio.

Penghitungan jumlah mikroba diklasifikasikan berdasarkan kelompok pendegradasi pati, selulosa, protein karena bahan baku yang digunakan pada pengolahan sampah ini adalah campuran dari jerami padi dan sisa bahan makanan. Menurut Legowo (2004), pada umumnya bahan makanan tersusun oleh tiga komponen, yaitu protein, karbohidrat, dan lemak serta turunannya. Campuran bahan baku yang merupakan bahan organik merupakan dasar penentuan klasifikasi 3 kelompok pendegradasi. Menurut Suryani (2007), bahan organik yang mudah terdekomposisi karena tersusun oleh senyawa sederhana yang terdiri dari C, O, dan H termasuk di dalamnya senyawa selulosa, pati, gula, dan protein.

Kandungan senyawa karbon seperti gula, pati, selulosa, hemiselulosa, lignin, pektin, lemak, dan protein menduduki 40% (sebagai C) berat kering jerami. Tiga

bentuk nitrogen biologis yang terdapat dalam bahan organik adalah protein, penyusun dinding sel mikroba (Sutanto dalam Ekawati 2005). Hal ini yang mendasari klasifikasi kelompok pendegradasi menjadi 3 kelompok, yaitu pendegradasi selulosa, pati, dan protein karena hasil akhir yang akan dianalisis berkaitan dengan nilai C dan N.

Tabel 2 Jumlah bakteri pada setiap perlakuan

Bakteri Pendegradasi Pati

Murni LB10 8.1 x 102 cfu/ml

Biakan LB10 1.1 x 105 cfu/ml

Aplikasi LB10 umur 2 Minggu 6.2 x 106 cfu/ml Bakteri Pendegradasi Protein

Murni LB10 6 x 102 cfu/ml

Biakan LB10 1.4 x 105 cfu/ml

Aplikasi LB10 umur 2 Minggu 1.6 x 108 cfu/ml Bakteri Pendegradasi Selulosa

Murni LB10 2.5 x 101 cfu/ml

Biakan LB10 2.1 x 102 cfu/ml

Aplikasi LB10 umur 2 Minggu 3.9 x 105 cfu/ml

Jumlah bakteri yang dihitung meliputi bakteri murni LB10, biakan LB10, dan Aplikasi LB10 umur 2 minggu. Bakteri murni LB10 merupakan bakteri asli dari produk pasaran tanpa campuran apapun. Bakteri tersebut dihitung jumlah bakterinya menurut jenis pendegradasinya dengan menggunakan metode Total Plate Count. Biakan LB10 merupakan bakteri dari hasil biakan bakteri murni yang telah diberi tambahan beberapa macam campuran seperti gula merah, air kelapa dan mengkudu. Aplikasi LB10 umur 2 minggu adalah bakteri biakan LB10 yang telah dicampurkan pada olahan sampah dan telah difermentasi bersama sampah organik yang telah diolah selama 2 minggu. Hasil perhitungan jumlah bakteri secara lengkap disajikan pada Lampiran 1.

Jumlah bakteri pada produk asli LB10, setelah dibiakkan, dan setelah proses aplikasi rata-rata mengalami peningkatan seperti pada Tabel 2. Jumlah bakteri setelah dibiakkan mengalami peningkatan daripada bakteri murni LB10 hal ini disebabkan karena penambahan beberapa bahan baku seperti air kelapa, dan gula merah. Air kelapa mengandung gula yaitu glukosa, fruktosa, dan sukrosa. Glukosa dan fruktosa yang terkandung di dalam air kelapa merupakan gula sederhana (monosakarida) sehingga lebih mudah dimanfaatkan oleh bakteri (Fardiaz et al. 1996). Gula merah merupakan sumber karbohidrat untuk merangsang pertumbuhan mikroorganisme yang menguntungkan. Selain itu, gula merah merupakan sumber energi dan sumber makanan berbagai bentuk mikroba yang dapat menciptakan kesuburan tanah alami yang lebih besar (Dewi 2013). Penggunaan buah mengkudu pada bahan pembiakan bakteri bertujuan untuk membunuh bakteri yang tidak diinginkan, sehingga bakteri yang dapat mendegradasi C dan N dapat tumbuh sempurna, selain itu pada aplikasinya sebagai pupuk organik cair mengkudu dapat berperan sebagai insektisida alami. Menurut Hasnah dan Nasril (2005), salah satu tanaman yang bersifat sebagai insektisida nabati adalah mengkudu (Morinda citrifolia L.)

∆=1.09 x105 ∆=6.09x106 ∆=1.4x105 ∆=1.26x109 ∆=1.85x102 ∆=3.9x105

16

Selisih jumlah bakteri yang diperoleh pada bakteri murni, biakan, dan aplikasi umur 2 minggu untuk bakteri pendegradasi protein memiliki nilai yang berebeda. Selisih jumlah bakteri murni dan biakan adalah sebesar 1.09 x105, sedangkan selisih bakteri biakan dan aplikasi umur 2 minggu adalah sebesar 1.26x109. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi aktivitas pendegradasian protein yang lebih cepat pada aplikasi umur 2 minggu. Selisih jumlah bakteri untuk pendegradasi pati dan selulosa pada bakteri murni dan biakan yaitu berturut-turut sebesar 1.09 x105 dan 3.9x105. Pada bakteri pendegradasi pati dan selulosa juga didapatkan selisih terbesar yaitu antara bakteri biakan dan aplikasi umur 2 minggu yaitu berturut-turut sebesar 6.09x106 dan 3.9x105. Jumlah bakteri tertinggi didapat pada aplikasi bakteri umur 2 minggu menunjukkan bahwa bakteri yang telah diaplikasikan pada sampah organik melakukan kegiatan pendegradasian protein, pati, dan selulosa. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya proses degradasi protein, pati, dan selulosa merupakan indikasi terjadi proses degradasi C dan N sehingga selanjutnya dapat dihitung nilai rasio C/N.

Kadar air dan pengaruhnya terhadap aktivitas mikroorganisme

Gambar 10 Grafik nilai kadar air pada setiap perlakuan

Nilai kadar air awal bahan sebesar 52.54%. Persentasi nilai kadar air awal bahan ditentukan oleh bahan yang digunakan sebagai campuran. Bahan campuran jerami padi dan sampah dapur campur mendapatkan nilai kadar air terukur sebesar 52.54%. Nilai ini masih dalam kisaran nilai kadar air ideal (CPIS dalam Elia 2004). Dekomposisi bahan organik oleh mikroba terjadi pada selaput air (water film) yang melapisi partikel bahan organik dan sekaligus merupakan habitat dari jasad renik tersebut. Reaksi dekomposisi ini membutuhkan (O2) dan air (H2O). Meningkatnya poulasi mikroba dalam selaput air akan mempercepat proses pengomposan (Elia 2004).

Pengaruh kadar air terhadap aktivitas mikroorganisme dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Mikroorganisme membutuhkan air dalam kehidupan dan pertumbuhannya. Proses pengomposan berjalan baik pada kadar air awal bahan sekitar 50-60%, karena pengaruh peningkatan suhu maka kadar air

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 2 4 6 8 10 12 14 % Kad ar Ai r Minggu Ke- Bahan Kompos POC2 POC6 POC8 POC10

akan meningkat lagi. Hal tersebut disebabkan karena aktivitas mikroorganisme. Apabila kadar air meningkat menjadi 80% (20-25 hari) proses menjadi anaerobik (EPA 1989). Pengolahan sampah pada penelitian ini dibuat dalam kondisi anaerobik sehingga kadar air akhir pada setiap perlakuan lebih besar dari 70%. Perhitungan kadar air secara lengkap disajikan pada Lampiran 2.

Laju dekomposisi C

Karbon merupakan bagian penting dari material organik, sehingga karbon merupakan parameter yang penting dalam proses dekomposisi kompos (Tchobanoglous et al. dalam Kusuma 2012). Selain itu, karbon merupakan salah satu parameter penentu kematangan kompos karena ketersediaan kadar karbon dibutuhkan untuk proses dekomposisi (Mehl 2008). Pada penelitian kali ini sampah organik yang didekomposisikan memiliki nilai %C awal sebesar 27.39. Pemberian bakteri yang dilakukan pada minggu ke-2, 6, 8, dan 10 menghasilkan laju dekomposisi yang berbeda (Gambar 11).

Gambar 11 Grafik laju dekomposisi karbon pada setiap perlakuan Untuk mengetahui laju dekomposisi karbon pada sampah organik yang diolah, maka dapat dibuat persamaan. Persamaan yang paling memungkinkan adalah persamaan logaritma. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Kusuma (2013). Keputusan tersebut diambil berdasarkan nilai R2 rata-rata tertinggi dari keseluruhan perlakuan. Laju dekomposisi karbon pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.

Sampah organik yang tidak diberikan perlakuan atau pun yang diberikan penambahan bakteri pada minggu ke-2, 6, 8 dan 10 tetap mengalami dekomposisi. Namun, laju dekomposisi sampah organik yang tidak diberi perlakuan memiliki nilai paling kecil yaitu 0.236%/hari. Laju dekomposisi yang paling tinggi yaitu pada pemberian bakteri pada minggu ke-8 (POC8) yaitu sebesar 0.283%/hari (Tabel 3). Laju dekomposisi C pada perlakuan yang diberi penambahan mikroba lebih besar karena mikroba mengambil energi untuk kegiatannya, dari kalori yang dihasilkan dalam reaksi biokimia perubahan bahan limbah hayati terutama bahan

0 5 10 15 20 25 30 0 2 4 6 8 10 12 14 % Kar b o n Minggu Ke- Bahan Kompos POC 2 POC 6 POC 8 POC 10

18

zat karbohidrat, terus menerus sehingga kandungan zat karbon sampah turun makin rendah, karena ujung reaksi pernapasannya mengeluarkan gas CO2 dan H2O yang menguap. Nitrogen digunakan oleh mikroorgansme untuk mensintesis protein (Bernal et al. 1998). Nilai akhir dari %C yang memenuhi syarat menurut Peraturan Menteri Pertanian nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan Pembenah Tanah yaitu minimal 6% hanya perlakuan POC10, yaitu perlakuan dengan pemberian bakteri pada minggu ke 10 yaitu sebesar 6.413% dan pada sampah organik yang tidak diberikan perlakuan sebesar 7.372%.

Tabel 3 Laju Dekomposisi Karbon Setiap perlakuan Laju Dekomposisi Karbon Setiap Perlakuan Perlakuan Persamaan Laju

Dekomposisi R 2 C (%) Awal C (%) Akhir Selisih C (%) Laju Dekomposisi (%/hari) Bahan Kompos y = -2.05ln(x) + 14.02 0.882 27.390 7.372 20.018 0.236 POC2 y = -2.35ln(x) + 12.26 0.844 27.390 4.432 22.958 0.270 POC6 y = -2.31ln(x) + 12.76 0.831 27.390 4.847 22.543 0.265 POC8 y = -2.26ln(x) + 13.05 0.825 27.390 3.336 24.054 0.283 POC10 y = -2.08ln(x) + 13.90 0.875 27.390 6.413 20.977 0.247

Hasil perhitungan nilai karbon secara keseluran pada setiap perlakuan (Lampiran3-7) menunjukkan perbedaan laju dekomposisi yang berbeda pada minggu awal sampai dengan minggu ke-4 dan pada minggu ke-4 sampai dengan minggu ke-12. Pada awal pengomposan grafik pada Gambar 2 menunjukkan laju dekomposisi yang sangat signifikan pada minggu 0 sampai dengan minggu ke-4, sedangkan pada minggu selanjutnya sampai dengan minggu ke-12 tidak terjadi perubahan yang signifikan, sehingga laju dekomposisi dapat dibuat dengan 2 periode. Periode minggu ke-0 sampai minggu ke-4 disajikan pada Tabel 4 dan periode minggu ke-4 sampai dengan minggu ke-12 disajikan pada Tabel 5.

Tabel 4. Laju dekomposisi karbon setiap perlakuan untuk minggu ke-0 sampai dengan minggu ke-4

Perlakuan Persamaan Laju

Dekomposisi R 2 C (%) Awal C (%) Akhir Selisih C (%) Laju Dekomposisi (%/hari) Bahan Kompos y = -4.327x + 27.22 0.998 27.390 10.086 17.304 0.204 POC2 y = -4.962x + 27.65 0.998 27.390 7.545 19.846 0.233 POC6 y = -4.327x + 27.22 0.998 27.390 10.086 17.304 0.204 POC8 y = -4.327x + 27.22 0.998 27.390 10.086 17.304 0.204 POC10 y = -4.327x + 27.22 0.998 27.390 10.086 17.304 0.204

Laju dekomposisi tertinggi dari setiap perlakuan adalah laju dekomposisi perlakuan POC2. Hal ini disebabkan oleh keadaan awal bahan pengolahan sampah meningkatkan kegiatan mikroba. Keadaan awal bahan sampah yang diolah

memiliki kadar air yang ideal, aerasi yang dilakukan dengan membolak-balikkan kompos dapat mengurangi CO2 dan menambah O2 sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba. Pada periode minggu ke-0 sampai dengan minggu ke-4 POC2 memiliki laju dekomposisi tertinggi yaitu sebesar 0.233 %/hari karena perlakuan POC2 diberikan penambahan biakan bakteri pada minggu ke-2, sedangkan perlakuan yang lain masih memiliki nilai dekomposisi yang sama karena masih dalam satu bahan baku dan tidak diberi perlakuan apa pun sampai dengan minggu ke-4.

Laju dekomposisi pada minggu ke-4 sampai dengan minggu ke-12 menunjukkan perbedaan pada setiap perlakuan, akan tetapi tidak menunjukkan perbedaan nilai yang signifikan. Hal ini dikarenakan aktivitas mikroba pada periode ini sudah mulai berkurang karena bahan organik yang mudah dirombak mulai habis. Pada Tabel 5 nilai akhir dari %C yang memenuhi syarat menurut Peraturan Menteri Pertanian nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan Pembenah Tanah yaitu minimal 6% hanya perlakuan POC10, yaitu perlakuan dengan pemberian bakteri pada minggu ke 10 yaitu sebesar 6.413% dan pada sampah organik yang tidak diberikan perlakuan sebesar 7.372%.

Tabel 5. Laju dekomposisi karbon setiap perlakuan untuk minggu ke-4 sampai dengan minggu ke-12

Perlakuan Persamaan Laju

Dekomposisi R 2 C (%) Awal C (%) Akhir Selisih C (%) Laju Dekomposisi (%/hari) Bahan Kompos y = -0.333x + 11.60 0.944 10.086 7.372 2.714 0.032 POC2 y = -0.372x + 9.225 0.933 7.545 4.432 3.112 0.037 POC6 y = -0.770x + 13.14 0.797 10.086 4.847 5.239 0.062 POC8 y = -0.914x + 14.73 0.901 10.086 3.336 6.749 0.079 POC10 y = -0.429x + 12.17 0.874 10.086 6.413 3.672 0.043 Laju dekomposisi N

Nitrogen merupakan salah satu parameter penentu kematangan kompos. Pentingnya nitrogen untuk membangun sitoplasma, dinding sel, klorofil, enzim, dan metabolisme sel (Himanen 2010). Nitrogen merupakan komponen paling penting sebagai penyusun protein dan bakteri disusun oleh tidak kurang dari 50% dari biomasanya adalah protein. Jadi bakteri sangat memerlukan nitrogen untuk mempercepat pertumbuhannya. Seandainya jumlah nitrogen terlalu sedikit, maka populasi bakteri tidak akan optimal dan proses dekomposisi kompos akan melambat. Kebalikannya, seandainya jumlah N terlalu banyak, akan mengakibatkan pertumbuhan mikroba sangat cepat dan ini akan menyebabkan masalah pada aroma kompos, sebagai akibat dari keadaan anaerobik. Dalam keadaan seperti ini sebagian dari nitrogen akan berubah menjadi gas amoniak yang menyebabkan bau dan keadaan ini merugikan, karena menyebabkan nitrogen yang diperlukan akan hilang.

20

Pada penelitian ini kadar nitrogen awal sama untuk keseluruhan karena perlakuan baru dimulai pada minggu ke-2. Kadar nitrogen awal yaitu sebesar 0.94%. Kadar nitrogen mengalami penurunan selama proses pengomposan berlangsung. Grafik penurunan kadar nitrogen dapat dilihat pada Gambar 3. Kadar nitrogen menurun karena nitrogen digunakan oleh mikroorganisme untuk mensintesis material sel, asam amino, dan protein (Bernal et al. 1998).

Gambar 12 Grafik laju dekomposisi nitrogen pada setiap perlakuan Laju dekomposisi nitrogen yang diperoleh pada penelitian kali ini berada pada rentang 0.004%/hari sampai 0.008%/hari. Laju dekomposisi tertinggi diperoleh pada perlakuan POC8 yaitu pemberian bakteri pada minggu ke-8 dengan laju dekomposisi sebesar 0.008%. Namun perlakuan POC8 ini menghasilkan kadar N akhir sebesar 0.2%. Nilai ini terlalu kecil dan tidak memenuhi standar minimal nitrogen menurut SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik yaitu sebesar 0.4%. Laju dekomposisi nitrogen pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Laju dekomposisi nitrogen pada setiap perlakuan Perlakuan Persamaan Laju

Dekomposisi R 2 N(%) Awal N (%) Akhir Selisih N (%) Laju Dekomposisi (%/hari) Bahan Kompos y = -0.03ln(x) + 0.720 0.549 0.939 0.579 0.361 0.00424 POC2 y = -0,05ln(x) + 0.606 0.574 0.939 0.408 0.531 0.00625 POC6 y = -0.05ln(x) + 0.616 0.507 0.939 0.324 0.616 0.00724 POC8 y = -0.05ln(x) + 0.634 0.453 0.939 0.221 0.719 0.00846 POC10 y = -0.04ln(x) + 0.703 0.569 0.939 0.497 0.443 0.00520 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 0 2 4 6 8 10 12 14 % N itr o g e n Minggu Ke- Bahan Kompos POC2 POC6 POC8 POC10

Perbandingan Rasio C/N

Rasio C/N menggambarkan mikroorganisme dalam kompos mengoksidasi karbon sebagai energi dan memakan nitrogen untuk sintesis protein (Bernal et al. 1998). Menurut Judoamidjojo et al. dalam Ayuningtyas (2009), aktivitas mikroorganisme dipertinggi dengan adanya nutrien yang cocok. Bahan yang paling penting dalam penyediaan nutrisi adalah karbon (C) sebagai sumber energi dan nitrogen (N) sebagai zat pembentuk protoplasma.

Pada penelitian kali ini rasio C/N bahan baku sampah organik yang diolah menjadi kompos yaitu sebesar 29.155. Perbandingan C dan N ini masih dalam rentang nisbah C/N optimum pengomposan. Nisbah optimum perbandingan C dan N yang efektif untuk pengomposan yaitu 25-35 (Judoamidjojo et al. dalam Ayuningtyas 2009).

Gambar 13 Laju dekomposisi rasio C/N

Pada Gambar 13, rasio C/N pada setiap perlakuan mengalami penurunan dengan laju dekomposisi yang berbeda. Perlakuan POC2 atau pemberian bakteri pada minggu ke-2 memiliki nilai rasio C/N akhir paling rendah yaitu 10.851 dan laju dekomposisi tercepat yaitu 0.215%/hari. Penurunan rasio C/N secara umum, disebabkan berkurangnya kandungan karbon organik (C-organik) karena terdekomposisi menjadi CO2, uap air, dan panas. Kadar nitrogen (N), juga mengalami penurunan akibat penguraian bahan organik karena penguapan senyawa N yang dihasilkan dalam bentuk gas. Namun, pengurangan senyawa N tidak banyak. Hal ini dikarenakan unsur N diikat oleh senyawa air untuk membentuk ion amonium (NH4+), nitrat (NO3-), dan nitrit (NO2), sehingga dapat diserap oleh tanaman. Ion-ion tersebut berasal dari penguraian senyawa protein (Indrasti et al. 2005)

Pada setiap perlakuan memiliki laju dekomposisi yang berbeda (Tabel 7). Laju dekomposisi tertinggi diperoleh dari perlakuan POC2. Laju dekomposisi yang tinggi, mengisyaratkan bahwa banyak terjadi aktivitas pendegradasian senyawa-senyawa organik dan mineralisasi yang dilakukan mikroorganisme, sehingga terjadi penurunan nilai rasio C/N (Noor E et al. 2005). Perbandingan C dan N akhir pada setiap perlakuan berkisar antar 10-15. Penurunan rasio C dan N dihasilkan selama 85 hari pendekomposisian sampah organik. Menurut Bambang

22

(2010), pada saat perbandingan C dan N mencapai angka 15-25 berstatus kompos setengah matang, dan jika mencapai 10-15 sudah berstatus kompos matang. Rasio C dan N akhir pada setiap perlakuan memenuhi kriteria untuk bisa disebut kompos matang.

Tabel 7 Laju dekomposisi rasio C/N setiap perlakuan Perlakuan Persamaan Laju

Dekomposisi R 2 C/N Awal C/N Akhir Selisih C/N Laju Dekomposisi (%/hari) Bahan Kompos y = -1.60ln(x) + 18.51 0.952 29.155 12.736 16.418 0.193 POC2 y = -1.68ln(x) + 18.14 0.913 29.155 10.851 18.304 0.215 POC6 y = -1.53ln(x) + 18.85 0.974 29.155 14.976 14.179 0.167 POC8 y = -1.50ln(x) + 18.97 0.971 29.155 15.111 14.043 0.165 POC10 y = -1.6ln(x) + 18.53 0.955 29.155 12.897 16.258 0.191 Rancangan unit pengelolaan sampah organik

Proses pengolahan sampah organik dengan beberapa perlakuan sehingga menghasilkan pupuk organik cair yang memiliki rasio C/N sesuai dengan rasio C/N tanah adalah POC 2, yaitu pemberian bakteri pada minggu ke-2. Pembuatan rancangan didasarkan pada perlakuan yang akan diberikan yaitu POC2. POC2 memiliki laju dekomposisi tertinggi yaitu sebesar 0.214%/hari. Nilai rasio C/N awal sebesar 29.155 dan selama 85 hari menghasilkan rasio C/N akhir sebesar 10.851. Nilai N pada akhir pemrosesan dengan perlakuan POC2 yaitu sebesar 0.408 nilai ini masih memenuhi standar minimal nitrogen menurut SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik yaitu sebesar 0.4%. Rancangan yang dibuat untuk dapat menunjang proses pengelolaan sampah organik dengan perlakuan POC2 namun tidak selama 85 hari, tetapi dibuat selama 28 hari. Hal ini karena perlakuan POC2 selama 85 hari menghasilkan nilai akhir C di bawah batas minimum. Nilai C akhir menurut peraturan pemerintah no 70/Permentan/SR.140/10/2011 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan Pembenah Tanah yaitu minimal sebesar 6%, sehingga rancangan unit pengelolaan sampah akan dibuat untuk menunjang proses pengolahan sampah organik dengan perlakuan POC2 selama 28 hari dengan penambahan bakteri menjadi 20% sehingga diharapkan dengan penambahan bakteri menjadi 2 kali lipat, maka laju dekomposisi rasio C/N dapat menjadi 0.43%/hari. Asumsi bahwa jika nilai rasio C/N awal adalah sama seperti pada peneilitan ini yaitu 29.155 dengan laju dekomposisi 0.43%/hari maka pada 28 hari akan menyebabkan penurunan rasio C/N sebesar 12.04 sehingga akan diperoleh nilai akhir rasio C/N sebesar 17.115. Nilai ini masih memenuhi standar rasio C/N menurut SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik yaitu sebesar 10 sampai 20.

Sebuah unit sederhana dirancang agar dapat menunjang proses pengelolaan sampah organik dengan perlakuan POC2. Pemberian bakteri

diberikan pada minggu ke-2. Rancangan unit yang dibuat harus dapat menampung sampah organik dari masyarakat serta limbah pertanian jerami padi selama 14 hari. Berikut perhitungan timbulan sampah untuk wilayah pengembangan 1 RT dengan asumsi 1 RT terdiri dari 25 KK dan 100 jiwa.

Perhitungan timbulan sampah yaitu dengan mengalikan timbulan sampah, jumlah jiwa dan waktu penampungan sampah. Perhitungan pada rancangan ini yaitu 2 liter/orang/hari dikali 100 jiwa dikali 14 hari sehingga didapatkan hasil 2800 liter per 14 hari. Jumlah sampah organik rata-rata 60 sampai 70% dari timbulan sampah (Satori et al. 2010)

Rancangan yang akan dibuat harus cukup untuk menampung sampah organik rumah tangga 70% dikalikan 2800 liter per 14 hari sehingga didapatkan hasil 1960 liter per 14 hari, dan sampah pertanian jerami padi 1960 liter per 14 hari. Jadi jumlah total sampah yang akan diolah sebanyak 1960 ditambah 1960 adalah sebesar 3920 liter per 14 hari

Rancangan unit dibuat berbentuk kotak dengan volume maksimal dibuat melebihi kapasitas yang seharusnya ditampung, dipilih rancangan unit dengan volume maksimal 4500 liter atau sama dengan 4,5 m3 (Gambar 14). Dimensi dibuat dengan tinggi 0.75 m , panjang 3 m dan lebar 2 m, sehingga dapat menampung timbulan sampah sebanyak 4.5 m3.

Gambar 14 Rancangan unit pengelolaan sampah organik

Rancangan dibuat untuk menampung timbulan sampah organik dari 100 jiwa dan campuran limbah pertanian berupa jerami padi dengan komposisi 1:1. Rancangan dibuat anaerob karena pemberian bakteri dilakukan pada minggu ke-2 dan dalam kondisi anaerob. Bagian dasar unit pengelolaan sampah organik ini dibuat miring menuju satu titik dimana terdapat pipa untuk mengeluarkan pupuk

24

cair yang kemudian dapat diambil manfaatnya setelah 2 minggu sejak pemberian bakteri dilakukan. Pada ujung pipa diberi saringan dengan tujuan untuk menyaring sisa-sisa sampah yang tidak terdekomposisi sempurna, sehingga yang dikeluarkan melalui pipa adalah pupuk organik cair tanpa ada sisa dari sampah organik yang belum terdekomposisi sempurna. Dimensi pipa yang dipilih adalah ukuran 5 inchi atau 12.7 m. Ukuran ini diambil dari ukuran pipa yang biasa digunakan sebagai buangan air dan tersedia di pasaran.

Pada awal pemrosesan, timbulan sampah organik selama 14 hari dimasukkan dalam unit pengelolaan sampah yang berbentuk kotak, limbah pertanian juga ditambahkan ke dalamnya sehingga pada hari ke-14 bakteri biakan dari LB10 dapat diberikan. Sampah yang telah ditambahkan bakteri ke dalamnya kemudian di fermentasi dalam keadaan anaerob selama 14 hari sampai mencapai nilai rasio C/N yang diinginkan, sehingga pupuk organik cair yang dihasilkan dapat dimanfaatkan langsung pada tanaman. Untuk menampung timbulan sampah 14 hari berikutnya dibuat rancangan open windrow composting yang dapat menampung timbulan sampah organik dari 100 jiwa. Rancangan open windrow composting yang berupa gundukan disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15 Gundukan windrow tampak atas, potongan penampang, dan potongan memanjang

Racangan gundukan windrow pada Gambar 15 dibuat dengan tujuan ketika unit pengelolaan sampah digunakan untuk menampung timbulan selama 14 hari dan dalam 14 hari berikutnya digunakan untuk fermentasi secara anaerob agar bakteri pendegradasi dapat bekerja secara maksimal sehingga pada 14 hari berikutnya yaitu pada hari ke-28, pupuk organik cair dari hasil olahan dapat bisa

Dokumen terkait