• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi NSK berdasarkan Ketinggian Tempat

Berdasarkan survai yang telah dilakukan di sentra produksi kentang di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah yang meliputi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara diketahui NSK telah tersebar luas di beberapa lokasi yang disurvei. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suwardiwijaya et al. (2007) yang menyebutkan bahwa secara umum prevalensi NSK di masing-masing sumber pengambilan tanah di Dieng Jawa Tengah cukup tinggi yaitu 81,1% pada lahan bera, 78,9% pada lahan tanaman kentang, dan 72,7% pada lahan tanaman kubis. Keberadaan NSK pada sentra penanaman kentang di Pegunungan Dieng, Jawa Tengah telah menyebar hampir di seluruh hamparan.

Gejala kerusakan pada tanaman kentang yang nampak akibat serangan NSK di Dataran Tinggi Dieng adalah pertumbuhan beberapa tanaman kentang menjadi kerdil, pertumbuhan akar terhambat, daun menjadi layu, berwarna kuning dan mengering diantara tanaman lainnya dalam satu hamparan. Pada tanaman yang terinfeksi apabila dicabut akan terlihat sista NSK pada akar tanaman (gambar 7).

(a) (b) (c)

Gambar 7 (a) & (b) Gejala serangan NSK, (c) sista NSK di sekitar daerah perakaran tanaman kentang (Nurjanah 2008)

Sista NSK ditemukan pada 17 lokasi dari 26 lokasi yang disurvai. Hasil survai juga menunjukkan bahwa NSK tersebar pada ketinggian tempat mulai dari ketinggian 1460 m dpl sampai dengan 2123 m dpl. Lokasi sebaran NSK berdasarkan ketinggian tempat selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 8 dan Lampiran 2 .

0 20 40 60 80 100 120 <1250 m 1250 - 1500 m 1500 - 1750 m 1750 - 2000 m > 2000 m Ketinggian tempat (m dpl) Prevalensi si s ta NSK (%)

Gambar 8 Prevalensi sista NSK berdasarkan ketinggian tempat di Dataran tinggi Dieng Jawa tengah

Gambar 8 menunjukkan prevalensi sista NSK yang dihitung berdasarkan ketinggian tempat. Pada gambar tersebut diketahui bahwa semakin tinggi tempat maka prevalensi sista NSK semakin tinggi. Pada ketinggian tempat kurang dari 1250 m dpl tidak ditemukan sista NSK. Hal ini kemungkinan disebabkan karena suhu tanah pada daerah tersebut sebesar 24oC tidak sesuai untuk perkembangan NSK dan pada suhu tersebut NSK tidak bisa menginokulasi tanaman. Pada kisaran ketinggian tempat 1250 m – 1500 m prevalensi NSK sebesar 14,3%, pada daerah ini kisaran suhunya antara 21oC sampai 25oC (Lampiran 3). Pada kisaran ketinggian 1500 m – 1750 m prevalensi NSK sebesar 60%, pada daerah ini kisaran suhunya antara 19oC sampai 24oC. Prevalensi sista NSK mencapai 100% pada kisaran ketinggian tempat 1750 m – 2000 m dan lebih dari 2000 m, yang mana pada kedua kisaran ketinggian tersebut sista NSK ditemukan di semua lokasi yang disurvai. Pada kisaran ketinggian tempat 1750 m – 2000 m dan lebih dari 2000 m suhunya berkisar antara 16oC sampai 23oC, suhu ini sangat sesuai untuk perkembangan NSK. Menurut Trifonova (1999) suhu optimum untuk perkembangan NSK berkisar antara 15,7oC sampai dengan 23,1oC, NSK dapat menginokulasi tanaman pada suhu lebih dari 10oC dan NSK menyerang tanaman secara optimum pada suhu 14,2oC.

Dari hasil penghitungan sista diketahui bahwa kepadatan sista terbanyak pada lokasi dengan ketinggian berkisar antara 1750 m sampai dengan 2000 m.

Kepadatan NSK tertinggi terdapat pada desa Karang Tengah kecamatan Batur kabupaten Banjarnegara dengan jumlah sista 1007/500 ml tanah.

Nematoda sista kentang dapat terdeteksi di sentra pertananaman kentang di Jawa Tengah diduga karena NSK sudah ada di daerah tersebut untuk waktu yang cukup lama. Seperti diketahui bahwa penggunaan bibit kentang impor asal Jerman telah dilakukan sejak tahun 1985 (Suwardiwijaya et al. 2007). Kondisi ini memungkinkan bagi NSK untuk mantap di daerah tersebut. Menurut Brodie (1984), untuk dapat terdeteksi dan menyebabkan endemik di suatu daerah, NSK memerlukan waktu sekitar 7 tahun. Hasil yang didapat dari survai ini dapat menjadi ancaman yang serius bagi pertanaman kentang lain di Indonesia. Hal ini disebabkan karena NSK merupakan patogen yang sulit dikendalikan. Stevenson et al (2001) menyatakan, sekali NSK terinfestasi pada suatu lahan, maka nematoda akan tetap ada di lahan tersebut dan mungkin lahan tersebut sulit untuk dapat bersih dari NSK. Oleh karena itu, walaupun jumlah sista NSK di lokasi survai bervariasi dari rendah sampai tinggi, kondisi ini tidak menghalangi untuk terjadinya ledakan penyakit di lokasi tersebut.

Penyebaran NSK di Jawa Tengah terjadi sangat cepat, menurut laporan Rapat Kerja NSK Nasional (2007), saat ini ada sekitar 121 ha pertanaman kentang di Jawa Tengah yang terinfeksi NSK. Penyebaran ini sangat cepat, bila dibandingkan pada tahun 2003, luas lahan yang terinfeksi baru sekitar 23 ha. Hal ini diduga karena di Dataran Tinggi Dieng tidak pernah dilakukan rotasi tanaman, tidak adanya usaha pengendalian NSK secara serius. Selain itu penggunaan insektisida dan fungisida yang sangat tinggi, Kondisi ini menyebabkan kompetitor maupun musuh alami NSK di daerah tersebut berkurang, sehingga menyebabkan NSK menyebar cepat.

Hubungan antara Ketinggian Tempat dengan Jumlah Sista NSK

Pada Gambar 9 disajikan plot antara ketinggian tempat dengan jumlah sista NSK. Jumlah sista NSK yang ditemukan cenderung semakin banyak dengan bertambahnya ketinggian tempat.

Ket inggian t empat Ju m la h s is ta 2100 2000 1900 1800 1700 1600 1500 1400 1300 1200 1000 800 600 400 200 0

Gambar 9 Hubungan antara ketinggian tempat dengan jumlah sista NSK

Dengan melakukan analisis regresi (lampiran 4), pola dugaan hubungan antara ketinggian tempat dengan jumlah sista NSK dapat dimodelkan menjadi :

Jumlah sista = -686 + 0.543 ketinggian tempat

Berdasarkan model di atas dapat diartikan bahwa ada pengaruh ketinggian tempat terhadap banyaknya sista NSK. Makin tinggi tempat maka jumlah sista NSK juga semakin banyak. Pada rentang ketinggian antara 1188 m - 2123 m di atas permukaaan laut, penambahan jumlah sista NSK untuk setiap satu meter ketinggian diduga sebesar 0.543 atau sekitar 50 sista NSK untuk setiap kenaikan 100 meter.

Hubungan suhu tanah dengan jumlah sista NSK

Dari hasil analisis regresi (lampiran 5) diketahui bahwa jumlah sista NSK cenderung semakin banyak dengan bertambahnya ketinggian tempat. Makin tinggi tempat, maka suhu tanah akan makin menurun, dengan semakin menurunnya suhu tanah maka cenderung menyebabkan makin bertambahnya jumlah sista NSK (Gambar 10).

Suhu t anah Ju m la h s is ta 25.0 22.5 20.0 17.5 15.0 1000 800 600 400 200 0

Gambar 10 Hubungan antara suhu tanah dengan jumlah sista NSK

Dari pola yang terbentuk seperti pada gambar, dapat dibuat model hubungan antara suhu tanah dengan jumlah sista NSK yaitu:

Jumlah Sista = 1996 - 83.8 Suhu Tanah

Berdasarkan model di atas dapat diartikan bahwa ada pengaruh suhu tanah terhadap banyaknya sista. Makin rendah suhu tanah maka jumlah sista NSK juga makin banyak. Pada rentang suhu tanah antara 15oC – 25oC, penurunan suhu tanah setiap satu derajat celsius diduga akan menambah sekitar 84 sista NSK.

Kolerasi antara Jumlah Sista NSK dengan ketinggian tempat dan suhu tanah

Pada tabel 3 berikut disajikan hasil kolerasi antara jumlah sista dengan ketinggian tempat, suhu tanah dan jumlah tanaman. Dari hasil analisis statistik diketahui bahwa jumlah sista NSK berkorelasi positif (0,553) dengan bertambahnya ketinggian tempat. Sebaliknya jumlah sista NSK berkorelasi negatif (- 83,8) dengan naiknya suhu tanah. Adapun hubungan antara jumlah tanaman dengan jumlah sista NSK tidak berbeda nyata (non signifikan), artinya tidak ada hubungan linear antara jumlah sista NSK dengan jumlah tanaman.

Tabel 3 Hasil korelasi antara ketinggian, jumlah sista NSK, suhu tanah dan jumlah tanaman

Ketinggian Jumlah Sista Suhu Tanah Jumlah Sista 0.553 0.003 Suhu Tanah -0.528 -0.678 0.006 0.000 Jumlah tanaman -0.028 0.010 0.120 0.891 0.960 0.559

Cell Contents: Pearson correlation P-Value

Pada daerah yang disurvai, semakin tinggi ketinggian tempat maka semakin rendah suhu tanahnya, menghasilkan jumlah sista NSK yang semakin banyak. Semakin tinggi suatu tempat maka suhu tanahnya semakin rendah, CABI (2007) menyatakan bahwa telur G. pallida dapat menetas pada suhu sekitar 10oC dan G. rostochiensis dapat menetas pada suhu 15 oC. G. pallida dan G. rostochiensis dapat beradaptasi dan berkembang pada suhu berkisar antara15 – 25oC. Pada lokasi penelitian yang memiliki suhu tanah berkisar antara 16 – 20oC ditemukan jumlah sista yang lebih banyak dibandingkan dengan lokasi lainnya yang bersuhu tanah lebih dari 20oC. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lisnawita (2007) diketahui bahwa temperatur optimum untuk mendapatkan jumlah sista yang tinggi adalah antara 15-21oC. Jumlah sista yang dihasilkan akan menurun secara nyata pada temperatur di bawah 15oC dan di atas 21oC. Kemampuan bertahan hidup optimum dari setiap isolat NSK dicapai pada temperatur 15 oC - 21oC. Kemampuan bertahan hidup akan menurun pada temperatur di bawah 15oC atau di atas 21oC. Mulder (1988) melaporkan bahwa temperatur optimum untuk multipikasi dan penetasan G. rostochiensis adalah mendekati 20oC, dan proses ini akan menurun drastis pada temperatur di bawah 10oC dan di atas 27oC. Sedangkan G. pallida mempunyai temperatur optimum yang lebih rendah.

Hal tersebut di atas juga didukung oleh tipe iklim yang terjadi di Banjarnegara yang menyebutkan bahwa menurut Tipe Iklim Oldeman, Kabupaten Banjarnegara (tempat pengambilan sista NSK) termasuk kedalam

tipe B1 yang mempunyai curah hujan sebulan ≥ 200 mm selama 8 bulan (Oktober – Mei) dan < 100 mm selama satu bulan (Agustus), sisanya antara 100 sampai dengan 200 mm (Ditlin-TP, 1986). Pada ketinggian 2.000 m dari permukaan laut suhu berkisar antara 12,2o - 18,9oC dan pada ketinggian 1.000 m berkisar antara 17,5o – 25,1oC. Kelembaban udara pada bulan Oktober 80% dan maksimum pada bulan Februari mencapai 94% (Hadisoeganda, 2006). Sehingga pada ketinggian tempat 1500 m suhunya sekitar 21oC dan pada ketinggian tempat 2000 m dpl suhunya sekitar 17oC merupakan kondisi iklim yang cocok untuk perkembangan NSK.

Dominasi Spesies NSK berdasarkan Ketinggian Tempat

Hasil pengamatan sidik pantat sista NSK pada sampel sista yang berasal dari Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah dinyatakan pada gambar 11 dan lampiran 6. 0 0 7 3 5 5 4 6 5 5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Ro Pa Ro Pa Ro Pa Ro Pa Ro Pa < 1250 1250 - 1500 m dpl 1500 - 1750 m dpl 1750 - 2000 m > 2000 m Ketinggian tempat (m d.p.l) Ju m la h je n is S p e si e s

Gambar 11 Pengaruh ketinggian tempat terhadap proporsi spesies NSK

Dari Gambar 11 diketahui bahwa populasi campuran spesies NSK ditemukan pada semua kisaran ketinggian tempat yang disurvai (Lampiran 6). Pada kisaran ketinggian tempat antara 1250 m – 1500 m diketahui bahwa spesies G. rostochiensis lebih dominan dibanding G. pallida. Seiring dengan semakin tinggi tempat, maka dominasi digantikan oleh G. pallida. Hal tersebut dapat dilihat dari kisaran ketinggian tempat antara 1750 m – 2000 m diketahui bahwa spesies G. pallida lebih dominan di banding G. rostochiensis. Spesies

yang dominan dalam populasi NSK campuran, kemungkinan karena tekanan seleksi lingkungan atau kompetisi inter-spesifik (Marshall 1989 dalam Marshall 1993). Dalam hal ini kepadatan populasi G. pallida dan tipe penyebarannya pada kondisi yang sangat memungkinkan untuk terdeteksi. Menurut Port & Ferris (1992) dalam Ibrahim et al.(2000) faktor lingkungan, waktu dan perilaku akan menghasilkan pola penguasaan ruang dari banyak populasi biologi, dan nematoda parasit tumbuhan. Kepadatan populasi dan tipe penyebaran spesies mempengaruhi kemungkinan terdeteksinya populasi tersebut. G. pallida yang lebih dominan dibanding G. rostochiensis juga dapat disebabkan karena G. pallida lebih persisten di tanah. Hal ini dinyatakan oleh Evans (1993) bahwa berdasarkan survai di UK kepadatan G. rostochiensis berkurang 33% per musim/tahun pada saat lahan diberakan, sedangkan kepadatan G. pallida menurun 15% pada saat lahan diberakan. Dari hal di atas maka diketahui bahwa G. pallida lebih persisten di tanah.

Populasi NSK campuran telah dilaporkan pula terdapat di beberapa negara asal bibit kentang seperti Netherland, U.K., Scotland dan New Zealand.

Verifikasi Spesies NSK melalui PCR

Hasil amplifikasi DNA sista NSK dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik untuk G. rostochiensis dan G. pallida serta primer universal terhadap 17 populasi NSK menghasilkan 2 pola pita, masing-masing dengan ukuran 238 bp dan 391 bp. Berikut ini disajikan hasil amplifikasi DNA sista NSK berdasarkan kelas ketinggian tempat.

13R 12R 10R 7R 13P 12P 10P 7P M

Gambar 12 Produk PCR sista G. rostochiensis dan G. pallida yang diambil dari lokasi dengan ketinggian tempat 1250 m– 1750 m : 7. Ds. Serang 1460 m), 10. Ds. Sidareja (1597 m), 12. Dsn. Kalianget (1626 m). 13. Dsn Bujangsari (1651 m), M. Marker 100 bp.

391 bp G. pallida

20R 19R 18R 17R 16R 15R 14R M

Gambar 13 Produk PCR sista G. rostochiensis yang diambil dari lokasi pada ketinggian tempat 1750 m – 2000 m : 14. Ds. Bakal (1787 m), 15. Ds. Bakal (1830 m), 16. Ds. Bakal (1895 m), 17. Dsn. Buntu (1952 m), 18. Ds. Patak Banteng (1974 m), 19. Dsn. Buntu (1980 m), 20. Ds. Karang Tengah (1994 m), M. Marker 100 bp.

19P 20P 18P 17P 16P 15P 14P M

Gambar 14 Produk PCR sista G. pallida yang diambil dari lokasi pada ketinggian tempat 1750 m – 2000 m : 14. Ds. Bakal (1787 m), 15. Ds. Bakal (1830 m), 16. Ds. Bakal (1895 m), 17. Dsn. Buntu (1952 m), 18. Ds. Patak Banteng (1974 m), 19. Dsn. Buntu (1980 m), 20. Ds. Karang Tengah (1994 m), M. Marker 100 bp.

238 bp G. rostochiensis

26R 25R 24R 23R 22R 21R 26P 25P 24P 23P 22P 21P M

Gambar 15 Produk PCR sista G. rostochiensis, G. pallida yang diambil dari lokasi pada ketinggian tempat lebih dari 2000 m dpl: 21. Dsn. Karang Tengah (2037 m), 22. Dsn. Pawuhan (2053 m), 23. Dsn. Telaga Merdada (2055 m), 24. Ds. Dieng Kulon (2090 m), 25. Ds. Karang Sari (2089 m), 26. Dsn Pawuhan (2123 m), M. Marker 100 bp.

Identifikasi spesies NSK berdasarkan karakter molekuler memberikan hasil yang cukup baik. Hasil amplifikasi dengan teknik PCR pada daerah ITS dengan menggunakan pasangan primer ITS-1 R dengan 5,8 S rRNA menghasilkan fragmen DNA berukuran 238 bp pada semua isolat. Ukuran fragmen DNA hasil PCR menggunakan pasangan primer ini adalah sesuai dengan harapan untuk mengamplifikasi segmen genom spesifik G. rostochiensis. Demikian pula pada pasangan primer ITS-1 P dan 5,8 S rRNA menghasilkan fragmen DNA berukuran 391 bp pada semua isolat. Ukuran fragmen DNA hasil PCR menggunakan pasangan primer ini adalah sesuai dengan harapan untuk mengamplifikasi segmen genom spesifik G. pallida. Dari hasil tersebut maka isolat NSK di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah merupakan populasi campuran Globodera rostochiensis dan Globodera pallida.

Hasil yang sama juga telah diperoleh oleh peneliti terdahulu (Muholland et al. 1988; Ibrahim et al. (2001); Fleming (1998) ) bahwa fragmen genom pada daerah ITS dari NSK merupakan daerah variabel dan dapat digunakan untuk membedakan antara G, rostochiensis dan G. pallida. Deteksi dilakukan dengan mengamplifikasi daerah ITS dengan primer PCR yang berlokasi pada gen 5,8 S. Variasi sequen DNA pada daerah ITS dari cistron DNA ribosom dapat digunakan untuk mengidentifikasi banyak taxa nematoda. Penggunaan primer ITS 1

391 bp G. pallida

sangat relevan untuk mendiagnosa sista nematoda yang seringkali ditemukan dalam populasi campuran (Fleming et al. 1998)

Jones et al. (1997) dan Power & Fleming (1998) dalam Pylypenko et al. (2005) menyatakan PCR merupakan teknik yang sangat efektif untuk mendeteksi variasi inter dan intra-spesifik dalam mengidentifikasi nematoda. Begitu pula Kenyon (2000) menyatakan bahwa metode PCR sangat sensitif dan mampu mengidentifikasi populasi NSK campuran. Hal tersebut terbukti dengan terdeteksinya populasi campuran G. rostochiensis dan G. pallida di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah dengan menggunakan teknik PCR.

Identifikasi spesies berdasarkan karakter molekuler mempunyai tingkat akurasi yang tinggi, sebab pada metode ini perbedaan antar isolat dilacak pada tingkat gen, sehingga memiliki sensitifitas yang tinggi untuk mengidentifikasi spesies campuran.

Pada hasil penelitian Lisnawita (2007) yang dilaksanakan sejak tahun 2004 disebutkan bahwa hasil amplifikasi DNA sista NSK ditemukan ukuran pita 238 bp (G. rostochiensis) dan ukuran pita 391 (G. pallida) di Desa Pawuhan Banjarnegara, Desa Karang Tengah Banjarnegara, Desa Kepakisan Banjarnegara dan Desa Patak Banteng Wonosobo Jawa Tengah. Dari hal tersebut di atas maka penelitian ini menguatkan hasil penelitian Lisnawita, karena pada penelitian ini berdasarkan uji PCR telah terdeteksi Globodera rostochiensis dan Globodera pallida pada 17 lokasi yang disurvai yang tersebar di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara.

Populasi campuran G. rostochiensis dan G. pallida yang ditemukan di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah bisa disebabkan oleh aktivitas manusia dan penggunaan kultivar tanaman kentang yang resisten terhadap G. rostochiensis tetapi rentan terhadap G. pallida, yang mana hal tersebut akan menyebabkan perubahan keseimbangan spesies menjadi situasi yang sangat disukai G. pallida . Jenis kultivar kentang yang ditanam di Dataran Tinggi Dieng adalah Granola, kultivar tersebut ditanam di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah secara terus- menerus. Menurut Joosten (1991), Granola merupakan kultivar kentang yang resisten terhadap G. rostochiensis Ro1 dan Ro4, sehingga dengan penanaman kultivar Granola secara terus-menerus dapat membuat populasi G. rostochiensis menjadi berkurang, dan memberi kesempatan yang besar untuk perkembangan G. pallida. Begitu pula Marshall (1993) menyatakan bahwa penggunaan

genotipe tunggal untuk ketahanan tanaman terhadap G. rostochiensis akan menyebabkan perkembangan virulensi pada strain NSK lainnya.

Dari hasil Identifikasi secara morfologi dan diverifikasi dengan melakukan deteksi dengan metode PCR terhadap sista NSK diketahui bahwa di Kabupaten Wonosobo pada ketinggian 1460 m dpl (Desa Serang Kec. Kejajar Kab. Wonosobo).telah terdeteksi G. pallida. Sedangkan pada penelitian Lisnawita (2207) sista G. pallida mulai ditemukan pada ketinggian 1700 m dpl (desa Patak Banteng kab. Wonosobo). Penyebaran dan perpindahan G. pallida dapat terjadi karena perpindahan bagian tanaman yang terinfeksi dan perpindahan tanah oleh mesin, angin, air dan hewan, dan terjadinya perdagangan benih yang tidak bersertifikat (mutu benih rendah).

G. pallida sulit dikendalikan karena tidak ada kultivar kentang yang dengan sepenuhnya reisten terhadap G. pallida, tidak ada nematisida yang benar-benar efektif untuk mengendalikan G. rostochiensis. Hal tersebut menjadikan G. rostochiensis dan G. pallida menjadi persisten di tanah dan munculnya G. pallida dalam periode yang cukup lama.

Rekomendasi yang disarankan dari hasil penelitian ini adalah dilakukannya perubahan status G. pallida yang semula merupakan OPTK kategori A1 golongan II menjadi OPTK kategori A2 golongan II, sehubungan dengan terdeteksi G. pallida secara uji morfologi dan diverifikasi dengan uji PCR pada sista NSK yang terdapat di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah.

M 1R 5RP 10RP

Gambar 16 Produk PCR sista NSK menggunakan primer spesifik G. rostochiensis, G. pallida dan primer universal (Muholland et al. 1988), dengan jumlah sista NSK yang diekstraksi adalah 1, 5, dan10 sista.

391 bp 238 bp

Hasil amplifikasi DNA dari 1 sista NSK menghasilkan pola pita 238 bp yang merupakan ukuran fragmen untuk G. rostochiensis. Hasil amplifikasi DNA dari 5, dan 10 sista menghasilkan pola pita 238 bp dan 391 bp yang masing-masing merupakan ukuran fragmen untuk G. Rostochiensis dan G. pallida. Dari hasil tersebut diketahui bahwa identifikasi spesies NSK dengan menggunakan PCR mempunyai tingkat akurasi yang tinggi, terbukti hanya dengan 1 sista dapat terdeteksi ukuran fragmen untuk G. rostochiensis (Gambar 16).

Dokumen terkait