• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Pembahasan .1 Selat Nasik .1 Selat Nasik

Hasil di atas menunjukkan bahwa secara umum perairan Selat Nasik (perairan sekitar mangrove, terumbu karang dan laut) adalah source CO2 ke atmosfir. Hasil ini menegaskan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perairan laut dan pesisir di daerah tropis adalah source CO2 ke atmosfir (Cai et al., 2003; Wang and Cai, 2004; Borges, 2005; Fagan and Mackenzie, 2007; Chen and Borges, 2009). Fluks CO2 yang tinggi di perairan Selat Nasik ditemukan pada Stasiun 1 yang berada di sekitar ekosistem mangrove yang disebabkan oleh tingginya tekanan parsial CO2 dalam kolom perairan. Tingginya tekanan parsial CO2 dalam kolom air di perairan sekitar mangrove, dipengaruhi oleh tingginya konsentrasi DIC dan rendahnya pH dan salinitas. Tingginya konsentrasi DIC diperairan sekitar mangrove diduga disebabkan oleh pasokan karbon organik dan anorganik baik yang berasal dari ekosisitem mangrove maupun yang berasal dari luar ekosistem mangrove yang dibawa oleh arus pasang surut.

-1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 F lu k s C O 2 ( mmo l/ m2 /h a ri ) S t a s i u n Fluks CO2

32

Gambar 18 menunjukkan siklus karbon pada Stasiun 1 (perairan sekitar mangrove) yang ditampilkan secara sederhana dari kondisi sesungguhnya yang rumit. Pembahasan mengenai siklus karbon di perairan ekosistem mangrove ini dibatasi hanya pada lapisan permukaan, karena pertukaran CO2 udara-laut terjadi pada lapisan permukaan. Kajian siklus karbon dalam penelitian ini lebih ditekankan kepada peranan fitoplankton dalam penyerapan CO2. Fitoplankton mengambil nutrien dan CO2 melalui proses fotosintesis, laju dimana proses ini terjadi disebut produktivitas primer. Fitoplankton pada waktu yang sama juga melakukan respirasi yang meningkatkan konsentrasi CO2 dalam kolom air. Peningkatan konsentrasi CO2 dalam kolom air juga disebabkan oleh adanya proses dekomposisi (diremineralisasi) karbon organik menjadi CO2

FCO . 2 GPP NPP FCO2 GPP NPP + 3,19 0,094 0,02 +3,06 0,087 0,015 Respirasi Respirasi 0,089 0,087 Dekomposisi Dekomposisi 3,121 2,988

Gambar 18. Skema siklus karbon pada Stasiun 1 (perairan sekitar mangrove) pada pengamatan pagi (A) dan siang hari (B). FCO2, GPP, NPP, Respirasi dan Dekomposisi dalam satuan mmolC/m2

Siklus karbon di perairan sekitar mangrove menunjukkan bahwa dekomposisi karbon organik diperkirakan memberikan sumbangan paling besar terhadap fluks CO

/hari.

2 ke atmosfir yaitu 3,121 mmolC/m2/hari pada pagi hari dan 2,988 mmolC/m2/hari pada siang hari. Kemampuan fitoplankton dalam menyerap CO2 sangat kecil yaitu 0,02 mmolC/m2/hari pada pagi hari dan 0,015 mmolC/m2/hari pada siang hari. Hal ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Gattuso (1998) bahwa fluks CO2 udara-laut yang heterotrofik bersih di perairan sekitar mangrove di dorong oleh tingginya pasokan sedimen yang sebagian besarnya adalah bahan organik yang berasal dari ekosistem mangrove, sedangkan produksi primer biasanya rendah tergantung kepada geomorfologi, waktu tinggal massa air, kekeruhan, dan pasokan nutrient. Menurut Bouillon and CO2 atm

DIC Fitoplankton POC

CO2 atm

DIC Fitoplankton POC

Boskher (2006), masukan karbon organik ke perairan sekitar mangrove bisa bersifat autochtonous (berasal dari perairan itu sendiri) atau allochtonous (berasal dari luar). Masukan karbon organik yang autotochtonous berupa detritus mangrove dan mikrofitobentos, sedangkan yang allochtonous berupa fitoplankton, material yang berasal dari ekosistem lamun, dan karbon organik yang berasal dari daratan. Karbon organik yang masuk ke perairan sekitar mangrove kemudian mengalami dekomposisi dan remineralisasi menjadi karbon anorganik. Selanjutnya Borges et al. (2003) menyatakan bahwa pengayaan DIC di perairan sekitar mangrove juga disebabkan oleh masukan air poros yang kaya CO2 pada saat surut. Pasang surut memompa air poros yang ada dalam sedimen yang kaya akan karbon organik (Bouillon et al. 2008). Jennerjahn dan Ittekkot (2002) memperkirakan bahwa ekosistem mangrove menyumbang >10% dari total karbon organik sungai yang masuk ke laut.

Berdasarkan nilai fotosintesis dan respirasi menunjukkan bahwa fitoplankton di perairan sekitar mangrove cenderung bersifat autotrofik karena laju fotosintesis lebih tinggi dibandingkan laju respirasi, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan emisi CO2

Nilai

ke atmosfir. Hal ini disebabkan oleh laju dekomposisi material organik baik yang berasal dari fitoplankton sendiri ataupun dari sumber autochtonous dan allochtonous, lebih dominan dibanding laju produktifitas primer fitoplankton.

pCO2 di perairan sekitar mangrove Selat Nasik masih dalam kisaran pCO2 yang ditemukan pada perairan sekitar mangrove lain di wilayah tropis, namun sedikit lebih rendah. Di perairan sekitar mangrove Nagada Creeks Papua New Guinea tekanan parsial CO2 berkisar antara 540 – 1680 µatm (Borges et al. 2003), di Kieng Vang Vietnam berkisar antara 1435 – 8140 µatm (Kone and Borges 2008), dan di Tam Giang creeks India 770 – 11480 µatm (Kone and Borges 2008). Menurut Kone dan Borges (2008) tingginya tekanan parsial CO2 pada perairan sekitar mangrove terkait dengan 2 mekanisme yaitu (a) massa air di perairan sekitar mangrove mempunyai waktu tinggal (residence time) yang lama sehingga menstimulasi aktivitas biologi dan kimia dengan mendegradasi bahan organik lokal yang disediakan oleh kanopi mangrove dan sumber allokhtonus, (b) masuknya air poros yang bercampur dengan air sungai juga mempengaruhi

sifat-34

sifat kimia dalam mendegradasi bahan organik dan ditunjang oleh volume air yang lebih kecil dan waktu tinggal yang lebih lama.

Fluks dan tekanan parsial CO2 yang paling rendah ditemukan pada Stasiun 2 yaitu di perairan sekitar terumbu karang. Rendahnya fluks CO2 pada Stasiun 2 disebabkan oleh rendahnya konsentrasi DIC. Konsentrasi DIC di perairan sekitar terumbu karang secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan perairan sekitar mangrove dan laut baik pada pagi maupun siang hari. Hal ini disebabkan oleh proses metabolisme terumbu yang menyebabkan pergeseran dalam sistem karbon anorganik yang menyebabkan perubahan besar dan arah gradien pCO2

Gambar 19 menunjukkan siklus karbon di perairan sekitar terumbu karang. Siklus karbon di perairan sekitar terumbu karang relatif lebih kompleks dibandingkan perairan sekitar mangrove dan laut, karena banyaknya organisme yang terlibat dengan siklus karbon, diantaranya proses fotosintesis oleh fitoplankton, zooxanthella dan makroalga, proses respirasi dan kalsifikasi oleh terumbu karang dan dekomposisi oleh bakteri, namun dalam Gambar 19 hanya dibatasi pada lapisan permukaan yang hanya melibatkan fitoplankton dalam penyerapan CO

antara air laut dan atmosfer.

2 FCO . 2 GPP NPP FCO2 GPP NPP +1,45 0,080 0,009 +0,96 0,080 0,010 Respirasi Respirasi 0,086 0,084 Dekomposisi Dekomposisi ? ?

Gambar 19. Skema siklus karbon pada Stasiun 2 (perairan sekitar terumbu karang) pada pengamatan pagi (A) dan siang hari (B). FCO2, GPP, NPP, Respirasi dan Dekomposisi dalam satuan mmolC/m2

Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa penyerapan CO /hari.

2 oleh fitoplankton relatif kecil yaitu 0,009 mmolC/m2/hari pada pagi hari dan 0,010 mmolC/m2/hari pada siang hari. Fitoplankton di perairan sekitar terumbu karang CO2 atm

DIC Fitoplankton POC

CO2 atm

DIC Fitoplankton POC

cenderung bersifat heterotrofik karena laju respirasi lebih tinggi dibanding fotosintesis. Tingginya laju respirasi fitoplankton di perairan sekitar terumbu karang seharusnya meningkatkan fluks CO2 ke atmosfir, karena proses respirasi akan menyumbang CO2 kedalam kolom perairan dan meningkatkan tekanan parsial CO2. Namun hal ini tidak terlihat di perairan sekitar terumbu karang Selat Nasik karena fluks CO2 di perairan sekitar terumbu karang lebih rendah dibanding perairan sekitar mangrove dan laut dan fluks CO2 di perairan sekitar terumbu karang Selat Nasik lebih rendah dibanding emisi CO2 global dari sistem terumbu karang yang diperkirakan oleh Borges (2005) yaitu sekitar 2 mmolC/m2/hari.

Rendahnya fluks CO2 di perairan sekitar terumbu karang Selat Nasik diduga disebabkan oleh tingginya konsumsi CO2 oleh makroalga. Seperti yang dikemukakan oleh Gattuso et al., (1996) bahwa terumbu tepi di bawah pengaruh tekanan manusia telah bergeser dari dominasi karang ke dominasi makroalga, seperti yang terjadi di terumbu Shiraho, pulau Ryukyu. Hal ini akan menyebabkan peningkatan produksi ekosistem bersih dan penurunan kalsifikasi dan memungkinkan pergeseran peran ekosistem terumbu karang dari source ke sink untuk CO2

Fluks CO atmosfir.

2 di perairan sekitar terumbu karang Selat Nasik juga di pengaruhi oleh proses kalsifikasi oleh terumbu karang. Gattuso et al. (1996) mengemukakan bahwa di perairan terumbu karang, produksi primer kotor dan respirasi oleh zooxanthella hampir seimbang dan produksi bersih mendekati nol, sehingga kalsifikasi bersih merupakan proses utama yang mempengaruhi sistem CO2 air laut pada ekosistem terumbu karang. Bukti terjadinya kalsifikasi di sekitar perairan terumbu karang terlihat pada adanya perbedaan yang mencolok dari nilai TA dan DIC pada pagi dan siang hari. Nilai TA dan DIC pada siang hari jauh lebih rendah dibanding pagi hari. Hal ini disebabkan oleh tingginya konsumsi TA dan DIC dalam proses kalsifikasi pada siang hari. Menurut Gattuso et al. (1996) bahwa laju kalsifikasi meningkat dengan meningkatnya intensitas cahaya pada siang hari. Pembentukan kalsium karbonat meningkatkan konsentrasi CO2, tapi pada saat yang sama proses ini menkonsumsi 2 mol bikarbonat (HCO3-). Perilaku berlawanan tersebut menyebabkan berkurangnya total alkalinitas (TA) dan DIC dengan perbandingan 2:1 (Zeebe and Wolf-Gladrow, 2001). Ware et al.

36

(1992) menunjukkan bahwa proses kalsifikasi berpengaruh terhadap sistem karbon anorganik air laut dan menyebabkan terumbu karang adalah sedikit source CO2 ke atmosfir. FCO2 GPP NPP FCO2 GPP NPP +2,98 0,069 0,001 +2,81 0,080 0,004 Respirasi Respirasi 0,081 0,092 Dekomposisi Dekomposisi 2,90 2,722

Gambar 20. Skema siklus karbon pada Stasiun 3 (perairan laut) pada pengamatan pagi (A) dan siang hari (B). FCO2, GPP, NPP, Respirasi dan Dekomposisi dalam satuan mmolC/m2/hari.

Gambar 20 menunjukkan bahwa di perairan laut Selat Nasik laju dekomposisi memberikan sumbangan paling besar terhadap fluks CO2 yaitu 2,973 mmolC/m2/hari pada pagi hari dan 2,802 mmolC/m2/hari pada siang hari. Fitoplankton merupakan satu-satunya organisme yang menyerap CO2 di perairan laut, namun penyerapan CO2 oleh fitoplankton di perairan laut Selat Nasik sangat kecil yaitu 0,0001 mmolC/m2/hari pada pagi hari dan meningkat pada siang hari menjadi 0,0003 mmolC/m2/hari sehingga produktivitas primer memberikan kontribusi yang kecil terhadap pengurangan fluks CO2 ke atmosfer. Penyerapan dan pelepasan CO2 di perairan laut Selat Nasik diduga lebih dipengaruhi oleh konsentrasi DIC dan faktor fisis (suhu permukaan laut). Seperti yang dikemukakan oleh Wang et al. (2006) bahwa konsentrasi DIC dan suhu permukaan laut memainkan peranan utama dalam mengontrol fluks CO2

Berdasarkan hasil di atas menunjukkan bahwa perairan Estuari Donan adalah source atau pelepas CO

di perairan laut tropis.

4.4.2 Estuari Donan

2 ke atmosfir. Secara umum fluks CO2 di perairan Estuari Donan lebih tinggi dibanding perairan Selat Nasik. Tingginya fluks CO2 di perairan Estuari Donan disebabkan oleh tingginya kecepatan angin pada lapisan permukaan (2,50 m/s) dan tingginya tekanan parsial CO2 dalam kolom air. Source CO2 atm

DIC Fitoplankton POC

CO2 atm

DIC Fitoplankton POC

atau pelepasan CO2ke atmosfir ini disebabkan oleh tekanan parsial CO2 (pCO2) dalam kolom air lebih tinggi dibandingkan tekanan parsial CO2 di atmosfir sehingga terjadi aliran gas CO2dari air laut ke atmosfir. Tingginya pCO2 kolom air berhubungan dengan konsentrasi DIC, salinitas dan laju fotosintesis fitoplankton. Tekanan parsial CO2 meningkat dengan meningkatnya konsentrasi DIC dan menurun dengan meningkatnya salinitas dan laju fotosintesis. Sebaran pCO2 di Estuari Donan sangat mirip dengan sebaran DIC, pCO2 dan konsentrasi DIC yang tinggi cenderung ditemukan pada stasiun yang dekat ke arah sungai dan relatif lebih rendah pada stasiun yang dekat ke arah laut. Hal yang serupa juga terjadi di perairan estuari Changjiang Cina (Chen et al., 2008), Godavari India (Bouillon et al., 2003) dan Chilka India (Gupta et al., 2008).Namun pada stasiun 2 yang dekat dengan laut juga ditemukan konsentrasi DIC yang tinggi. Hal ini disebabkan karena stasiun 2 berada pada lokasi yang berada dekat dengan ekosistem mangrove. Tingginya konsentrasi DIC pada lokasi ini diduga karena adanya pasokan karbon organik dan anorganik dari sungai dan ekosistem mangrove. Seperti yang dikemukakan oleh Cai and Wang (1998) bahwa perairan estuari menerima pasokan DIC yang berasal dari eksternal dan internal estuari. Pasokan eksternal berasal dari air tawar dari sungai, air laut dari pantai, tidal-flush, dan perairan sekitarnya. Sedangkan pasokan internal berasal dari degradasi material organik (repirasi aerobik dan fotodegradasi).

Gambar 21 menunjukkan siklus karbon di perairan Estuari Donan yang ditampilkan secara sederhana dari kondisi sesungguhnya yang rumit. Pembahasan mengenai siklus karbon di perairan Estuari Donan ini dibatasi hanya pada lapisan permukaan. Kajian siklus karbon dalam penelitian ini lebih ditekankan kepada peranan fitoplankton dalam penyerapan CO2. Fitoplankton mengambil nutrien dan CO2 melalui proses fotosintesis, laju dimana proses ini terjadi disebut produktivitas primer. Fitoplankton pada waktu yang sama juga melakukan respirasi yang meningkatkan konsentrasi CO2 dalam kolom air. Peningkatan konsentrasi CO2 dalam kolom air juga disebabkan oleh adanya proses dekomposisi (diremineralisasi) karbon organik menjadi CO2.

38 FCO2 GPP NPP +7,14 0,051 0,028 Respirasi 0,027 Dekomposisi 7,14

Gambar 21. Skema siklus karbon di perairan Estuari Donan. FCO2, GPP, NPP, Respirasi dan Dekomposisi dalam satuan mmolC/m2/hari.

Gambar 21 menunjukkan bahwa laju dekomposisi memberikan sumbangan paling besar terhadap fluks CO2 di perairan Estuari Donan yaitu 7,14 mmolC/m2/hari. Laju dekomposisi material organik di perairan Estuari Donan jauh lebih tinggi dibanding perairan Selat Nasik, demikian juga dengan laju produktivitas primer fitoplankton. Tingginya laju dekomposisi di perairan Estuari Donan diduga disebabkan oleh besarnya pasokan material organik dari sungai. Gattuso et al. (1998) mengemukakan bahwa tingginya beban nutrien yang masuk ke perairan estuari menyebabkan terjadinya peningkatan produksi ekosistem bersih, sedangkan degradasi karbon organik antropogenik menurunkan produksi ekosistem bersih. Secara keseluruhan, ekosistem estuari adalah sumber bahan organik, nutrien dan karbon anorganik untuk perairan sekitarnya dan berpotensi sebagai sumber CO2 ke atmosfir (Borges 2005).

Sebaran laju fotosintesis di perairan Estuari Donan menunjukkan bahwa laju fotosintesis cenderung meningkat ke arah mulut sungai (laut). Hal ini berbanding terbalik dengan sebaran DIC dan pCO2. Meningkatnya laju fotosintesis ke arah laut disebabkan karena jumlah material organik terestrial yang tersedia untuk dekomposisi telah berkurang, dan kondisi cahaya yang lebih baik setelah terjadi pengendapan partikel tersuspensi. Meningkatnya aktifitas biologis pada stasiun yang lebih dekat ke arah laut menyebabkan pCO2 lebih rendah. Selanjutnya, karena ada pencampuran dengan air laut yang lebih rendah pCO2, maka pCO2 air permukaan dengan cepat turun ke dekat titik jenuh. Lebih jauh, air CO2 atm

permukaan dapat menjadi net autotrofik jika CO2 lebih banyak dikonsumsi oleh produksi biologis (Chen et al., 2008).

Nilai pCO2 yang ditemukan di perairan Estuari Donan masih dalam kisaran tekanan parsial CO2 yang ditemukan di perairan estuari yang lain di daerah tropis, namun sedikit lebih rendah. Di perairan estuari sungai Hooghly India tekanan parsial CO2 berkisar antara 80 – 1520 µatm (Mukhopadhyay et al. 2002), sedangkan di estuari Mandovi-Zuari India pCO2 berkisar antara 500 – 3500 µatm (Sarma et al. 2001). Rendahnya tekanan parsial CO2 di perairan Estuari Donan juga berhubungan dengan tingginya salinitas, karena pengambilan sampel dilakukan pada saat pasang, sehingga perairan estuari masih didominasi oleh air laut. Pada stasiun 5 yang sudah berada di bagian hulu masih ditemukan salinitas 23 psu. Seperti yang dikemukakan oleh Gupta et al. (2008) dari hasi penelitiannya di Chilka Lake India, bahwa pasang surut dan salinitas mempengaruhi tekanan parsial CO2 di perairan estuari, pada saat surut dimana nilai salinitas rendah pCO2 di perairan Chilka bisa mencapai 1900 µatm sedangkan pada saat pasang pCO2 hanya mencapai 1050 µatm. Korelasi negatif antara salinitas dan laju fotosintesis dengan pCO2 juga ditemukan di estuari Changjiang (sungai Yangtze) Cina (Zhai and Dai, 2009).

40

Dokumen terkait