Pada bab pembahasan penulis akan mencoba membahas mengenai kesenjangan
yang terdapat pada konsep dasar ( teori) dan studi kasus pada klien dengan resiko
perilaku kekerasan yang dimulai dengan membahas pengkajian, diagnosa, intervensi,
implementasi, dan evaluasi.
A. Pembahasan
Menurut Stuart dan Laraia (dalam Keliat, 2005) pengkajian merupakan
tahapan awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri
atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan, atau masalah klien.Data yang
dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.Data
pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkan menjadi faktor predisposisi,
faktor presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping, dan kemampuan
koping yang dimiliki klien. Apabila di bandingkan dengan pengkajian pada kasus
perilaku kekerasan di ruang Maespati terdapat kesamaan, dapat diihat dari isi
pengkajian pada kasus perilaku kekerasan ini meliputi: identitas klien, alasan
masuk rumah sakit, riwayat kesehatan klien, pengkajian pola kesehatan
fungsional, pemeriksaan fisik, penilaian koping stress, pemeriksaan penunjang.
Dalam kasus ini pengkajian yang penulis lakukan di dalamnya sudah mencakup
presipitasi, penilaian terhadap stressor, pola koping stress, dan kemampuan
koping yang dimiliki klien.Hal ini disebabkan karena aspek pengkajian jiwa
tersebut sudah masuk ke dalam pola kesehatan fungsional yaitu pola koping
toleransi stress.
Pada riwayat kesehatan pada Tn. D meliputi faktor predisposisi klien
sebelumnya pernah mengalami gangguan jiwa dan sudah 3 kali di rawat di RSJD
Surakarta. Menurut Soerojo (2010), kekambuhan kembali mantan penderita
gangguan jiwa sebagian besar disebabkan oleh kurangnya perhatian dari
lingkungan dan bahkan keluarga sendiri tidak memberikan pengobatan sehingga
berakibat pada lambatnya proses penyembuhan. Berdasarkan pernyataan tentang
pengobatan diatas penulis melaporkan riwayat pengobatan klien kurang berhasil
dilihat dari klien yang sering kambuh karena klien tidak rutin kontrol, keluarga
klien tidak ada yang mengalami gangguan jiwa dan klien juga tidak pernah
melihat kekerasan fisik.Adapun faktor presipitasinya klien mengatakan saat di
rumah klien sering merasa tidak sesuai dengan apa yang dinginkannya. Faktor
presipitasi menurut Stuart dan Laria (2008), faktor pencetus dapat bersumber dari
lingkungan atau interaksi dengan orang lain. Pada psikososial khususnya
genogram klien merupakan anak ke 2 dari 4 bersaudara dan klien tinggal
serumah dengan adik-adiknya dan kedua orang tuanya, kakek klien sudah
meninggal.
Dari pola koping toleransi stress pada saat Tn. D mengatakan masih merasa
Mekanisme koping adaptif klien adalah apabila ada masalah klien selalu sabar
dalam menghadapinya.Sedangkan maladaptif klien mengatakan apabila sedang
kesal dan marah klien ingin memukul dan mengamuk.Selama ini klien lebih
sering menggunakan koping maladaptif dalam menghadapi permasalahan.
Perilaku kekerasan merupakan respon terhadap stresor yang dihadapi oleh
seseorang, yang ditunjukan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan, baik
pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun
nonverbal yang bertujuan melukai orang lain secara fisik maupun psikologis
(Iyus, 2009). Teori di atas sama dengan kasus yang di angkat dilihat dari stressor yang mengakibatkan stress sehingga mengakibatkan perilaku kekerasan, sebab perilaku kekerasan itu adalah salah satu akibat dari koping toleransi stress yang tidak efektif.
Ada beberapa stressor yang dialami terakhir ini seperti sering di tolak saat
klien ingin melamar pekerjaan di perusahaan.Namun keluarga klien mendukung
sepenuhnya atas kesembuhan klien apalagi ibu nya, kadang-kadang setiap ada
masalah klien berdiskusi dengan ibunya untuk membantu memecahkan
masalahnya.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan hasil TD: 125/89 mmHg, Nadi:
98x/menit, Respirasi: 20x/menit, Suhu: 36,8˚C, Berat badan: 54 kg, Tinggi
badan: 168 cm, bentuk kepala: meshocepal, rambut: pendek, hitam, dan bersih,
mata: simetris antara kanan dan kiri, hidung: simetris, tidak ada polip, mulut:
simetris, tidak ada sariawan, telinga: simetris antara kanan dan kiri, sedikit
kanan dan kiri, ekstermitas: kaki kanan dan kiri lengkap, tangan kanan kiri
lengkap. Dari pemeriksaan fisik pada klien dapat disimpulkan bahwa klien tidak
memiliki tanda- tanda fisik yang abnormal.
Tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan yang muncul biasanya adalah
muka merah, mata melotot, mengepalkan tangan, jalan mondar-mandir bicara
keras, suara tinggi membentak dan berteriak, menyerang atau memukul benda,
menyerang orang lain, melukai diri sendiri, merusak lingkungan amuk (Iyus,
2009).Dari penilaian klien dengan gangguan perilaku kekerasan dapat dinilai
secara obyektif, meliputi bicara keras, bicara cepat, klien terlihat tegang, mata
melotot, mata merah, pandangan tajam.Bila dibandingkan dengan teori di atas
tidak ada kesenjangan antara teorri dan kasus yang di angkat penulis.
Dari pemeriksaan penunjang yang diperoleh dari pemeriksaan laboratorium
hasilnya adalah GDS 90 mg/dl (normal < 130 mg/dl), Cholesterol 150 mg/dl
(normal < 200 mg/dl), SGOT 32 U/L (normal <37 U/L), SGPT 26 U/L (normal <
42 U/L). Pada aspek medik, diagnosa medik skizofrenia paranoid, dan terapi
medik yang diberikan Triheksipenidi 2 x2 mg( indikasi untuk relaksasi) dan
Chlopramazine 1 x 100 mg.( indikasi untuk penenang).
Diagnosa keperawatan ialah suatu pertimbangan klinis tentang respon
individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang aktual dan potensial. Diagnosa keperawatan memberikan dasar
bagi pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang menjadi
Dalam pohon masalah dijelaskan bahwa yang menjadi core problem
adalah resiko perilaku kekerasan. Definisi resiko perilaku kekerasan adalah
keadaan dimana individu mengalami perilaku yang dapat membahayakan orang
lain, diri sendiri dan lingkungan serta penyebab dari resiko perilaku kekerasan
adalah harga diri rendah (Stuard dan Sudden, 2005). Dibandingkan dengan kasus
yang di angkat penulis ada sedikit perbedaan antara teori dan kasus yang di
angkat penulis dapat dilihat dari pohon masalah pada teori hanya ada resiko
perilaku kekerasan sebagai core problem dan harga diri rendah sebagai
etiologinya itu sedikit berbeda dengan pohon masalah pada kasus, sebab penulis
mencantumkan harga diri rendah sebagai etiologi, resiko perilaku kekerasan
sebagai core problem dan resiko menciderai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan sebagaiefek. Namun penulis menemukan teori Iyus. Menurut Iyus
(2005),pada pohon masalah yang menjadi core problem dari perilaku kekerasan
adalah resiko perilaku kekerasan, yang menjadi akibat adalah resiko menciderai
diri sendiri, orang lain dan lingkungan, dan penyebab dari perilaku kekerasan
adalah gangguan harga diri rendah (HDR). Teori ini yang lebih padu bila di
bandingkan dengan pohon masalah yang di susun penulis.Maka dari itu penulis
lebih memilih teori dari Iyus, 2009 sebagai teori dalam panduan untuk
memadukan pohon masalah dalam kasus ini.
Pada saat dilakukan pengkajian mendapatkan data subyektif dan obyektif
menunjukkan bahwa masalah keperawatan pada Tn. D adalah resiko perilaku
pengkajian data subyektif: klien mengatakan jika sedang bertengkar dengan
keluarganya atau ketidakcocokan saat berbicara pasien ingin memukul. Dari data
obyektif: terdapat data pada klien pandangan tajam dan klien tampak diam, serta
nada keras saat bicara.
Menurut Santosa (2006),yang menjadi faktor resiko dalam diagnosa
keperawatan resiko perilaku kekerasan meliputi: ide bunuh diri, rencana bunuh
diri( kemampuan merusak diri orang lain), riwayat percobaan bunuh diri
multiple, petunjuk perilaku( menulis catatan untuk orang yang ditinggalkan),
status emosional( kemarahan, penolakan, cemas meningkat), kesehatan mental(
depresi berat, psikosis), pekerjaan( kehilangan atau kegagalan dalam
pekerjaan),status pernikahan, kesehatan fisik(penyakit kronis, terminal), konflik
interpersonal, manusia dengan tindakan seksual. Dalam hal ini pada kasus
terdapat faktor resiko yang sesuai dengan teori tersebut yaitu kemampuan
merusak diri orang lain,pekerjaan( kehilangan, kegagalan dalam pekerjaan).
Sehingga hal ini menjadi dasar penulis untuk mengangkat diagnosa resiko
perilaku kekerasan pada kasus.
Resiko perilaku kekerasan merupakan permasalahan yang dialami
seseorang yang tidak bisa merespon emosi secara adaptif sehingga akan
berpotensi untuk melakukan perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan itu sendiri
memiliki pengertian, respon terhadap stresor yang dihadapi oleh seseorang yang
yang ditunjukan dengan perilaku yang aktual yang berguna untuk mengontrol
kekerasan baik diri sendiri, lingkungan, orang lain, baik secara verbal, maupun
non verbal yang bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun
psikologis. Perasaan ingin dicintai dan mencintai adalah suatu keadaan dimana
seseorang memiliki tanggung jawab terhadap sesuatu yang menimbulkan rasa
cinta kasih serta keinginan untuk menjaga dan mempertahankannya (Hidayat,
2008). Dalam hal ini pada pasien perilaku kekerasan mencintai dan memiliki
kurang terpenuhi kebutuhan kurang terpenuhi sehingga untukselanjutnya penulis
akan menyusun perencanaan, implementasi, evaluasi untuk mengatasi core
problem yaitu resiko perilaku kekerasan diharapkan masalah resiko perilaku
kekerasan teratasi, kebutuhan mencintai dan memiliki dapat terpenuhi.
Rencana keperawatan ditulis atau dibuat setelah diagnosa
keperawatan.Rencana tindakan keperawatan merupakan serangkaian tindakan
yang dapat mencapai tiap tujuan, tindakan, dan penilaian rangkaian asuhan
keperawatan pada klien berdasarkan analisis pengkajian agar masalah kesehatan
dan keperawatan klien dapat diatasi (Ali Z, 2002). Dalam kasus ini penulis
merencanakan 9 TUK tetapi yang terlaksana hanya TUK 1, TUK 2, TUK 3, TUK
5, TUK 6, dan TUK 7, karena ada beberapa hambatan yang pertama penulis
mengalami keterbatasan waktu sehingga tidak dapat menyelesaikan ke 9 TUK
yang di rencanakan dan yang ke dua penulis tidak dapat bertemu dengan
keluarga sehingga penulis tidak dapat berdiskusi dengan keluarga klien sebagai
Implementasi ialah tahap dimana perawat memulai kegiatan dan
melakukan tindakan – tindakan perawatan dalam mengatasi masalah klien, tugas
perawat pada saat ini adalah melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan
pada tahap pra interaksi dan melanjutkan tahap orientasi (Erlinafsiah,
2010).Penulis dapat menyelesaikan SP I dan SP II, Implementasi yang pertama
pada tanggal 03 April 2012, pada pukul 10.00 WIB. Penulis melakukan interaksi
dengan klien untuk melaksanakan SP 1 yang meliputi TUK 1: klien dapat
mengontrol perilaku kekerasan. TUK 2: Klien dapat mengidentifikasi penyebab
perilaku kekerasan yang dilakukannya. kesal TUK 3: Klien dapat
mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan. TUK 5: Klien dapat
mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. TUK 6: Klien dapat
mengidentifikasikan cara konstruktif mengungkapkan kemarahan, cara – cara
sehat untuk mengungkapkan kemarahan, cara fisik : nafas dalam. TUK 7 : Klien
dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik(
nafas dalam)
Implementasi pada hari terakhir tanggal 04 April 2012, pada pukul 10.00
WIB penulis melakukan interaksi dengan klien untuk melaksanakan SP 2 yang
masuk dalam TUK 6 Klien dapat mengidentifikasikan cara konstruktif
mengungkapkan kemarahan, cara – cara sehat untuk mengungkapkan kemarahan
dengan cara fisik cara fisik( pukul bantal/ kasur). TUK 7:Klien dapat
mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik(pukul
mengontrol marah yaitu dengan cara memukul bantal/ kasur (SP II).Dengan
memberi contoh terlebih dahulu dan memberi kesempatan klien untuk mencoba,
klien kooperatif dan penulis memberikan reinforcent positif kepada klien.
Sedangkan dalam implementasi pada kasus yang belum dapat dilaksanakan dari
intervensi di atas adalah TUK 4, 8 dan 9 yang mempunyai tujuan yaitu klien
mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan dan dapat
menggunakan obat dengan benar sesuai program pengobatan karena keterbatasan
waktu saat pengkajian sehingga penulis tidak dapat memberikan implementasi
sampai TUK 9, penulis hanya bias menylesaikan TUK 1, TUK2, TUK3, TUK5,
TUK6 , TUK 7 saja yang termasuk dalam SP 1 dan SP 2 yang dapat di selesaikan
penulis di rumah sakit jiwa daerah Surakarta.
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus-menerus pada respon
klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. (Keliat, 2005)
Evaluasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai berikut: S:
Subyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan, O:
Respon obyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
A: Analisa diatas data subyektif dan obyektif untuk menyimpulkan apakah
masalah masih tetap muncul atau muncul masalah baru atau data – data yang
kontra indikasi dengan masalah yang ada. P: perencanaan atau tindak lanjut
berdasarkan hasil analisa pada respon klien.( Keliat, 2005). Pada evaluasi Tn. D
ketidakcocokan antara saudaranya sehingga klien ingin memukul. Secara
obyektif: Klien tampak mau berjabat tangan dan membina hubungan saling
percaya pada perawat, pasien tampak mau menyebutkan penyebab perilaku
kekerasannya muncul, pasien menjawab semua pertanyaan, ada kontak mata,
pasien mau menyebutkan perilaku kekerasan yang dilakukan, pasien mengatakan
mau untuk diajari cara mengontrol marah dengan cara nafas dalam dan pukul
bantal dan pasien tampak mau mempraktekannya. Analisis: sehingga
disimpulkan masalah pada Tn.D sudah terpenuhi dan rencana selanjutnya
penulis menyerahkan tindak lanjut kepada perawat jaga yang berada di rumah
sakit agar melanjutkan SP III (membuat jadwal kegiatan).
B. SIMPULAN
Kesimpulan penulis setelah melakukan asuhan keperawatan pemenuhan
kebutuhan mencintai dan memiliki, dari pengkajian didapatkan data subyektif
dan data obyektif yang berfokus pada pola koping toleransi stress.Perumusan
diagnosa keperawatan pada tn. D adalah resiko perilaku kekerasan. Perencanaan
sesuai SOP (Standart Operasional Prosedur) yang telah di tetapkan ada 9 TUK
tetapi yang dapat terselesaikan penulis hanya TUK 1 sampai TUK 7, tidak dapat
diselesaikan semua karena keterbatasan waktu. Dari implementasi di atas penulis
dapat menyelesaikan 2 SP saja yaitu SP I(nafas dalam) dan SP II( pukul bantal/
cara nafas dalam dan pukul bantal/ kasur. Dari analisa pemenuhan kebutuhan
dasar mencintai dan memiliki pada kasus sudah terpenuhi.
C. SARAN
Penulis memberikan saran yang mungkin dapat diterima sebagai bahan
pertimbangan guna meningkatkan kualitas asuhan keperawatan pemenuhan
kebutuhan mencintai dan memiliki pada klien dengan resiko perilaku kekerasan
berikut:
1. Bagi rumah sakit, hendaknya menyediakan dan memfasilitasi apa yang dibutuhkan oleh klien untuk penyembuhan, rumah sakit menyediakan tenaga
kesehatan yang profesional guna membantu penyembuhan pasien.
2. Bagi klien hendaknya selalu minum obat yang teratur dan bisa mengontrol marah dengan cara yang konstruktif seperti apa yang telah diajarkan oleh
perawat.
3. Bagi institusi untuk selalu memberikan motivasi dan menyediakan perpustakaan yang berguna untuk penulis sehingga dapat terselesaikan tugas
akhir karya tulis ilmiah jiwa.
4. Bagi keluarga berikan motivasi kepada klien dan kontrolkan secara rutin, belajar cara merawat klien pada anggota keluarga yang menderita gangguan
5. Bagi perawat untuk lebih profesional dalam merawat pasien dan lebih sabar dalam memberikan pelayanan guna peningkatan keadaan pasien.