• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

4.2 Pembahasan

Desa Rumah Galuh adalah tempat yang sejak tiga tahun belangan ini dikembangkan menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW) bagi wisatawan pencinta alam.

Masyarakat setempat berinisiatif memanfaatkan sumber mata air yang terdapat di Desa Rumah Galuh dan masih terjaga keasriannya menjadi sebuah ekowisata yang dapat dinikmati oleh wisatawan. Masyarakat setempat membentuk sebuah komunitas yang bernama Pelaruga dalam mengelola objek wisata Desa Rumah Galuh.

Pelaruga merupakan salah satu komunitas yang sengaja dibentuk guna menyediakan jasa pelayanan bagi para wisatawan yang datang ke Desa Rumah Galuh untuk menikmati panorama alam yang terdapat di desa tersebut. Komunitas ini dibentuk pada pertengahan tahun 2010. Ketersedian beberapa panorama alam yang ada di desa Rumah Galuh dianggap memiliki potensi untuk dijadikan objek wisata. Beberapa tempat yang dijadikan objek wisata diantaranya adalah air terjun Tero-Tero, air Terjun Tongkat, dan kolam abadi. Nama-nama tempat yang telah dijadikan objek wisata tersebut sudah akrab ditelinga masyarakat setempat sejak lama.

Keinginan menjadikan tempat tersebut menjadi objek wisata diawali dengan inisiatif yang dilakukan beberapa pemuda Desa Rumah Galuh untuk membuka jalur dari pemukiman warga setempat menuju sumber mata air tersebut. Lokasi objek wisata berada sekitar 3 km dari pemukiman masyarakat Desa Rumah Galuh. Wisatawan harus berjalan kaki menempuh beberapa ladang-ladang masyarakat setempat dengan medan yang cukup menantang untuk sampai ke lokasi objek wisata. Pembukaan jalur ini guna membentuk rute yang lebih mudah untuk dilewati oleh para wisatawan.

Beberapa pemuda yang menjadi penggagas terbentuknya komunitas Pelaruga adalah Wanda yang berusia 29 tahun, Andi berusia 29 tahun dan Dolly berusia 24 tahun. Ketiga pemuda ini dibantu oleh Agus, seorang warga Medan yang juga anggota komunitas pecinta alam (KOIN) untuk membentuk komunitas yang diberi nama Pelaruga. Nama Pelaruga sendiri merupakan singkatan dari Pemandu Alam Rumah Galuh. Nama komunitas Pelaruga disesuaikan dengan tujuan atau alasan mengapa komunitas ini dibentuk, yaitu menjadi pemandu bagi wisatawan yang ingin berwisata di Desa Rumah Galuh. Seperti apa yang diungkap oleh Dolly sebagai salah satu penggagas terbentuknya Pelaruga.

“Karena sistem ngantar, sistem memandu atau nge-guide, kita buat namanya Pelaruga, Pemandu Alam Rumah Galuh.”

Nama komunitas Pelaruga telah tertanam dibenak para wisatawan sebagai nama objek wisata yang ada di Desa Rumah Galuh, sementara beberapa nama mata air yang sesungguhnya adalah objek wisata sebenarnya masih perlu diperkenalkan kembali kepada pengunjung yang datang.

Komunitas Pelaruga terus berupaya membenahi diri seiring dengan semakin bertambahnnya jumlah pengunjung. Sebagai pos informasi mengenai objek wisata alam Desa Rumah Galuh, komunitas Pelaruga memasang spanduk di posko Pelaruga dengan menampilkan logo sebagai identitas dari Pelaruga. Spanduk ini juga mencantumkan beberapa contact person yang dapat dihubungi dengan harapan dapat bermanfaat ketika beberapa pengunjung memuat gambar spanduk tersebut di beberapa blog dan media sosial yang mereka miliki.

Spanduk dipasang di posko Pelaruga bertujuan untuk memudahkan pengunjung dalam mengenal tempat yang dijadikan posko komunitas Pelaruga. Pada spanduk akan terlihat gambar rumah dengan lingkaran yang mengelilingi rumah tersebut, secara sederhana gambar rumah dipilih karena mengidentitaskan nama desa, yaitu Desa Rumah Galuh. Warna hitam dipilih sebagai warna dasar spanduk dikarenakan hitam merupakan warna yang mudah dipadupadankan dengan warna lain, sementara hijau dijadikan warna pada tulisan dan logo Pelaruga didasari warna hijau yang identik dengan alam. Hal ini disesuaikan dengan bentuk objek wisata di Desa Rumah Galuh, yakni ekowisata.

Menurut Hecktor Ceballos Lascurain dalam Pendit (2003), ekowisata merupakan wisata atau kunjungan ke kawasan alamiah yang relatif tidak terganggu dengan niat betul-betul objektif untuk melihat, mempelajari, mengagumi wajah keindahan alam, flora, fauna termasuk aspek-aspek budaya baik yang mungkin terdapat di kawasan tersebut. Tidak hanya posko komunitas Pelaruga saja yang dijadikan pos informasi mengenai objek wisata Desa Rumah Galuh, tetapi Pelaruga juga memanfaatkan facebook sebagai media sosial dengan membuat akun group Pelaruga untuk

memudahkan para wisatawan mencari informasi mengenai objek wisata yang dapat dikunjungi di Kecamatan Sei Bingai.

Pelaruga saat ini berkembang tidak hanya sebagai pos informasi objek wisata yang ada di Desa Rumah Galuh, tetapi juga sebagai pos informasi objek wisata yang ada di Kecamatan Sei Bingai. Pelaruga saat ini mulai menawarkan beberapa spot mata air yang berada di Desa sekitar, dengan harapan menjadi daya tarik baru bagi para wisatawan yang sudah sering datang ke Desa Rumah Galuh seperti apa yang diungkapkan oleh Wanda.

“Karena takutnya pengunjung merasa bosan karena itu-itu aja tempatnya, kami tawarkan lah beberapa tempat yang ada di desa lain”.

Kecamatan Sei Bingai memiliki sepuluh objek wisata air terjun yang dapat dikunjungi menggunakan jasa Pelaruga, diantaranya adalah Air Terjun Lauberte (Desa Rumah Galuh), Air Terjun Tongkat (Desa Rumah Galuh), Air Terjun Tero-Tero (Desa Rumah Galuh), Air Terjun Pelangi (Desa Telaga), Air Terjun Basbasan (Desa Telaga), Air Terjun Tengah Rembulan (Desa Telaga), Air Terjun Tiga Mentari (Desa Telaga), Air Terjun Goa (Dusun Bangun Jahe), Air Terjun Bengaru (Dusun Bangun Jahe), Air Terjun Namu Belanga (Desa Garunggang). Beberapa mata air yang telah disebutkan memiliki peluang yang sama untuk dikembangkan seperti mata air yang ada di Desa Rumah Galuh, namun belum ada masyarakat setempat yang berkeinginan untuk mengembangkan tempat tersebut untuk dijadikan objek wisata yang ramai dikunjungi, sehingga Pelaruga masih menjadi pusat informasi mengenai ekowisata yang dapat dikunjungi di Kecamatan Sei Bingai.

Salah satu objek yang mulai ramai dikunjungi dan menjadi daya tarik baru bagi para wisatawan adalah objek wisata Air Terjun Namu Belanga yang terletak di Desa Garunggang. Meskipun tidak terletak di Desa Rumah Galuh, Pelaruga tetap menjadi pemberhentian para wisatawan menuju Desa Garunggang agar dipandu menuju lokasi objek wisata.

Salah satu daya tarik pada penelitian ini adalah persoalan pengelolaan pariwisata yang masih dilakukan masyarakat setempat. Dengan kata lain, segala bentuk peranan dalam usaha mengembangkan objek wisata tersebut dikelola sepenuhnya oleh masyarakat setempat.

Pariwisata berbasis masyarakat merupakan suatu bentuk kepariwisataan yang mengedepankan kepemilikan dan peran serta aktif masyarakat, memberikan edukasi kepada masyarakat lokal maupun pengunjung, mengedepankan perlindungan kepada budaya dan lingkungan, serta memberikan manfaat secara ekonomi kepada masyarakat lokal. Sebagai sebuah konsep pengembangan pariwisata, pariwisata berbasis masyarakat bukanlah konsep yang kaku (Tasci dkk, 2013). Masyarakat Desa Rumah Galuh pun demikian. Mereka mulai mengembangkan berbagai aliran mata air yang terdapat di desa tersebut menjadi satu objek wisata hingga mampu menjadi Daerah Tujuan Wisata yang ada di Kabupaten Langkat.

Kepengelolaan objek wisata Desa Rumah Galuh pertama kali di inisiasi oleh Wanda (29 tahun), Dolly (22 tahun) dan Andi (23 tahun). Ketiganya merupakan penduduk Desa Rumah Galuh. Dibantu Agus (29), warga Medan yang juga anggota Koin (Komunitas Orang Indonesia), mereka pada akhirnya membentuk komunitas Pelaruga (pemandu alam rumah Galuh) guna memanfaatkan potensi kejernihan aliran mata air di Desa rumah Galuh menjadi satu objek wisata yang menarik untuk dikunjungi.

Latar belakang organisasi yang dimilik Agus memberikan banyak sumbangsih di fase awal terbentuknya komunitas ini. Bentuk kontribusi yang diberikan seperti memanfaatkan jaringan pecinta alam yang dimilikinya untuk menyebarluaskan informasi mengenai keberadaan objek wisata di Desa Rumah Galuh. Selain itu, dasar-dasar ilmu pengelolaan sebuah komunitas juga diajarkan kepada Wanda, Dolly dan Andi agar mampu mengembangkan Pelaruga. hal ini banyak diceritakan oleh Dolly.

Dulu ada kawan kami namanya Agus Ginting, dia orang Medan, kalau kakak tau dia ikut KOIN, Komunitas Orang Indonesia, dialah yang ngajarkan kita buat komunitas aja, biar orang tau, makanya kita buat.”

Komunitas Pelaruga yang telah terbentuk, diharapkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi anak-anak muda Desa Rumah Galuh. Untuk itu mulai dilakukan perekrutan anggota yang bertugas sebagai guide/pemandu para pengunjung. Tidak ada syarat atau ketentuan tertentu untuk menjadi pemandu, namun yang diutamakan adalah para pemuda setempat. Hal ini didasari dari niatan awal terbentuknya komunitas pelaruga, yakni mendorong para pemuda untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang positif. Hal ini dijelaskan oleh Wanda.

“ Artinya yang kita utamakan dulu niat kita buka untuk ps (pemuda setempat) di sini, mengurangi pengangguran intinya, siapa pun orang kampung sini mau ikut.. kita welcome.. kita ajakin, orang itu kalau diajakin dia berpikir ah.. kerjaan sia-sia, tapi alhasil bisa dibilang setelah banyak yang datang ya lumayan”.

Pada awal terbentuk, kegiatan mengelola objek wisata Desa Rumah Galuh kurang mendapat respon oleh masyarakat setempat. Pola pikir masyarakat, terkhusus para pemuda menganggap pekerjaan tersebut sebagai sebuah aktifitas yang sia-sia. Mereka lebih memilih berladang, bertani atau kerja serabutan sebagaimana mata pencarian mayoritas penduduk lainnya. Namun seiring berjalannya waktu, kedatangan pengunjung dalam jumlah signifikan membuat penduduk setempat mulai tertarik ikut bergabung bersama komunitas ini.

Bertambahnya jumlah pengunjung tentu berimbas pada proses kepengelolaan objek wisata Rumah Galuh. Komunitas ini pun melakukan pembenahan-pembenahan di berbagai aspek. Salah satunya adalah dengan mengikut sertakan para pemandu lokal untuk ikut pelatihan yang diadakan oleh Himpunan Pariwisata Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menciptakan para pemandu yang ebih profesional. Sedikitnya sekitar 30 orang pemandu di komunitas pelaruga telah mengikuti pelatihan.

Bulan Januari 2014, Pelaruga sempat dikejutkan dengan kedatangan jumlah pengunjung yang mencapai 3000 orang dalam sehari. Jumlah demikian tentu tidak seimbang dengan jumlah pemandu yang ada. Oleh sebab itu, pengelola Pelaruga terpaksa memulangkan kurang lebih 300 pengunjung yang datang pada saat itu.

yang harus berdesak-desakan menuju sumber mata air dan memakan waktu yang lebih lama daripada waktu tempuh normal.

Kejadian ini menjadi akar tumbuhnya komunitas-komunitas baru yang serupa dengan Pelaruga. Komunitas yang ada di Desa Rumah Galuh tercatat hingga saat ini terdiri dari empat komunitas, yaitu PETAR, GOA, PJ, dan Pelaruga. Persaingan saling merebut pengunjung pada akhirnya tidak terhindarkan. Ironisnya, hampir semua wisatawan yang datang justru mengenal Pelaruga sebagai objek tujuan wisata mereka. Walaupun mereka dipandu oleh komunitas yang berbeda, namun nama Pelaruga terlanjur identik dengan objek wisata alam Di Desa Rumah Galuh. Hal ini juga dirasakan oleh Dika sebagai salah satu anggota komunitas Petar yang dijumpai oleh peneliti saat sedang dalam perjalanan menuju lokasi penelitian, dalam penjelasannya Dika mengatakan,

oo.. Pelaruga bukan nama tempatnya kak, itu nama komunitasnya, singkatan dari Pemandu alam Rumah Galuh. Nama objek wisatanya ada banyak, kakak bisa pilih, ada air terjun teroh-teroh, lauberte, kolam abadi, sama air terjun tongkat, kakak mau kemana,biar ku antarkan, sama aja itu tempatnya kak, gak mesti Pelaruga. Tempat air terjunnya sama aja kak sama Pelaruga. Tapi ya itu tadi, orang kalau kemari taunya mau ke Pelaruga.”

Pengelola pelaruga juga menyadari bahwa mata air yang dimiliki Desa Rumah Galuh merupakan anugrah dari Tuhan dan milik bersama, dengan kata lain sumber mata air yang dijadikan objek wisata tidak dapat dimilki secara individu ataupun kelompok. Oleh sebab itu, setiap orang yang ada di Desa Rumah Galuh berhak dan memiliki kesempatan yang sama dalam mengelola sumber mata air yang ada sebagai sebuah objek wisata.

Kepala Desa Rumah Galuh justru menilai positif adanya kegiatan pariwisata yang ada di desa mereka. Kepala Desa selalu mencoba bersikap netral melihat permasalahan yang terjadi, beliau berusaha untuk mengkonsolidasikan komunitas-kemunitas yang ada menjadi satu kesatuan dan bersaing secara sehat. Upaya yang dilakukannya adalah membuka ruang diskusi bersama dan menjadi mediator antar komunitas dalam membahas permasalahan yang sedang terjadi, meskipun sampai saat

ini belum juga menemui titik temu dikarenakan ego yang dimiliki oleh masing-masing komunitas. Namun, upaya ini masih terus dijalankan. Jika dipandang secara subjektif, Kepala Desa memiliki hubungan yang lebih dekat dengan komunitas Pelaruga dikarenakan masih memiliki hubungan tali persaudaraan dengan ibu dari Dolly, salah satu penggagas Pelaruga. Artinya, dalam tutur kekerabatan Kepala Desa adalah paman dari salah satu pendiri Pelaruga. Hal ini pula yang terkadang memicu timbulnya kecemburuan komunitas-kemunitas lain sehingga lebih mementingkan ego masing-masing

Tumbuhnya komunitas-komunitas baru menjadi alasan utama Pelaruga menyusun struktur kepengurusan komunitas Pelaruga secara legal dan administratif. Struktur ini dibentuk dengan cara yang sangat sederhana, yaitu dengan menunjuk beberapa orang untuk menduduki posisi sesuai dengan kebutuhan komunitas. Anggota yang menduduki struktur penting dalam komunitas ini tidak terlepas dari ikatan tali kekeluargaan, sedangkan beberapa anggota lain yang diposisikan dalam struktur adalah orang-orang memiiki kedekatan secara emosional dengan penggagas dan sudah mendapatkan kepercayaan untuk menduduki posisi di dalam struktur. Penentuan struktur tidak dibentuk berdasarkan kemampuan ataupun kekuasaan dari masing-masing anggota, tetapi struktur ini juga dimanfaatkan sebagai miniatur kecil pembelajaran dalam memegang suatu tanggung jawab dan membangun mental pemuda dalam menghadapi situasi-situasi organisasi.

Salah satu contoh kasus yang dapat dijadikan gambaran umum bergeraknya struktur pada komunitas Pelaruga adalah posisi Humas yang dijabat oleh Yohanes Ginting (23 tahun). Yohanes tidak memiliki dasar kemampuan di bidang humas. Secara fungsional, posisi ini memberikan Yohanes sebuah tanggung jawab untuk membangun hubungan baik dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Langkat agar dapat memberikan kontribusi dalam pengelolaan objek wisata yang ada di Desa Rumah Galuh, Kecamatan Sei Bingai. Begitu juga membangun persepsi baik dimata masyarakat setempat, Yohanes ditempatkan sebagai perpanjangan tangan ataupun sebagai corong komunitas Pelaruga untuk membantu kegiatan sosial yang ada di

Desa Rumah Galuh. Namun, pada pelaksanaan teknis yang dilakukan oleh Yohanes selaku Humas komunitas Pelaruga masih dituntun oleh Wanda selaku orang yang dianggap sebagai benteng pertahanan di komunitas Pelaruga. Begitu juga dengan posisi-posisi struktur lainnya. Struktur kepengurusan yang terbentuk tidak dipandang terlalu kaku oleh anggota yang aktif di komunitas Pelaruga.

Aktivitas keseharian saat memandu wisata di lapangan terlepas dari fungsi struktur yang terbentuk. Kegiatan memandu wisata tetap dikepalai dan dikoordinir oleh Wanda yang membawahi tiga puluh pemandu aktif sesuai dengan id card yang dikenakan masing-masing pemandu, walaupun secara struktural komunitas Pelaruga diketuai oleh Marsidin Alias Bugan. Fungsi struktur secara sederhana sengaja dibentuk hanya sebagai simbol untuk melegalkan kegiatan yang ada di Desa Rumah Galuh secara adminstratif. Sementara itu kegiatan dilapangan tetap berjalan sebagaimana saat sebelum struktur dibentuk. Hal ini dijelaskan oleh Wanda.

Kita ada bang, kita bentuk sistem kekeluargaan, tapi pemasarannya kami bertiga juga”. Lebih lanjut lagi ia menegaskan, “Cuma struktur di notaris sudah ada, tapi tugas-tugas masing-masing masih belum tau apa yang dikerjakan, masih belajar-belajar lah. Intinya untuk urusan ke masyarakat, urusan keluar, urusan pungli, itu urusan mereka. Tapi urusan di lapangan tetep kami”.

Gambar 4.3 Struktur Kepengurusan Komunitas Pelaruga

Eskalasi pengunjung juga menimbulkan persoalan baru. Selain munculnya komunitas baru di Desa rumah Galuh, pungutan liar yang dilakukan oleh masyarakat desa di luar rumah Galuh juga semakin menjamur. Seperti diketahui, untuk menuju Desa Rumah Galuh, pengunjung dari arah Medan/Binjai terlebih dulu melewati beberapa desa, Namu Ukur misalnya. Di Desa Namu Ukur para pengunjung kerap di kenai kutipan liar yang dilakukan oleh sekelompok pemuda. Pungutan liar yang kadang terjadi berkali-kali tentu membuat pengunjung merasa sangat tidak nyaman, Jumlah tarif kutipan cukup beragam, mulai dari Rp. 5.000 - Rp. 20.000 per orang. Kondisi seperti ini membuat minat pengunjung yang datang ke Desa Rumah Galuh lama-lama menjadi berkurang.

Upaya dalam mengatasi persoalan, Pelaruga berusaha berkordinasi dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Langkat dengan harapan dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Respon yang didapat dari Dinas Pariwisata Kabupaten Langkat justru tidak seperti yang diharapkan. Dinas Pariwisata mengatakan bahwa mereka belum siap untuk mengambil langkah pasti atau ikut turun tangan dikarenakan kekhawatiran timbulnya rasa kecemburan sosial dari komunitas-komunitas lainnya apabila menjadikan Pelaruga sebagai komunitas-komunitas yang dinaungi oleh Dinas Pariwisata. Pertemuan antar penduduk Desa rumah Galuh dan Desa Namu Ukur yang di gagas oleh kepala desa masing-masing juga sudah dilakukan. Namun kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan saat pertemuan pada prakteknya tidak dilaksanakan. Alhasil pungutan liar masih tetap terjadi.

Pelaruga sebagai komunitas pelopor yang mengembangkan potensi sumber mata air Desa Rumah Galuh menjadi sebuah ekowisata tentu terjadi kegiatan komunikasi pemasaran dalam upaya mendatangkan pengunjung dan menjadikan Desa Rumah Galouh sebagai sebuah Daerah Tujuan Wisata bagi wisatawan. Komunikasi pemasaran merupakan salah satu bagian dari kegiatan mix marketing. Unsur pemasaran yang terdiri dari 4P (product, price, place, dan promotion) dan yang paling banyak diadopsi, dipopulerkan pertama kali oleh E. Jerome McCarthy. Beberapa pakar pemasaran lain mengemukakan perspektif baru dan merupakan perluasan dari 4P. Diantaranya Kotler (1986) dalam artikelnya berjudul “Megamarketing” menambahkan 2P lagi, yaitu Politics dan Public Opinion. Rapp dan Collins (1987) menambahkan 2D pada 4P yaitu Datebase dan Dialogue. (Tjiptono,1997:6).

Secara teoritis dan praktis, aktivitas promosi dapat dikatakan sebagai bagian dari komunikasi pemasaran. (Liliweri, 2011:514). Pada hakikatnya promosi adalah suatu bentuk komunikasi pemasaran dimana yang dimaksud dengan komunikasi pemasaran adalah aktivitas pemasaran yang berusaha menyebarkan informasi, mempengaruhi/membujuk, dan atau mengingatkan pasar sasaran atas perusahaan dan

produknya agar bersedia menerima, membeli, dan loyal pada produk yang ditawarkan perusahaan yang bersangkutan. (Tjiptono, 1997:219).

Tujuan utama dari promosi adalah menginformasikan, mempengaruhi, dan membujuk, serta mengingatkan pelanggan sasaran tentang perusahaan dan bauran pemasarannya (Tjiptono, 1997:221). Upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan promosi dalam kajian teoritis komunikasi pemasaran terdiri dari beberapa bentuk komunikasi yang harus dilakukan secara terpadu untuk pencapaian hasil maksimal. Dalam penjelasan Alo Liliweri (2011:515) ada beberapa pesan campuran yang perlu diperhatikan yang tersedia dalam komunikasi pemasaran diantaranya adalah periklanan, promosi penjualan (sales promotion), acara dan pengalaman (events and experience), kehumasan dan publisitas ( Public Relations and Publicity), pemasaran langsung (direct marketing), penjualan secara personal (Personal selling), dan e-marketing yang dapat dilakukan secara terpadu dalam pemaksimalan target.

Hasil dari wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti mengungkapkan bahwa Pelaruga tidak sepenuhnya melakukan poin-poin yang telah disebutkan dalam bauran komunikasi pemasaran atau mix promotion secara teoritis dalam upayanya mencapai tujuan komunikasi pemasaran yang maksimal. Wanda yang dipilih sebagai informan kunci oleh peneliti didasari karena Wanda merupakan salah satu penggagas dari terbentuknya komunitas Pelaruga.

“ kalau untuk pasang iklan, nyebar brosur, datang ke medan untuk cari pengunjung, kami nggak pernah buat, pengunjung sudah memang datang kemari karena tau dari kawan yang ngajak”.

Dirunut secara kronologis, komunitas Pelaruga mulai menginformasikan kepada khalayak mengenai keberadaannya diawali oleh salah satu teman mereka yang bernama Agus Ginting yang berdomisili di Medan. Latar belakang Agus sebagai salah satu anggota komunitas pecinta alam bernama KOIN (Komunitas Orang Indonesia) sangat membantu dalam penyebarluasan informasi mengenai Pelaruga. Melalui jaringan pecinta alam yang dimilikinya, Agus menginformasikan bahwa

Informasi tentang Pelaruga dan objek wisata yang ada di Desa Rumah Galuh ditulis dalam bentuk cerita yang sederhana dan beberapa gambar yang dimuat melalui media blog pribadi. Sejak saat itu, beberapa kelompok-kelompok pecinta alam mulai berdatangan ke Desa Rumah Galuh. Pada tahun 2010 sampai 2011, setidaknya dalam seminggu ada satu kelompok pecinta alam yang datang untuk berwisata alam dan menggunakan jasa pemandu dari Pelaruga. Cara ini dijelaskan oleh Wanda yang mengatakan,

“Dulu teknik pemasaran kita melalui blog aja. Dari situlah pengunjung yang browsing. Salah satu yang banyak bantu masa pemerintisan gotong royong di lapangan ada si Agus, dia ikut KOIN, Komunitas Orang Indonesia. Dimasukannya lah di blog, dipasang fotonya, kan kawannya nanya, ‘ih dimana itu, cantik tempatnya’. Barulah dikasih taunya, kalau dulu yang datang nggak macam sekarang, persiapannya lebih, bawa tas nya besar”. Kondisi ini dimanfaatkan oleh komunitas Pelaruga dengan melakukan persuasif kepada pengunjung yaitu kelompok-kelompok komunitas pada saat itu dengan berpesan untuk mengajak teman-teman yang lain. Kondisi awal komunitas Pelaruga pada saat itu masih minim sumber daya manusia dan secara ekonomi juga belum cukup memadai. Sebagai komunitas yang baru terbentuk, Pelaruga belum memiliki struktur yang matang. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor penyebab mengapa strategi komunikasi pemasaran seperti apa yang disebutkan oleh Kotler dan Keller tentang bauran komunikasi pemasaran ataupun mix promotion belum dirancang.

Dolly sebagai salah satu informan yang juga pengagas Pelaruga menjelaskan alasan mengapa komunikasi pemasaran seperti pemasangan iklan atau penyebaran brosur tidak dilakukan.

“ cemanalah kak, kakak tengoklah kami disini, siapa yang mau ngerjakan,

Dokumen terkait