• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Komunikasi Pemasaran Pariwisata Berbasis Masyarakat Lokal (Study Deskriptif Strategi Komunikasi Pemasaran Pariwisata Berbasis Masyarakat Lokal Objek Wisata Desa Rumah Galuh, Kecamatan Sei Bingai, Kabupaten Langkat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Komunikasi Pemasaran Pariwisata Berbasis Masyarakat Lokal (Study Deskriptif Strategi Komunikasi Pemasaran Pariwisata Berbasis Masyarakat Lokal Objek Wisata Desa Rumah Galuh, Kecamatan Sei Bingai, Kabupaten Langkat)"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

Hasil Wawancara

Informan pertama yang ditentukan peneliti sebagai informan tambahan adalah Dika yang berusia 22 tahun. Alasan peneliti menjadikan Dika sebagai informan biasa dikarenakan peneliti melihat fenomena beberapa pemuda di sekitaran jalan Jamin Ginting, 25 km sebelum menuju Desa Rumah Galoh sedang menawarkan tempat-tempat wisata kepada beberapa orang yang lewat di jalan tersebut pada saat peneliti dalam perjalanan menuju Desa Rumah Galoh. Dika yang dipilih saat itu bersedia untuk diwawancarai. Tujuan utama peneliti dalam wawancara pertama pada saat itu adalah mengetahui mengenai apa yang sedang mereka lakukan dan mencari informasi tambahan mengenai Pelaruga. Dika menjawab secara singkat apa yang sedang mereka lakukan.

kami jemput tamu kak”

Peneliti menjelaskan lebih lanjut kepada informan bahwa tujuan kedatangan peneliti bukan sebagai wisatawan, melainkan sebagai peneliti yang ingin mengetahui strategi komunikasi pemasaran pariwisata Pelaruga. Kemudian, informan mengklarifikasi bahwa Pelaruga bukanlah nama objek wisata, melainkan nama salah satu komunitas.

“oo.. Pelaruga bukan nama tempatnya kak, itu nama komunitasnya, singkatan dari Pemandu alam Rumah Galoh. Nama objek wisatanya ada banyak, kakak bisa

pilih, ada air terjun teroh-teroh, lauberte, kolam abadi, sama air terjun tongkat,

kakak mau kemana,biar ku antarkan, sama aja itu tempatnya kak, gak mesti

Pelaruga.”

Setelah mengetahui Pelaruga merupakan nama sebuah komunitas, peneliti mencari tahu berapa banyak komunitas yang ada dan siapa yang menjadi ketua komunitas Pelaruga agar dapat dijadikan informan kunci.

(2)

Pelaruga ketuanya bang Wanda, kalau Peta rini kartu namanya kak, kakak catat aja

nomornya, manatau biar bisa dihubungi.”

Selanjutnya peneliti menanyakan alasan mengapa mereka harus menjemput tamu dan menawarkan tempat-tempat objek wisata di sekitaran Jalan Jamin Ginting.

“kita disuruh jemput tamu kalau hari libur gini, karena orang taunya cuma Pelaruga, cem kakak ini lah, padahal Petar pun sama aja. Tempat air terjunnya

sama aja kak sama Pelaruga. Tapi ya itu tadi, orang kalau kemari taunya mau ke

Pelaruga. Lagian pun kak, nanti dijalan kakak dicegat orang di sana, dimintain duit

lagi. Kalo udah ada rangernya nggak dikutipin lagi kak, makanya kami jemput ke

sini.”

Berdasarkan pernytaan yang diucapkan oleh Dika, muncul pertanyaan apa yang menyebabkan nama Pelaruga lebih dikenal oleh wisatawan jika dibandingkan dengan nama komunitas-komunitas lain dan bahkan nama objek wisata yang ada.

“ orang itu udah tersebar di internet, kalau kakak ketik Pelaruga, langsung

muncul air terjuannya itu, orang itu udah ada duluan, lagian ada kawan orang itu

yang dari medan juga. Jadi lebih terkenal, orang yang datang kemari taunya

Pelaruga aja, padahal sama aja.”

Setelah mengetahui apa yang sedang mereka lakukan dan apa yang menjadi alasan mereka melakukan ha tersebut, peneliti melanjutkan perjalanan untuk mewawancarai Wanda dengan harapan dapat dijadikan informan kunci bagi peneliti.

Informan II

Peneliti mewawancarai salah satu pengelola Pelaruga ketika sampai di basecamp Pelaruga. Pada saat itu, hampir semua pengelola yang ada di posko

(3)

Peneliti mengamati Arianto yang mengingatkan kembali para pengunjung yang hendak pulang untuk mencatat contact person Pelaruga dan menyarankan untuk menghubungi Pelaruga jika ada teman-teman lain yang ingin berwisata ke Pelaruga. Fenomena ini membuahkan pertanyaan, apakah hal ini dilakukan secara rutin dan apakah hal ini bagian dari komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh pengelola Pelaruga.

“ Kalau dibilang rutin, nggak juga. Asal orang ini mau pulang, ya kubilangkan ajalah, kan nggak ada salahnya kita buat, mana tau ada kawan-kawan

orang ini yang mau kemari. Kalau pemasarannya aku pun nggak ngerti-ngerti kali.

Paling nanti orang ini masukan fotonya ke fb, udah ku fotokan orang ini tadi di

depan, kalau udah dimasukannya nanti fotonya ke internet, ntah ada kawannya yang

nanya trus mau kemari, yg penting kan udah ada nomor hp-nya.”

Peneliti kembali kembali menanyakan mengenai awal mula mata air yang ada di Desa Rumah Galoh dijadikan ekowisata dan apa menjadi alasan utama hal ini dilakukan oleh masyarakat setempat.

Pendiri Pelaruga ini ada tiga orang, ada Dolly, Andi sama si Wanda. Orang ini dulu duduk-duduk minum tuak, abis minum tuak pergi orang ini ke dalam sana

buka jalur, lama-lama jadi banyak yang tau, rame lah jadinya. Mending kakak tanya

langsung aja sama orangnya, itu ada si Dolly.”

Arianto merekomendasikan Dolly sebagai narasumber dikarenakan Dolly sebagai salah satu pendiri komunitas Pelaruga dianggap lebih berkompeten untuk melayani maksud kedatangan peneliti, sementara itu ia melanjutkan kesibukannya dengan pengunjung yang lainnya.

Informan III

(4)

maksud dan tujuan kedatangan peneliti, yaitu mengetahui bagaimanan strategi komunikasi pemasran yang dilakukan oleh masyarakat setempat sebagai pengelola objek wisata Desa Rumah Galoh yang belum disentuh oleh pihak pemerintah maupun swasta. Proses awal percakapan dimulai penjelasan bagaimana komunitas Pelaruga dibentuk.

Kalau tempatnya sana udah dari dulu kita tau ada air terjun disana, tapi untuk jalan menuju ke sana yang baru mulai dibuka tahun 2010. Dulu ada kawan

kami namanya Agus Ginting, dia orang Medan, kalau kakak tau dia ikut KOIN,

Komunitas Orang Indonesia, dialah yang ngajarkan kita buat komunitas aja, biar

orang tau, makanya kita buat. Karena sistem ngantar, sistem memandu atau

nge-guide, kita buat namanya Pelaruga, Pemandu Alam Rumah Galoh. Baru pertamalah,

belum ada komunitas lain. Makanya banyak yang tau, dulu banyak komunitas dari

kawan-kawan bang Agus yang datang, ada sandal gunung, aku pun lupa

nama-namanya, tapi orang itu yang sering buat-buat di internet. Awal ini baru-baru

dibuka, kira-kira seminggu sekali ada lah satu-satu kelompok orang itu kemari.”

Kemudian peneliti menanyakan bagaimana promosi yang dilakukan sehingga masyarakat luar bisa mengetahu keberadaan objek wisata Desa Rumah Galoh dan tertarik untuk berwisata ke Desa Rumah Galoh.

“Pokoknya dari media sosial, kita pun tanpa sadar sudah besar seperti ini dan ada komunitas lain. Melonjaknya tamu sekitar tahun 2014 pas hari imlek, sekitar

tiga ribu orang yang datang kemari. Dari tahun 2011 Cuma seminggu sekali yang

ramai datang kemari.”

(5)

“Cuma lewat facebook grup dengan nama Pelaruga. Tapi yang sering itu di google, kalo aku kurang taulah apa itu namanya, tapi kalau kita ketik Pelaruga, ada

itu muncul ceritanya,youtube-nya, blog namanya.”

Kemudian peneliti menanyakan bagaimana hubungan yang terjalin antara komunitas Pelaruga dengan Kepala Desa ataupun Dinas Pariwisata Kabupaten Langkat, apakah kegiatan yang dilakukan ini sudah mendapat izin dari pihak terkait.

Kita dekat aja, izinnya izin. Kita di Pelaruga udah ada izin dari Dinas Pariwisata, tapi kita belum melaksanakan bayar pajak, karena surat-suratnya belum,

makanya belum dipegang sama dinas.”

Komunitas-komunitas yang mulai bermunculan setelah melonjaknya pengunjung yang datang, peneliti menanyakan bagaimana tanggapan dari pihak Pelaruga.

Kami nggak masala., Cuma yang dipermasalahkan harusnya tamu yang datang bisa bebas, nggak istilah kenak stop dijalan, nggak kenak kutipan-kutipan

preman dijalan.”

Pelaruga tidak merasa terganggu dengan munculnya komunitas-komunitas yang serupa dengan Pelaruga, namun permasalahan lainnya muncul dikarenakan adanya pengutipan liar yang terjadi sepanjang perjalanan menuju Desa Rumah Galoh. Pelaruga berusaha untuk membicarakan hal ini dengan komunitas-komunitas lainnya meskipun hasilnya masih nihil hingga saat ini.

“Udah sering kita ajak kerja sama, tapi karena namanya kakak tau sendirilah, mereka takut nggak diperhitungkan. Awalnya buka orang tu kan, itulah

yang meledaknya pas imlek, masuk tamu sekitar 3000 orang, baru orang itu muncul,

(6)

Selanjutnya, pada proses wawancara, informan menjelaskan mengenai tarif dan bagaimana bentuk pengelolaan keuangan yang ada di Pelaruga serta mendikripsikan tempat yang dijadikan objek wisata saat ini.

Kalau dulu per tempatnya dua puluh ribu, tapi sekarang dua puluh lima ribu, karenakan kita mau kasih yang punya ladang yang dilewatin, kita bayar ranger

nya lagi, kita beli pelampung, untuk uang kas kita lagi. Disini ada empat tempat, ada

air terjun lauberte, air terjun tongkat, air terjun teroh-teroh, sama kolam abadi.

Teroh-teroh itu sebenarnya bukan air terjun, tapi mata air, bahasa karo artinya

bawah. Dari dulu nama-namanya memang gitu. Dulunya disitu tempat pemandian

warga. Dulu di atas kolam abadi, di situlah awalnya kampung Rumah Galoh,

pemandiannya di situ. Uniknya di situ ada goa, mitosnya tempat pemandian

bidadari.”

Pelaruga lebih banyak memanfaatkan tangan-tangan para pengunjung,

khususnya komunitas-komunitas pecinta alam dalam menyebarluaskan informasi mengenai objek wisata melalui media blog dari masing-masing komunitas ataupun milik pribadi. Dolly menjabarkan bagaimana hubungan yang terbangun antara Pelaruga dengan komunitas-komunitas tersebut dan intensitas pengunjung yang datang berwistata ke Rumah Galoh.

Kita nggak tau dari mana, tapi orang itu yang sering bawa pengunjung. Soal travel, kita serahkan sama bang Wanda, untuk masalah organisasinya bg

Wanda yang paham. Melalui komunitas travel itu lah datang dari Malaysia. Kalau

pengunjung yang datang 300 orang biasanya di hari libur, hari biasa paling tiga

grup, rata-rata satu grup delapan sampai sepuluh orang.”

(7)

“Kepengurusan ada, kita cuma bagian untuk tamu aja, tapi ketuanya itu urusannya ke kepala desa, mana tau ada bantuan, ada masalah. Dulu kita kan

banyak masalah, kita nggak mampu. Kita bertiga yang angkat, karena ada ikatan

keluarga, lebih dipercaya, lebih dikenal Kepala Desa. 2013 udah kita bentuk

kepengurusan. Khusus untuk lapangan, kita bertiga, nggak mungkinlah kita yang

ngatur lapangan, ini itu lagi, nggak sanggup, makanya kita buat struktur

kepengurusan.”

Pelaruga juga saat ini sedang membangun hubungan baik dengan desa-desa lain yang berada di Kecematan Sei Binge yang memiliki mata air yang berpotensi untuk dijadikan ekowista.

Kalau desa sebelah, kita yang jual, ditawarkan, kami jalan kerja sama. Awalnya namanya air terjun siluman, tapi kurang apa, kita ubah jadi Namu Belanga.

Saat ini Pelaruga mulai menawarkan beberapa mata air yang berada di desa-desa tetangga kepada pengunjung yang sudah sering berwisata ke Desa Rumah Galoh. Peneliti juga menanyakan apakah pihak pengelola pernah terpikir untuk melakukan beberapa kegiatan promosi seperti pemasangan iklan spanduk di beberapa jalan, penyebaran brosur atau kegiatan promosi lainnya.

“ Sebenarnya spanduk sudah ada, Cuma nggak kami pasang. Percuma pengunjung tetap nggak nyaman. Abang sama kakak aja pasti di-stop-in di jalan.

Lagi pula kak, cemanalah kak, kakak tengoklah kami disini, siapa yang mau

ngerjakan... aku tebuka ajalah sama kakak ya, kami ngutip cuma dua puluh lima ribu

rupiah setiap pengunjung yang datang, belum lagi kami kasih upah sama yang

mandu, terus kami kasih lagi sama orang yang punya ladang yang ladagnya

dilewatin, belum lagi pelampung kak, ini lima kali pake dah rusak kak, mesti

diperbaiki, mesti beli baru lagi, itu semua dari yang dua puluh lima ribu itulah kak.

(8)

Informan IV

Informan ke empat ditentukan oleh peneliti dengan menggunakan jasa tour guide sebagai informan biasa. Proses wawancara dilakukan sepanjang perjalanan

menuju objek wisata kolam abadi yang berjarak kurang lebih 3 km dari basecamp Pelaruga. Pemandu yang dijadikan sebagai informan tambahan akrab dipanggil dengan nama Bolang Lingga, berusia 63 tahun. Bolang Lingga sebagai salah satu masyarakat yang sejak lahir sudah tinggal di Desa Rumah Galoh menceritkan mengenai beberapa mata air yang saat ini dijadikan sebagai objek wisata.

“ Kalau dulu kita tinggalnya nggak di sana, tapi dekat kolam abadi, di situlah

kita mandi, nyuci, tapi tempatnya dipisah. Kalau laki-laki tempatnya agak ke ujung

sana. Lantaran sudah ada PAM, banyak warga yang pindah ke pinggir pasar sana.

Lama-lama sudah nggak ada lagi kampung di sini, pindah semuanya. Kalu kita udah

biasa lewat sini, 10 menit aja udah nyampe. Ini kan ladang-ladang orang kampug

sini, jadi kita udah biasa lewat sini.”

Bolang Lingga sebagai golongan orang tua masyarakat Desa Rumah Galoh menjelaskan tanggapannya dengan beberapa perubahan yang terjadi di msayarakat setelah berkembangnya kegiatan pariwisata di Desa Rumah Galoh.

“ Kalau saya menanggapinya bagus, lantaran anak muda di sini jadi ada kerjaannya, kalau kita yang tua ini dukung-dukung aja, lantaran dari pada yang

muda-mudanya nyuri-nyuri di ladang. Kalau begini kan nanti sore mereka sudah

dapat uang dari nge-guide. Kalau kita dukung terus. Macam ibu yang jual pop mie

itu, lumayan. Kadang-kadang anaknya juga dijadikan guide, tapi ke tempat-temat

yang dekat aja, kolam abadi. Lantaran pengunjung ramai, anak itu pun dipake juga

kadang-kadang, mamaknya jualan kalau libur aja, lantaran kalau pagi kita kan

berladang setengah hari, saya pun hari biasa berladang. Tapi kalau dipanggil saya

(9)

Peneliti juga menjelaskan maksud kedatangan bukan sebagai wisatawan, namun sebagai peneliti yang mencari tahu komunikasi pemasaran yang digunakan masayarakat setempat dalam memasarkan objek wisata yang ada di Desa Rumah Galoh. Kemudian, Bolang Lingga pun menceritakan keseharian dirinya sebagai pemandu agar pengunjung merasa nyaman dan merekomendasikan Pelaruga kepada teman-teman lainnya untuk berkunjung ke Desa Rumah Galoh atau Pelaruga.

“ Kalau sama pengunjung kita beramah-tamah aja, lantaran kita ramah, pengunjung pasti suka, kalau suka, mereka kan nanti kemari lagi. Kita di sini gitu

aja. Kalau promosi paling mereka yang kasih tau temannya atau dari internet, tapi

sekarang mulai sedikit yang datang lantaran banyak yang di-stop-in di jalan,

pengunjung sudah banyak habis duit duluan sebelum sampe kemari, kadang-kadang

pun nggak nymape kemari.”

Informan V

Informan ke lima merupakan informan kunci pada penelitian ini adalah motor penggerak komunitas Pelaruga dan dianggap sebagai orang yang paling memahami konsep kepengelolaan komunitas Pelaruga. Kepala dari komunitas Pelaruga adalah Wanda yang berusia 29 tahun. Wanda dapat diwawancarai oleh peneliti pada hari biasa. Wanda tidak memiliki waktu yang cukup banyak pada hari libur dikarenakan sibuk dengan para pengunjung yang datang. Oleh sebab itu, peneliti mewawancarinya pada kedatangan selanjutnya pada hari biasa, tepatnya pada hari kamis. Setelah menjelaskan maksud kedatangan peneliti, yaitu meneliti bagaimana strategi komunikasi pemasaran pariwisata berbasis masyarakat lokal, Wanda langsung menjelaskan secara panjang lebar bagaimana komunitas Pelaruga saat baru dibentuk sampai Pelaruga ramai dikunjungi oleh para wisatawan.

“ kalau untuk pasang iklan, nyebar brosur, datang ke medan untuk cari pengunjung, kami nggak pernah buat, pengunjung sudah memang datang kemari

(10)

“ Dulu kita ajakin kawan-kawan yang disekitar sini. Bisa dibilang masuk 2013 istilahnya Pelaruga baru booming, bisa dibilang rata-rata dulu pengunjung

memang pecinta alam, nggak kayak sekarang, tinggal penikmat alam, ikut-ikutan aja.

Teknik pengembangan booming Pelaruga sebenernya dari kawan ke kawan.”

“ Artinya yang kita utamakan dulu niat kita buka untuk ps (pemuda setempat) di sini, mengurangi pengangguran intinya, siapa pun orang kampung sini mau ikut..

kita welcome.. kita ajakin, orang itu kalau diajakin dia berpikir ah.. kerjaan sia-sia,

tapi alhasil bisa dibilang setelah banyak yang datang ya lumayan. Kalau berapa

orangnya kita nggak bisa bilang berapa orang, tapi kalau yang sudah ada id card

sebagai pemandu di sini ada sekitar tiga puluh orang, kalau luar dari situ,

Alhamdulillah berapa pun pengunjung yang datang masih bisa kita upayakan ambil

pemandunya, kita angkut semua. Makanya nggak bisa kita prediksi berapa orang.

Ibarat dibilang aktif nggak juga, tapi kalau kita ajak mau. Tapi yang tiap hari

tongkrongannya di sini ya yang pake id card itu td, kira-kira tiga puluh orang.”

Seperti pada informasi yang di dapat oleh peneliti dari informan sebelumnya bahwa Pelaruga memanfaatkan tangan orang lain dalam upaya memasarkan objek wisata. Namun, apakah Pelaruga menjalin kerja sama secara profesional dengan suatu lembaga tertentu dalam kegiatan komunikasi pemasaran dan upaya apa saja yang dilakukan sendiri oleh komunitas Pelaruga dalam melakukan komunikasi pemasaran.

“ Artinya kita jaringan-jaringan independen aja sebetulnya, orang itu iseng-iseng aja sih. Cem kakak ini, bisa aja kakak buat. Kalau orang itu bikin trip, di-share

ke internet. Komunitas travelling yang sering bawa orang Malaysia, minimal dua

minggu sekali pasti ada, mereka jemput di bandara, entah cemanalah itu. Pokoknya

sama-sama tau aja, nggak urusan kami mereka kutip berapa sama pengunjung yang

dibawa, mau sama mereka dikutip seratus ribu, yang penting sama kami dua puluh

lima ribu per tempat. Tapi orang itu pun paham, kalau wisatawan asing, kadang mau

dilebihkan juga. Kadang bawa orang Medan juga, kami nggak ada kerja sama. Tapi

(11)

sering, udah tau jalan. Kita pernah menjalin kerjasama dengan system voucher

kayak di Micky Holiday, masih berjalan sampai 31 Maret 2016, nama PT nya itu CV

Yourika Management, artinya dia jual voucher dengan sekian rupiah, ada contohnya

mereka jual paket yang tertera dua macam teknik main di lapangan, touring paket

dan bodyrafting, secara tidak langsung mereka memang yang melakukan promosi.

Kalau kita sendiri itu ada facebook, banyakan yang kasih saran dari pengunjung

yang datang kemari, bang buat lah facebook-nya biar orang tau. Tapi kurang efektif

juga.”

Bagaimana hubungan yang terjalin dengan Dinas Pariwista?

“ Sebenernya mereka dukung, kalau sistem promosi orang itu tidak ada, tapi orang itu lebih pemahaman pemandu-pemandu yang ada di sini, tapi orang itu

kendala pemerintah setempat, dia nggak berani hanya menekan ke satu pos, satu

basecamp, padahal intinya udah tau mana yang ori. Karena banyaknya dia nggak

bisa harus satu fokus saja, entah mana tau kedepannya pengembangan dari dinas

pariwisata ada dana-dana bantuan, pengembangan jalan, biaya-biaya apapun itu,

orang itu (komunitas-komunitas lain) pasti nuntut kenapa enggak ada pemberitaan ke

kami.”

Peneliti melanjutkan pertanyaan mengenai struktur kepengurusan yang dibentuk oleh komunitas Pelaruga.

“ Kita ada bang, kita bentuk sistem kekeluargaan, tapi pemasarannya kami bertiga juga. Humasnya di sini si Yohanes, yang berperan apa segala macem cuma

aku, si Andi sama si Dolly. Tugasnya belum ada sih, paling merapatkan diri ke

masyarakat. Jujur dulu masyarakat kita dicap nggak peduli, arogan, makanya kita

bentuk solidaritas supaya msayarakat percaya kegiatan Pelaruga murni bukan untuk

kepentingan pribadi, tapi untuk masyarakat yang ada di sini. Nggak usah kita

bilangkan kalau ada pemandu yang ada acara-acara nikahan, suka cita, tapi pun

kalau ada warga desa sini pun tetap kita kasih walaupun ala kadarnya. Artinya kita,

(12)

untuk maju ke depan, untuk melobi baik dari kecamatan, dari dinas, dia merasa

mentalnya nggak ada, makanya bisa dibilang namanya aja perintis, tapi tugas kami

terlalu berat. Baik ke kecamatan, ke dinas, kami juga yang menuntun, di lapangan

pun untuk bagian kenyamanan pengunjung, kami juga, jabatan mereka distruktur

paling cuma membantu aja. Jadi fungsi strukturnya hanya untuk strategi melibatkan

banyak orang aja, bukan secara diam aja, kita kasih tau juga, diajarin juga dianya,

itulah bedanya antara organisasi orang kampung dengan organisasi kota. Kalau

ketua dipilih tentu ada pergaulannya, bukan karena lebih disegani atau ditakutin di

sini, semua sama rata di kampung ini. Intinya tugas kita di sini belum dengan jabatan

masing-masing, masih amburadullah istilahnya disini, Cuma struktur di notaris

sudah ada, tapi tugas-tugas masing-masing masih belum tau apa yang dikerjakan,

masih belajar-belajar lah. Intinya untuk urusan ke masyarakat, urusan keluar,

urusan pungli, itu urusan mereka. Tapi urusan di lapangan tetep kami. Kami

kepingin Pelaruga dihak patenkan, karena yang kami takutkan terbentuknya

basecamp-basecamp orang itu, kalo ibaratnya nggak kita hak patenkan, bisa saja

orang itu berani bikin Pelaruga juga.”

Kekhawatiran komunitas Pelaruga dengan munculnya beberpa komunitas – komunitas lainnya menjadi salah satu alasan mengapa struktur kepengurusan harus diselesaikan secara administratif. Berdasarkan penjelasan yang diungkapkan oleh informan, peneliti menanyakan apa yang menjadi faktor munculnya komunitas-komunitas lain.

“ Tahun 2014 pernah meledak sampai 3000 pengunjung, kita pun bingung. Kalau kakak datang waktu itu, bisa kenak macet kakak masuk ke dalam sana

sangking ramenya. Seharusnya ke kolam abadi cuma dua puluh menit paling lama,

bisa sejam setengah kakak dijala sana. Terpaksalah kami memulangkan dengan

hormat kira-kira 300 pengunjung karena kita takut orang itu kecewa. Tapi itu lah,

ada beberapa guide-guide nakal, pas pengunjung udah mau pulang, mereka bilang

bisa masuk ke dalam lewat jalur lain, dari situ lah mulai orang ini buka basecamp

(13)

Proses wawancara dilanjutkan dengan percakapan mengenai spot jagoan yang di Desa Rumah Galoh.

“Kami disni ada dua spot jagoan, ada untuk tes stamina itu air terjun tongkat lewat jalur darat, kalau mau bodyrafting dari kolam abadi ke air terjun teroh-teroh,

itu lewat jalur air. Karena takutnya pengunjung merasa bosan karena itu-itu aja

tempatnya, kami tawarkan lah beberapa tempat yang ada di dea lain, paling Cuma

ngasih uang premannya aja ke masyarakat des asana. Kalau di Kecamatan Sei

Binge, kita ada sepuluh air terjun dan satu kolam abadi ini lah. Air Terjun Lauberte

di Desa Rumah Galoh, Air Terjun Tongkat di Desa Rumah Galoh, Air Terjun

Tero-Tero di Desa Rumah Galoh, Air Terjun Pelangi di Desa Telaga, Air Terjun Basbasan

di Desa Telaga, Air Terjun Tengah Rembulan di Desa Telaga, Air Terjun Tiga

Mentari di Desa Telaga, Air Terjun Goa di Dusun Bangun Jahe, Air Terjun Bengaru

di Dusun Bangun Jahe, Air Terjun Namu Belanga di Desa Garunggang yang

sekarang udah mulai rame orang datang kesana, tapi kami yang antarkan ke sana.”

Peneliti kembali menanyakan mengenai filosofi spanduk yang terpasang di posko Pelaruga dengan lambang yang terdapat pada spanduk tersebut sebagai salah satu bentuk identitas Pelaruga.

“ ooo.. kalau itu yang mendesain bang Agus itu sendiri, sebetulnya itu inisiatif kami sendiri, dulu kami sering kumpul. Kami bentuklah komunitas Pelaruga,

lalu kita buatlah. Karena mainnya di alam, kita cari desain-desain yang

bagus-bagus, yang mencolok kea lam, makanya kita bentuk warna hijau, kenapa logonya

berbentuk bulat, Pelaruga ini kan singkatan dari Pemandu Alam Rumah Galoh,

makanya di tengahnya dibentuklah satu rumah. Gitu aja sih kak.”

(14)

bagian dari strategi komunikasi pemasaran yang digunakan Pelaruga untuk mendatangkan pengunjung.

“ itu pun sebenernya juga salah satu teknik kami ngasih tau orang diluar sana, yang penting kita bisa dihubungi dulu, nantikan gampang jemputnya entah

dimana. Pemandu yang ke lapangan kita tegaskan, tanggung jawab penuh bawa

nyawa orang, makanya pengunjung sempat bilang, bang bagilah nomor hp-nya,

mana tau mau kemari lagi. Artinya teknik yang dipakai mereka merasa puas, minimal

tiga bulan lagi mereka datang lagi bawa kawannya, makanya teknik promosi pun

macem-macem kan. Dulu teknik pemasaran kita melalui blog aja. Dari situlah

pengunjung yang browsing. Salah satu yang banyak bantu masa pemerintisan gotong

royong di lapangan ada si Agus, dia ikut KOIN, Komunitas Orang Indonesia.

Dimasukannya lah di blog, dipasang fotonya, kan kawannya nanya, ih dimana itu,

cantik tempatnya. Barulah dikasih taunya, kalau dulu yang datang nggak macam

sekarang, persiapannya lebih, bawa tas nya besar, coba kalau sekarang, apalagi

semenjak my trip my advanture itu datang kemari, ku tengok 80% yang datang ke sini

semuanya pake baju my trip my advanture. Ku pikir cuma ikut-ikutan sekarang, ikut

jadi gaya hidup sekarang. Cerita masalah iklan, brosur, kita udah tau caranya. Tapi

kenapa kita nggak pake teknik kayak gitu, toh seandainya berkembang pesat ,

sama-sama pengunjung nyangkut dijalan dan nggak nyaman, tentu ada kekecewaan dari

pengunjung, bisa saja nggak sampe sini. Sebetulnya yang harus dibenahi di sini dulu,

masyarakatnya duluh harus solid, baru kita bentuk teknik pemasaran yang baru.”

Informan VI

(15)

waktu yang tidak banyak dan sudah mendapatkan informasi dari informan-informan sebelumnya maka peneliti langsung meanyakan bagaimana tanggapan Kepala Desa dengan segala permasalahan yang terjadi dan perubahan apa yang terjadi di masyarakat jika dipandang dari sisi sosial dan ekonomi.

“awalnya saya menilainya positif, bagus.. memang lama-lama jadi nggak bagus, ada kutipan-kutipan di jalan yang jadi nggak bagus, pengunjung jadi

berkurang minat datang kemari. Saya sering ngumpulkan orang ini, ngomong

sama-sama, tapi kalau saya ngomong mereka diam aja, nggak ada yang membantah atau

ngomong apapaun, mereka iya-iya aja, tapi besok-besok kayak gitu lagi. Kalau

permasalahan efek ke masyarakat ya lumayan terbantu lah, karena di sini yang

penting anak mudanya ada kerjaannya. Tau lah cemana kalo anak muda nggak ada

kegiatan, entah apa-apa aja nanti yang dibuatnya, kalau warga yang lain, saya rasa

mereka dukung-dukung aja, nggak ada masalah. Ini saya mohon maaf, warga yang

faktor ekonominya lemah, mereka biasanya nge-guide di Pelaruga kalau lagi banyak

pengunjung yang datang. Kan lumayan untuk nambah-nambah, istilahnya jadi punya

kerja sampingan. Memang masalahnya sekarang ada penyetopan di jalan, buat

pengunjung nggak nyaman, tapi ya itu tadi, komunitas-komunitas ini nggak bisa

nyatu gitu loh, bingung saya juga. Tapi tetep sering saya ajak kumpul sama-sama.”

Mendengar penjelasana Kepala Desa muncul pertanyaan bagaimana tanggapan Kepela Desa mengenai hubungan yang sedang dibangun oleh komunitas Pelaruga dengan pihak Dinas Pariwisata.

“Memang ini sedang diusahakan supaya dibantu dari dinas, biar ada retribusi, nggak ada lagi penyetopan dijalan, tapi itu tadi, dinas takut komunitas

yang merasa iri atau giman nanti kedepannya, tapi orang ini pun susah kali

dibilangkan, masih ada ego-egonya, makanya saya pun jadi bingung. Ini

(16)

BIODATA PENULIS

Nama : Rusmi Charyani

Tempat Tanggal Lahir :Bandar Lampung, 13 Mei1993

Agama : Islam

Alamat : Marelan Pasar IV Barat Gg. Rahayu, Kel. Rengas Pulau, Kec. Medan Marelan, Medan, Sumatera Utara

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat E-mail : fallingetoile@gmail.com Jenjang Pendidikan :

 SD Negeri 1 Karang Maritim (1999-2005)  SMP Negeri 2 Bandar Lampung (2005-2008)  SMA Negeri 3 Medan (2008-2011)

Pengalaman Organisasi

 Bendahara KPU FISIP USU (2014)

(17)
(18)
(19)
(20)
(21)

DAFTAR PUSTAKA

A, Shimp, Terence, 2003. Periklanan Promosi & Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu, Jilid I, Jakarta Erlangga.

Arifin, Anwar. 1984. Strategi Komunikasi Sebuah Pengantar Ringkas. Bandung: ARMICO

Angiopora, Marlus, 1999. Dasar-Dasar Pemasaran. Jakarta: PT Raja Garfindo. Basu Swastha, 2000, Manajemen Pemasaran Modern, Edisi Kedelapan, Liberty, Yogyakarta.

Burhan bungin. Metode Penelitian Kuantitatif, Komunikasi, Ekonomi, dan kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu sosisal lainnya, Jakarta: Kencana, 2009

Convelo G. Cevilla, dkk., 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta : Universitas Indonesia.

Effendi, Onong Uchana. 2000. Ilmu Teori & Filsafat Komunikasi. PT Citra Aditya Bakti, Bandung

Ginting, Paham. 2008. Filsafat Ilmu dan Metode Riset. Medan : USU Press

Sutopo. 2006. Penelitian Kualitatif : Dasar Teori dan Terapannya Dalam Penelitian.Surakarta: Universitas Sebelas Maret

Kennedy, John. E; R Dermawan Soemanagara., 2006. Marketing Communication – Taktik dan Strategi. Jakarta. PT Buana Ilmu Populer (kelompok Gramedia)

Kotler, Philiph. 1991. Manajemen Pemasaran, Analisi, Perencanaan, & Pengendalian. Jakarta: Erlangga.

Lexy j. Moleong. 2005. Metodologi Peneitian Kualitatif edisi revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Liliweri, Alo. 2011. Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

(22)

Noeng, Muhadjir, 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi III. Yogyakarta: Rake Sarasin

Rakhmat, Jalaludin. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Pendit, Nyoman S. 1990. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta : T. Pradnya Paramita.

Sandra Moriarty, dkk. 2011. Advertising. Jakarta: KENCANA

Suyanto, M. 2007. Marketing Strategy Top Brand Indonesia. Yogyakarta: Andi. Sugiyono, (2008). Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D. Bandung Alfabeta

Suwantoro, Gamal. 1997. Dasar-Dasar Pariwisata. Yogyakarta: Andi Yogyakarta Tjiptono, Fandy. 1997. Strategi Pemasaran. Edisi Pertama. Yogyakarta : Andi. Wahab, Saleh Ph.d, Manajemen Pariwisata, PT Pradya Paramitha, Jakarta, 1985 Yoeti, Oka A. 1993. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa

Sumber lain : Karya Ilmiah :

Jurnal Cahya Purnomo, 2012, Strategi Pemasaran Produk Wisata Minat. Khusus Goa Cerme, Imogiri, Bantul

Jurnal Devika Handayani, 2012, Strategi Bauran Komunikasi Pemasaran untuk Menarik Minat Kunjungan Wisatawan Lokal dan Mancanegara pada Pariwisata

Saung Angklung Udjo di Kota Bandung,

(23)

Skirpsi Valentina Godis Lovekaristy, 2014, Analisis Willingness To Pay Pengunjung Domestik Warisan Hidup Candi Borobudur Dalam Upaya Pemeliharaan

Tesis Rio Satrio, 2012, Analisis Pengaruh Bauran Pemasaran Terhadap Keputusan Wisatawan Berkunjung Ke Taman Hutan Raya Bukit Barisan Tongkoh

Tesis Ignasia Sari Isniati, 2013, Pemasaran Pariwisata Di Kabupaten Kepulauan Mentawai: Proses, Dinamika Dan Problematika

Tesis Anom Hery Suasapha , 2015, Implementasi Konsep Pariwisata Berbasis Masyarakat Dalam Pengelolaan Pantai Kedonganan Sebagai Daya Tarik Wisata

Website :

http://www.langkatkab.go.id/page.php?id=235(diakses pada 06 Januari 2016)

http://citor.org.acm/download/pub/kabar/kabar19 (diakses pada 09 Agustus 2015)

(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode penelitian

Metode penelitian adalah cara dan sekaligus proses keberlangsungan kegiatan membangun ilmu pengetahuan-pengetahuan yang masih bersifat pra-ilmiah, yang dilakukan secara sistematis dan mengikuti asas pengaturan prosedural, teknik normative, sehingga memenuhi validitas ilmiah atau kesahihan keilmuan , yang lazim juga disebut memenuhi validitas ilmiah atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.(Paham, 2008:50)

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang diharap mampu mengungkapkan fenomena sosial, yaitu mengupas bagaimana strategi yang digunakan oleh masyarakat lokal melakukan komunikasi pemasaran dalam mengelola objek wisata tersebut.

(25)

Menurut Burhan Bungin dalam bukunya Penelitian kualitatif mengemukan bahwa penelitian deskriptif kualitatif maksudkan, mengambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai realitas sosial yang ada masyarakata menjadi obyek penelitian dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan, sebagai suatu ciri karakter sifat model atau tanda gambaran tentang kondisi fenomena tertentu

Pada hakikatnya penelitian deskriptif kualitatif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek dengan tujuan membuat deskriptif, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta atau fenomena yang diselidiki.

Menurut Jalaludin Rahmat dalam bukunya metode komunikasi mengemukankan penelitian deskriptif 4 bertujuan untuk hal sebagai berikut:

1. Mengumpulkan informasi actual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada. 2. Mengidentifikasi masalah dan memeriksa kondisi praktek tertentu.

3. Membantu perbandingan atau evaluasi

.4. Menentukan apa yang lakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan untuk waktu yang akan datang.

3.2 Lokasi penelitian

(26)

terdapat taman wisata Bukit Lawang sebagai obyek wisata, Taman Bukit Lawang ini terletak dikaki Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dengan udara sejuk oleh hujan trofis, dibukit Lawang ini terdapat lokasi rehabilitasi orang hutan (mawas) yang dikelola oleh WNF Taman Nasional gunung Leuser merupakan asset Nasional terdapat berbagai satwa yang dilindungi seperti: Badak Sumatera, Rusa, Kijang, Burung Kuau, siamiang juga terdapat tidak kurang dari 320 jenis burung, 176 binatang menyusui, 194 binatang melata, 52 jenis ampibi serta 3500 jenis species tumbuh-tumbuhan serta yang paling menarik adalah bunga raflesia yang terbesar di dunia. Lokasi penelitian terletak di Kecamatan Sei Bingai dengan luas area 333,17 Km2 . Kecamatan Sei Bingai terdiri atas enam belas desa kelurahan, yakni (1) Kelurahan/Desa Belinteng, (2) Kelurahan/Desa Durian Lingga, (3) Kelurahan/Desa Gunung Ambat, (4) Kelurahan/Desa Kwala Mencirim, (5) Kelurahan/Desa Mekar Jaya, (6) Kelurahan/Desa Namo Ukur Selatan, (7) Kelurahan/Desa Namo Ukur Utara, (8) Kelurahan/Desa Pasar IV Namo Terasi, (9) Kelurahan/Desa Pasar VI Kwala Mencirim, (10) Kelurahan/Desa Pasar VIII Namo Terasi, (11) Kelurahan/Desa Pekan Sawah, (12) Kelurahan/Desa Purwobinangun, (13) Kelurahan/Desa Rumah Galuh, (14) Kelurahan/Desa Simpang Kuta Buluh, (15) Kelurahan/Desa Tanjung Gunung, dan (16) Kelurahan/Desa Telaga. (Sumber: BPS. Kab. Langkat Kecamatan Sei Bingai dalam Angka, 2012). Sebagian besar penduduk kecamatan ini adalah suku Karo 64,99%, disusul suku Jawa 28,75%, Simalungun+Tapanuli 1,89%, Mandailing 0,42%, Melayu 0,32%, dan lainnya 3,63% (Sumber: BPS Kab. Langkat; Kecamatan Sei Bingai dalam Angka, 2012).

(27)

yang dapat ditawarkan kepada wisatawan, yaitu Air Terjun Lauberte, Air Terjuh Tero-Tero, Air Terjun Tongkat dan kolam Abadi.

3.3 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah strategi yang digunakan Desa Rumah Galuh dalam melakukan komunikasi pemasaran wisata alam.

3.4 Subjek Penelitian

Subjek Penelitian ini adalah pengelola objek wisata desa Rumah Galuh. 3.5 Kerangka Konsep

(28)

3.6 Teknik pengumpulan data 1. Wawancara

Istilah wawancara diartikan sebagai tukar menukar pandangan antar dua orang atau lebih. Kemudian istilah ini diartikan secara lebih berarti, yaitu sebagai metode pengumpulan data atau informasi dengan cara tanya jawab sepihak, dikerjakan secara sistematik dan berlandaskan pada tujuan penyelidikan. (Paham, 2008:207)

Wawancara merupakan alat rechecking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in-depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara

tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan social yang relatif lama (Sutopo 2006: 72).

Interview adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk-dijawab secara lisan pula. Ciri utama dari interview adalah kontak langsung dengan tatap muka (face to face relationship) antara si pencari informasi (interviewer atau informan hunter) dengan sumber informasi (interviewer) (Sutopo 2006: 74).

Jenis interview meliputi interview bebas, interview terpimpin, dan interview bebas terpimpin (Sugiyono, 2008: 233). Interview bebas, yaitu pewawancara bebas menanyakan apa saja, tetapi juga mengingat akan data apa yang dikumpulan. Interview terpimpin, yaitu interview yang dilakukan oleh pewawancara dengan membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci. Interview bebas terpimpin, yaitu kombinasi antara interview bebas dan interview terpimpin.

(29)

kepekaan nonverbal. Dalam mencari informasi, peneliti melakukan dua jenis wawancara, yaitu autoanamnesa (wawancara yang dilakukan dengan subjek atau responden) dan aloanamnesa (wawancara dengan keluarga responden) (Sugiyono, 2008: 227). Beberapa tips saat melakukan wawancara adalah mulai dengan pertanyaan mudah, mulai dengan informasi fakta, hindari pertanyaan multiple, jangan menanyakan pertanyaan pribadi sebelum building report, ulang kembali jawaban untuk klarifikasi, berikan kesan positif, dan kontrol emosi negatif.

Informan penelitian meliputi tiga macam yaitu ( 1 ) informan kunci, ( key informan ), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki informasi pokok yang

diperlukan dalam penelitian, ( 2 ) informan biasa, yaitu mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang diteliti, ( 3 ) informan tambahan, yaitu mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang sedang diteliti.

(30)

1. Informan Kunci (Key Informan) pada penelitian ini adalah kepala pengelola objek wisata.

2. Informan biasa pada penelitian ini adalah anggota kelompok pengelola objek wista di lapangan.

3. Informasi tambahan ini adalah masyarakat sekitar objek wisata yang memberikan fasilitas tambahan kepada wisatawan.

2. Observasi

Pengamatan dalam istilah sederhana adalah proses peneliti dalam melihat situasi penelitian. Teknik ini sangat relevan digunakan dalam penelitian kelas yang meliputi pengamatan kondisi interaksi pembelajaran, tingkah laku anak dan interaksi anak dan kelompoknya. Pengamatan dapat dilakukan secara bebas dan terstruktur. Alat yang bisa digunakan dalam pengamatan adalah lembar pengamatan, ceklist, catatan kejadian dan lain-lain. Dalam buku Jalaluddin Rachmat menjelaskan bahwa Karl Weick mendefenisikan observasi sebagai pemilihan, pengubahan, pencatatan, pengodean serangkaian perilaku dan suasana yang berkenaan dengan organisme in situ, sesuai dengan tujuan-tujuan empiris. Observasi berguna untuk menjelaskan,

memerikan dan merinci gejala yang terjadi (Jalaluddin Rakhmat, 2004:84)

Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, perasan. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut.

3.Study Kepustakaan

(31)

foto-foto dokumentasi, sumber-sumber tertulis lain yang bersifat ilmiah baik dalam bentuk cetak maupun elektronik (online). Informasi ataupun teori yang akan digunakan oleh peneliti dalam penilitian ini dilakukan untuk mendukung pengembangan analisis data yang di dapat oleh peneliti selama melakukan wawancara dan observasi di lapangan. 3.7 Teknik Analisis Data

Dengan maksud untuk memahami maknanya. Miles dan Huberman (1984) dikutip oleh Sugiono (2010:337), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu : data reduction, data display, dan conclusion

1. Data Reduction (Reduksi Data)

Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti : merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

Reduksi data bisa dibantu dengan alat elektronik seperti : komputer , dengan memberikan kode pada aspek-aspek tertentu. Dengan reduksi , maka peneliti merangkum, mengambil data yang penting, membuat kategorisasi, berdasarkan huruf besar, huruf kecil dan angka. Data yang tidak penting dibuang.

2. Data Display (Penyajian Data)

(32)

the pas has been narative text” artinya : yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif dengan teks yang bersifat naratif. Selain dalam bentuk naratif, display data dapat juga berupa grafik, matriks, network (jejaring kerja).

Fenomena sosial bersifat kompleks, dan dinamis sehingga apa yang ditemukan saat memasuki lapangan dan setelah berlangsung agak lama di lapangan akan mengalami perkembangan data. Peneliti harus selalu menguji apa yang telah ditemukan pada saat memasuki lapangan yang masih bersifat hipotetik itu berkembang atau tidak. Bila setelah lama memasuki lapangan ternyata hipotesis yang dirumuskan selalu didukung data pada saat dikumpulkan di lapangan, maka hipotesis tersebut terbukti dan akan berkembang menjadi teori yang grounded. Teori grounded adalah teori yang ditemukan secara induktif, berdasarkan data-data yang ditemukan di lapangan, dan selanjutnya diuji melalui pengumpulan data yang terus menerus. Bila pola-pola yang ditemukan telah didukung oleh data selama penelitian, maka pola tersebut menjadi pola yang baku yang tidak lagi berubah. Pola tersebut selanjutnya ditampilkan pada laporan akhir penelitian.

3.Conclusion Drawing/verification

Langkah ketiga adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Namun bila kesimpulan memang telah didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel (dapat dipercaya).

(33)
(34)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Hasil Temuan

4.1.2 Deskripsi Pelaksanaan Penelitian

Penulis akan lebih dahulu menjelaskan sedikit gambaran umum proses pengambilan data selama penulis berada di lapangan. Tahapan awal yang dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan informasi dimulai dengan hasil obeservasi sederhana terhadap temuan fakta di lapangan bahwasanya terdapat beberapa orang yang berada disekitaran pom bensin Pertamina, tepatnya di Jalan Jamin Ginting, Binjai, sekitar 25 km sebelum menuju Desa Rumah Galuh sedang menawarkan dan memperkenalkan objek wisata air terjun. Berdasarkan fenomena yang terlihat, peneliti berinisiatif untuk mendatangi salah satu pemuda untuk dijadikan sebagai salah satu informan tambahan sekaligus menanyakan sekilas mengenai Pelaruga.

Percakapan diawal menjelaskan bahwa Pelaruga bukanlah nama objek wisata yang berada di Desa Rumah Galuh, melainkan nama komunitas yang menyediakan jasa layanan tour guide. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak wisatawan yang datang hanya mengenal Pelaruga sebagai nama dari objek wisata alam yang ada di Kecamatan Sei Bingai, Desa Rumah Galuh dan sebagai tujuan perjalanan mereka.

(35)

Sepanjang perjalanan menuju lokasi penelitian , wisatawan akan banyak dijumpai pemuda-pemuda setempat yang menawarkan diri untuk memandu jalan para pengunjung untuk sampai ke lokasi Pelaruga. Kondisi demikian yang membuat para wisatawan merasa tidak nyaman karena harus diberhentikan beberapa kali dengan pemuda yang berbeda-beda. Tentunya hal ini juga dialami oleh peneliti. Kondisi ini juga menyita waktu yang cukup banyak sehingga peneliti merubah identitas diri sebagai wartawan, bukan sebagai peneliti ataupun wisatawan.

Peneliti kembali menggunakan identitas diri sebagai mahasiswi yang sedang melakukan penelitian setelah sampai di basecamp komunitas Pelaruga. Peneliti mulai memabangun citra diri sebagai seorang peneliti dengan bersikap lebih luwes dan tidak kaku setelah mendapat sambutan baik dari pengelola komunitas Pelaruga. Pelajaran pertama yang didapat oleh peneliti adalah peneliti seharusnya memilih hari biasa jika ingin melakukan wawancara agar informan memiliki waktu yang lebih banyak jika dibandingkan dengan hari libur. Peneliti memilih hari libur saat melakukan wawancara pertama dengan alasan pada saat itu banyak wisatawan yang berwisata pada hari libur sehingga peneliti dapat mengamati interaksi yang dilakukan antara pengelola objek wisata dengan para wisatawan. Meskipun para pengelola sedang sibuk dengan para pengunjung, namun tetap salah satu dari pengelola bersedia menyediakan waktu untuk diwawancarai setelah hari mulai sore.

(36)

sebagai informan kunci. Selayaknya informan kunci, Wanda lebih banyak menjelaskan dan memaparkan fakta-fakta yang pernah terjadi di lapangan. Oleh sebab itu, wawancara yang dilakukan antara peneliti dengan informan kunci memakan waktu yang cukup lama.

Pada kedatangan yang terakhir kali, peneliti bermaksud menjumpai Kepala Desa. Tujuan wawancara yang akan dilakukan adalah menanyakan tanggapan dari segala proses kegiatan pariwisata yang selama ini terjadi di Desa Rumah Galuh dan upaya yang dilakukan Kepala Desa setelah melihat permasalahan-permasalahan yang terjadi. Lain hal dengan kedatangan sebelum-sebelumnya, peneliti memakai identitas sebagai wartawan jika ditanya oleh pemuda-pemuda stempat yang sengaja memberhentikan peneliti di tengah perjalanan. Identitas sebagai wartawan cukup membantu peneliti dalam perjalanan ke Desa Rumah Galuh. Namun peneliti yang ditemani oleh salah seorang teman diberhentikan kembali oleh pemuda setempat Desa Namu Ukur. Seperti biasanya, peneliti dan temannya menggunakan identitas sebagai wartawan dan menjelaskan pada pemuda tersebut bahwa kami akan melakukan wawancara dengan Kepala Desa Rumah Galuh. Pemuda tersebut tetap keras kepala meminta uang pada peneliti dengan klimat memaksa, “Kami nggak mau tau bang, uang masuknya dua puluh ribu per kepala, kalo nggak mana bisa lewat, kecuali abang tadi ada ranger-nya. Kalau nggak sepuluh ribu aja lah bg”. Peneliti sempat merasa kesal dengan kejadian tersebut, mungkin hal itu pula yang dirasakan oleh pengunjung-pengunjung lainnya.

(37)

4.1.2 Gambaran Umum Informan a. Informan I

Nama : Dika Usia : 22 tahun

(38)

sederhana mengenai Pelaruga melalui informasi yang diberikan oleh Dika, peneliti melanjutkan perjalanan menuju lokasi penelitian.

b. Informan II

Nama : Arianto Sitepu Usia : 29 tahun

Peneliti mewawancarai salah satu pengelola Pelaruga ketika sampai di basecamp Pelaruga. Pada saat itu, hampir semua pengelola yang ada di posko Pelaruga tampak sibuk melayani pengunjung yang ramai berdatangan dikarenakan hari libur. Begitu pula dengan informan kedua yang masih sibuk beramah-tamah dengan para pengunjung yang baru sampai di posko setelah masuk kedalam pardise of jungle atau pemandian kolam abadi. Arianto langsung menyambut baik kedatangan peneliti pada saat itu. Selaku wakil ketua komunitas Pelaruga, ia bersedia untuk diwawancarai setelah melihat tidak ada lagi pengelola lain yang berada disekitaran posko dikarenakan sibuk memandu para pengunjung.

(39)

c. Informan III Nama : Dolly Usia : 23 Tahun

Dolly adalah infroman yang direkomendasikan Arianto (informan kedua) kepada peneliti. Dolly adalah salah satu dari tiga penggagas berdirinya komunitas Pelaruga. Peneliti langsung menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan peneliti, yaitu mengetahui bagaimanan strategi komunikasi pemasran yang dilakukan oleh masyarakat setempat sebagai pengelola objek wisata Desa Rumah Galuh yang belum disentuh oleh pihak pemerintah maupun swasta. Selain sebagai pendiri komunitas Pelaruga, Dolly juga memberikan partisipasi dalam bentuk lain, yaitu menyediakan lahan milik keluarga atas izin kedua orangtuanya sebagai posko Pelaruga dan lahan parkir bagi pengunjung yang datang. Pada saat proses wawancara berlangsung, Dolly masih merasa sulit dalam mengungkapkan dan mejelaskan fakta yang yang pernah terjadi dalam bentuk kata-kata yang mudah dipahami oleh peneliti. Hal ini menyebabkan peneliti harus memberikan perhatian lebih terhadap setiap kata yang diungkapkan oleh Dolly.

d. Informan IV

Nama : Bolang Lingga Usia : 62 tahun

(40)

membuang kesempatan yang ada, peneliti menjadikan pemandu yang mengantarkan peneliti sebagai informan biasa.

Lelaki kelahiran tahun 1953 ini masih memiliki stamina yang cukup kuat dibandingkan peneliti yang tergolong masih muda. Hal ini bisa jadi disebabkan lantaran beliau sudah terbiasa melewati jalan yang kami lalui pada kesehariannya. Kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh Bolang Lingga pada dasarnya adalah berladang. Namun, setelah terbentuknya komunitas Pelaruga dan mulai ramainya pengunnjung yang berdatangan, maka pekerjaan sebagai pemandu menjadi pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh Bolang Lingga. Bolang Lingga sudah tinggal di Desa Rumah Galuh semenjak beliau lahir, oleh sebab itu ia menceritakan masing-masing sejarah objek wisata yang ada sesuai dengan apa yang pernah dialaminya. Sebagai penduduk yang sudah lama tinggal di Desa Rumah Galuh, tentunya Bolang Lingga sudah cukup dikenal oleh masyarakat setempat dan mengetahui sedikit banyaknya bagaimana kondisi sosial yang ada di Desa Rumah Galuh sebelum dan sesudah adanya kegiatan pariwisata.

e. Informan V

Nama : Wanda Ginting Usia : 29 tahun

(41)

pendatang baru, sebaliknya Wanda menceritakan secara keseluruhan dengan harapan menemukan solusi bersama sehingga proses wawancara tidak hanya berlangsung dua arah. Bahkan dialog yang berlangsung cenderung benrbentuk diskusi antara peneliti, Wanda, dan anggota komunitas lainnya yang saat itu ikut bergabung dalam perbincangan. Pada diskusi tersebut terlihat bahwa suara Wanda adalah suara yang paling di dengar oleh anggota komunitas lain. Hal yang wajar jika Wanda dijadikan sebagai pentolan komunitas Pelaruga dikarenakan dia yang paling paham mengenai bagaimana mengembangkan objek wisata yang sudah mulai dibangun lima tahun terakhir ini.

f. Informan VI Nama : Waktu Sitepu Usia : 51 Tahun

Informan yang terakhir yang dijadikan sebagai informan tambahan adalah Kepala Desa Rumah Galuh. Kepala Desa Rumah Galuh yang dijumpai oleh peneliti bernama Waktu Sitepu yang berusia 51 tahun Secara subjektif Kepala Desa cenderung lebih dekat hubungannya dengan komunitas Pelaruga dikarenakan ikatan tali kekeluargaan yang masih sangat dekat dengan pemerintis Pelaruga, dengan kata lain Kepala Desa adalah Paman dari Dolly sebagai salah satu pendiri Pelaruga. Kepala Desa tidak memiliki waktu yang banyak dikarenakan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikannya segera. Namun, peneliti menjelaskan maksud kedatangan dan juga menyatakan bahwa kali itu adalah kedatangan peneliti yang ke empat kalinya lantaran kedatangan peneliti sebelumnya Kepala Desa sedang tidak berada dirumah, dengan alasan tersebut Kepala Desa bersedia menyempatkan waktunya yang sempit untuk dapat diwawancarai.

(42)

yang terjadi di masyarakat jika dipandang dari sisi sosial dan ekonomi. Peneliti merasa lebih mudah memahami penjelasan yang diungkapkan oleh Kepala Desa dengan struktur bahasa yang lebih terartur jika dibandingkan informan-informan sebelumnya.

4.1.3 Hasil Temuan Data

a. Pariwisata Desa Rumah Galuh

Sebelum melakukan penelitian, peneliti hanya mengetahui Pelaruga sebagai nama dari sebuah objek wisata yang berada di Desa Rumah Galuh, Kecamatan Sei Bingai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Namun, pada perjalanan menuju lokasi penelitian, peneliti sempat mewawancarai salah satu pemuda yang berada di Jalan Jamin Ginting, tepatnya 25 km sebelum menuju Desa Rumah Galuh. Melalui wawancara yang dilakukan, peneliti mendapat informasi bahwa Pelaruga bukanlah nama sebuah pariwisata, melainkan nama sebuah komunitas yang berada di Desa Rumah Galuh. Sementara itu, Desa Rumah Galuh memiliki empat mata air yang dijadikan sebagai objek wisata.

oo.. Pelaruga bukan nama tempatnya kak, itu nama komunitasnya, singkatan dari Pemandu alam Rumah Galuh. Nama objek wisatanya ada banyak, kakak bisa pilih, ada air terjun teroh-teroh, lauberte, kolam abadi, sama air terjun tongkat, kakak mau kemana,biar ku antarkan, sama aja itu tempatnya kak, gak mesti Pelaruga. Tempat air terjunnya sama aja kak sama Pelaruga. Tapi ya itu tadi, orang kalau kemari taunya mau ke Pelaruga.”

(43)

“Pendiri Pelaruga ini ada tiga orang, ada Dolly, Andi sama si Wanda. Orang ini dulu duduk-duduk minum tuak, abis minum tuak pergi orang ini ke dalam sana buka jalur, lama-lama jadi banyak yang tau, rame lah jadinya. Mending kakak tanya langsung aja sama orangnya, itu ada si Dolly.”

Dolly sebagai informan ketiga yang dijumpai oleh peneliti menjelaskan Lebih lanjut lagi mengenai awal pembentukan Pelaruga

Kalau tempatnya sana udah dari dulu kita tau ada air terjun disana, tapi untuk jalan menuju ke sanayang baru mulai dibuka tahun 2010. Dulu ada kawan kami namanya Agus Ginting, dia orang Medan, kalau kakak tau dia ikut KOIN, Komunitas Orang Indonesia, dialah yang ngajarkan kita buat komunitas aja, biar orang tau, makanya kita buat. Karena sistem ngantar, sistem memandu atau nge-guide, kita buat namanya Pelaruga, Pemandu Alam Rumah Galuh. Baru pertamalah, belum ada komunitas lain. Makanya banyak yang tau, dulu banyak komunitas dari kawan-kawan bang Agus yang datang, ada sandal gunung, aku pun lupa nama-namanya, tapi orang itu yang sering buat-buat di internet. Awal ini baru-baru dibuka, kira-kira seminggu sekali ada lah satu-satu kelompok orang itu kemari.”

Keterangan selanjutnya juga dipaparkan oleh Wanda. Dalam penjelasannya, Wanda mengungkapkan,

“ Dulu kita ajakin kawan-kawan yang disekitar sini. Bisa dibilang masuk 2013 istilahnya Pelaruga baru booming, bisa dibilang rata-rata dulu pengunjung memang pecinta alam, nggak kayak sekarang, tinggal penikmat alam, ikut-ikutan aja. Teknik pengembangan booming Pelaruga sebenernya dari kawan ke kawan.”

Secara ringkas, Pelaruga merupakan salah satu komunitas pertama yang beridiri di di Desa Rumah Galuh untuk mengembangkan mata air menjadi objek wisata. Nama pelaruga lebih dikenal oleh para wisatawan dibandingkan nama mata air yang dijadikan objek wisata oleh masyarakat setempat. Selanjutnya peneliti menanyakan mengenai beberpa tempat mata air yang dijadikan objek wisata.

(44)

Cerita bahwa mata air yang saat ini dijadikan sebagai objek wisata sebelumnya dipergunakan sebagai tempat pemandian warga setempat juga diceritakan oleh Bolang Lingga sebagai informan tambahan.

“ Kalau dulu kita tinggalnya nggak di sana, tapi dekat kolam abadi, di situlah kita mandi, nyuci, tapi tempatnya dipisah. Kalau laki-laki tempatnya agak ke ujung sana. Lantaran sudah ada PAM, banyak warga yang pindah ke pinggir pasar sana. Lama-lama sudah nggak ada lagi kampung di sini, pindah semuanya. Kalu kita udah biasa lewat sini, 10 menit aja udah nyampe. Ini kan ladang-ladang orang kampug sini, jadi kita udah biasa lewat sini.”

Selain itu, peneliti menanyakan tarif yang ditentukan oleh Pelaruga kepada para wisatawan yang menggunakan jasa pemandu dari komunitas Pelaruga dan bagaimana system pengelolaan keuangan yang ada di komunitas Pelaruga. Dolly menjelaskan, “Kalau dulu per tempatnya dua puluh ribu, tapi sekarang dua puluh lima ribu, karenakan kita mau kasih yang punya ladang yang dilewatin, kita bayar ranger nya lagi, kita beli pelampung, untuk uang kas kita lagi”.

Pada posko komunitas Pelaruga terpasang spanduk yang digunakan sebagai penanda basecamp Pelaruga. peneliti menanyakan filosofi spanduk yang terpasang di posko Pelaruga dengan lambang yang terdapat pada spanduk tersebut sebagai salah satu bentuk identitas Pelaruga.

“ ooo.. kalau itu yang mendesain bang Agus itu sendiri, sebetulnya itu inisiatif kami sendiri, dulu kami sering kumpul. Kami bentuklah komunitas Pelaruga, lalu kita buatlah. Karena mainnya di alam, kita cari desain-desain yang bagus-bagus, yang mencolok kea lam, makanya kita bentuk warna hijau, kenapa logonya berbentuk bulat, Pelaruga ini kan singkatan dari Pemandu Alam Rumah Galuh, makanya di tengahnya dibentuklah satu rumah. Gitu aja sih kak.”

Dolly juga menjelaskan sekaligus ingin menawarkan kepada peneliti bahwa

(45)

“Kalau desa sebelah, kita yang jual, ditawarkan, kami jalan kerja sama. Awalnya namanya air terjun siluman, tapi kurang apa, kita ubah jadi Namu

Belanga.

Hal ini juga diungkapkan lebih jelas lagi oleh Wanda.

“Kami disni ada dua spot jagoan, ada untuk tes stamina itu air terjun tongkat lewat jalur darat, kalau mau bodyrafting dari kolam abadi ke air terjun teroh-teroh, itu lewat jalur air. Karena takutnya pengunjung merasa bosan karena itu-itu aja tempatnya, kami tawarkan lah beberapa tempat yang ada di desa lain, paling Cuma ngasih uang premannya aja ke masyarakat desa sana. Kalau di Kecamatan Sei Bingai, kita ada sepuluh air terjun dan satu kolam abadi ini lah. Air Terjun Lauberte di Desa Rumah Galuh, Air Terjun Tongkat di Desa Rumah Galuh, Air Terjun Tero-Tero di Desa Rumah Galuh, Air Terjun Pelangi di Desa Telaga, Air Terjun Basbasan di Desa Telaga, Air Terjun Tengah Rembulan di Desa Telaga, Air Terjun Tiga Mentari di Desa Telaga, Air Terjun Goa di Dusun Bangun Jahe, Air Terjun Bengaru di Dusun Bangun Jahe, Air Terjun Namu Belanga di Desa Garunggang yang sekarang udah mulai rame orang datang kesana, tapi kami yang antarkan ke sana.”

b. Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat Desa Rumah Galuh

Pelaruga merupakan komunitas yang sengaja dibentuk untuk mengembangkan objek wisata yang ada. Alasan mengapa komunitas ini dibentuk secara sederhana untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi pemuda setempat. Hal ini diungkapkan oleh Wanda.

“ Artinya yang kita utamakan dulu niat kita buka untuk ps (pemuda setempat) di sini, mengurangi pengangguran intinya, siapa pun orang kampung sini mau ikut.. kita welcome.. kita ajakin, orang itu kalau diajakin dia berpikir ah.. kerjaan sia-sia, tapi alhasil bisa dibilang setelah banyak yang datang ya lumayan. Kalau berapa orangnya kita nggak bisa bilang berapa orang, tapi kalau yang sudah ada id card sebagai pemandu di sini ada sekitar tiga puluh orang, kalau luar dari situ, Alhamdulillah berapa pun pengunjung yang datang masih bisa kita upayakan ambil pemandunya, kita angkut semua. Makanya nggak bisa kita prediksi berapa orang. Ibarat dibilang aktif nggak juga, tapi kalau kita ajak mau. Tapi yang tiap hari tongkrongannya di sini ya yang pake id card itu td, kira-kira tiga puluh orang.”

Berdasarkan pernyataan yang diungkapkan oleh Wanda menjelaskan bahwa

(46)

Namun, sampai saat ini sudah terdapat tiga puluh orang pemandu yang aktif di komunitas Pelaruga

Pada saat mewawancarai informan pertama, Dika menyebutkan bahwa terdapat empat komunitas yang serupa dengan komunitas Pelaruga. Ia mengatakan, “Di sini ada empat kak. Ada Goa, PJ, Petar, Pelaruga. Semua sama aja, tempatnya pun dekat-dekatan. Kita dari Petar, tempatnya sebelum Pelaruga”. Berangkat dari pernyataan yang diungkapkan oleh informan pertama, peneliti menanyakan bagaimana tanggapan pengelola komunitas Pelaruga terhadap munculnya komunitas-komunitas baru yang ada di Desa Rumah Galuh.

Kami nggak masala., Cuma yang dipermasalahkan harusnya tamu yang datang bisa bebas, nggak istilah kenak stop dijalan, nggak kenak kutipan-kutipan preman dijalan”, ungkap penjelasan Dolly.

Setelah peryataan yang diungkapkan oleh Dolly, mulailah terbongkar permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan objek wisata berbasis masyarakat lokal. Permasalahan yang terjadi juga diungkapkan oleh Bolang Lingga sebagai salah satu pemandu di komunitas Pelaruga, ia mengatakan,

“tapi sekarang mulai sedikit yang datang lantaran banyak yang di-stop-in di jalan, pengunjung sudah banyak habis duit duluan sebelum sampe kemari, kadang-kadang pun nggak nymape kemari.”

Pungutan liar yang dilakukan oleh pemuda setempat Desa Namu Ukur kepada wisatawan pada saat mereka menuju lokasi objek wisata menjadi permasalahan yang membayangi komunitas Pelaruga dalam melaksanakan kegiatan pariwisata. Bagaimana Pelaruga menanggapi permasalahan yang terjadi menjadi bahan perbincangan anatara peneliti dengan informan Dolly dan Wanda. Mereka menjelaskan bahwa mereka sempat ingin merapatkan diri dengan komunitas-komunitas lain untuk menangani permasalahan.

(47)

Masyarakat Desa Rumah Galuh yang terpecah menjadi beberapa komunitas dalam mengelola objek wisata belum mampu menyatukan diri satu sama lain untuk menyelesaikan permasalahan pemungutan liar yang berimbas berkurannya minat pengunjung. Ruang-ruang diskusi masih terus disediakan oleh Kepala Desa untuk menengahi antar komunitas demi membahas permasalahan terkait pungutan yang memberikan dampak buruk bagi perkembangan kegiatan pariwisata yang dikelola oleh masyarakat setempat. Namun hasilnya masih nihil hingga saat ini. Hal ini jelas diuangkapkan oleh Waktu Sitepu sebagai Kepala Desa Rumah Galuh, beliau mengatakan,

“awalnya saya menilainya positif, bagus.. memang lama-lama jadi nggak bagus, ada kutipan-kutipan di jalan yang jadi nggak bagus, pengunjung jadi berkurang minat datang kemari. Saya sering ngumpulkan orang ini, ngomong sama-sama, tapi kalau saya ngomong mereka diam aja, nggak ada yang membantah atau ngomong apapaun, mereka iya-iya aja, tapi besok-besok kayak gitu lagi. Memang ini sedang diusahakan supaya dibantu dari dinas, biar ada retribusi, nggak ada lagi penyetopan dijalan, tapi itu tadi, dinas takut komunitas yang merasa iri atau giman nanti kedepannya, tapi orang ini pun susah kali dibilangkan, masih ada ego-egonya, makanya saya pun jadi bingung. Ini surat-suratnya kan lagi diurus.”

Selanjutnya peneliti menanyakan bagaimana hubungan antara komunitas Pelaruga dengan pemeneintah setempat, khususnya tanggapan Dinas Pariwisata Kabupaten Langkat. Apakah kegiatan pariwisata yang dilakukan oleh masyarakat setempat sudah mendapatkan izin dari pemerintah setempat dan bagaimana hubungan yang terjalin selama ini.

Kita dekat aja, izinnya izin. Kita di Pelaruga udah ada izin dari Dinas Pariwisata, tapi kita belum melaksanakan bayar pajak, karena surat-suratnya belum, makanya belum dipegang sama dinas.”

Peneliti mendapat pemaparan yang lebih jelas lagi dari informan kunci Wanda. Ia menjelaskan,

(48)

udah tau mana yang ori. Karena banyaknya dia nggak bisa harus satu fokus saja, entah mana tau kedepannya pengembangan dari dinas pariwisata ada dana-dana bantuan, pengembangan jalan, biaya-biaya apapun itu, orang itu (komunitas-komunitas lain) pasti nuntut kenapa enggak ada pemberitaan ke kami.”

Penjelasan yang diungkapkan oleh Wanda mengartikan bahwa mereka sudah mulai menjalin hubungan baik dengan pihak Dinas Pariwisata Kabupaten Langkat dengan harapan mendapat respon positif dari Dinas Pariwisata dalam mengembangan objek wisata yang ada. Namun, upaya ini terhenti pada permasalahan internal yang terjadi pada masyarakat Desa Rumah Galuh, yaitu masyarakat yang masih terpecah pada komunitas-komunitas yang berbeda-beda.

Proses wawancara mengenai pengelolaan komunitas Pelaruga beralih pada bagaimana mekanisme komunitas Pelaruga dalam menjalankan roda organisasi pada saat ini. Beberpa point penting yang menjadi pertanyaan peneliti dalah apakah ada struktur kepengurusan yang tersusun dalam komunitas ini dan bagaimana proses pembentukannya serta pelaksanaan secara teknis dilapangan. Dolly sebagai salah satu penggagas berdirinya Pelaruga menjelaskan gambaran umum mengenai struktur kepengurusan yang kemudian dilengkapi oleh Wanda sebagai orang yang lebih memahami konsep komunitas Pelaruga.

“Kepengurusan ada, kita cuma bagian untuk tamu aja, tapi ketuanya itu urusannya ke kepala desa, mana tau ada bantuan, ada masalah. Dulu kita kan banyak masalah, kita nggak mampu. Kita bertiga yang angkat, karena ada ikatan keluarga, lebih dipercaya, lebih dikenal Kepala Desa. 2013 udah kita bentuk kepengurusan. Khusus untuk lapangan, kita bertiga, nggak mungkinlah kita yang ngatur lapangan, ini itu lagi, nggak sanggup, makanya kita buat struktur kepengurusan”, ungkap Dolly.

(49)

bukan mau monopoli, kalau adek-adek-an kita suruh untuk maju ke depan, untuk melobi baik dari kecamatan, dari dinas, dia merasa mentalnya nggak ada, makanya bisa dibilang namanya aja perintis, tapi tugas kami terlalu berat. Baik ke kecamatan, ke dinas, kami juga yang menuntun, di lapangan pun untuk bagian kenyamanan pengunjung, kami juga, jabatan mereka distruktur paling cuma membantu aja. Jadi fungsi strukturnya hanya untuk strategi melibatkan banyak orang aja, bukan secara diam aja, kita kasih tau juga, diajarin juga dianya, itulah bedanya antara organisasi orang kampung dengan organisasi kota. Kalau ketua dipilih tentu ada pergaulannya, bukan karena lebih dis

Gambar

Gambar 4.3 Struktur Kepengurusan Komunitas Pelaruga

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan s yukur penulis ucapkan kepada Allah subhana wata’ala atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan akhir

Tujuan penelitian ini untuk menghasilkan model dasar dalam rangka peningkatan kinerja guru matematika SMK di Kota Semarang yaitu (a) mengetahui pengaruh yang terbesar

Hal yang memungkinkan rendahnya efisiensi pada reaktor bersekat yaitu influen yang berasal dari effluent ABR kemungkinan mengandung banyak biomassa berupa koloid serta lintasan

Penelitian yang dilakukan oleh (Guniarti, 2014) dan (Sianturi dan Pangestuti, 2015) bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap aktivitas hedging , perusahaan

Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan

Poligami yang dipandang sebagai alternatif solusi dari pada perzinaan, itu pun dipandang secara sepihak yaitu kepentingan suami saja. Contoh seorang suami berkeinginan

sufi sehingga terkondisi nilai-nilai dari setiap jenjang. Sedangkan al-ahwal adalah kondisi jiwa yang muncul sebagai wujud usai melaksanakan satu tingkat maqam... dalam

Hal tersebut didasarkan pada data hasil studi yang menunjukkan, berita Pilkada Harian Radar Selatan lebih banyak mengangkat berita berdasarkan fakta psikologis serta