• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.2.1 Aspek Biologi

Hasil tangkapan pada dua daerah penangkapan, yaitu daerah penangkapan

sekitar 1 mil dengan kedalaman 5 m dan daerah penangkapan antara 2-3 mil dengan kedalaman 10 m, tidak ada perbedaan pada komposisi hasil tangkapan dan hasil tangkapan dominan menurut jumlah. Perbedaan yang terdeteksi adalah ukuran ikan yang tertangkap; gulamah dan beloso daerah penangkapan sekitar 1 mil lebih kecil dibandingkan dengan yang tertangkap pada daerah penangkapan sekitar 2-3 mil dari pantai.

Dominasi udang dalam hasil tangkapan disebabkan daerah tersebut merupakan tempat hidup/habitat udang. Habitat udang tersebut adalah perairan

tempat yang baik bagi udang karena kaya akan nutrisi dan unsur hara yang dibutuhkan sehingga udang akan lebih banyak berada di perairan pantai yang dangkal dibandingkan dengan perairan tengah laut (Atmadja et al. 2003).

Udang memiliki kecepatan renang yang sangat rendah sehingga mudah tertangkap jaring arad. Ukuran ikan hasil tangkapan di daerah penangkapan 1 mil berukuran lebih kecil dibandingkan dengan daerah penangkapan 2-3 mil, karena pada daerah tersebut merupakan tempat pemijahan, tempat pemeliharaan dan tempat mencari makan. Kondisi ini jelas sangat merugikan karena ikan yang tertangkap masih dalam kondisi juvenil dan belum matang gonad.

Daerah penangkapan udang di perairan Laut Jawa berada pada kisaran kedalaman 10-40 m (Dwiponggo, 1982) diacu dalam Atmadja et al. (2003). Jaring arad banyak dioperasikan di wilayah pesisir karena target utama tangkapan yaitu udang yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, jenis ikan pelagis yang tertangkap jaring arad adalah yang bermigrasi ke perairan pantai sedangkan jenis ikan demersal yang tertangkap memiliki siklus hidup di perairan pantai yang dangkal. Tertangkapnya udang dan ikan demersal oleh jaring arad karena saling berasosiasi dalam memanfaatkan lingkungan dasar perairan (Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Tegal, 2003).

Tertangkapnya ikan- ikan muda oleh jaring arad adalah memprihatinkan karena dapat merusak siklus reproduksi. Ikan gulamah dalam kondisi immature memiliki kisaran panjang total 40-90 mm dan pre-mature memiliki kisaran panjang total 100 – 220 mm, penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Juli tahun 2002 (Purbayanto, 2003). Tingkat kematangan gonad untuk perairan Afrika Selatan untuk ikan gulamah jantan 95 mm dan ikan betina 110 mm (Bleeker, 1863). Tingkat kematangan gonad ikan beloso pada wilayah perairan pantai Manila untuk ikan jantan dengan panjang 170-190 mm dan ikan betina 190-210 mm (Bloch, 1795). Tingkat kematangan gonad ikan pepetek jantan dengan panjang 89 mm dan ikan betina 94 mm (Cuvier, 1829). Tingkat kematangan gonad ikan lidah jantan 195 mm dan betina 210 mm di wilayah perairan India (Bloch dan Schneider, 1801).

Dengan jenis ikan, yaitu gulamah, beloso, pepetek dan lidah sebagian besar ikan yang tertangkap di perairan Kota Tegal belum sempat dewasa dan memijah. Hal ini dapat merupakan salah satu penyebab hasil tangkapan nelayan

setiap tahunnya mengalami penurunan kualitas udang maupun ikan. Berkurangnya produktivitas hasil tangkapan nelayan dapat disebabkan oleh kelebihan armada penangkapan yang beroperasi di wilayah pesisir terutama jalur penangkapan I dan didominasi oleh alat tangkap jaring arad. Ditegaskan oleh Aziz et al.(1998) bahwa di wilayah perairan Laut Jawa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal 56,12% dan tingkat pemanfaatan udang peneid telah mencapai 102,78%. Hasil penelitian Pusat Riset Perikanan Tangkap tahun 2001 memperlihatkan bahwa tingkat pemanfaatan ikan dan udang telah mencapai lebih dari 100%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan telah melampaui tangkapan maksimum lestari (over exploitation). Kondisi ini semakin parah karena selama ini tidak ada upaya pengaturan pengelolaan terutama jumlah dan jenis alat tangkap yang beroperasi di perairan pesisir utara Jawa.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan di wilayah pesisir dan laut diperlukan suatu pengaturan melalui pengelolaan sumberdaya ikan terutama mengenai daerah penangkapan. Murdiyanto (2004) mengemukakan bahwa untuk melindungi stok, pemijahan, perkembangan larva, juvenil dan ikan dewasa, maka dapat dilakukan dengan menutup suatu daerah perairan terhadap kegiatan penangkapan ikan. Penutupan daerah perairan terhadap kegiatan penangkapan dapat dilakukan pada musim tertentu saja, atau di luasan tertentu berdasarkan pada pengkajian yang mendalam terutama masa pemijahan dan masa bertelur dari ikan atau organisme laut lainnya (Nikijuluw, 2002). Hasil penelitian Dwiponggo (1988) menyebutkan bahwa pelarangan trawl di perairan utara Jawa pada tahun 1980 telah berdampak positif terhadap pulihnya sumberdaya ikan demersal. Hal tersebut tidak berlangsung lama karena alat tangkap yang menyerupai trawl hasil dari modifikasi alat tangkap tradisional seperti jaring arad dan sejenisnya beroperasi kembali tanpa adanya pengaturan yang jelas dan tidak adanya sangsi hukum terhadap pelanggar.

4.2.2 Aspek Teknis

Berdasarkan teknik dan metode pengoperasian jaring arad sudah jelas bahwa jaring arad dapat dikategorikan sebagai alat tangkap trawl karena alat tangkap ini terbuat dari jaring, berkantong, menggunakan otter board dan cara pengoperasiannya ditarik dari buritan kapal (Subani dan Barus, 1989). Alat

tangkap jaring arad merupakan alat tangkap yang bersifat aktif yaitu mengejar target spesies dengan cara diseret di atas dasar perairan oleh kapal sehingga hasil tangkapannya selain udang dan ikan demersal juga tertangkap spesies yang bukan menjadi target seperti kerang dan rajungan karena jaring arad menyapu dasar perairan. Selain itu juga tertangkap jenis ikan pelagis yang masuk kedalam jaring saat proses hauling. Hal ini juga disebabkan karena kedalaman daerah penangkapan jaring arad berada pada perairan dangkal serta bukaan mulut jaring masih dapat menyapu sebagian besar kolom perairan.

Dengan kondisi dasar perairan yang bersubstrat lumpur ataupun lumpur berpasir karena pengaruh dari sedimentasi yang sangat besar di perairan pantai utara jawa menyebabkan kondisi perairan menjadi keruh terutama pada saat pengoperasian alat tangkap jaring arad. Hal ini berpengaruh terhadap jangkauan penglihatan ikan dan udang, sehingga ikan dan udang lebih mudah tertangkap.

Tertangkapnya ikan- ikan kecil bahkan juvenil serta spesies lainnya selain karena teknik dan metode pengoperasian jaring arad juga disebabkan ukuran mata jaring (mesh size) jaring arad yang sangat kecil terutama pada bagian kantong, yaitu berukuran 19 mm. Jadi pada saat alat tangkap jaring arad dioperasikan semua spesies yang berukuran kecil akan tertangkap dan dapat dikatakan bahwa alat tangkap jaring arad kurang selektif.

Berdasarkan hasil tangkapan dan kontruksi jaring arad menunjukkan bahwa alat tangkap jaring tidak dapat dioperasikan di wilayah pesisir hal ini diperkuat dengan peraturan tentang jalur-jalur penangkapan ikan yaitu melarang alat tangkap yang bersifat aktif pada jalur 1A (1-3 mil) sehingga jaring arad hanya dapat beroperasi pada daerah penangkapan diatas 3 mil, selain itu diperlukan pengembangan alat tangkap jaring arad agar mempunyai selektifitas yang baik dan ramah lingkungan seperti perbesaran ukuran mata jaring pada bagian sayap dan kantong (cod-end) dan pemasangan Juvenil and Trashfish Excluder Device (JTEDs) untuk meloloskan ikan- ikan kecil yang belum sempat memijah.

Penggunaan JTEDs di Indonesia sampai saat ini masih dalam taraf demonstrasi dan uji coba. Implementasi JTEDs baru akan dilakukan pada perikanan trawl industri dan belum digunakan oleh nelayan Kota Tegal dan seluruh nelayan sejenis mulai dari perairan Sumatera, Jawa, Kalimatan, Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat (Ditjen. Tangkap, 2005). Hal ini terkait dengan belum

dicabutnya Keppres No. 39 tahun 1980 tentang pelarangan trawl sehingga pemerintah terkesan enggan untuk mengembangkan teknologi trawl menjadi lebih ramah lingkungan. Sementara itu pengawasan dan sanksi bagi pelanggar Keppres tersebut dapat dikatakan tidak ada dan sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa alat tangkap mini trawl banyak digunakan oleh nelayan diseluruh wilayah perairan Indonesia.

4.2.3 Aspek Ekonomi

Pendapatan nelayan jaring arad yang dioperasikan dalam 2 hari/trip lebih tinggi dari operasi 1 hari/trip disebabkan karena daerah penangkapannya pada pengoperasian 2 hari/trip sangat luas dan tidak berada di sekitar wilayah pesisir Kota Tegal. Biaya operasional yang dibutuhkan untuk trip 2 hari sekitar Rp. 500,000, sedangkan untuk tiap 1 hari/trip sebesar Rp. 100,000. Berdasarkan kondisi tersebut maka hanya nelayan bermodal besar yang dapat melaut ke daerah penangkapan di atas 3 mil, sedangkan nelayan kecil tetap beroperasi di wilayah pesisir.

Salah satu faktor penyebab jaring arad masih menguntungkan di wilayah perairan Kota Tegal adalah hasil tangkapan udang. Hasil tangkapan ikan sebagian besar tidak bernilai ekonomis berdasarkan jenis, jumlah dan ukurannya, sehingga apabila nelayan hanya sedikit mendapatkan udang maka sudah pasti hasil yang diperoleh tidak dapat menutupi biaya operasional.

Nelayan jaring arad yang sampai saat ini masih bertahan, menyiasati kondisi tersebut dengan menggunakan alat tangkap lain pada saat tidak musim udang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alat tangkap jaring arad akan lebih menguntungkan apabila dioperasikan pada saat musim udang. Berdasarkan hasil wawancara bahwa nelayan jaring arad pada saat musim barat beroperasi di sekitar perairan Kota Tegal, pada musim timur beroperasi di perairan Kabupaten Tegal sampai perairan Pemalang dan pada musim peralihan beroperasi di sekitar perairan Karang Jeruk, bahkan ada yang beroperasi sampai di perairan Indramayu dan Cirebon.

Tingkat kesenjangan perolehan pendapatan antara nelayan pemilik dengan nelayan buruh sangat besar. Hal ini dapat memicu ketidakpua san nelayan buruh terhadap sistem bagi hasil yang demikian, karena jika dalam operasi penangkapan

tidak memperoleh penghasilan, nelayan buruh tidak mendapatkan suatu konpensasi dalam bentuk apapun dari nelayan pemilik. Jaminan sosial tenaga kerja nelayan buruh juga tidak ada sehingga jika nelayan sakit harus menanggung sendiri biaya pengobatannya. Dalam menghadapi berbagai ketimpangan tersebut, nelayan tidak dapat berbuat banyak karena tingkat ketergantungannya terhadap nelayan pemilik cukup tinggi. Nelayan- nelayan tersebut menerima kenyataan karena dipaksa oleh keadaan dan biasanya nelayan terikat pinjaman dengan nelayan pemilik (juragan).

Pada saat nelayan mendapat hasil tangkapan yang relatif banyak, seperti pada saat musim udang dan ikan, keadaaan tersebut belum tentu menjamin bahwa nelayan akan memperoleh pendapatan yang memadai karena jaringan pemasaran udang dan ikan dikuasai sepenuhnya oleh bakul ataupun pedagang pengumpul sehingga nelayan tidak mempunyai kekuatan tawar. Hubunga n nelayan dengan bakul atau pedagang pengumpul sangat kuat dan berorientasi pada kepentingan jangka panjang antara mereka biasa dikenal dengan pola patron-klien. Nelayan menjalin hubungan kerjasama dengan bakul ataupun pedagang pengumpul untuk mengatasi kesulitan modal usaha dan pemasaran hasil tangkapan karena proses penurunan kualitas hasil tangkapan sangat cepat. Hal ini disebabkan karena proses pasca penangkapan sangat jelek. Keterikatan dengan bakul dan pedagang pengumpul dalam hal pemasaran hasil tangkapan dikarenakan keterbatasan teknologi yang ada sehingga resiko kerusakan atau penurunan kualitas produksi yang mengakibatkan harga ikan jatuh, kemungkinan sangat besar terjadi. Karena jaringan perdagangan ikan sudah dikuasai secara total oleh bakul dan pedagang pengumpul. Bakul ataupun pedagang pengumpul memiliki kemampuan dan keterampilan yang tinggi untuk mengatasi keterbatasan kualitas hasil tangkapan agar segera laku terjual. Dalam hubungan kerjasama tersebut tidak mencerminkan adanya kerjasama saling menguntungkan, karena nelayan selalu berada pada pihak yang kurang diuntungkan.

Kesulitan dalam pemasaran hasil tangkapan akan bertambah jika daya serap pasar lokal sangat terbatas, sedangkan daerah pemasarannya relatif jauh jaraknya. Disamping itu apabila teknologi pengolahan hasil tangkapan masih bersifat tradisional dan memiliki kemampuan terbatas untuk menghasilkan produk

yang berkualitas tinggi, maka akan berpengaruh terhadap nilai jual hasil tangkapan yang akan diterima oleh nelayan (Kusnadi, 2002).

Keterlibatan bakul dan pedagang pengumpul dalam proses produksi dan pemasaran hasil tangkapan nelayan secara la ngsung telah menggantikan kedudukan dan peranan organisasi formal yaitu koperasi. Dalam banyak kasus seperti koperasi yang ada di Kota Tegal, sebelum koperasi tersebut berdiri, bakul ataupun pedagang pengumpul telah memainkan peranan ekonomi yang strategis. Selain itu keterbatasan modal dan rumitnya prosedur apabila nelayan akan melakukan pinjaman yang akan digunakan untuk mencukupi kebut uhan hidup ataupun untuk biaya melaut, merupakan salah satu penyebab kurang diterimanya koperasi di tengah nelayan. Oleh sebab itu berdirinya sebuah koperasi formal tidak banyak berpengaruh terhadap pengurangan peranan strategis bakul ataupun pedagang perantara.

Menurut Satria et al. (2002), pola patron-klien terus terjadi dalam komunitas nelayan karena memang belum ada institusi formal yang mampu berperan sebagai patron. Institusi yang selama ini telah ada yaitu koperasi belum dapat berjalan efektif karena adanya kesenjangan kultur institusi yang dibangun secara formal dengan kultur nelayan yang masih menekankan aspek personalitas. Meski diakui nelayan mempunyai solidaritas yang kuat, etos kerja dan mobilitas tinggi, tetapi tetap saja memiliki sejumlah kelemahan khususnya kemampuan mengorganisasi diri baik untuk kepentingan ekonomi/koperasi maupun profesi. Hal ini sangat terkait dengan tingkat pendidikan nelayan yang rendah sehingga ikatan komunal yang ada yaitu patron-klien umumnya dipertahankan untuk kepentingan subsistensi mereka.

Persoalan mendasar yang dihadapi oleh nelayan buruh yang mempunyai tingkat penghasilan kecil dan tidak pasti adalah bagaimana mengelola sumberdaya ekonomi secara efisien dan efektif sehingga mereka dapat bertahan hidup dan bekerja. Hal inilah salah satu penyebab sehingga banyak nelayan kecil di Kota Tegal yang mengoperasikan alat tangkap jaring arad, karena alat tangkap tersebut dinilai efektif dan cukup menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga mereka tidak sempat atau tidak mengerti dampak negatif yang ditimbulkan akibat dari penggunaan alat tangkap jaring arad yang dioperasikan

mulai dari daerah pesisir terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan maupun ekosistem yang ada.

4.2.4 Aspek Sosial

SK Menteri Pertanian tentang penggunaan jaring lampara dasar sebagai alternatif pengganti jaring trawl justru menjadi bumerang bagi pemerintah karena nelayan semakin berani mengoperasikan alat tangkap yang illegal dan memodifikasi jaring lampara dasar dengan penambahan otter board, sebab alat tangkap lampara dasar yang bentuk aslinya tanpa menggunakan otter board tidak menghasilkan. Sejak saat itulah alat tangkap jaring arad eksis dan berkembang sangat pesat di Kota Tegal dan sekitarnya.

Di Kota Tegal terdapat alat tangkap sejenis jaring arad yang berukuran lebih besar, yaitu jaring dogol dan jaring cantrang sebanyak 347 unit atau sebesar 67 % dari total alat tangkap. Hal ini menyebabkan sebagian besar hasil tangkapan berasal dari alat tangkap tersebut sehingga masyarakat menerima hasil tangkapan nelayan.

Salah satu perbedaan antara jaring arad dengan jaring dogol dan cantrang adalah daerah penangkapannya yang jauh dari pesisir sehingga dalam melakukan operasi penangkapan nelayan jaring dogol dan cantrang tidak berbenturan denga n nelayan kecil/tradisional yang menggunakan alat tangkap yang bersifat pasif. Dengan demikian walaupun kedua alat tangkap tersebut dikategorikan illegal karena mirip trawl, sampai saat ini tidak menimbulkan konflik terbuka seperti halnya alat tangkap jaring arad.

Menurut Sardjono (1980) diacu dalam Nikijuluw (2002) alasan dikeluarkannya Keppres No. 39 tahun 1980 tentang pelarangan trawl tidak semata mata karena aspek teknis dan ekobiologi tetapi lebih ke aspek sosial yaitu makin tersisihnya nelayan kecil tradisional yang berdampak pada berkurangnya pendapatan akibat tidak ada pengaturan jaring trawl pada saat itu.

Dalam kegiatan penangkapan ikan, menurut Charles (1992) yang diacu

dalam Bintoro et al. (2005) konflik perikanan akan cenderung muncul pada saat

sumberdaya ikan yang dieksploitasi semakin terbatas. Konflik dimulai dengan adanya persaingan untuk menangkap ikan oleh nelayan. Perebutan terjadi karena karakteristik sumberdaya perikanan yang bersifat open access. Dengan kondisi

sumberdaya yang bersifat open access inilah sehingga sumberdaya dapat dikuasai semua orang, disemua waktu dengan menggunakan berbagai macam alat tangkap. Namun apabila ditelusuri kondisi sumberdaya perikanan yang benar-benar terbuka sulit untuk ditemukan karena pemerintah pada umumnya telah memiliki regulasi pengelolaan sumberdaya seperti yang telah diatur dalam undang-undang otonomi daerah. Meskipun telah ada aturan perundang undangan seperti adanya jalur-jalur penangkapan ikan dan larangan penggunaan trawl, kenyataan dilapangan aturan tersebut sulit untuk ditegakan. Hal inilah yang dapat menyebabkan timbulnya konflik, sehingga di wilayah laut dapat terjadi hukum rimba yaitu yang kuat dialah yang menang.

Menurut Satria (2002) konflik dalam masyarakat pesisir, khususnya nelayan dapat dikategorikan dalam empat macam bentuk berdasarkan penyebabnya :

1. Konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi antarkelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground).

2. Konflik orientasi, yaitu konflik yang terjadi antarnelayan yang memiliki perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya. Misalnya, nelayan yang memiliki orientasi jangka panjang dan nelayan yang memiliki orientasi jangka pendek. Cara-cara pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan ditunjukan oleh nelayan yang memiliki orientasi jangka panjang, sedangkan nelayan yang memiliki orientasi jangka pendek mempunyai kecenderungan merusak dengan menggunakan alat tangkap yang illegal.

3. Konflik agraris, yaitu konflik yang terjadi akibat perebutan fishing ground. Konflik ini terjadi pada nelayan antarkelas maupun dalam kelas sosial yang sama, bahkan konflik dapat terjadi antar nelayan dan bukan nelayan. 4. Konflik primordial, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas,

etnik, asal daerah. Konflik ini muncul kembali semenjak diterapkanya undang-undang otonomi daerah.

Pada saat ini walaupun tidak ada konflik terbuka antar nelayan setelah terjadinya kesepakatan mengenai pengoperasian jaring arad di Kota Tegal dan eksitensinya diakui oleh masyarakat, pemerintah dan seluruh stakeholders harus

tangkap lebih dan bertambah banyaknya armada jaring arad yang beroperasi mulai dari pesisir. Kondisi ini tentunya dapat memicu timbulnya konflik bukan ha nya dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap lain tetapi antara nelayan jaring arad sendiri.

4.2.5 Aspek Kelembagaan

Terbentuknya kelompok nelayan jaring arad sangat bermanfaat sekali karena akan mempermudah dalam pembinaan nelayan serta penyampaian informasi dari pemerintah. Tetapi ternyata belum mampu memperbaiki taraf hidup nelayan, karena mereka belum dapat melepaskan diri dari ikatan dengan bakul yang selama ini berperan sebagai pemodal dalam melaut maupun untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Keberadaan bank dan KUD ternyata belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh nelayan. Hal ini disebabkan karena persyaratan yang dibutuhkan apabila melakukan peminjaman pada bank sangat sulit untuk dipenuhi oleh nelayan seperti harus adanya agunan dan penjamin. Di koperasi yang menjadi masalah adalah keterbatasan modal, sementara nelayan membutuhkan dana cash yang cepat. Selain itu dalam melakukan peminjaman harus disertai proposal dan melibatkan suatu lembaga sebagai penanggung jawab dalam pengelolaan dana dan melakukan pelaporan kepada pihak bank/KUD. Hal ini juga menjadi kendala seperti diketahui mayoritas nelayan jaring arad berpendidikan sangat rendah.

Permasalahan modal bagi nelayan menjadi sangat penting sehingga pemerintah daerah/pusat perlu membentuk sua tu lembaga keuangan yang khusus memberikan pinjaman pada nelayan terutama nelayan kecil. Lembaga tersebut tidak berdiri sendiri tetapi mempunyai keterkaitan yang erat dengan semua

stakeholders khususnya lembaga yang berkaitan dengan sektor perikanan. Hal ini

dimaksudkan agar tujuan yang ingin dicapai dapat terlaksana, sehingga upaya pemerintah menjadikan sektor perikanan menjadi sektor unggulan tidak hanya menjadi slogan belaka. Karena selama ini pemerintah terkesan hanya berpihak pada nelayan yang bermodal besar dan nelayan asing yang cenderung menguras sumberdaya perikanan tanpa memikirkan kelestarian dan keberlanjutan seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Berdasarkan susunan organisasi pada Sub Dinas Perikanan dan Kelautan tersebut tampak bahwa organisasi yang ada sangat minim dan belum dapat menglingkupi semua aspek di sektor perikanan. Hal itu juga ditunjukkan oleh jumlah karyawan yang sangat sedikit sehingga banyak kegiatan yang seharusnya menjadi prioritas tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Selain itu minimnya karyawan yang mempunyai keahlian di bidang perikanan menyebabkan kebijakan yang diterapkan seringkali tidak sejalan dengan keinginan nelayan seperti kebijakan pemberian bantuan alat tangkap dan pemberian dana bergulir yang tidak tepat sasaran.

Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat dinas perikanan bahwa setiap usulan program kepada pemerintah daerah, kurang mendapatkan respon positif. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sektor perikanan di Kota Tegal hanya memberikan kontribusi terhadap PAD sebesar 1%. Menurut petugas TPI bahwa nelayan yang membayar retribusi baru sekitar 20% dari total nelayan yang ada. Kontribusi retribusi pada tahun 2004 sebesar Rp 854.190.738 jadi pemerintah daerah kehilangan pendapatan sangat besar.

Tingginya tingkat kebocoran pendapatan tersebut disebabkan karena hasil tangkapan nelayan terutama nelayan besar tidak masuk ke TPI, sementara pihak TPI tidak dapat berbuat banyak karena tidak mempunyai kewenangan, sedangkan pihak Sub Dinas Kelautan dan Perikanan dan Kepolisian sampai saat ini belum ada tindakan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa diantara kelembagaan yang ada belum terjalin koordinasi yang baik serta belum berani menerapkan saksi hukum apabila terjadi pelanggaran sesuai dengan peraturan daerah tentang kewajiban membayar retribusi.

Keberadaan Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan (BPPP) Tegal sangat membantu bagi masyarakat nelayan dalam pengembangan usahanya karena setiap nelayan mempunyai kesempatan untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan. Salah satu upaya dari BPPP Tegal untuk mengurangi tekanan di wilayah pesisir dengan banyaknya nelayan yang beroperasi yaitu dengan memberikan pelatihan dan pendidikan pada nelayan jaring arad untuk dapat menjadi nakoda. Hal ini

Dokumen terkait