• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil pengukuran logam berat merkuri pada media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. menunjukkan penurunan konsentrasi logam berat merkuri setelah diberi diatom. Hal ini menunjukkan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. memiliki kemampuan menyerap logam berat merkuri pada perairan. Hal ini sesuai dengan pendapat Das et al., (2008) yang menjelaskan bahwa Skeletonema sp. dan

Chaetoceros sp. merupakan contoh diatom yang memiliki gugus fungsi yang terdapat pada dinding sel. Gugus fungsi tersebut adalah gugus karboksilat, hidroksil, amino, sulfidril, sulfat dan fosfat. Pada dinding sel terdapat protein dan polisakarida yang dapat mengikat ion logam.

Pada kemampuan kedua diatom bila dibandingkan terlihat bahwa

Chaetoceros sp. memiliki kemampuan lebih tinggi dibandingkan dengan

Skeletonema sp. Hal ini ditunjukkan dengan persentase penurunan merkuri pada media dengan Chaetoceros sp. (D) mencapai 99,526%, sedangkan Skeletonema

sp. (C) hanya mencapai 95,896%. Hal ini sesuai dengan pendapat Moreno-Garrido

et al., (2000) yang menyatakan bahwa diatom mempunyai kemampuan yang cukup tinggi dalam pengikatan logam berat pada dinding sel (adsorbsi) dan penyerapan logam berat ke dalam sel (absorbsi). Selain diatom terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses bioremediasi yaitu pH dan suhu. Hal ini sesuai dengan pendapat Munir (2006) yang menyatakan bahwa faktor-faktor penentu kemampuan agen bioremediasi adalah sebagai berikut : enzim-enzim degradatif yang dihasilkan oleh mikroba tidak mampu mengkatalis reaksi degradasi polutan yang tidak alami, kelarutan polutan dalam air sangat rendah dan polutan terikat kuat dengan partikel-partikel organik atau partikel tanah. Pengaruh lingkungan seperti : pH, temperatur dan kelembapan tanah juga sangat berperan dalam menentukan kesuksesan proses bioremediasi.

Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang tidak diberi merkuri (A dan B) memiliki kandungan merkuri sebesar 0,0008185. Hal ini diduga pada air media yang digunakan untuk penelitian terdapat kandungan merkuri. Pada Skeletonema

sp. dan Chaetoceros sp. yang diberi perlakuan merkuri (C dan D) mengalami penurunan konsentrasi pada media yang tercemar merkuri yaitu sebesar 0,00768 (C) dan 0,009743 (D) yang tidak sesuai dengan acuan konsentrasi yang dipakai pada penelitian ini yaitu sebesar 0,06 ppm. Diduga Skeletonema sp. dan

Chaetoceros sp. sudah berinteraksi dengan merkuri yaitu terjadi ikatan antara merkuri yang bermuatan positif dengan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang bermuatan negatif. Akibat interaksi tersebut terjadi penyerapan merkuri ke dalam sel sehingga konsentrasi pada media yang tercemar merkuri menurun dengan cepat. Hal ini sesuai dengan penelitian Rahmadiani dan Aunurohim (2013) yang menyatakan bahwa pengurangan jumlah kadmium dalam air menunjukkan bahwa

Chaetoceros calcitrans diduga melakukan penyerapan (akumulasi) logam berat kadmium ke dalam sel.

Pertumbuhan diatom dalam kultur ditandai dengan banyaknya jumlah sel yang secara langsung akan berpengaruh terhadap kepadatan diatom. Pertumbuhan diatom terdiri atas empat fase yaitu fase adaptasi, fase eksponensial, fase stasioner dan fase kematian (Isnansetyo dan Kurniastuti, 1995). Pada penelitian ini, pola pertumbuhan Skeletonema sp.dan Chaetoceros sp. yang diberi perlakuan merkuri (C dan D) juga mengikuti pola umum pertumbuhan diatom tersebut. Fase adaptasi pada kedua jenis diatom tersebut terjadi pada hari ke-0 (sejak diatom ditanam sampai hari ke-1). Hal ini terlihat dari peningkatan populasi pada perlakuan C dan D (Gambar 5). Diduga konsentrasi merkuri dalam air media perlakuan C dan D merupakan nutrien yang digunakan diatom untuk menunjang pertumbuhannya. Pada perlakuan A (Skeletonema sp. tanpa diberi merkuri) terjadi penurunan populasi, sedangkan perlakuan B (Chaetoceros sp. tanpa diberi merkuri) terdapat peningkatan populasi.

Pada fase adaptasi diatom mengeluarkan energinya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, sehingga energi untuk pertumbuhan masih

terbatas. Pertambahan jumlah sel tidak terlalu banyak. Hal ini sesuai dengan pendapat Armanda (2013) yang menyatakan bahwa pada fase ini, sel diatom beradaptasi dengan medium dan lingkungan kulturnya (suhu, salinitas, pH). Diatom belum menunjukkan pertumbuhan populasi (kenaikan jumlah sel) yang nyata, karena masih dalam proses adaptasi. Pada fase adaptasi diatom sudah mulai memanfaatkan nutrien dalam jumlah yang sedikit, sehingga beberapa enzim yang terkait pembelahan selnya juga belum tersintesis dengan optimal. Hal ini juga didukung oleh pendapat Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) yang berpendapat bahwa ukuran sel pada fase adaptasi umumnya meningkat. Secara fisiologis diatom sangat aktif dan terjadi proses sintesis protein baru. Diatom yang mengalami metabolisme belum mengalami pembelahan sel, sehingga kepadatan sel belum meningkat.

Pada Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang tidak diberi merkuri (A dan B), fase eksponensial tidak terjadi (Gambar 5). Dapat dikatakan demikian karena walaupun terjadi pertambahan kepadatan populasi, tetapi peningkatannya tidak mengikuti pola eksponensial. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Armanda (2013) yang menyatakan bahwa pertumbuhan eksponensial adalah pertambahan jumlah sel yang mengalami peningkatan secara cepat. Tidak terjadinya fase eksponensial pada perlakuan A (Skeletonema sp. tanpa diberi merkuri) dan B (Chaetoceros sp. tanpa diberi merkuri) diduga disebabkan kandungan merkuri dari air media yang digunakan untuk penelitian lebih kecil daripada perlakuan C (Skeletonema sp. yang diberi merkuri dengan konsentrasi 0,06 ppm) dan D (Chaetoceros sp. yang diberi merkuri dengan konsentrasi

0,06 ppm). Kondisi ini yang menyebabkan pertumbuhan diatom pada perlakuan A dan B tidak mengalami fase eksponensial seperti pada perlakuan C dan D.

Pada perlakuan Skeletonema sp yang diberi merkuri (C) terjadi fase eksponensial, tampak dari peningkatan grafik yang tajam (Gambar 5). Pada perlakuan Chaetoceros sp. yang diberi merkuri (D), fase eksponensial terjadi dari hari ke-3 terus mengalami kenaikan sampai hari ke-5. Hal ini sesuai dengan pendapat Armanda (2013) yang mengungkapkan bahwa pada fase eksponensial, jumlah sel mengalami peningkatan secara cepat. Puncak pertumbuhan populasi diatom terjadi pada fase ini. Fase ini adalah bukti bahwa sel telah berhasil beradaptasi dan optimal dalam pemanfaatan nutriennya.

Pada perlakuan C dan D yang diberi merkuri mengikuti pola eksponensial, sedangkan pada perlakuan A dan B yang tidak diberi merkuri tidak mengikuti pola eksponensial. Hal ini diduga bahwa Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. menggunakan merkuri sebagai faktor yang menunjang pertumbuhannya. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Wahab dkk., (2012) yang menyatakan bahwa ion logam timbal (Pb) dapat menghambat pertumbuhan fitoplankton Nannochloropsis salina. Hal ini disebabkan karena ion-ion logam merupakan material toksik yang sudah tentu menghambat pertumbuhan Nannochloropsis salina.

Puncak kepadatan populasi pada Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang tidak diberi merkuri (A dan B) terjadi pada hari ke-5. Keduanya tidak menunjukkan peningkatan populasi yang tajam (A : 21,15 x 104 sel/ml dan B : 24,2 x 104 sel/ml) (Gambar 5). Pada kepadatan populasi Skeletonema sp. yang

389 x 104 sel/ml. Pada Chaetoceros sp. yang diberi merkuri (D) mencapai puncak pada waktu lebih lama (hari ke-5) dengan kepadatan 140 x 104 sel/ml. Pola pertumbuhan diatom yang lebih detil, tampak adanya fase stasioner yaitu puncak pertumbuhan yang terjadi beberapa lama (Gambar 5). Pada penelitian ini, tidak tampak adanya fase stasioner. Hal ini diduga karena fase stasioner terjadi pada waktu yang pendek (kurang dari 1 hari), sehingga tidak tampak pada pengamatan penelitian ini yang dilakukan tiap selang waktu 24 jam.

Fase penurunan pada Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. tanpa pemberian merkuri (A dan B) terjadi pada hari ke-6 sampai hari ke-7. Pada

Skeletonema sp. yang diberi merkuri (C), fase penurunan terjadi secara signifikan sejak hari ke-4 sampai hari ke-7. Pada fase kematian, terjadi penurunan jumlah sel karena terjadi kematian sel. Salah satu faktor yang mempercepat kematian ini adalah berkurangnya jumlah nutrien yang dapat menghambat pertumbuhan sel secara alami. Hal ini juga didukung oleh pendapat Rudiyanti (2011) yang menyatakan bahwa pada fase stasioner, sel tidak mengalami pertumbuhan sehingga kepadatan sel tetap. Fase berikutnya adalah fase kematian, yaitu sel mengalami kematian masal sehingga kepadatan populasi menjadi turun.

Pada Chaetoceros sp. yang diberi merkuri (D) setelah mengalami penurunan pada hari ke-6, pertumbuhan meningkat kembali pada hari ke-7 dengan kepadatan 96,9 x 104 sel/ml (Tabel 2). Terjadinya peningkatan pertumbuhan setelah penurunan pertumbuhan ini kemungkinan disebabkan adanya pertambahan nutrisi pada media dari hasil dekomposisi diatom yang telah mati. Diduga diatom yang telah mati mengalami dekomposisi pada cangkang luarnya yang terbuat dari

silikat sehingga terjadi penambahan nutrisi dari hasil dekomposisi tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian Suantika dkk., (2009) yang menjelaskan bahwa peningkatan konsentrasi silikat di dalam medium terjadi akibat Chaetoceros gracilis yang mati mengalami lisis, kemudian cangkang luar Chaetoceros gracilis

yang terbuat dari silikat mengalami dekomposisi.

Pada Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. terlihat adanya kecepatan pertumbuhan yang berbeda antara diberi perlakuan merkuri (C dan D) dengan yang tidak diberi merkuri (A dan B) (Gambar 5). Pada Skeletonema sp. dan

Chaetoceros sp. yang diberi perlakuan merkuri (C dan D), terjadi peningkatan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak diberi merkuri (A dan B). Pada Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang tidak diberi merkuri (A dan B), peningkatan pertumbuhan terjadi namun dengan jumlah yang relatif kecil bila dibandingkan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang diberi merkuri (C dan D). Hal ini diduga bahwa Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. menggunakan merkuri dalam jumlah tertentu untuk mendukung pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Darmono (1995) yang menyatakan bahwa salah satu polutan yang banyak dijumpai pada limbah cair adalah ion logam berat, walaupun keberadaan logam berat tersebut tidak selamanya berdampak buruk terhadap organisme di lingkungan. Pada konsentrasi tertentu logam berat dapat memacu pertumbuhan beberapa jenis fitoplankton, tetapi pada konsentrasi yang sama justru dapat mengakibatkan toksisitas pada jenis fitoplankton lainnya.

Kondisi ini berbeda dengan hasil penelitian Nuzzi, (1972) dalam

penelitian ini. Pada penelitian tersebut, konsentrasi merkuri sebesar 0,06 ppm mampu menghambat pertumbuhan diatom Phaeodactylum tricornutum. Bila dibandingkan dengan penelitian ini, maka diduga Skeletonema sp. dan

Chaetoceros sp. memiliki potensi untuk dapat direkomendasikan sebagai agen bioremediasi pada perairan yang tercemar merkuri sebab mampu menyerap merkuri dan mampu tumbuh lebih baik pada media dengan penambahan merkuri 0,06 ppm. Hal ini sesuai dengan pendapat Arifin dan Raya, (1997) dalam Hala dkk., (2012) yang menyatakan bahwa mikroalga umumnya memiliki mekanisme perlindungan terhadap logam beracun untuk mempertahankan kehidupannya. Mekanisme ini melibatkan pembentukan kompleks logam dengan protein dalam membran sel sehingga logam dapat terakumulasi dalam sel tanpa mengganggu pertumbuhannya. Jika konsentrasi logam demikian tinggi, akumulasi dapat menghambat pertumbuhan sel karena sistem perlindungan organisme tidak mampu lagi mengimbangi efek toksik logam.

Hasil data kualitas air selama penelitian menunjukkan bahwa kondisi parameter kualitas air media kultur seperti salinitas, suhu, pH dan DO masih berada dalam kondisi optimal (Tabel 3). Salinitas selama kultur berkisar antara 33-36 ppt, kenaikan salinitas selama penelitian terjadi karena pengaruh penguapan air. Kisaran tersebut bukan nilai optimum, namun kisaran salinitas tersebut masih dapat ditolerir oleh Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) Skeletonema sp. dapat tumbuh optimum pada salinitas 28-35 ppt, sedangkan Chaetoceros sp. dapat tumbuh optimum pada salinitas 28-30 ppt.

Suhu selama penelitian berkisar antara 31-33°C. Suhu pada penelitian menunjukkan hasil yang masih dapat ditolerir untuk Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. Hal ini sesuai dengan pernyataan Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) yang menyatakan bahwa Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25-30ºC. Diatom memiliki sifat eurytermal yaitu memiliki toleransi yang cukup luas terhadap perubahan suhu.

Hasil pengukuran pH selama penelitian berkisar antara 8,5-9. Walaupun kisaran tersebut bukan nilai optimum, namun kisaran pH tersebut masih dapat ditolerir oleh Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Armanda (2013) yang mengungkapkan bahwa Skeletonema sp. dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH 7-8. Hal ini juga tidak sesuai dengan pernyataan Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) yang menyatakan bahwa derajat keasaman optimal untuk Chaetoceros sp. berkisar antara 7-8.

Oksigen terlarut (DO) diperlukan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. untuk respirasi. Oksigen terlarut (DO) pada perairan berasal dari hasil fotosintesis dan difusi dari udara. Kadar oksigen terlarut (DO) selama penelitian adalah 5 mg/l, sehingga sudah sesuai dengan kebutuhan Skeletonema sp. dan

Chaetoceros sp. Hal ini sesuai dengan pendapat Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) yang mengungkapkan bahwa Skeletonema sp. dapat tumbuh dengan baik pada kisaran DO 4-6 mg/l. Kisaran yang optimal oksigen terlarut untuk pertumbuhan

5

VI KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait