• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Tingkat Kesesuaian Habitat a. Kerapatan Tajuk

Struktur vegetasi hutan merupakan salah satu bentuk pelindung, yang menurut peranannya bagi kehidupan satwa liar dapat dibedakan atas tempat persembunyian (hiding cover), dan tempat penyesuaian terhadap perubahan temperatur (thermal cover) (Alikodra 2002). Kondisi kerapatan vegetasi akan berpengaruh terhadap intensitas sinar surya yang sampai di lantai hutan. Keadaan ini berkaitan erat dengan kemudahan penglihatan pemangsa dan yang dimangsa. Untuk menjamin berlangsungnya hubungan pemangsaan, diperlukan keadaan kerapatan vegetasi yang optimal pada tingkat yang menguntungkan bagi keduanya (Alikodra 2002). Menurut Ewusie (1990), adanya keberagaman vegetasi dapat menekan laju perubahan suhu dan kelembaban udara pada hutan tropika.

Hasil Analisis PCA menunjukkan bahwa kerapatan tajuk adalah variabel pertama yang mempengaruhi sebaran kodok merah. Hal ini sesuai dengan karakteristik katak yang sangat membutuhkan tutupan tajuk untuk melindungi tubuhnya dari kekeringan di siang hari. Selain itu tutupan tajuk juga akan menyediakan mikro iklim yang lembab dan menyediakan tempat untuk beristirahat. Semakin besar tutupan tajuk maka semakin luas mikro habitat yang tersedia bagi katak ini. van steenis (2006) menyebutkan bahwa vegetasi terutama hutan, sangat penting peranannya bagi perbaikan iklim yang menguntungkan lahan, bagi pembentukan tanah, pencegahan erosi angin, dan pembentukan relung ekologi tertentu bagi tanaman.

Kanopi hutan dapat menciptakan iklim mikro pada daerah dibawahnya dan dapat melindungi tanah dari erosi (Pineda et al. 2005). Cromer et al. (2002) menyatakan bahwa kelimpahan katak pohon berasosiasi positif dengan penutupan tajuk.

b. Ketinggian dan Kemiringan Lereng

Kenaikan ketinggian suatu tempat, diikuti dengan penurunan dalam kekayaan jenisnya (Mackinnon 1982). Perubahan besar dalam komposisi jenis terjadi bersamaan dengan adanya peralihan dari habitat dataran rendah ke habitat pegunungan. Semakin tinggi letaknya, komposisi jenis dan struktur hutan berubah menjadi terbatas (Alikodra 2002).

Seperti di seluruh daerah di dunia, penurunan suhu akibat peningkatan elevasi akan menimbulkan efek zonasi atau efek lingkar yang kasar dalam posisi tegak seperti garis lintang dari khatulistiwa sampai kutub-kutub utara dan selatan (van steenis 2006). van steenis (2006) juga menyebutkan bahwa pembagian zonasi berdasarkan ketinggian terbentuk karena perbedaan kondisi suhu dan iklim. Hal ini mengakibatkan perbedaan komposisi baik flora dan fauna pada setiap zonasi. TNGP memiliki 3 zonasi atau tipe hutan, yaitu submontana (100-1500 mdpl), montana (1500-2400 mdpl) dan sub alpin (>2400 m dpl) (BTNGP 1996). Hutan submontana memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Seiring dengan perubahan ketinggian maka semakin berkurang keanekaragaman flora dan faunanya.

Ketinggian juga berpengaruh pada kemiringan lereng. Hasil dari analisis PCA menunjukkan bahwa pengaruh kemiringan lereng terhadap penyebaran jenis ini signifikan. Pada analisis PCA, kemiringan lereng masuk dalam komponen pertama dan merupakan variabel yang berpengaruh terhadap penyebaran kodok merah di TNGGP. Hal ini diduga dikarenakan jenis kodok merah ini hidup mengelompok pada suatu tempat/areal sehingga rata-rata kemiringan lereng habitat satu individu akan signifikan satu sama lainnya.

c. Suhu

Amfibi memiliki kisaran toleransi suhu yang besar. Perbedaan toleransi ini mengakibatkan perbedaan kebutuhan suhu yang berbeda pada lingkungannya.

Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa jenis salamander dapat ditemukan beraktivitas pada suhu sekitar 00C bahkan dibawah 00C (Duellman dan Trueb 1994), dan beberapa jenis amfibi lainnya dapat hidup diatas suhu 280C bahkan ada satu jenis amfibi yang dapat hidup pada suhu 400C yakni jenis African Foam-Nest Frog (Chiromantis) (Shoemaker et al. 1989 dalam Stebbins dan Cohen 1995). Dari penelitian lapangan diperoleh kodok merah hidup padan suhu 16 – 17 0C.

d. Jarak dari Sungai/Sumber Air

Amfibi hidup di dua alam. Sebagian hidupnya berada di lingkungan berair dan sebagian lagi hidup di darat. Dalam masa perkembangbiakan dari berudu sampai katak berkaki kebanyakan ordo anura hidup di dalam air. Heyer et al.

(1994) menyatakan bahwa kebanyakan dari larva amfibi hidup di habitat akuatik, termasuk air yang mengalir (sungai besar dan kecil), air yang tidak mengalir (kolam dan danau), serta tempat lainnya seperti lubang pohon, ketiak daun, dan lainnya. Larva anura yang hidup di terestrial biasanya menempati daerah dengan iklim mikro yang mengandung kelembaban tinggi seperti lumut, di bawah atau di dalam kayu yang membusuk dan di lubang pohon. Selama di dalam air, larva bernafas dengan insang dan akan bernafas dengan paru-paru ketika sudah keluar dari air menuju darat. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi air buat kehidupan amfibi khususnya katak dan sedikit sekali yang berada lebih dari 10 m dari sungai. 2. Preferensi Habitat

Hasil analisis Chi-square ternyata adanya pemilihan habitat oleh kodok merah, karena dari lima lokasi penelitian ternyata tiga lokasi yang lebih disenangi kodok merah adalah Curug Cibeureum, Rawa Denok dan Rawa Gayonggong. Lebak Saat dan Bedogol tidak disenangi sama sekali. Nilai 2hit > 2(0.05,k-1), yaitu >

9,49 terdapat pemilihan habitat tertentu oleh kodok merah.

Menurut laporan MZB dalam penelitian Kusrini et al. (2007c) kodok merah pernah ditemukan di Lebak Saat. Saat penelitian dilakukan kodok merah ini tidak ditemukan lagi. Diduga faktor yang mempengaruhi keberadan kodok merah di lokasi ini adalah subsrat. Persentase adanya subsrat batu di Lebak Saat

hanya sekitar 8 % sedangkan pada lokasi Rawa Denok 65%, Rawa Gayonggong 50% dan Curug Cibeureum 100%. Menurut Liem (1971), habitat kodok merah yang terdapat di Taman Nasional Gunung Gede Pengrango merupakan sungai- sungai kecil berbatu. Kurniati (2003) juga menyatakan bahwa habitat tempat ditemukannya kodok merah di daerah Cikeris adalah kantung-kantung air dari sungai berbatu.

Hasil dari analisis faktor, diketahui faktor yang mempengaruhi frekuensi perjumpaan kodok merah adalah jarak jalur manusia (p < 0,1). Jarak jalur manusia dengan frekuensi perjumpaan kodok merah berkisar antara 117,0-303,8 m (Rawa Denok), 1,5-3,5 m (Rawa Gayonggong), 22-40 m (Curug Cibeureum). Jarak jalur manusia cukup beragam, karena manusia di Curug Cibeureum tidak terlalu jauh hanya berkisar antara 22 – 40 meter. Diduga jenis kodok merah adalah jenis kodok yang dapat berasosiasi dengan manusia tetapi tidak bergantung kepada manusia. Sudrajat (2001), membagi amfibi menurut perilaku dan habitatnya menjadi 3 grup besar yaitu : 1). Jenis yang terbuka pada asosiasi dengan manusia dan tergantung pada manusia, 2). Jenis yang dapat berasosiasi dengan manusia tapi tidak tergantung pada manusia, 3). Jenis yang tidak berasosiasi dengan manusia.

Jarak manusia menjadi sangat berpengaruh terhadap pertemuan kodok merah karena pada lokasi yang dekat dengan jalur manusia memiliki memiliki tutupan tajuk yang lebih terbuka. Kusrini et al. (2007c) melaporkan jenis makanan kodok merah yang ditemukan dalam perut terdiri dari 60,38% jenis semut. Menurut Hölldobler & Wilson (1990), semut juga memiliki peran sebagai organisme yang membantu siklus nutrisi dan hara di dalam tanah. Semut merupakan kelompok hewan darat yang mendominasi daerah tropis dan dapat menjadi indikator kerusakan hutan (Andersen 1997). Hasil pengamatan lapangan, jarak terdekat antara jalur manusia dengan lokasi penelitian adalah Rawa Gayonggong, tapi di lokasi ini hanya sedikit ditemukan kodok merah, diduga faktor yang sangat mempengaruhi adalah faktor arus sungai. Rawa Gayonggong termasuk pada sungai yang berarus lambat yaitu dengan kecepatan 17-20 cm/dtk. Menurut Macan (1974) sungai berarus lambat adalah sungai dengan kecepatan 10- 25 cm/dtk. Curug Cibeureum termasuk pada sungai yang berarus deras dengan

kecepatan sekitar 50-56 cm/dtk, sedangkan arus sungai di Rawa Denok termasuk pada sungai berarus deras dengan kecepatan 63-83 cm/dtk. Macan (1974) menyatakan sungai berarus deras adalah sungai dengan kecepatan 50-100 cm/dtk. Menurut Liem (1971), habitat kodok merah yang terdapat di Taman Nasional Gunung Gede Pengrango merupakan sungai-sungai kecil berbatu yang berarus cukup kuat. Kurniati (2003) juga menyatakan bahwa habitat tempat ditemukannya kodok merah di daerah Cikeris adalah kantung-kantung air dari sungai berbatu dengan arus cukup deras. Iskandar (1998) menyatakan bahwa kodok merah menyukai sungai dengan arus deras. Hal ini dikarenakan amfibi merupakan satwa ektoderm dan mempunyai permukaan tubuh yang permeabel yaitu mudah menyerap cairan yang ada di sekitarnya dan mudah menguapkan cairan, sehingga mereka lebih mudah terpengaruh lingkungan yang berubah-ubah dibandingkan dengan makhluk berkaki empat (tetrapods) lainnya (Duellman & Trueb 1994). Menurut Dole & Durant (1974), kebanyakan amfibi ditemukan berpindah ke air pada saat sudah siap untuk kawin. Pelepasan telur harus dilakukan cepat karena tidak ada pasangan yang ampleksus (kawin) yang dijumpai di sungai lebih dari sekali. Selain itu, juga terdapat katak yang menyimpan telurnya di lubang berair pada tanah kayu dan tanah, di punggung betina atau membawanya ke daerah dekat air (Duellman & Trueb 1994).

Faktor lain yang diduga mempengaruhi frekuensi ditemukannya kodok merah adalah lebar sungai. Kodok merah meletakan telur pada tepi-tepi sungai yang memiliki arus kecil bahkan lebih cederung pada air tergenang

Subsrat diduga juga mempengaruhi frekuensi ditemukannya kodok merah. 100 % kodok merah ditemukan pada subsrat batu pada lokasi penelitian Curug Cibeureum. Pada lokasi Rawa Denok dan Rawa Gayonggong kodok merah ditemukan 65 % dan 50 % pada subsrat batu. Hasil uji chi-squere antara lokasi ditemukannya kodok merah dengan lokasi tidak di temukannya kodok merah. Liem (1971) menyatakan habitat kodok merah yang terdapat di Taman Nasional Gunung Gede Pengrango merupakan sungai-sungai kecil berbatu dan Kurniati (2003) juga menyatakan bahwa habitat tempat ditemukannya kodok merah di daerah Cikeris adalah kantung-kantung air dari sungai berbatu.

Vegetasi diduga juga mempengaruhi ditemukannya kodok merah. Hasil analisis regresi logistik metode forward stepwise terhadap keseluruhan variabel didapatkan bahwa jenis vegetasi yang sangat berpengaruh terhadap kehadiran kodok merah. Vegetasi yang memiliki taraf nyata secara statistika (p < 0,05) adalah Bryopsida, Marumia mucosa, Pilea trinervia dan Piper aduncum.

Dari lima lokasi penelitian, dapat dilihat bahwa frekuensi ditemukannya kodok merah tertinggi adalah di Curug Cibeureum yaitu sekitar 1650 m dpl dengan rata-rata ditemukannya kodok merah berkisar 13-20 ekor. Frekuensi ditemukannya kodok merah di Rawa Denok adalah 5-19 ekor. Di lokasi penelitian Lebak Saat yang memiliki ketinggian 2300-2400 mpl dan Bedogol dengan ketinggian 600-700 mdpl tidak ditemukan kodok merah sama sekali. Kusrini et al. (2007c) menyatakan MZB pernah melaporkan bahwa kodok merah ditemukan di Lebak Saat tahun 1964, tapi pada saat ini tidak pernah lagi ditemukan jenis ini. Menurut Skerratt et al. (2007), diduga karena penyakit Batrachochytrium dendrobatidis (Bd) penurunan populasi amfibi berhubungan dengan suhu yang lebih dingin di tempat lain di dunia, Kusrini et al. (2008) menyatakan dari sampel yang diujikan terdapat satu sampel yang terinfeksi Bd.

Suhu merupakan faktor yang penting di wilayah biosfer, karena pengaruhnya sangat besar pada segala bentuk kehidupan. Beberapa kegiatan organisme seperti reproduksi, pertumbuhan dan kematian dipengaruhi oleh suhu lingkungannya (Alikodra 2002). Di samping itu, suhu pada umumnya mempengaruhi perilaku satwaliar serta berpengaruh terhadap ukuran tubuh serta bagian-bagiannya (Alikodra 2002). Organisme berdarah panas yang memiliki organ yang dapat memproduksi dan mengelola suhu tubuhnya seperti mamalia biasanya beraktivitas di siang hari sedangkan organisme yang tidak memiliki mekanisme khusus pengaturan suhu tubuhnya biasanya beraktivitas pada malam hari (nokturnal) seperti pada amfibi dan sebagian dari kelas reptil.

Kebanyakan amfibi dapat beraktivitas pada kondisi suhu yang beragam. Banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan suhu pada amfibi, tergantung pada jenis, umur dan fase kehidupan, serta pengalaman suhu harian pada masing- masing individu yang berbeda (Stebbins dan Cohen 1995). Suhu pada amfibi dipengaruhi oleh lingkungannya karena amfibi tidak memiliki organ khusus untuk

memproduksi panas dan mengatur panas pada tubuhnya. Oleh karena itu suhu juga mempengaruhi kehidupan dan penyebaran amfibi. Suhu di lokasi penelitian berkisar 14-22,8 °C. Menurut Goin et al. (1978), katak memiliki toleransi suhu antara 3 °C sampai dengan 41°C, sehingga kisaran suhu udara yang diperoleh di lokasi penelitian dapat mendukung kehidupan amfibi.

Kelembaban udara suatu tempat ditentukan oleh perbandingan kandungan uap air aktual dengan kapasitas udara untuk menampung uap air (Rushayati & Arief 1997). Rushayati dan Arief (1997) juga menyatakan bahwa kandungan uap air aktual ditentukan oleh ketersediaan air serta energi (radiasi surya) untuk menguapkannya. Pada keadaan dimana kondisi uap air aktual relatif konstan, peningkatan suhu udara yang disebabkan peningkatan penerimaan radiasi surya akan menyebabkan peningkatan kemampuan udara untuk menampung uap air, sehingga mengakibatkan penurunan kelembaban udara (kelembaban nisbi). Kelembaban yang diperoleh di lokasi penelitian adalah berkisar 79-91%. Tahun 2007 menurut Kusrini et al. (2007a), kelembaban udara di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango berkisar antara 43-100%.

Jarak rata-rata ditemukannya kodok merah dari permukaan air adalah 0,1 – 0,6 meter. Jarak yang relatif dekat dengan permukaan tanah sangat berhubungan dengan jarak rata-rata ditemukannya kodok merah dari sumber air. Secara keseluruhan bobot tubuh katak 70-80 % mengandung air (Duelman & Trueb 1994).

Menurut Liem (1971), kodok merah aktif pada malam hari, tapi kadang- kadang mereka dijumpai mencari makan di bawah rimbunan semak tepi sungai pada siang hari. Amfibi biasanya tergantung pada air dan umumnya menempati lingkungan yang berlawanan dengan fisiologi dasarnya.

e. Sumber-Sumber Bias

Di dalam analisis spasial model kesesuaian habitat kodok merah terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan kemungkinan terjadinya error atau data kurang akurat. Faktor tersebut disebut bias. Sumber-sumber bias tersebut diantaranya :

1. Topografi

Kondisi TNGGP yang berbukit dan bergunung-gunung menyebabkan terjadinya perbedaan penerimaan cahaya matahari di permukaan bumi, dimana efek topografi yang terjal akan membuat obyek ternaungi oleh bayangan topografi tersebut. Sementara obyek yang berada pada kondisi topografi datar atau terkena sinar matahari langsung tak akan mendapat efek naungan. Perbedaan topografi akan memberikan efek perbedaan persentasi pencahayaan suatu obyek oleh matahari.

Perbedaan efek naungan akibat perbedaan topografiini berdampak pada perbedaan nilai poksel obyek yang sama pada pencahayaan yang berbeda. Demikian pula halnya yang terjadi dengan vegetasi. Vegetasi yang samaakan memiliki nilai piksel yang berbeda jika terdapat perbedaan antara kondisi ternaungi atau terbuka pada suatu perekaman.

Untuk memperkecil kesalahan interpretasi akibat perbedaan topografi, maka dilakukan pendekatan pendekatan penggunaan ratio dalam menentukan pola penutupan vegetasi suatu areal.

2. Jumlah dan distribusi kodok merah

Jumlah titik pertemuan kodok merah sangat terbatas yaitu 97 titik pertemuan dengan distribusi yang tidak merata (mengelompok). Distribusi kodok merah hanya pada areal tertentu saja (Rawa Denok, Rawa Gayonggong dan Curug Cibeureum). Akibatnya model yang dibangun sangat terbatas dan lingkupnya sangat kecil dan sempit.

3. Penentuan titik sebaran kodok merah

Letak titik sebaran kodok merah dapat ditentukan melalui survei langsung ke lapang dan mencatat titik-titik geografis kodok yang ditemukan dengan menggunakan GPS. Keakuratan posisi kodok merah sangat ditentukan oleh keadaan penutupan vegetasi, dimana kondisi daerah dengan penutupan tajuk yang rapat dapat menyebabkan gangguan penerimaan sinyal sehingga dapat mengakibatkan bergesernya titik keberadaan kodok. Hal serupa juga ditemukan dalam penelitian rusa di Kolombia (Apps & Kinley 2000). Selain itu, penerimaan sinyal juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat, dimana pada daerah dengan

elevasi yang tinggi akan mendapatkan sinyal yang lebih baik (Apps & Kinley 2000). Pada penelitian ini akurasi model GPS yang digunakan berkisar antara 4- 28 m.

4. Variabel mikro habitat lainnya

Selain kelima variabel (suhu, kerapatan tajuk, jarak dari sumber air, ketinggian dan kemiringan lereng), masih banyak faktor lain yang berpengaruh terhadap keberadaan kodok merah. Hal ini disebabkan karena amfibi menempati mikro habitat tertentu dengan variabel seperti kualitas air, tanaman air tertentu, kedalaman air dan pH air, akan tetapi variabel tersebut sampai saat ini belum dapat dianalisis secara spasial.

f. Ancaman Terhadap Habitat Kodok Merah

TNGGP merupakan kawasan yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan di Indonesia. Tidak kurang dari 30.000 pengunjung tiap tahunnya datang ke kawasan ini (Whitten et al. 1996). Hal ini mengakibatkan terjadinya beberapa masalah seperti pembuangan sampah dan perusakan habitat. Oleh karena itu, pihak pengelola mengambil langkah dengan menambah rute menuju puncak Gede dan Pangrango (Whitten et al. 1996) sehingga pengunjung tidak menumpuk di satu lokasi atau rute. Akan tetapi dengan banyaknya rute ini menyebabkan banyak pengunjung ilegal dan masyarakat lokal yang masuk ke dalam kawasan tanpa diketahui petugas untuk mengambil hasil hutan baik flora atau faunanya dan kemudian dijual ke wisatawan (Whitten et al. 1996).

Beberapa lokasi yang menjadi habitat bagi kodok merah seperti di daerah Rawa Gayonggong dan Curug Cibeureum merupakan lokasi yang menjadi daya tarik wisata alam. Daerah ini merupakan bagian dari zona pemanfaatan TNGGP. Hal ini memungkinkan terjadinya kerusakan habitat baik yang disebabkan oleh pengunjung maupun penduduk lokal yang masuk ke dalam kawasan. Dari laporan BTNGP (2003) beberapa masalah yang dapat mengancam kelestarian satwa liar dan habitatnya khususnya jenis kodok merah ini di TNGGP antara lain :

1. Penebangan liar, masih dilakukan oleh sebagian masyarakat sekitar hutan meskipun dengan frekuensi yang relatif kecil. Penebangan liar dilakukan untuk kebutuhan pembuatan gubug pertanian, bahan mebel, bahan/ alat rumah tangga, bahan bangunan rumah dan kayu bakar. Hal ini dapat merusak habitat

kodok merah karena kurangnya tegakan akan mempengaruhi naungan yang sangat dibutuhkan bagi kodok merah.

2. Pencemaran lingkungan (sampah dan vandalisme) sebagai dampak dari adanya pengunjung. Sampah yang dapat mencemari habitat kodok merah ini khususnya sampah anorganik seperti plastik, kaleng, bahkan sabun dan bahan lainnya yang dapat mencemari air akan dapat meracuni larva atau berudu yang hidup di air.

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1. Habitat dengan tingkat kelas kesesuaian tinggi mempunyai luas yaitu

653,625 ha, tingkat kesesuaian habitat rendah mempunyai luas 16.077,847 ha dan tingkat kesesuaian sedang mempunyai luas 7.666,023 ha.

2. Faktor dominan yang mempengaruhi ditemukannya kodok merah adalah Jarak dari jalur manusia/patroli dengan memperhatikan faktor-faktor lain yaitu faktor arus sungai, faktor subsrat dan faktor vegetasi.

Dokumen terkait