• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada penelitian ini kelompok usia yang paling banyak ditemukan baik pada pegawai maupun supir angkot adalah kelompok usia 21-30 tahun, yaitu 29,4% pada pegawai dan 31,9% pada supir angkot, dengan tingkat pendidikan SMP/SMA. Pada responden perokok, kelompok pegawai telah merokok 1-10 tahun (52,9%) dengan jenis rokok putih (41,2%), sedangkan pada supir angkot telah merokok 10-20 tahun (58,2%) dengan jenis rokok kombinasi (58%). Seluruh responden perokok pada penelitian ini adalah laki-laki, di mana hasil penelitian ini mirip dengan penelitian Artana di Panglipuran (Bali) bahwa 98,6% berjenis kelamin laki-laki dan hanya 1,4% berjenis kelamin perempuan. Beberapa faktor sosial dan adat menjadi penyebab mengapa perempuan di negara Asia lebih sedikit merokok dibandingkan Eropa dan Amerika.41

Perubahan kondisi rongga mulut yang paling banyak ditemukan pada perokok adalah stain gigi dan melanosis yaitu masing-masing 89,6% dan 88%, penyakit periodontal 42,4%, karies gigi spesifik 37,6% dan keratosis perokok 0,8% (Tabel 9). Tingginya persentase stain gigi, melanosis dan penyakit periodontal mungkin disebabkan kebiasaan perokok yang tidak pernah berkunjung ke dokter gigi karena stain gigi tidak dapat dibersihkan hanya dengan menyikat gigi, sedangkan melanosis terjadi akibat endapan kandungan asap rokok pada mukosa sehingga pigmentasi mukosa akan terus terjadi selama seseorang masih merokok. Persentase karies gigi spesifik yang cukup tinggi mungkin disebabkan karena 16,8% merokok dengan rokok kretek dan 56,8% merokok dengan rokok kombinasi dan 8% yang merokok >30 batang/hari. Diketahui bahwa rokok kretek mengandung zat aktif eugenol berkadar tinggi di mana eugenol dapat masuk ke lubang mikro email gigi dan menyebabkan karies gigi. Keadaan ini akan semakin parah bila merokok lebih dari 15 tahun dan lebih dari 18 batang/hari.30

Berdasarkan hasil penelitian ini, kategori tingkat ketergantungan responden terhadap kebiasaan merokok lebih banyak terletak pada kategori sedang yaitu 66,4%, diikuti kategori rendah 20,8% dan kategori tingkat ketergantungan merokok tinggi sebanyak 12,8% (Tabel 11). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Postolache dimana tingkat ketergantungan merokok tinggi sebanyak 76,6%, sedang 23% dan rendah 0,4%.42 Perbedaan ini mungkin disebabkan karena 53,8% keluarga responden Postolache juga perokok, sehingga mungkin keluarga mereka kurang memberikan dorongan untuk berhenti merokok, sedangkan pada penelitian ini dorongan keluarga mempengaruhi motivasi berhenti merokok sebanyak 85,6%.

Bila dilihat berdasarkan pekerjaan, kelompok pegawai berada pada kategori tingkat ketergantungan merokok sedang (50%) sampai rendah (44,1%). Pada kelompok supir angkot, kategori tingkat ketergantungan merokok sedang (72,5%) sampai tinggi (15,4%). Perbedaan ini disebabkan karena pada kelompok pegawai, jumlah rokok yang dihisap 11-20 batang/hari dan telah merokok 1-10 tahun (52,9%), sedangkan pada supir angkot umumnya juga merokok 11-20 batang/hari tetapi ada yang merokok >30 batang/hari (11%) dan telah merokok 10-20 tahun (58,2%). Secara teoritis, tingkat ketergantungan merokok dipengaruhi oleh jumlah rokok dan lama merokok yang pada akhirnya mempengaruhi kadar nikotin dalam tubuh.43+ Selain itu hal ini juga disebabkan karena pada supir angkot lebih banyak merokok saat bekerja (61,5%), bangun tidur segera merokok (27,5%) dan bahkan pada saat sakit masih merokok (63,7%), sementara pada pegawai lebih banyak merokok saat istirahat (70,6%), merokok >30 menit setelah bangun tidur (50%) dan tidak merokok saat sakit (61,8%).

Tingkat ketergantungan merokok pada setiap kelompok usia terletak pada kategori sedang (Tabel 12). Broms (cit Artana) dalam penelitiannya tidak mendapatkan hubungan faktor usia dengan tingkat ketergantungan.41

Kategori tingkat motivasi berhenti merokok terletak pada kategori sedang yaitu 57,6%, tinggi 22,4%, dan rendah 20% (Tabel 14). Hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan penelitian Bock dkk dimana 61,6% terletak pada kategori tingkat motivasi tinggi, 27,9% sedang dan 10,4% rendah.44 Perbedaan ini mungkin

disebabkan penelitian Bock dkk dilakukan pada responden yang memiliki riwayat penyakit pernapasan, sementara pada penelitian ini tidak diketahui apakah responden memiliki riwayat penyakit pernapasan.

Bila dilihat berdasarkan pekerjaan, persentase pegawai yang memiliki tingkat motivasi berhenti merokok tinggi sebanyak 44,1%, sedang 44,1%, dan rendah sebanyak 11,8%, sedangkan pada supir angkot 62,6% memiliki tingkat motivasi berhenti merokok sedang, 23,1% rendah dan 14,3% tinggi (Tabel 14). Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Kumboyono pada tenaga kesehatan dan non kesehatan di RSU Sangatta, di mana 57% tenaga kesehatan memiliki motivasi berhenti merokok tinggi diikuti 43% yang mempunyai motivasi berhenti merokok rendah. Pada tenaga non kesehatan 94% memiliki tingkat motivasi berhenti merokok sedang dan hanya 6% yang mempunyai motivasi berhenti merokok tinggi.43 Hal ini mungkin disebabkan karena pada pegawai sebanyak 35,3% telah mengurangi jumlah rokok yang dihisap dan 2,9% berencana berhenti merokok sebulan lagi, sedangkan pada supir angkot ada yang tidak pernah berfikir untuk berhenti merokok dan tidak bisa hidup tanpa rokok yaitu sebanyak 4,4% dan ada yang memutuskan untuk tidak berhenti merokok yaitu sebanyak 5,5%. Selain itu mungkin disebabkan karena pegawai bekerja pada institusi pendidikan yang tidak memungkinkan merokok di sembarang tempat, sedangkan supir angkot memungkinkan mereka merokok sepanjang melakukan pekerjaannya karena tidak ada larangan merokok di dalam angkot. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi motivasi berhenti merokok dimana semakin rendah pendidikan seseorang maka pengetahuan yang dimiliki juga kurang sehingga memiliki persepsi yang kurang baik tentang penyakit akibat merokok dan manfaat berhenti merokok sehingga menyebabkan rendahnya motivasi untuk berhenti merokok.43

Pada penelitian ini faktor yang mempengaruhi motivasi perokok yang masih aktif untuk berhenti merokok adalah harga rokok 95%, diikuti dorongan keluarga 85%, kesehatan umum 74,2%, dan nasehat dokter gigi 13,3% (Tabel 16& Tabel 17). Namun pada mantan perokok, motivasi berhenti merokok adalah karena alasan kesehatan 80% dan keimanan 20% (Tabel 18). Hasil penelitian Hyland juga

menyatakan faktor yang sama, yaitu alasan kesehatan 92%, biaya yang dikeluarkan akibat merokok 59%, kesehatan keluarga 56%, nasehat dokter gigi 50%, ajakan teman dan keluarga 47%, dan larangan merokok di tempat kerja 20%.12 Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa pada perokok aktif, faktor yang paling berpengaruh adalah faktor ekstrinsik yaitu harga rokok, sedangkan pada mantan perokok adalah faktor intrinsik yaitu kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa perokok akan semakin mudah berhenti merokok apabila kesehatannya terganggu akibat banyaknya jumlah rokok yang dihisap, sehingga perokok akan berusaha keras untuk mengurangi jumlah rokok yang dikonsumsi atau langsung berhenti merokok.44 Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Szwed dkk. di mana 57% perokok termotivasi berhenti merokok dengan alasan kesehatan.7

Sebanyak 52% (Tabel 17) responden menyatakan bahwa peraturan pemerintah mengenai larangan merokok di tempat-tempat umum mempengaruhi motivasi mereka untuk berhenti merokok. Hal ini menunjukkan bahwa apabila perokok tidak diberikan kesempatan dan ruang untuk merokok maka mereka akan berusaha untuk tidak merokok.

Label peringatan di bungkus rokok pada penelitian ini mempengaruhi motivasi berhenti merokok sebanyak 21,6% (Tabel 17). Hasil penelitian ini sedikit lebih rendah daripada hasil penelitian Hammond di Kanada yaitu 44% responden termotivasi berhenti merokok setelah melihat label peringatan di bungkus rokok.35 Perbedaan ini mungkin disebabkan karena di Kanada label peringatan bungkus rokok berukuran lebih besar dan disertai dengan gambar efek merokok yang membuat perokok enggan untuk merokok. Di Indonesia label peringatan di bungkus rokok masih berupa tulisan dan berukuran lebih kecil.

Pada penelitian ini dokter gigi yang memberikan nasehat hanya 13,6% (Tabel 17). Hasil penelitian ini sedikit lebih rendah daripada penelitian Vaithilingam di Malaysia dimana 34,7% dokter gigi memberikan nasehat berhenti merokok.46 Perbedaan ini mungkin disebabkan karena belum adanya peraturan yang mewajibkan dokter gigi untuk memberikan pelayanan mengenai berhenti merokok (smoking

cessation) atau mungkin juga disebabkan karena ketidaktahuan dokter gigi mengenai

Dokumen terkait