• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan merupakan tindakan bijak untuk menanggulangi kekurangan bibit sawit di Indonesia. Namun tanaman- tanaman hasil kultur jaringan menghasilkan bunga abnormal atau bunga mantel 0-17% pada tujuh klon. Secara umum tanaman tidak memperlihatkan perubahan morfologi yang lain. Perubahan morfologi nampak pada bunga betina, bunga jantan dan buah. Staminode (stamen rudimenter) pada bunga betina terinduksi menjadi karpel pada bunga betina, sedangkan stamen pada bunga jantan berubah menjadi struktur seperti karpel atau terjadi feminisasi. Bunga betina abnormal berkembang menjadi buah abnormal.

Hasil penelitian secara visual menunjukkan bahwa organ bunga kelapa sawit yang menyusun satu individu bunga berada pada enam posisi lingkaran bunga, dan secara mikroskopis menurut Hartley (1977) terdiri dari tujuh posisi lingkaran bunga dimana posisi keenam adalah stamen rudimenter yang berubah menjadi karpel. Sedangkan Adam et al. (2005) menempatkan identitas lingkaran organ bunga pada kelapa sawit secara mikroskopis, yaitu organ bunga betina tersusun atas empat lingkaran bunga meliputi lingkaran pertama dan kedua adalah perhiasan bunga atau tepala, lingkaran ketiga adalah enam staminode (stamen rudimenter) dan lingkaran keempat ditempati oleh tiga karpel. Sedangkan organ bunga jantan tersusun atas perhiasan bunga pada lingkaran pertama, stamen pada lingkaran kedua dan gimnosium rudimenter pada lingkaran ketiga.

Kasus feminisasi kelapa sawit pada kedua seks tersebut menurut beberapa peneliti berhubungan dengan hipometilasi. Metilasi meregulasi ekspresi gen pada jaringan spesifik yang diduga terlibat dalam pembentukan bunga abnormal (mantel) pada kelapa sawit. Kasus perubahan staminode/stamen menjadi karpel kemungkinan melibatkan gen-gen kelas B dalam MAD Box. Apabila stamen berubah menjadi karpel berarti tidak berperannya gen-gen kelas B, maka akan berakibat pula pada perubahan kelopak menjadi tajuk. Fungsi gen kelas B conserve antara monokotil dan dikotil (Whipple et al. 2004). Stamen pada kelapa

sawit berubah menjadi karpel namun tidak diikuti dengan perubahan kelopak menjadi tajuk apabila tidak berperannya gen kelas B.

Adam et al. (2007) menjelaskan gen-gen yang terlibat dalam pembentukan organ individu bunga kelapa sawit. Didapatkan dua gen yaitu EgDEF1 dan EgGLO2 berperan sebagai gen kelas B. Gen EgDEF1 terekspresi pada staminode dan tajuk pada bunga betina, dan terekspresi pada stamen dan tajuk pada bunga jantan. Gen EgGLO2 terekspresi pada kelopak dan tajuk pada bunga betina, sedangkan pada bunga jantan gen ini terekspresi pada kelopak, tajuk dan stamen. Pada kasus bunga abnormal, kedua gen ini terekspresi namun berkurang ekspresinya.

Ditinjau dari gen-gen yang terlibat dalam pembentukan organ bunga maka terdapat banyak gen yang terekspresi tumpang-tindih dalam menentukan suatu organ bunga pada tanaman dikotil maupun monokotil. Contoh kasus pada Arabidopsis, diuraikan oleh Zahn et al. (2005) bahwa pembentukan petal melibatkan gen kelas A, B dan E meliputi AP1, PI/AP3 dan SEP, sedangkan stamen melibatkan gen kelas B, C, dan E meliputi PI/AP3, AG dan SEP. Pada kasus abnormal bunga kelapa sawit kemungkinan melibatkan gen-gen lain, selain gen EgDEF1 dan EgGLO2 yang dikelompokkan oleh Adam et al. (2007) sebagai gen kelas B.

Alwee et al. (2006) mengatakan bahwa beberapa hormon ditemukan turut mempengaruhi ekspresi gen MAD box. Giberelin mengontrol identitas meristem pada mutan ap2 dan ap 1 Arabidopsis (Okamuro et al. 1997), perlakuan auksin eksogenous menyebabkan bunga betina berubah menjadi jantan (Hamdi et al. 1987), etilen merupakan regulator penentuan seks pada Cucumis sativus dan C. Melo (Byers et al. 1972).

Perubahan morfologi bunga ini berkembang terus sampai pada tingkat buah dengan tingkat abnormalitas yang berbeda. Perbedaan didasarkan pada kedudukan karpel tambahan terhadap karpel utama, keadaan mesokarp dan keberadaan biji. Didapatkan lima tingkat abnormalitas buah dari tanaman hasil kultur jaringan yaitu normal, abnormal ringan (AbR), abnormal berat (AbB), abnormal sangat berat 1 (AbSB1) dan abnormal sangat berat 2 (AbSB2). Tanaman yang menghasilkan buah AbR dan AbB sekitar 5.6% sedangkan AbSB 4.9% dari 143

tanaman. Keabnormalan pada buah kelapa sawit ini menjadi masalah penting karena dapat menurunkan produktivitas. Eeuwens et al. (2002) mengatakan bahwa produktivitas buah abnormal menurun karena buah yang terbentuk biasanya gugur selama dalam perkembangan.

Seberapa menurunnya produksi minyak akibat abnormalitas buah tersebut serta apakah semua tanaman yang menghasilkan buah abnormal akan menghasilkan minyak yang rendah. Menjadi pertanyaan kritis untuk dijawab dalam rangka pengembangan selanjutnya kelapa sawit hasil kultur jaringan. Hasil penelitian kandungan minyak menunjukkan bahwa tidak semua buah yang abnormal mempunyai kandungan minyak rendah seperti pada buah AbR dan AbB dengan kandungan minyak cenderung sama dengan buah normal, serta mempunyai mesokarp tebal berdaging yang nampak melalui bobot bahan kering yang rendah. Kandungan minyak yang tinggi pada kedua tipe buah abnormal ini didukung oleh kandungan malonil-KoA yang tinggi dibandingkan dengan asetil- KoA sebagai bukti bahwa ensim asetil-KoA karboksilase (ACCase) dalam buah aktif mengkatalisis asetil-KoA menjadi malonil-KoA. Namun terjadi sebaliknya pada buah abnormal sangat berat (AbSB), diduga tidak aktifnya ensim ACCase dalam buah AbSB berhubungan dengan mulai membusuknya buah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa buah AbR dan AbB menghasilkan biji sehingga dapat menghasilkan minyak kernel jika dibandingkan dengan buah sangat berat yang tidak berbiji. Namun minyak pada kedua tipe buah abnormal tersebut perlu dianalisis kualitas dan kuantitas minyak pertandan buah segar, serta bobot kering mesokarp perbuah. Selain itu fenotipik dari kedua buah abnormal tersebut bukan fenotipik yang ideal kemungkinan tidak dapat digunakan dalam prosesing minyak karena tidak sesuai dengan prototipe mesin.

Fenotip buah abnormal biasanya ditemukan pada awal reproduksi kelapa sawit yang diperbanyak dengan benih, namun menjadi stabil berbunga dan berbuah normal pada umur 2.5 tahun (Lubis 1992). Tregear et al. (2002) mengatakan fenomena tersebut merupakan epigenetik, dengan kenyataan bahwa fenotip ini dapat kembali menjadi normal di lapangan. Perubahan epigenetik adalah perubahan pada metilasi DNA genom, suatu fenomena yang berhubungan dengan variasi somaklonal (Kaeppler & Phillips 1993b).

Hasil penelitian mendapatkan adanya fenomena hipometilasi pada jaringan daun, dan hipermetilasi pada jaringan bunga pada semua tanaman berbunga abnormal dibandingkan dengan jaringan yang sama pada tanaman normal. Dua fenomena yang berbeda namun menunjuk pada morfologi bunga abnormal yang sama yaitu organ bunga jantan terinduksi menjadi struktur seperti organ bunga betina (karpel). Selain itu, adanya peningkatan metilasi sitosin hanya 0.69% pada jaringan bunga AbSB1 dan 2.66% pada AbB sama-sama menunjuk pada bentuk morfologi abnormal yang sama. Diduga kejadian bunga/buah mantel tidak berhubungan langsung dengan perubahan metilasi pada gen-gen pembungaan. Sejumlah peneliti membuktikan terjadi hipometilasi pada bunga abnormal (Jaligot et al. 2000 ; Matthes et al. 2001; Jaligot et al. 2002 ; Kubis et al. 2003; http://www.actahort.org/books/530l/530_52.html; Jaligot et al. 2004) yang dideteksi pada jaringan kalus dan daun. Namun Shah dan Ahmed-Parveez (1995) mendapatkan fenomena berbeda yaitu hipermetilasi pada tanaman berbunga abnormal tersebut. Dua fenomena metilasi DNA yang berbeda menunjuk pada morfologi bunga abnormal.

Perubahan metilasi DNA berdampak pada perubahan ekspresi gen dan secara global ditingkat kromosom. Perubahan pada ekspresi gen melalui terhalangnya faktor transkripsi dan ensim DNA polimerase terikat pada situs target. Perubahan sitosin (C) menjadi timin (T) merupakan fenomena mutasi titik akibat perubahan metilasi. Sedangkan perubahan pada tingkat kromosom terutama pada daerah heterokromatin, yang kuat termetilasi karena struktur kompak/kondens dari kromatin. Kaeppler dan Phillips (1993b) mengatakan bahwa perubahan metilasi DNA berakibat pada perubahan struktur kromatin melalui terlambatnya replikasi heterokromatin dalam kultur jaringan sehingga terjadi pematahan kromosom. Pada tanaman, kehilangan metilasi juga dapat menyebabkan aktivasi pergerakan transposon dengan konsekuensi sering terjadi mutasi (Miura et al. 2001; Singer et al. 2001 ; Kato et al. 2003). Pematahan kromosom maupun aktivasi elemen transposon dapat menyebabkan perubahan sekuens DNA akibat perubahan tempat atau kehilangan bagian kromosom. Perubahan sekuens DNA dapat terjadi pada daerah suatu gen ataupun daerah heterokromatin yang tidak berhubungan suatu gen.

Perubahan sekuens DNA terjadi pada kelapa sawit hasil perbanyakan dari kultur jaringan. Dibuktikan dalam penelitian ini dengan teknik RAPD yaitu lima primer (OPC-08, OPD15, W-15, OPC-09 dan SC10-19) dari sepuluh primer menunjukkan pita-pita berbeda antara tanaman normal dan abnormal pada klon MK 152. Primer OPC-08 memperlihatkan satu pita DNA pada tanaman normal tetapi tidak terdapat pada tanaman abnormal, menunjukkan bahwa pita tersebut berpotensi sebagai pita DNA yang unik pada tanaman normal. Namun penelitian Yuniastuti (2004) dengan kedua primer ini menunjukkan pita-pita-pita berbeda antara tanaman normal dan abnormal namun tidak konsisten antara klon, bahkan primer OPC-08 dapat membedakan tanaman normal dan abnormal pada klon yang lain namun tidak pada klon MK 152. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan sampel tanaman berbeda dari klon yang sama kemungkinan sebagai penyebab perbedaan hasil. Untuk konfirmasi pita unik tersebut maka diperlukan data dari beberapa tanaman normal pada klon MK 152 serta menggunakan tanaman normal dan abnormal dari klon-klon yang lain.

Empat primer yang lain menunjukkan pita-pita berbeda antara tanaman normal, AbB dan AbSB2 namun tidak konsisten pada keabnormalan. Penelitian sebelumnya oleh Toruan-Mathius et al. (2001) dengan teknik RAPD dapat membedakan tanaman berbuah normal dan abnormal namun pita-pita DNA berbeda tersebut tidak sama untuk tiap klon yang digunakan. Perubahan sekuens DNA kemungkinan dapat terjadi pada daerah suatu gen yang meregulasi organ bunga atau juga berhubungan dengan proses metabolisme yang lain. Untuk konfirmasi adanya perubahan ekspresi gen pembungaan maka diperlukan primer- primer spesifik yang berhubungan dengan gen-gen pembungaan tersebut.

Abnormalitas pada kelapa sawit melalui adanya struktur karpel pada bunga betina maupun bunga jantan namun tidak diikuti dengan perubahan organ bunga yang lain merupakan suatu fenomena menarik untuk dikaji dari sisi yang lain. Kemungkinan yang menginduksi feminisasi pada kedua seks pada kasus bunga kelapa sawit adalah hormon etilen. Menurut Yin dan Quinn (1995) etilen memacu pembentukan bunga betina sedangkan menghambat bunga jantan, sedangkan gibberelin (GA) memacu pembentukan bunga jantan dan menghambat bunga betina.

Etilen diketahui dihasilkan sebagai respons dengan pelukaan (Konze & Kwiatkowski 1981 ; Imaseki et al. 1990). Hal tersebut kemungkinan terjadi selama cutting up kultur yang melepaskan dan mengakumulasi etilen dalam wadah kultur dan hormon ini dapat juga mempengaruhi bunga mantel (Eeuwens et al. 2002). Biosintesis etilen juga dipacu oleh auksin (Minocha et al. 1990), dan auksin adalah salah satu hormon yang digunakan dalam kultur jaringan kelapa sawit (Eeuwens et al. 2002), sehingga dikatakan oleh Eeuwens et al. (2002) bahwa yang mengherankan adalah tidak ada data yang dipublikasi mengenai akumulasi etilen selama kultur jaringan atau pengaruh etilen terhadap bunga mantel. Buah abnormal sangat berat mengalami penghambatan kematangan buah kemungkinan berhubungan dengan keterbatasan hormon etilen. Kejadian-kejadian yang saling terkait antara cekaman selama kultur jaringan, perubahan organ bunga jantan menjadi betina (bunga mantel), dan penghambatan kematangan buah.

BAB VIII

Dokumen terkait