• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan perikanan pukat udang yakni hasil produksi yang berfluktuasi dan cenderung menurun serta beberapa perusahaan pukat udang yang tidak lagi aktif. Pemilihan Faktor-faktor teknis pada penelitian ini didasari kemudahan dalam mengaplikasikannya bagi nelayan. Data primer yang dianalisis dalam penelitian ini didapat dari hasil observasi dengan cara mengikuti kegiatan operasi penangkapan udang pada kapal Binama no 7 milik perusahaan Dwi Bina Utama bulan Juli 2013 di Laut Arafura. Data yang dikumpulkan adalah waktu pengoperasian, kecepatan towing, lama towing serta kedalaman perairan Data tersebut digabungkan dengan data sekunder yang didapat dari jurnal penangkapan pukat udang Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Penggabungan data ini bertujuan memperbanyak jumlah sampel, yang juga diperoleh pada musim dan daerah penangkapan yang berbeda, sehingga diharapkan hasil analisis dapat berlaku pada waktu, musim serta daerah penangkapan yang berbeda pula.

Satu trip penangkapan armada pukat udang umumnya dua hingga tiga bulan dengan daerah penangkapan yang sudah ditentukan sebelumnya oleh fishing master perusahaan. Semua armada perusahaan melakukan operasi penangkapan di suatu area penangkapan dengan secara bergantian kembali ke fishing base untuk membawa hasil tangkapan dan mengisi perbekalan ketika akan berangkat kembali ke area penangkapan yang ditentukan. Penentuan area penangkapan tersebut didasari pada pengalaman dan informasi dari tiap nahkoda dalam satu perusahaan.

Setiap perusahaan pukat udang selalu mempunyai peta daerah penangkapan sendiri yang berbentuk kotak-kotak area penangkapan. Setiap area penangkapan berukuran 0.5 derajat lintang dan bujur dengan luas 900 mil laut2.

Berdasarkan hal tersebut penelitian ini juga menyediakan informasi laju tangkap udang pada tahun 2011, 2012 dan 2013 dalam bentuk area penangkapan agar mudah dimanfaatkan nelayan maupun perusahaan. Berdasarkan hasil olahan data,

area penangkapan potensial untuk Ende blue (Metapenaeus endeavouri), Tiger (Penaeus semisulcatus) dan Ende pink (Metapenaeus monoceros) terdapat pada area C (6030’0” - 700’0” LS dan 13500’0” - 135030’0” BT), D (6030’0” - 700’0” LS dan 1350300 - 136000 BT) dan E (6000- 60300 LS dan 1350300 - 136000

BT) karena pada area tersebut laju tangkapnya lebih tinggi dibandingkan dengan area lain.

Berdasarkan data yang diperoleh, armada penangkapan pukat udang lebih banyak beroperasi di sekitar kepulauan Aru yang diliputi dengan hutan mangrove yang luas. Menurut Sudarmono (2005), luas hutan mangrove berkorelasi dengan jumlah tangkapan udang penaeidae. Area penangkapan dengan laju tangkap tertinggi terdapat pada area I dengan laju tangkap 32.3 kg /jam. Komposisi udang terbanyak yakni udang Ende blue (Metapenaeus endeavouri) 41.22 %, Tiger (Penaeus semisulcatus) 11.8% dan Ende pink (Metapenaeus monoceros) 14.08 %. Hasil analisis pengaruh kedalaman perairan terhadap laju tangkap udang yakni laju tangkap tertinggi terdapat pada kisaran 11-20 m. Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian dari Gunaisah (2008) yang melakukan penelitian di Arafura dengan menggunakan trammel net, dan didapatkan jumlah tangkapan udang penaeidae tertinggi terdapat pada kedalaman 10 hingga 20 m.

Batista et al. (2012) juga menemukan bahwa kelimpahan udang penaeidae tertinggi terdapat pada kedalaman 11-20 m. Hal tersebut menurut Sudarmono (2005) karena berdekatan dengan mangrove dan sungai yang berkolerasi dengan kelimpahan nutrien. Hasil ini diharapkan dapat dijadikan acuan Nahkoda untuk memilih area penangkapan dengan kisaran kedalaman 11-20 m.

Setelah armada pukat udang sampai pada area penangkapan potensial dengan memperhatikan kedekatan dengan hutan mangrove dan kedalaman perairan yang sesuai, maka dapat dilakukan operasi penangkapan dengan memperhatikan kecepatan dan lama towing. Berdasarkan hasil penelitian kecepatan towing dengan laju tangkap tertinggi yakni 2.6-3.0 knot, dimana posisi jaring dapat terbuka sempurna dan tickler chain tetap menyentuh permukaan substrat yang menyebabkan udang dapat lebih banyak tertangkap. Kecepatan towing yang terlalu lambat akan menyebabkan rantai pengejut terbenam pada dasar perairan sehingga lebih banyak mengeruk lumpur dan sampah serta bukaan mulut jaring vertikal tidak optimal. Sedangkan kecepatan towing yang terlalu tinggi akan menyebabkan jaring melayang diatas permukaan substrat sehingga rantai pengejut tidak efektif untuk merangsang udang melompat dan masuk ke jaring (Prisantoso et al. 2010; Sasmita 2013).

Lama towing yang efektif terdapat pada kisaran 91-150 menit. Semakin

lama durasi towing maka hasil tangkapan udang akan lebih tinggi dikarenakan luas area sapuan pukat udang semakin luas. Walaupun laju tangkap yang lebih tinggi didapat pada kisaran lama towing 150-210 menit namun hasilnya tidak

signifikan jika dibandingkan dengan lama towing 91-150 menit. Hal ini

dikarenakan semakin lama durasi towing, kemungkinan jaring menyapu hingga daerah dengan stok udang yang berkurang, atau kedalaman yang jauh berbeda sehingga keragaan jaring juga berubah. Selain itu, kemungkinan jaring sampai pada daerah dengan banyak rintangan seperti karang, kayu-kayu maupun benda di laut yang menyebabkan efektivitas jaring terganggu (Can dan Demirci 2004). Kelebihan pengoperasian dengan lama towing yang lebih singkat (91-150 menit) dapat meningkatkan jumlah pengoperasian yang lebih banyak dalam satu hari serta menghindari penurunan kondisi udang akibat terlalu lama mati atau tertindih biota lain pada saat berada di kantong (cod end) (Gamito dan Cabral 2003).

Operasi penangkapan pukat udang dilakukan siang dan malam hari hingga trip operasi berakhir. Namun berdasarkan hasil penelitian, laju tangkap udang lebih tinggi pada malam hari dibanding siang hari, dimana hasil ini juga sesuai dengan hasil penelitian Rotherham et al. (2008) dan Batista et al. (2012) yang mendapatkan hasil penangkapan udang pada malam hari lebih banyak. Menurut Bishop (2008) hal tersebut dikarenakan tingkah laku udang yang membenamkan diri pada substrat perairan pada siang hari, sehingga rantai pengejut (tickler chain) tidak dapat merangsang semua udang untuk melompat ke dalam jaring dibandingkan malam hari dimana udang berada di atas substrat.

Jenis udang dominan yang tertangkap pada laut Arafura adalah jenis udang Tiger (Penaeus semisulcatus), Ende blue (Metapenaeus endeavouri), Ende pink (Metapenaeus monoceros), Kiji (Metapenaeopsis eboracensis) dan Kerosok

(Parapenaeopsis sculptilis). Kelima jenis udang tersebut selalu memiliki laju

tangkap yang lebih tinggi dibandingkan udang lain.

Hasil analisis dari tiap faktor yakni waktu penangkapan mempengaruhi laju tangkap udang karena tingkah laku udang yang membenamkan diri pada

siang hari. Lama towing berkorelasi terhadap laju tangkap udang karena berkaitan dengan luas area sapuan pukat udang. Kecepatan towing berpengaruh terhadap laju tangkap udang karena berkaitan dengan keragaan jaring pada perairan. Kedalaman perairan berpengaruh terhadap laju tangkap udang karena berkorelasi dengan kelimpahan nutrien.

Dokumen terkait