• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIDAPATKAN DARI UMUR TIRAM YANG BERBEDA

8 PEMBAHASAN UMUM

Penelitian ini menemukan bahwa penggunaan saibo dari tiram jenis lain seperti Pteria penguin, Pinctada margaritifera dan tiram Atrina vexillum dapat dilakukan pada tiram inang Pinctada maxima karena dapat membentuk kantung mutiara. Hal ini dilakukan karena saibo menentukan warna dari mutiara. Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa saibo menentukan warna mutiara (Taylor 2002). Saibo dari tiram Pinctada margaritifera memiliki kecepatan dan persentase pembentukan kantung yang lebih baik bila dibandingkan dengan saibo tiram Pteria penguin dan Atrina vexillum (Tabel 1), tetapi yang perlu dicatat bahwa saibo dari tiram jenis lain dapat digunakan untuk pembentukan kantung mutiara. Urutan gen dari tiram donor ditemukan di kantung mutiara saat panen sehingga mendukung hipotesis bahwa sel-sel donor secara aktif terlibat dalam biomineralisasi mutiara. Kemampuan tiram Pinctada fucata sebagai tiram host selama perkembangan kantung mutiara dan proses pelapisan inti menggambarkan suatu adaptasi yang unik karena berpotensi untuk terlibat dalam proses transkripsi matriks protein cangkang. Sel-sel gonad memiliki kapasitas untuk berdiferensiasi menjadi sel yang berbeda jenis (mengambil peran fungsional sel mantel) sebagai suatu reaksi imunologi terhadap pengenalan sel mantel selama implantasi, serta adanya proliferasi sel mantel (Fang et al. 2008). Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa saibo dapat diambil dari tiram jenis lain sehingga dapat meningkatkan kualitas mutiara, terutama warna karena warna ditentukan oleh saibo. Penelitian ini masih memerlukan kajian yang lebih lama karena menyangkut kemampuan tiram host dalam mengatur biomineralisasi inti sampai masa panen mutiara.

Hasil ini menunjukkan bahwa pemilihan warna dari mutiara dapat dilakukan dengan menggunakan saibo dari tiram jenis lain yang dapat diimplantasikan pada tiram Pinctada maxima, walaupun demikian masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan ini. Proses pembentukan kantung mutiara dengan menggunakan saibo

yang didapatkan dari tiram jenis lain membutuhkan waktu lebih dari 30 hari karena secara histologi, minggu keempat setelah implantasi masih terlihat sel-sel epitel kuboid yang masih mengalami pyknosis dan masih terus berdegenerasi membentuk sel-sel epitel monolayer yang sempurna. Pada tiram Pinctada fucata (saibo alograf) membutuhkan waktu lebih dari 21 hari untuk membentuk kantung mutiara (Awaji dan Machii 2011), sedangkan kerang air tawar seperti Hyriopsiss chlegelii membutuhkan waktu 30 hari untuk membentuk kantung mutiara (Shi et al. 1985). Kerang mutiara air lainnya yakni Hyriopsis (Limnoscapha) myersiana, H.(L.) desowitzi, dan Chamberlainia hainesiana terlihat kantung mutiara sepenuhnya dibentuk dalam waktu 15 hari (Panha dan Kosavititkul 1997) dan kerang lainnya seperti Chamberlainia hainesiana, Hyriopsis (Limnoscapha) myersiana, H. (H.) bialatus, Pseudodon inoscularis cumingi, H. (L.) dezowitzi, Pseudodon vondembuschianus ellipticus dan Pseudodon membutuhkan waktu sekitar 30 hari untuk membentuk kantung mutiara (Chatchavalvanich et al. 2010). Penggunaan saibo yang didapatkan dari tiram jenis lain tidak mempengaruhi kebutuhan energi tubuh karena tidak terlihat perbedaan pada konsumsi oksigen namun harus diperhatikan bahwa tiram mengalami banyak kematian dan penolakan inti. Luka akibat implantasi dapat menyebabkan tiram mengalami kematian dan penolakan inti lebih banyak disebabkan oleh kemampuan tiram dalam menerima benda asing sehingga tubuh menolak benda asing tersebut.

Penelitian ini menemukan jumlah tiram yang mengalami kematian dan penolakan inti pada perlakuan posisi peletakan saibo dan inti di bagian ventral gonad sebesar 20%, sedangkan pada bagian anus sebesar 45% dan bagian usus sebesar 55%, sedangkan kecepatan dan persentase perkembangan kantung mutiara pada penempatan saibo dan inti di bagian anus dan usus lebih rendah dibandingkan bagian ventral gonad, yakni kurang dari 20%. Hal ini berhubungan dengan gerakan mekanis dari organ dalam sehingga memperlambat degradasi inner mantel dari saibo. Selain itu, diduga berhubungan dengan peran gonad namun sampai sekarang belum ada penjelasan yang berarti tentang keterlibatan gonad selama pembentukan kantung mutiara. Hal yang lain adalah tingginya penolakan inti pada tiram yang diimplantasi di usus dan anus karena terjadi penghambatan interaksi antara sel-sel epitel mantel (saibo) dengan jaringan ikat dari tiram inang. Tingginya aktivitas peristaltik usus dan anus akibat implantasi inti maka semakin menghambat fusi antara jaringan mantel (saibo) dengan jaringan ikat dari tiram inang. Hasil ini juga dapat menjadikan dasar posisi peletakan saibo dan inti pada tiram jenis lain yang memiliki ukuran tubuh yang lebih besar, tetapi masih perlu dilakukan kajian yang lebih lanjut sehingga dapat dilakukan implantasi pada beberapa lokasi dalam tubuh tiram. Hasil histologi menunjukkan bahwa sel-sel epitel lebih cepat terdegradasi pada implantasi di bagian ventral gonad dibandingkan dengan bagian usus dan anus. Minggu pertama setelah implantasi pada bagian ventral gonad hanya terlihat 2-3 lapisan sel-sel epitel kuboid tetapi di bagian usus masih terlihat 5-6 lapisan dan bagian anus masih terlihat 4-5 lapisan, setelah minggu berikutnya sampai minggu keempat, pada bagian ventral gonad, lebih cepat membentuk sel-sel epitel monolayer, namun pada bagian usus dan anus lebih lambat.

Pemilihan saibo harus memperhatikan umur tiram. Umur tiram yang dijadikan saibo sering kali tidak diperhatikan selama proses implantasi sehingga kantung mutiara yang terbentuk tidak selalu bagus. Saibo yang diambil dari tiram

yang telah berumur 28 bulan memiliki kecepatan dan persentase saibo mengelilingi inti yang lebih besar bila dibandingkan dengan saibo yang diambil dari tiram yang baru berumur 14 dan 21 bulan, namun bila dilihat perkembangan kantung mutiara pada minggu keempat saibo yang diambil dari tiram yang berumur 14 dan 21 bulan mencapai 84% dan 28 bulan mecapai 99%. Hasil lain seperti persentase tiram yang berhasil membentuk kantung mutiara, kematian dan penolakan inti tidak terlalu berbeda. Perbedaan jumlah tiram yang mengalami kematian pada saibo yang berasal dari tiram 14 dan 28 bulan hanya mencapai 5%, sedangkan penolakan inti tidak berbeda. Untuk persentase jumlah tiram yang berhasil membentuk kantung mutiara hanya berbeda 5% saja antara saibo yang diambil dari tiram 14 bulan dengan 21 dan 28 bulan. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam keadaan tertentu tiram yang umurnya lebih muda dapat digunakan sebagai tiram donor, walaupun demikian masih perlu kajian lanjut sampai terbentuk mutiara.

Secara histologi ditemukan bahwa pada awal implantasi bagian inner mantel mengalami degradasi kemudian tersisa bagian outer mantel yang terus mengalami perubahan dari sel-sel epitel yang kompleks menjadi lebih sederhana atau sel epitel monolayer yang kemudian mengelilingi inti mutiara. Umur tiram yang dijadikan sebagai sumber saibo mempengaruhi kecepatan regenerasi mantel. Hasil ini menunjukkan bahwa saibo yang diambil dari tiram yang umurnya lebih muda memiliki kecepatan degradasi sel-sel epitel yang lebih lambat dibandingkan dengan tiram yang umurnya lebih tua. Saat minggu pertama setelah implantasi, sel-sel epitel kuboid yang terbentuk pada tiram inang yang diimplantasi dengan saibo 14 bulan masih terlihat 5-6 lapisan sedangkan saibo yang diambil dari tiram yang berumur 21 dan 28 bulan hanya tersisa 2-3 lapisan saja, sedangkan minggu berikutnya tidak ada perbedaan karena membentuk monolayer. Kebanyakan tiram mutiara yang digunakan sebagai saibo berasal dari tiram yang berumur tua karena pertumbuhan saibo lebih cepat (Gervis dan Sims 1992). Pada penelitian ini tidak melihat perbedaan umur saibo dalam perannya sebagai penghasil matriks protein maupun keterlibatannya dalam mengatur mineralisasi untuk proses pelapisan mutiara, namun hanya membandingkan seberapa besar perkembangan saibo membentuk kantung mutiara.

Penelitian menemukan bahwa jenis kelamin betina memiliki kemampuan pembentukan kantung mutiara yang lebih baik bila dibandingkan dengan jenis kelamin jantan. Persentase penutupan inti dan jumlah tiram inang yang berhasil membentuk kantung mutiara lebih tinggi pada tiram inang betina dibandingkan tiram inang jantan, tetapi hanya berbeda kurang dari 5% saja. Hal ini diduga berhubungan dengan kemampuan pembentukan hormon reproduksi seperti estrogen untuk vitelogenin tiram betina yang lebih tinggi dari jantan sehingga ketersediaan enegri lebih tinggi pada tiram betina. Walaupun demikian, perbedaan ini tidak terlalu besar sehingga tiram jantan dapat digunakan untuk proses implantasi saibo dan inti. Selain itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tiram mengalami stres yang ditunjukkan dengan infiltrasi hemosit dan peningkatan kadar glukosa di awal implantasi, namun infiltrasi hemosit mulai menghilang seiring dengan bertambahnya waktu implantasi dan kadar glukosa menurun di minggu keempat setelah implantasi. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Li et al. (2010) bahwa setelah operasi inti terjadi peningkatan hemosit, yaitu granulosit dan hyalinosit. Hal ini menunjukkan bahwa penyisipan inti mengaktifkan sistem

kekebalan tubuh karena hemosit memainkan peran penting dalam proses penyembuhan luka.

Konsumsi oksigen ternyata tidak ada perbedaan yang nyata antarperlakuan umur saibo, posisi peletakan saibo dan inti, dan sumber saibo yang berbeda. Namun berbeda pada perlakuan kedalaman. Pada kedalaman 9 dan 12 meter, tiram mengkonsumsi oksigen yang lebih sedikit dibandingkan pada kedalaman 3 dan 6 meter. Perubahan kadar glukosa setiap minggu, diduga lebih karena perubahan kondisi perairan termasuk suhu dan arus.

Pada kedalaman 3 dan 6 meter, sekitar 20% tiram mengalami kematian dan penolakan inti sedangkan kedalaman 9 meter sebesar 40% dan kedalaman 12 meter sebesar 55%. Hasil ini membuktikan bahwa pengaruh lingkungan sangat besar pada pembentukan kantung mutiara. Hasil lain juga dilaporkan oleh Cochennec-Laureau et al. (2010) bahwa tingkat kematian setelah 3 bulan pascaimplantasi sebesar 12,3%, sedangkan penolakan inti jauh lebih tinggi yang mencapai 45,4% sehingga berjumlah 57,7%. Pemantauan harian menunjukkan bahwa sebagian besar kematian terjadi dalam dua minggu pertama pascaimplantasi. Setelah implantasi pada tiram mutiara Pinctada margaritifera mengalami kematian sebesar 10% dan menolak inti sebesar 20% (Haws dan Ellis 2000). Selain itu, Norton et al. (2000) juga melaporkan bahwa tiram mutiara Pinctada margaritifera mengalami kematian sebesar 24% dan penolakan inti sebesar 16% jadi yang mengalami kegagalan pembentukan kantung mutiara sebesar 40%. Untuk mengurangi risiko ini maka Acosta-Salmón dan Southgate (2005) menggunakan relaksan untuk mendapatkan saibo dan melakukan proses operasi saibo dan inti.

Kecepatan dan persentase penutupan inti mutiara yang dipelihara pada kedalaman 3 dan 6 meter lebih baik bila dibandingkan dengan kedalaman 9 dan 12 meter. Setelah 4 minggu implantasi, persentase penutupan inti pada kedalaman 3 dan 6 meter hanya berbeda kurang dari 10% dibandingkan dengan kedalaman 9 dan 12 meter. Walaupun demikian, jumlah tiram yang mengalami kematian dan penolakan inti yang tinggi pada kedalamn 9 dan 12 meter menjadi bahan pertimbangan dalam pemeliharaan tiram. Hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor keadaan lingkungan pada setiap kedalaman, serta kemampuan tiram dalam mengelola fisiologi tubuhnya terhadap perubahan lingkungan tersebut. Kedalaman air merupakan salah satu faktor yang paling penting untuk menentukan kualitas mutiara karena rata-rata mutiara yang bagus cenderung diproduksi di perairan dengan kedalaman di bawah 10 meter.

9 SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait