• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Fisik Silase

4 PEMBAHASAN UMUM

Chromolaena odorata atau biasa disebut dengan semak bunga putih

merupakan spesies tanaman daerah tropik dan subtropik, memiliki nama ilmiah

Chromolaena odorata (L) R.M. King dan H. E. Robinson. Nama lokal dari semak

bunga putih berbeda-beda di setiap daerah. Orang rote menyebutnya ai buna fulak,

suf muti/mun-mun kase (Timor), ki rinyuh (Sunda), dan siam weed / jack in the bush (Inggris). Taksonomi dari semak bunga putih tergolong dalam Kingdom:

Plantae, phylum: Magnoliophyta, Kelas: Magnoliopsida, Ordo: Asterales, Famili:

Asteraceae, Genus: Chromolaena, Spesies: Chromolaena odorata (L.) King &

H.E.Robins (Wikipedia 2016). Tanaman ini masuk dalam kategori 100 gulma paling berbahaya di dunia karena mendominasi padang penggembalaan, bersifat alelopati serta bersifat allergen/toxic bagi manusia dan ternak (Hawaii Department of Agriculture 2016; United States Department of Agriculture 2016).

Kendati keberadaan C. odorata dianggap sebagai gulma, tanaman ini memiliki guna positif bagi dunia peternakan yaitu dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. C.odorata merupakan tanaman yang kaya protein namun memiliki metabolit sekunder sehingga tidak dimakan oleh ternak secara langsung. Keberadaan metabolit sekunder (tanin dan trypsin inhibitor) dalam bahan pakan merupakan faktor pembatas, dapat menurunkan konsumsi, menurunkan daya cerna, dan dapat menekan konsumsi dan pertumbuhan. Keberadaan kedua metabolit sekunder ini dapat berguna bagi ternak bila berada pada kisaran normal kebutuhan ternak.

Penelitian ini terdiri atas dua tahapan penelitian, yaitu tahap pertama menguji beberapa metode pengolahan untuk meminimalisir kandungan metabolit sekunder dari tanaman C. odorata, serta pengaruhnya terhadap kandungan nutrien dan kecernaan in vitro. Metode pengolahan yang diuji terdiri atas perlakuan segar, jemur, oven, rebus, rendam air, rendah NaOH, rendam HCl, dan fermentasi. Pemilihan jenis metode pengolahan ini didasarkan pada beberapa riset sebelumnya yang melaporkan bahwa perlakuan ini dapat menurunkan kandungan metabolit sekunder (Habiba (2002; Norton 2000; Roger et al. 2015). Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan fermentasi (tanpa penambahan bahan aditif), jemur, rendam air dan rebus efektif dalam menurunkan kandungan metabolit sekunder tanaman C. odorata. Penurunan tanin dikarenakan adanya

30

aktivitas kimia dari enzim-enzim yang diproduksi oleh berbagai mikrorganisme fermentatif sehingga merusak ikatan tanin-enzim dan protein-tanin (Taylor and Duodu 2014), terjadinya hidrolisis dan dekomposisi tanin (Makkar dan Becker 1996; Khanbabaee dan van Ree 2001). Penurunan aktivitas trypsin inhibitor dikarenakan sifat trypsin inhibitor yang tidak stabil terhadap panas, terjadi inaktivasi inhibitor (Vidal-Valverde et al. 1994) dan terdegradasi atau termodifikasinya trypsin inhibitor akibat terpotongnya molekul protein sehingga kehilangan aktivitasnya dalam mengikat trypsin (Chen et al. 2013).

Kandungan BO dan BETN perlakuan fermentasi rendah dibanding perlakuan lainnya sedangkan kandungan PK lebih tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa bahan organik yang tersedia dimanfaatkan oleh mikroba untuk mencukupi kebutuhannya selama fermentasi sehingga sangat disarankan untuk menambahkan bahan aditif berupa karbohidrat mudah larut guna meningkatkan nilai nutrisi (McDonald et al. 1991). Peningkatan kandungan PK

C.odorata terjadi karena adanya aktivitas kimia dari organisme fermentasi dan

rusaknya tanin-enzim dan protein-tanin sehingga lepas sebagai tanin bebas (Taylor and Duodu 2014) yang berakibat terhadap banyaknya protein yang terlepas (Tabel 2 dan Tabel 3).

Tabel 12 menampilkan matriks korelasi antara komposisi kimia C. odorata dan kecernaan in vitro yang meliputi KCBK dan KCBO. KCBK nyata (P<0.01) dipengaruhi secara negatif oleh lemak kasar (r=-0.544) dan dipengaruhi nyata (P<0.05) secara positif oleh BETN (r=0.419). Hubungan yang sama juga terlihat pada KCBO yang secara nyata (P<0.01) dipengaruhi negatif oleh lemak kasar (r=-0.642) dan dipengaruhi nyata (P<0.05) secara positif oleh BETN (r=0.446). Tabel 12 Matriks korelasi komposisi kimia C. odorata dan kecernaan in vitro

Peubah Kecernaan Bahan Kering (KCBK) Kecernaan Bahan Organik (KCBO) Bahan kering 0.164 tn 0.156 tn Bahan organik -0.140 tn -0.268 tn Protein kasar 0.002 tn -0.015 tn Lemak kasar -0.544** -0.642** Serat kasar -0.337 tn -0.356 tn

Bahan ekstrak tanpa nitrogen 0.419* 0.446*

Total tanin 0.240 tn 0.251 tn

Trypsin inhibitor 0.066 tn 0.069 tn

Keterangan: tn= tidak berbeda nyata; *=berbeda nyata pada P<0.05; **=berbeda nyata pada P<0.01.

Komposisi kimia bahan akan berpengaruh terhadap nilai kecernaan dari bahan pakan tersebut. Serat kasar merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam menurunkan nilai kecernaan. Namun, data pada Tabel 12 menunjukkan bahwa serat kasar tidak berpengaruh terhadap kecernaan. Hal ini diduga berkaitan dengan kandungan SK yang terkandung dalam C. odorata masih dalam batas yang normal. Hal ini didukung oleh Hermana et al. (2015) bahwa semakin tinggi level serat kasar akan menurunkan kandungan kecernaan BK dan BO. Kecernaan

C. odorata justru dipengaruhi oleh kandungan lemak kasar dan BETN. Pada

Tabel 12 terlihat bahwa semakin rendah kandungan lemak kasar, maka semakin tinggi kecernaan BK dan BO. Lemak pakan berasosiasi dengan partikel pakan dan mikoba rumen melalui penutupan permukaan fisik. Protozoa rumen akan

31 terganggu bila diselimuti lemak karena protozoa tidak memiliki kemampuan lipolisis seperti bakteri. Selain itu, lemak akan menyelubungi serat kasar sehingga tidak mampu didegradasi oleh mikroba rumen. Kondisi ini yang menjelaskan mengapa semakin rendah lemak semakin tinggi kecernaan, demikian sebaliknya. Peningkatan kecernaan terjadi bila adanya peningkatan kandungan BETN. Hal ini dikarenakan BETN merupakan karbohidrat yang mudah larut yang memiliki daya cerna yang tinggi.

Hasil penelitian tahap pertama memberikan keyakinan bahwa proses fermentasi merupakan salah satu pilihan pengolahan yang tepat dalam pemanfaatan tumbuhan C. odorata sebagai pakan sumber protein bagi ternak. Kendala yang dihadapi adalah belum adanya penambahan bahan aditif. Bahan aditif yang dimaksud berupa sumber karbohidrat mudah larut guna mempertahankan kandungan nutrisi bahan (McDonald et al. 1991) serta sumber enzim yang umumnya digunakan dalam proses fermentasi guna memaksimal proses fermentasi. Putak merupakan salah satu sumber karbohidrat mudah larut dan isi rumen sapi merupakan sumber enzim yang mudah dan murah untuk diperoleh. Level penggunaan putak dalam silase C. odorata dilaporkan oleh Liukae (2007) yaitu hingga level 10%, namun level penggunaan isi rumen belum dikaji. Oleh karena itu, pada tahap kedua penelitian ini dilakukan uji penambahan tepung putak 10% dan isi rumen dengan level berbeda (5% dan 10%) terhadap kualitas silase dan kandungan metabolit sekunder serta kandungan nutrien dan kecernaan in vitro silase C. odorata.

Proses ensilase silase C. odorata dengan penambahan aditif (tepung putak dan isi rumen sapi) belum berlangsung sempurna yang ditandai dengan aroma yang dihasilkan belum asam, dan pH yang masih basa. Aroma dan pH cenderung asam pada perlakuan COPR5 dan COPR10, diduga bila waktu fermentasi diperpanjang kemungkinan aroma dan pH ideal silase dapat dicapai. Peningkatan komposisi nutrien (BO, PK, dan BETN), serta terjadi penurunan SK dan kandungan metabolit sekunder (tanin dan trypsin inhibitor) mengindikasikan bahwa C. odorata diensilase menggunakan putak dan isi rumen dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Tabel 8 dan Tabel 9). Kondisi ini terjadi karena putak dan isi rumen sapi menyumbang sejumlah nutrien dan enzim tertentu serta berkurangnya aktivitas metabolit sekunder akibat kerja mikroba selama ensilase berlangsung. Selain terjadi peningkatan nutrien dan penurunan metabolit sekunder selama ensilase, kecernaan in vitro pun dapat dijadikan sebagai indikator dalam memanfaatkan suatu bahan sebagai pakan. Kecernaan BO, BK, dan PK silase C. odorata masing-masing sebesar 55.49%, 60.57%, dan 71.81%. Nilai kecernaan silase C. odorata hampir setara dengan nilai kecernaan in vitro silase rumput gajah, dimana kecernaan BK 60.90% dan kecernaan BO 58.10% (Santoso

et al. 2009).

Uji korelasi komposisi kimia terhadap kecernaan in vitro silase C. odorata (Tabel 13) menunjukkan bahwa BK berpengaruh nyata (P<0.01) secara negatif terhadap kecernaan PK, artinya bila terjadi penurunan BK maka akan terjadi peningkatan kecernaan PK. Kandungan BK suatu bahan pakan menentukan kualitas suatu pakan. Bahan kering berhubungan dengan banyaknya nutrien yang tersedia. Semakin tinggi bahan kering berarti semakin banyak nutrien yang tersedia. Uji korelasi justru bertolak belakang, bahwa jika terjadi penurunan BK akan terjadi peningkatan kecernaan PK. Mekanisme yang mungkin dapat

32

digunakan untuk menjelaskan kondisi ini adalah bahwa bahan kering terdiri atas bahan organik yang didalamnya terdapat protein, lemak, dan serat kasar. Bila lemak dan serat kasar rendah maka kandungan protein kasar akan meningkat sehingga jumlah yang dapat dicerna meningkat pula. Kandungan protein bahan ransum dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan mempengaruhi tinggi rendahnya kecernaan protein (Tillman et al. 1982).

Tabel 13 Matriks korelasi komposisi kimia dan kecernaan in vitro silase C.

odorata Peubah KCBK KCBO KCPK Bahan kering -0.090 tn 0.013 tn -0.708** Bahan organik 0.447* 0.349* 0.572** Protein kasar 0.140 tn 0.113 tn 0.369* Lemak kasar 0.125 tn 0.205 tn -0.606** Serat kasar 0.845** 0.891** -0.013 tn

Bahan ekstrak tanpa nitrogen -0.588** -0.661** 0.135 tn

Total tanin 0.335 tn 0.401* -0.202 tn

Trypsin inhibitor 0.317 tn 0.406* -0.238 tn

Keterangan: KCBO= kecernaan bahan organik; KCPK= kecernaan protein kasar; tn= tidak berbeda nyata; *=berbeda nyata pada P<0.05; **=berbeda nyata pada P<0.01.

BO berpengaruh nyata (P<0.05) secara positif terhadap KCBK dan KCBO serta berpengaruh nyata (P<0.01) secara positif terhadap KCPK, artinya bila kandungan bahan organik meningkat maka kecernaan BK, BO, dan PK pun ikut meningkat. Komposisi bahan organik terdiri dari protein kasar, lemak, serat kasar, dan BETN. Salah satu faktor yang mempengaruhi kecernaan pakan adalah komposisi ransum dan kandungan nutrien. Ketersediaan BO yang memadai akan meningkatkan kecernaan pakan.

PK berpengaruh nyata (P<0.05) secara positif terhadap KCPK, artinya bila PK meningkat, kecernaan PK meningkat juga. Sesuai dengan Tillman et al. (1982) bahwa kandungan protein bahan ransum dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan mempengaruhi tinggi rendahnya kecernaan protein.

LK berpengaruh nyata (P<0.01) secara negatif terhadap KCPK, artinya semakin tinggi kandungan LK semakin rendah kecernaan protein, demikian sebaliknya. Lemak dalam pakan akan menutupi permukaan protozoa/bakteri sehingga aktivitas pencernaan yang dilakukan oleh mikroba terganggu. Protozoa yang paling terganggu bila diselimuti lemak karena tidak memiliki kemampuan lipolisis seperti bakteri. Terganggunya aktivitas mikroba akan berdampak terhadap kecernaan pakan.

SK berpengaruh nyata (P<0.01) secara positif terhadap KCBK dan KCBO, artinya serat kasar meningkat, kecernaan BK dan BO meningkat pula. Kondisi ini bertolak belakang dengan Price et al. (1980) bahwa kandungan serat kasar pakan yang tinggi akan lebih sulit untuk didegradasi oleh mikroba rumen sehingga dapat menurunkan kecernaan energi. Serat kasar terdiri dari isi sel yang mudah dicerna dan dinding sel (selulosa, hemiselulosa, lignin) yang sulit untuk dicerna. Kelemahan dari penelitian ini adalah tidak dilakukan analisis Van Soest sehingga tidak diketahui persentase kandungan isi sel dan dinding sel silase C. odorata.

33 Kemungkinan kandungan isi selnya lebih banyak sehingga berpengaruh positif terhadap kecernaan BO dan BK.

BETN pada umumnya dikenal sebagai karbohidrat yang mudah dicerna. Semakin tinggi kandungan BETN pakan akan semakin tinggi kecernaan pakan. Uji korelasi justru menunjukkan hal yang bertolak belakang. BETN berpengaruh nyata (P<0.01) secara negatif terhadap KCBK dan KCBO, artinya bila terjadi penurunan BETN akan terjadi peningkatan kecernaan BK dan kecernaan BO. Kemungkinan meningkatnya kecernaan BK dan kecernaan BO saat terjadi penurunan BETN dikarenakan oleh faktor lain, bukan oleh faktor BETN semata. Diduga faktor yang berpengaruh dalam meningkatkan kecernaan pakan saat BETN rendah adalah faktor nutrien berupa serat kasar dan protein kasar. Kedua nutrien tersebut pada Tabel 13 menunjukkan korelasi positif terhadap kecernaan sehingga walaupun BETN kecernaan meningkat. Tabel 8 juga menunjukkan adanya peningkatan protein kasar.

Tanin dan trypsin inhibitor berpengaruh nyata (P<0.05) secara positif terhadap kecernaan BO, artinya bila terjadi peningkatan kandungan tanin dan

trypsin inhibitor akan meningkat pula kecernaan BO. Hal ini dikarenakan tanin

dapat berfungsi sebagai agen defaunasi (Makkar et al. 1995) sehingga mengubah pola mikroba dalam rumen. Pertumbuhan protozoa terhambat sehingga bakteri dapat bertumbuh dengan baik dan memanfaatkan pakan secara optimal. Suplementasi hijauan R. thypina dan S. alba yang mengandung tanin hingga level 2% mampu meningkatkan KCBO hay dan jerami (Jayanegara et al. 2009). Hasil ini tidak sejalan dengan Makkar et al. (1995) yang mengkombinasikan asam tanat dengan saponin Quillaja dan tanin Quebracho dengan saponin Quillaja terjadi penurunan kecernaan. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa peningkatan level tanin dan trypsin inhibitor dalam ransum dapat meningkatkan kecernaan hanya pada batasan/kondisi tertentu dikarenakan sumber tanin yang berbeda pada level yang sama memberikan pengaruh yang berbeda (Makkar et al. 1995).

Dokumen terkait