Hasil identifikasi menggunakan preparat mikroskop kantung pupa B. tabaci
berdasarkan kunci identifikasi Martin (1987) dan Martin (2000), diperoleh adanya perbedaan secara morfologi. Perbedaan tersebut terlihat pada adanya submarginal seta
(ASMP4) pada B. tabaci biotipe-B, sedangkan pada non-B tidak ditemukan. Kemudian perbedaan yang lainnya adalah lapisan lilin pada bagian posterior B. tabaci biotipe-B lebih sedikit dan lebih pendek pada bagian anterior tubuhnya, berbeda dengan biotipe-non B lapisan lilin bagian posterior tubuh lebih banyak dan lebih melebar pada bagian anteriornya. Calvert et al. (2001), menemukan adanya perbedaan morfologi lainnya yaitu pada bagian mata dan antena. Adapun metode identifikasi lainnya adalah dengan menggunakan tehnik polymesterase chain reaction (PCR). Aidawati (2006) melaporkan hasil identifikasi, dengan menggunakan metode tehnik PCR-RAPD menemukannya bahwa B. tabaci biotipe-B diperoleh pada tanaman brokoli yang berasal dari daerah Bogor, sedangkan B. tabaci non-B diperoleh dari tanaman cabai, terung, mentimun, kedelai, dan edamame. Pengujian lainnya adalah menggunakan tanaman indikator (tanaman squash), gejala yang timbul pada tanaman ini adalah dengan perubahan warna daun menjadi keperak-perakan.
Siklus hidup B. tabaci biotipe-B dan non-B baik ditanaman mentimun maupun di tanaman cabai tidak berbeda. Kesimpulan tersebut bedasarkan kisaran waktu yang dibutuhkan dari telur hingga dewasa pada tanaman mentimun antara biotipe-B dan non-B , masing-masing 31,27±17,70 hari dan 29,60±3,80 hari. Pada tanaman mentimun kisaran waktu yang dibutuhkan dari telur hingga dewasapada B. tabaci biotipe-B dan non-B, berturut-turut 33,27±4,60 hari dan 30,86±6,32 hari. Hasil tersebut berbeda dengan yang dilaporkan oleh Powell dan Bellows (1996) yang menyatakan bahwa, kisaran waktu yang dibutuhkan dari telur hingga dewasa oleh B. tabaci pada tanaman mentimun masing-masing 38,2 hari dengan suhu 20oC; 20,2 hari dengan suhu 25oC, dan 17,4 hari dengan suhu 32oC. Setelah terjadinya kopulasi antara jantan dan betina, selanjutnya imago betina meletakkan telur di permukaan daun. Jumlah telur yang diletakkan oleh imago betina B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman mentimun masing-masing sebanyak 130 telur dan 130,30 telur. Sedangkan pada tanaman cabai imago betina B. tabaci meletakkan telur sebanyak 82,05 butir untuk biotipe-B dan 94,48
butir untuk non-B. Adapun perbedaan jumlah telur yang dihasilkan oleh betina B. tabaci
diduga karena adanya faktor fisik dan kimi tanaman. Menurut Harris (2001), kemampuan imago betina B. tabaci dalam menghasilkan telur dan siklus hidupnya dipengaruhi oleh jenis tanaman inang dan kondisi suhu.
Perbandingan sex rasio antara B. tabaci biotipe-B dan non-B dengan perlakuan mentimun dan cabai adalah 1:2 (satu jantan banding dua betina). Menurut Samudra dan Naito (1991) B. tabaci bersifat arrhenotokous artinya lebih banyak menghasilkan betina daripada jantan. Dengan demikian jumlah individu betina dapat mempengaruhi nilai keperidian, yang terlihat pada B. tabaci biotipe non-B dengan perlakuan mentimun (Tabel 2). Jumlah imago betina yang lebih banyak daripada imago jantan dapat menimbulkan masalah jika serangga tersebut menimbulkan kerugian. Hal ini disebabkan perkembangan populasi di suatu habitat ditentukan oleh banyaknya imago betina, artinya semangkin banyak imago betina maka populasi akan semangkin meningkat.
Siklus hidup B. tabaci non-B pada tanaman mentimun lebih pendek 1,04 kali daripada tanaman cabai, dengan keperidian lebih banyak 1,37 kali. Sementara itu siklus hidup pada B. tabaci biotipe-B pada tanaman mentimun lebih cepat 1,06 kali daripada tanaman cabai, dengan keperidian lebih banyak 1,58 kali pada tanaman mentimun daripada tanaman cabai. Keadaan ini disebabkan oleh kebutuhan makan, perilaku seekor serangga, dan jenis dimakannya, yang selanjutnya akan menentukan keperidian dan strategi reroduksinya (Caroline et al. 2002). Menurut Naranjo dan Ellsworth (2005), tanaman inang merupakan salah satu faktor biotik yang dapat mempengaruhi aspek biologi dan kelangsungan hidup suatu organisme.
Isaacs et al. (1998) menyatakan bahwa pemberian variasi terhadap kualitas tanaman melon dapat memberikan pengaruh terhadap mekanisme fisiologi dan perilaku
B. tabaci. Mekanisme fisiologi diperlihatkan dengan penurunan berat tubuh yang sejalan dengan penurunan konsentrasi karbohidrat. Blackmer et al. (2002) melaporkan adanya pengaruh terhadap lama hari dan tingginya intensitas penyinaran terhadap peletakkan telur dan daya bertahan hidup. Menurut Kogan (1982), faktor fisik dan kimia tanaman memegang peranan penting dalam pemilihan dan penentuan inang tersebut. Faktor ini umumnya tidak berkerja secara tunggal, tetapi bersama-sama membentuk suatu sistem pertahanan tanaman.
Waktu yang dibutuhkan untuk populasi berlipat ganda (DT) pada B. tabaci
biotipe-B adalah 3,96 hari, sedangkan yang terendah pada B. tabaci non-B dengan perlakuan tanaman cabai. Walaupun nilai laju reproduksi bersih B. tabaci biotipe-B dengan perlakuan cabai rendah yaitu 15,30 per generasi, tetapi dengan nilai DT yang tinggi dapat menyebabkan meningkatnya laju reproduksi kotor (GRR) dan nilai laju reproduksi bersih (Ro) dalam satuan waktu tertentu. Menurut Birch (1948), nilai berlipat populasi ganda yang tinggi pada suatu individu dapat menyebabkan penurunan sumber-sumber daya lingkungan dan mempengaruhi pada nilai laju pertambahan intrinsik (r).
Nilai rataan masa generasi (T) diartikan sebagai rataan waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan hingga saat imago menghasilkan keturunan. Pada B. tabaci non-B dengan perlakuan tanaman mentimun diperoleh nilai laju reproduksi bersihnya (Ro) dan nilai laju reproduksi kotornya (GRR) masing-masing 51,12 per induk per generasi dan 91,71 per betina, dengan nilai rataan masa generasinya 33 hari. Nilai tersebut diartikan sebagai bentuk respon dari nilai rataan masa generasi yang pendek, yang menyebabkan imago betina meningkatkan nilai Ro dan GRR. Laba (2005) menyatakan bahwa nilai T yang rendah dapat meyebabkan meningkatnya nilai Ro pada kepik renda lada (Dicoronis hewetti) pada varietas chunuk. Nilai Ro dan GRR yang tinggi memperlihatkan tingkat kesesuian hidup pada suatu tanaman.
Pada perlakuan tanaman cabai antara B. tabaci biotipe-B dan non-B terlihat nilai Ro dan T yang tidak berbeda (Tabel 7). Menurut Oka (1998), jika kedua populasi dari spesies yang berbeda mempunyai nilai Ro yang sama tetapi salah satu spesies mempunyai nilai T yang rendah sedangkan yang kedua mempunyai nilai T yang tinggi, maka nilai laju pertambahan intrinsik dalam satuan waktu tertentu akan berbeda. Spesies populasi yang mempunyai nilai T yang rendah akan tumbuh lebih cepat di bandingkan spesies yang mempunyai nilai T yang tinggi.
Laju pertambahan intrinsik merupakan kapasitas suatu populasi untuk peningkatan, nilai yang diperoleh ditentukan oleh berbagai aspek yang berhubungan dengan sejarah kehidupan organisme, yaitu kematian, kelahiran, dan waktu perkembangan. Nilai laju pertambahan instrinsik (r) yang tertinggi terlihat pada
B. tabaci biotipe-B dengan perlakuan tanaman cabai sebesar 0,17 per induk per hari. Suatu populasi akan akan mencapai nilai r yang tinggi apabila suatu individu mencapai
dewasa dengan reproduksi yang awal. Hal ini terlihat dari B. tabaci non-B dengan perlakuan mentimun (Tabel 4). Menurut Birch (1948), jika nilai r lebih kecil dari nilai r yang minimum maka spesies tersebut gagal dalam bertahan hidup. Tetapi nilai laju pertambahan intrinsik (r) yang tinggi pada suatu spesies tidak selalu diartikan sebagai tingkat keberhasilan dalam suatu habitat. Hal tersebut berdasarkan adanya proses seleksi dari spesies tersebut agar nilai r-nya menjadi relatif tinggi untuk mampu berkompetisi dengan spesies yang lain. Hasil laporan Ginting (1996), menunjukkan bahwa perbedaan nilai r antara kohor bunga dan kohor polong pada tanaman kacang panjang disebabkan adanya berbedaan nilai mx, sedangkan pada nilai lx dan T tidak banyak berbeda. Brewer (1979) membagi dalam empat faktor yang menyebabkan tinggi dan rendahnya nilai r, yaitu jumlah keturunan per periode perkembangan, jumlah yang bertahan hidup dan selama masa reproduktif, usia saat reproduktif dimulai, dan lama usia reproduktif. Dari nilai neraca kehidupan yang diperoleh baik B. tabaci biotipe-B maupun non-B dengan perlakuan tanaman mentimun dan cabai memperlihatkan adanya hubungan pengaruh tanaman inang dengan strategi untuk bertahan hidup pada suatu habitat, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tanaman inang merupakan salah satu komponen faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya proses dinamika demografi.
KESIMPULAN
B. tabaci biotipe-B dan non-B memiliki waktu generasi lebih cepat pada tanaman mentimun daripada tanaman cabai. Begitu juga kedua biotipe memiliki nilai laju reproduksi yang lebih besar pada tanaman mentimun dibandingkan dengan tanaman cabai.
B. tabaci biotipe-B pada tanaman cabai mempunyai laju pertumbuhan intrinsik tertinggi yaitu 0,17 individu per induk per hari dan waktu untuk populasi berlipat ganda tercepat yaitu 3,96 hari. B. tabaci non-B pada tanaman cabai mempunyai laju pertumbuhan intrinsik paling rendah yaitu 0,07 individu per induk per hari dan memiliki waktu untuk populasi berlipat ganda 9,12 hari.
SARAN
Untuk mengetahui neraca kehidupan B. tabaci pada berbagai keadaan, disarankan untuk melakukan penelitian neraca kehidupan B. tabaci pada berbagai inang tanaman dan suhu yang berbeda.