• Tidak ada hasil yang ditemukan

Neraca kehidupan kutukebul, bemisia tabaci gennadius biotipe B dan Non B pada tanaman mentimun (Curcumis sativus L) dan cabai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Neraca kehidupan kutukebul, bemisia tabaci gennadius biotipe B dan Non B pada tanaman mentimun (Curcumis sativus L) dan cabai"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

PADA TANAMAN MENTIMUN (Curcumis sativus L.) DAN CABAI (Capsicum annuum L.)

HAZEN ARRAZIE KURNIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan tesis “ Neraca Kehidupan Kutukebul, Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera: Aleyrodidae) Biotipe-B dan Non-B

Pada Tanaman Mentimun (Curcumis sativus L.) dan cabai (Capsicum annuum L.)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam

bentuk apapun ke perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor 4 Febuari 2007

(3)

Gennadius (Hemiptera:Aleyrodidae) Biotype-B and Biotype non-B in Cucumber

(Curcumis sativus L.) and Chilli (Capsicum annum L.). Under the direction of

PURNAMA HIDAYAT and HERMANU TRIWIDODO.

Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae) has been widely recognized as the

important vegetable pest in Indonesia. Biological information of this pest is needed to

make control strategies of the pest. The objective of the research was to study life

table of two the biotypes of B. tabaci (biotype-B and non-B) on cucumber and chilli.

The result of the study showed that the host plant has a strong effect on the

development time of B. tabaci. Survival of both biotypes were recorded to higher in

cucumber than chilli. Developmental time of B. tabaci biotype-B from egg to adult

was about 31,27 days in cucumber, and 33,27 days in chilli. Developmental time of

B. tabaci biotype non-B from egg to adult was about 29,60 day in cucumber, and

30,86 in day chilli. Fecundity was 130,30±26,27 in cucumber and 94,48 in chilli. On

cucumber, an intrinsic rates of increase (r) was about 0,10 for biotype-B and 0,12 for

biotype non-B. On chilli, intrinsic of increase (r) was about 0,17 in biotype-B and

0,07 in biotype non-B. Doubling time of the B. tabaci biotype-B was about 3,96 in

chilli and 6,45 in cucumber. Doubling time of the B. tabaci non-B was about 5,71 in

cucumber and 9,21 in chilli.

(4)

HAZEN ARRAZIE KURNIAWAN. Neraca Kehidupan Kutukebul, Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera: Aleyrodidae) Biotipe-B dan non-B Pada Tanaman Mentimun (Curcumis sativus L.) dan Cabai (Capsicum Annuum L.). Dibimbing oleh PURNAMA HIDAYAT dan HERMANU TRIWIDODO.

Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan salah satu hama penting yang dapat menyebabkan kerusakan langsung dengan menghisap cairan tanaman dan tidak langsung dengan menularkan penyakit pada tanaman sayuran di Indonesia. Informasi mengenai biologinya dibutuhkan untuk menyusun strategi pengendalian hama. Hasil penelitian menunjukkan tanaman inang dapat mempengaruhi waktu perkembangan B. tabaci. Daya bertahan hidup kedua biotipe tercatat lebih tinggi pada mentimun daripada cabai. Penelitian ini mempelajari neraca kehidupan dua biotipe B. tabaci (biotipe-B dan non-B) pada tanaman mentimun dan cabai. Lama hidup B. tabaci biotipe-B dari telur hingga dewasa, adalah 31,27±17,70 hari pada mentimun, dan 33,27±4,60 pada cabai. Keperidian sebesar 130±18,50 telur pada mentimun dan 82,05±22,57 telur pada cabai. Selanjutnya lama hidup B. tabaci non-B dari telur hingga dewasa adalah 29,60±3,80 hari pada mentimun dan 30,86±6,32 hari pada cabai. Keperidian sebesar 130,30±26,27 telur pada mentimun dan 94,48 telur pada cabai. Pada mentimun, nilai laju pertambahan intrinsik (r) adalah 0,10 dengan nilai waktu untuk populasi berlipat ganda (DT) 6,45 hari pada biotipe-B dan 0,12 dengan nilai berlipat populasi 5,71 hari pada biotipe non-B. Pada tanaman cabai laju pertambahan intrinsik (r) sebesar 0,17 pada B. tabaci biotipe-B, dengan nilai waktu untuk populasi berlipat ganda (DT) 3,96 hari., dan 0,07 dengan nilai berlipatan populasi 9,21 hari pada biotipe non-B.

(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007. Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbayak tampa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy,

(6)

(HEMIPTERA: ALEYRODIDAE) BIOTIPE-B DAN NON-B PADA TANAMAN MENTIMUN (Curcumis sativus L.)

DAN CABAI (Capsicum annuum L.)

HAZEN ARRAZIE KURNIWAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Proteksi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

(Capsicum annuum L.)

Nama : Hazen Arrazie Kurniawan NIM : A451040091

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. Dr. Ir. Hermanu Triwidodo M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program studi Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi/Fitopatologi

Dr. Ir. Sri. Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Kahiril Anwar Notodiputro, MS.

(8)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhana Wata’ala atas karunia-Nya sehingga tesis dengan judul ”Neraca Kehidupan Kutukebul, B. tabaci Gennadius (Hemiptera: Aleyrodidae) Biotipe-B dan Non-B Pada Tanaman Mentimun (Curcumis sativus L.) dan Cabai (Capsicum annuum L.)” dapat diselesaikan, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc., Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc., Dra. Dewi

Sartiami, M.Si., yang telah memberikan ilmu, pengarahan, dorongan dan bimbingannya selama ini. Kepada seluruh staf pengajar Departemen Perlindungan Tanaman penulis juga mengucapkan terima kasih.

Terima kasih kepada Ibunda dan Ayahanda tercinta di Medan yang telah mencurahkan tenaga, pikiran, doa, dan materi demi kelancaran pendidikan penulis di Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Krida Laksi, SP., Raziq Rasidin Ardino, Rayhan Aghani Amiseno yang telah memberikan semangat dan dukungan dalam melewati masa studi di Bogor.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di Laboratorium Taksonomi (bu Aisyah, bu Eva, Echa), rekan-rekan Laboratorium Virologi (embak Tuti, pak Ray, Artha, Reno, Dedek kambing, mas Emput), rekan-rekan Laboratorium Biologi Parasitoid dan Predator (mas Jalu, mas Bandung, bu Yanti, Wina), rekan-rekan Kos (Rizal, Agung, faldi, Heru, danar) ,dan seluruh pihak yang telah memberikan saran dan masukan yang berarti.

Bogor, Febuari 2007

(9)

Armansyah dan ibunda Siti Hafsah. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara.

(10)

DAFTAR TABEL………... xii

DAFTAR GAMBAR………... xiii

DAFTAR LAMPIRAN………... xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang……….... 1

Tujuan Penelitian……….... 3

Hipotesis………... 3

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Morfologi………... 4

Biologi...……….... 6

Keragaman Biotipe B. tabaci... 6

Hubungan Virus dengan B. tabaci………... 8

Neraca Kehidupan………... 9

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian……….... 11

Persiapan Pengujian B. tabaci pada Tanaman Uji a. Perbanyakan Serangga... 11

b. Persiapan Tanaman Uji... 12

c. Persiapan kurungan dan Penanaman... 12

Pembuatan Preparat Mikroskop dan Identifikasi... 13

Pengujian NeracaKehidupan B. tabaci Biotipe-B dan Non-B Di Laboratorium a. Pengujian Neraca Kehidupan... 13

b. Parameter Neraca Kehidupan... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi……….. 15

Siklus hidup B. tabaci Biotipe-B dan non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai... 15

Lama hidup dan Keperidian B. tabaci Biotipe-B dan non-B... 18

Neraca Kehidupan B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun... 23

Neraca Kehidupan B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Cabai... 23

PEMBAHASAN UMUM ... 25

KESIMPULAN DAN SARAN... 29

(11)

xi

1. Keragaman biotipe B. tabaci di berbagai negara di dunia ... 7

2. Lama stadia B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman mentimun... 16

3. Lama stadia B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman cabai... 17

4. Lama hidup dan keperidian B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman mentimun... 19

5. Lama hidup hidup dan keperidian B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman cabai... 19

6. Neraca kehidupan B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman mentimun ... 24

(12)

xii

1. Gambar imago B. tabaci…………...………. 4

2. Gambar kantung pupa B. tabaci... 16

3. Gejala penyakit daun keriting kuning pada tanaman tomat... 8

4. Gambar Kurungan pemeliharaan dan perbanyakan B. tabaci... 11

5. Gambar kurungan pemeliharaan tanaman... 12

6. Kurva lama hidup (lx) dan rataan keperidian betina per hari (mx) B. tabaci biotipe-B pada tanaman mentimun………. 21

7. Kurva lama hidup (lx) dan rataan keperidian betina per hari (mx) B. tabaci non-B pada tanaman mentimun... ... 21

8. Kurva lama hidup (lx) dan rataan keperidian betina per hari (mx) B. tabaci Biotipe-B pada tanaman cabai... 22

(13)

xiii

1. Siklus hidup B. tabaci biotipe-B di tanaman cabai………... 34

2. Siklus hidup B. tabaci non-B di tanaman mentimun………... 36

3. Siklus hidup B. tabaci non-B di tanaman cabai………... 38

4. Siklus hidup B. tabaci biotipe-B di tanaman mentimun………... 40

5. Lama hidup betina, prapeneluran, dan peneluran B. tabaci Biotipe-B pada tanaman mentimun dan cabai... 42

6. Lama hidup betina, parapeneluran, dan peneluran B. tabaci non-B pada tanaman mentimun dan cabai... 44

7. Keperidian B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman mentimun dan cabai... 46

8. Neraca kehidupan B. tabaci biotipe-B pada tanaman mentimun... 48

(14)

Latar Belakang

Sayuran merupakan tanaman hortikultura penting yang mengandung nutrisi

tinggi, terutama vitamin, mineral, dan serat yang tinggi. Beberapa jenis sayuran penting

seperti cabai, tomat, bawang merah, kentang, mentimun, dan terung mempunyai nilai

ekspor yang tinggi. Penurunan produksi sayuran, sering disebabkan oleh serangan

hama. Salah satu serangga yang dapat menyebarkan penyakit pada tanaman sayuran

adalah B. tabaci, yang diketahui dapat menimbulkan gagalnya panen di beberapa daerah

di Indonesia.

Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera: Aleyrodidae) dengan nama umum

kutukebul tembakau mulai dikenal lebih dari 100 tahun yang lalu sebagai hama yang

merugikan pada beberbagai tanaman di daerah tropik maupun sub tropik (Oleivera et

al. 2001). Serangga ini dapat menimbulkan kerusakan langsung pada tanaman dengan

menghisap cairan makanan (Van den Ven et al. 2000), menimbulkan gangguan

fisiologis (Mecollum et al. 2000), dan memacu tumbuhnya cendawan embun jelaga

pada tanaman inangnya. B. tabaci diketahui dapat berperan sebagai vektor berbagai

virus yang dapat menyebabkan penyakit tanaman ( Legg et al. 2002).

Di Indonesia B. tabaci diketahui pertama kali pada tahun 1938 sebagai penyebab

penyakit kerupuk di tanaman tembakau di daerah Sumatra dan Jawa, yang ditularkan

dari gulma, yaitu Ageratum sp., Synedrella sp., dan Eupatorium odoratum. Namun pada

waktu itu kerusakan yang ditimbulkan oleh B. tabaci dianggap tidak berarti

(Kalshoven 1981). Hasil laporan Sulandari (2004), diketahui adanya peningkatan

kerusakan, yaitu ditemukannya 29 tanaman yang terserang penyakit keriting kuning

yang dibawa dan ditularkan oleh B. tabaci. Penyakit keriting kuning merupakan salah

satu virus yang ditularkan B. tabaci yang disebut geminivirus. Virus ini ditakuti oleh

petani, karena menyebabkan tanaman menjadi kerdil dan tidak berbuah. Beberapa

tanaman yang terserang geminivirus, seperti African Cassava Mosaic Geminivirus

(ACMV)) dapat menginfekti tanaman ubi kayu di Afrika, Catton Leaf Cruemple Virus

(CLCV) dapat menginfeksi tanaman kapas di California, dan Ageratum Yellowvein

(15)

Aidawati (2006) melaporkan minimal ada dua biotipe B. tabaci setelah

dilakukan survai ke beberapa tanaman tomat yang ada di Jawa Barat (Bogor), Jawa

Tengah (Boyolali, Mangelang, Semarang), dan Daerah Istimewa Yogykarta (Sleman,

Kuloprogo, dan Bantul), yaitu biotipe-B dan non-B. Timbulnya biotipe B. tabaci

diketahui pada tahun 1986 di Florida, pada tanaman Euphorbia pulcherrima Willdenow

menimbulkan gejala keperakan. Gejala keperakan ini terjadi di beberapa negara bagian

di Amerika. Hingga saat ini fenomena timbulnya biotipe pada B. tabaci menjadi

masalah di beberapa negara, seperti di Amerika pada tanaman kapas, di Afrika pada

tanaman ubi kayu, dan di Indonesia pada tanaman cabai dan tomat. Penentuan

biotipe-B juga didasarkan pada kemampuan berkembangbiak B. tabaci yang tinggi, daya tahan

terhadap beberapa insektisida (Harowitz et al. 1998; Belloti dan Arias 2000), dan

kemampuan penularan virus yang berbeda antar biotipe B. tabaci (Aidawati 2006).

Menurut Costa dan Brown (1990) perbedaan biologi antara B. tabaci biotipe-B dan

biotipe-A, terlihat dari tingkat keperidiannya, tanaman inang yang luas, dan ketahanan

pada beberapa insektisida yang lebih baik pada B. tabaci biotipe-B serta kemampuannya

dalam menimbulkan gejala keperakan. Hasil survai yang dilakukan oleh Lima et al.

(1991) di Brazil pada 57 lokasi dengan 27 tanaman yang berbeda di peroleh fakta bahwa

B. tabaci biotipe-B lebih dominan dijumpai dari pada biotipe-A .

Penelitian mengenai biotipe pada B. tabaci telah banyak dilakukan di beberapa

negara di Eropa. Di Indonesia informasi mengenai biologi B. tabaci biotipe-B dan

non-B masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian mengenai neraca kehidupan B. tabaci

biotipe-B dan non-B pada tanaman mentimun dan cabai penting dilakukan. Menurut

Naranjo dan Ellworty (2005), bentuk neraca kehidupan merupakan metode untuk

menggambarkan dan mengukur kematian dalam suatu populasi. Maka diharapkan

pengujian neraca kehidupan dapat menjadi informasi dalam pengambilan keputusan

(16)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui neraca kehidupan B. tabaci

(Hemiptera: Aleyrodidae) biotipe-B dan non-B pada tanaman cabai

(Capsicum annuum L.) dan tanaman mentimun (Curcumis sativus L.).

Hipotesis

1. Terdapat perbedaan neraca kehidupan antara B. tabaci biotipe-B dan non-B.

2. Tanaman yang berbeda akan memberikan pengaruh pada siklus hidup dan

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi dan Morfologi

Kutukebul tembakau (tobacco whitefly) atau B. tabaci (Gambar 1) digolongkan ke

dalam ordo Hemiptera, subordo Sternorrhyncha, famili Aleyrodidae termasuk ke dalam

superfamili Aleyrodoidea (Martin et al. 2000). Umumnya tersebar di daerah tropik dan

subtropik, bersifat polifag, dan diketahui sebagai vektor virus yang dapat menyebabkan

penyakit pada tanaman (Kalshoven 1981).

Menurut Kalshoven (1981) ciri morfologi B. tabaci adalah sebagai berikut: tubuh

imago berwarna kuning, sayap tertutup oleh tepung berwarna putih, panjang tubuh 1-1,5

mm. Telur yang baru diletakkan berwarna kekuning-kuningan dan biasanya tertutup

oleh lilin. Setelah 24 jam, warna telur akan berubah menjadi coklat. Nimfa instar satu

berbentuk bulat panjang, berwarna hijau cerah, dengan panjang tubuhnya 0,22 mm dan

lebar 0,13 mm. Nimfa instar dua berwarna hijau gelap dengan panjang tubuhnya 0,28

mm, lebar 0,17 mm, antena sangat pendek, dan tungkainya tereduksi. Pupanya

berbentuk bulat panjang, di bagian toraks agak melebar, cembung, dan abdomen tampak

jelas. Terdapat satu pasang seta kauda (cauda setae) pada ujung anal. Vasiform orifice

terdapat di daerah sebelum ujung posterior puparium, berbentuk segitiga, dan ukurannya

lebih panjang dari panjang alur kaudal (caudal furrow). Operkulumnya (operculum)

hampir separuh bagian menutupi bagian vasiform orifice (Gambar 2).

Lama hidup imago betina sekitar enam hari, tetapi mampu hingga 60 hari pada

kondisi tertentu. Umumnya imago lama hidup jantan lebih pendek yaitu antar 9-17 hari

(CABI 2005). Kopulasi berlangsung kurang lebih dua jam setelah serangga menjadi

dewasa, yang dapat terjadi pada saat siang dan malam hari.

1,5 mm

(18)

Gambar 2 Kantung pupa B. tabaci; keterangan : dds: dorsal disc spine, lms:

longitudinal moulting suture, ttc: thoracic tracheal, ttf: toraccic tracheal fold, r: rostrum, l : leg, tms: transverse moulting suture, m: margin, sma:

sub marginal area, vo: vasiform orifice, asms: sub marginal seta, ds:

dorsal seta, psms: posterior marginal seta, o: operculum, li: lingula, cf:

caudal furrow, cs: caudal seta (Martin 2000).

ttc ttf

r

l

tms

m

sma

vo

o

li

cf

cs asms3

asms4

psms5

psms4

psms3

psms2

Psms1 ds1

ds2

ds3

ds4

ds5 asms2

asms1

(19)

Biologi

Setelah terjadinya kopulasi antara imago jantan dan betina, selanjutnya imago

betina B. tabaci akan meletakkan telur secara satu persatu pada permukaan daun bagian

bawah, dengan cara menyisipkan telurnya ke dalam jaringan epidermis daun

menggunakan alat peletak telur. Telur-telur tersebut diletakkan secara tegak lurus pada

permukaan daun. Pada umumnya imago betina lebih memilih meletakkan telur pada

daun yang lebih muda dari pada daun yang lebih tua.

Telur- telur yang dihasilkan oleh imago betina B. tabaci dipengaruhi oleh faktor

tanaman inang dan kondisi suhu. Samudra dan Naito (1991) menyatakan bahwa

telur-telur yang dihasilkan oleh betina B. tabaci pada tanaman kapas adalah 81-308 telur

per betina pada suhu 25-27oC. Tsai dan Wang (1996) melaporkan bahwa, telur-telur

yang dihasilkan oleh imago betina B. tabaci dengan kondisi suhu 25oC adalah 167,6

telur per betina pada tanaman tomat, 77,5 telur per betina pada tanaman ubi kayu, dan

66 telur pada tanaman mentimun. Kisaran waktu perkembangan dari telur hingga

stadium dewasa adalah 23,6 hari pada suhu 25oC dan 17,8 hari pada suhu 27,5oC.

Powel dan Bellows (1992) melaporkan bahwa mortalitas untuk instar satu, instar

dua, instar tiga, dan instar empat pada tanaman mentimun dan tomat dengan suhu 20oC

dan 32oC, masing-masing 17-18%, 2-16%, 3-14%, dan 2-24%. Menurut Burban et al.

(1992), populasi B. tabaci yang berasal dari daerah geogerafis yang berbeda

menunjukkan perbedaan dalam kemampuan reproduksi dan makan.

Keragaman Biotipe B. tabaci

Keragaman taksonomi dimulai pada tahun 1986 dengan penemuan kutukebul

pada tanaman Euphorbia pulcherrima Willdenom, dan beberapa tanaman di daerah

Florida (tembakau, kapas, tomat, kedelai, dan terung). Gejala yang terdapat di tanaman

squash adalah daun berwarna keperakan (silver leaf) dan terjadi di beberapa negara

bagian di Amerika ( Arizona, California, Hawai, New York, Ohio, Tennessee, dan

Texas). Hasil penemuan dan pengujian genetik tersebut membuktikan bahwa, penemuan

kutukebul di tanaman E. pulcherrima Willdenom dianggap sebagai timbulnya strain

yang berbeda (Harris et al. 2001). Fakta yang mendukung timbulnya biotipe ini adalah

pengujian menggunakan elektromorphis esterase yang memperlihatkan perbedaan pita

(20)

terlihat adanya perbedaan antara B. tabaci biotipe-A dan biotipe-B, dengan tingkat

kemiripan mencapai 90%. Hasil tersebut digunakan sebagai pembanding biotipe

B. tabaci di dunia, seperti yang dilakukan oleh De barro et al. (1998) yang melakukan

survei di daerah Pasifik.

Tabel 1 Keragaman biotipe B. tabaci di berbagai negara di dunia

Biotipe Negara

A Mexico, USA

AN Australia, Niue, Papuan N.Guinea, Solomon Island, Vanuatu

B

American Samoa, Antigua, Australia, Austria, Belize, Brazil, Canada, Canary Island, Cook Island Cyprus, Denmark, Dom. Republik, Egypt, Fiji, France Grenada, Guandaloupe, Guam, Guatemala, Honduras, Iran, Israel, Italy, Japan, Jordan, Korea, Mexico, Marshall Island, N. Mariana Island, Netherland, New Celedonia, Nicaragua, Niue, Panama, Poland, Poertorico south Africa, Spain, St. Kitts, Sudan, Tobago, Trinidat, USA, Yemen

B2 Yemen

C Costa Rica

Cassava Ivory Coast

D Nicaragua

E Benin

H India

I India

J Nigeria

K Pakistan

L Sudan

M Turkey

N Puerto Rico

NA AM. Samoa, Fed. St. Micronesia, Fiji, Guam, Kiribian, Marshal Is, N. Mariana IS, Nauru, Niue, Palau, Tonga, Tuvalu, Western Samoa

Okra Ivory Coast

P Nepal

Q Spain

R Colombia

(21)

Hasil survei menyebutkan adanya tersebut terdapat perbedaan pola pita esterase

pada B. tabaci yang berasal dari daerah Sudan (biotipe-L), india (biotipe-H dan

biotipe-G), Pakistan (biotipe-K), dan New Zeland (biotipe belum diketahui). Hasil

penelitian Bark dan Markham menyatakan tentang penemuan 20 biotipe kutukebul

(Perring 2001). Keragaman biotipe B. tabaci dan lokasi di temukannya dapat dilihat

pada Tabel 1.

Hubungan Virus dengan B. tabaci

Di Amerika dan Karibian adanya populasi B. tabaci atau yang dikenal sebagai

kutukebul tembakau yang mempunyai kemampuan yang berbeda, dalam hal kisaran

inangnya, kemampuan menularkan virus, dan tingkat reproduksi yang sangat tinggi,

serta tidak dapat melakukan kopulasi dengan kutukebul tembakau yang sudah ada

sebelumnya. Biotipe baru tersebut kemudian dikenal dengan kutukebul tembakau

biotipe-B dan ada yang menyebutnya sebagai spesies B. argentifolii. Selain biotipe-B,

terdapat tujuh kelompok biotipe B. tabaci, dan biotipe-B tersebut sangat potensial dalam

menularkan Geminivirus pada berbagai tanaman budidaya (Perring 2001), CabLCV

pada tanaman kubis (Hunter et al. 1998), dan ToMV pada tanaman tomat (Gambar 3).

Secara alamiah begomovirus tidak menular melalui benih tapi hanya menular dengan

bantuan serangga B. tabaci dari tanaman satu ke tanaman lainnya.

Gambar 3 Gejala penyakit daun keriting kuning pada tanaman tomat

Peranan kutukebul tembakau sebagai vektor Geminivirus yang menyebabkan

penyakit sudah banyak dilaporkan. Pada umumnya hubungan virus dengan vektornya

(22)

(non transovarial transmission). Walaupun demikian ada pula Geminivirus yang dapat

diturunkan ke generasi berikutnya, misalnya TYLCV (Czosnek et al. 2001), dan

TYLCV-sar (Bosco et al. 2001). Geminivirus dapat diketahui melalui tehnik

PCR-RFLP yang menyerang tanaman cabai di Indonesia (Hidayat et al. 1999).

Neraca Kehidupan

Price (1997) menyatakan bahwa, untuk mengetahui pertumbuhan populasi suatu

spesies harus diketahui terlebih dahulu jumlah keturunan yang dihasilkan oleh seekor

betina pada interval umur selama hidupnya, dan jumlah individu pada setiap interval

umur tesebut. Untuk mengetahui hal tersebut, pendekatannya dapat disederhanakan

dengan hanya mengikuti betina saja dalam satu populasi.

Bila populasi betina dan perbandingan kelaminnya di ketahui maka dengan

mudah diketahui populasi jantan dan populasi total. Jika x melambangkan umur

individu pada setiap periode dan tiap bagian populasi serangga betina dalam kohort

yang dapat betahan hidup pada umur tersebut dilambangkan dengan lx, maka statistik

dari kohort serangga tersebut dapat ditabulasikan. Dari nilai lx tersebut dibuat kurva

bertahan hidup, Price (1997) berpendapat bila nilai lx di buat dalam bentuk skala

logaritma akan terlihat lebih informatif.

Kurva daya bertahan hidup secara umum dibagi dalam tiga tipe. Kurva daya

bertahan hidup tipe I dimiliki oleh populasi yang tingkat kematiannya rendah pada

umur muda dan tinggi pada umur tua, dan konstan pada semua tingkatan umur. Kurva

daya bertahan hidup tipe II dimiliki oleh populasi yang tingkat kematiannya konstan

pada semua tingkatan umur. Kurva daya bertahan hidup tipe III dimiliki oleh populasi

yang tingkat kematiannya tinggi pada umur muda dan rendah pada umur tua (Wilson

dan Bossert 1971; Cotgreave dan Forseth 2002).

Menurut Hasibuan (1988), neraca kehidupan berisi semua aspek demografi suatu

populasi, yang terdiri dari tujuh buah lajur, yaitu usia (x), daya bertahan hidup (lx), laju

kematian individu di dalam kelas usia x (dx), proporsi individu yang masuk ke dalam

kelas usia x tetapi mati di kelas usia tersebut (qx), panjang waktu hidup semua individu

yang tersisa dari semua individu yang mencapai usia x (Lx), jumlah waktu hidup yang

tersisa dari semua individu yang mencapai usia x (Tx) dan harapan hidup suatu individu

(23)

Hanya pada umur tertentu saja serangga betina mempunyai kemampuan untuk

menghasilkan keturunan sedangkan sebagian besar hidupnya adalah masa muda dan tua

yang tidak produktif. Dengan melakukan pengamatan langsung didapat nilai mx yaitu

jumlah anak betina yang di hasilkan pada umur x oleh seekor induk betina yang masih

hidup pada umur x tersebut. Total nilai mx disebut laju reproduksi kasar (gross

reproduction rate) yaitu total anak betina yang dihasilkan dari seekor induk betina

selama masa hidupnya (Price 1997).

Pertumbuhan populasi tergantung dari jumlah induk betina yang masih bertahan

hidup (lx) dan kemampuan individu dalam menghasilkan keturunan (mx) yang disebut

sebagai laju reproduksi bersih dari seekor betina di dalam populasi . Total anak betina

yang dihasilkan dari rataan induk betina di dalam populasi tersebut disebut laju

reproduksi (Ro), atau didefenisiskan sebagai jumlah anak betina yang menggantikan

secara sempurna seekor induk betina dalam satu generasi. Suatu populasi dikatakan

stabil bila Ro = 0, tetapi bila Ro > 1 populasi akan bertambah dan bila Ro < 1 populasi

akan berkurang. Bila Ro suatu spesies diketahui maka lamanya suatu generasi (T) dapat

(24)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di laboratorium Taksonomi Departemen Proteksi Tanaman,

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, sedangkan perbanyakan serangga uji dan

perbanyakan tanaman uji dilakukan rumah kaca dan kasa Cikabayan. Penelitian dimulai

dari bulan April sampai Agustus 2006.

Persiapan Pengujian B. tabaci pada Tanaman Uji a. Perbanyakan Serangga

Serangga yang digunakan adalah B. tabaci biotipe-B yang berasal dari tanaman

brokoli (Brassica oleraceae var. Sakata), sedangkan B. tabaci non-B berasal dari

tanaman terung (Solanum melongena L.). Kedua biotipe tersebut merupakan koleksi

dari laboratorium Virologi Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor, yang sengaja dikembangbiakkan dan diperbanyak untuk kepentingan

penelitian. Perbanyakan kedua biotipe tersebut dilakukan di rumah kaca dan kasa

Departemen Proteksi Tanaman di Cikabayan. B. tabaci biotipe-B dipelihara pada

tanaman brokoli, sedangkan B. tabaci non-B dipelihara pada tanaman tembakau

(Nicotiana tabacum L.) di dalam sebuah kurungan kasa yang berbeda (Gambar 4).

(25)

b. Persiapan Tanaman Uji

Tanaman yang diuji adalah cabai (Capsicum annuum L.) var TM-888

(Solanaceae), dan mentimun (Curcumis sativus L.) var Venus (Cucurbitaceae). Selain

pertimbangan famili, pemilihan tanaman uji juga didasarkan pada jenis tanaman yang

umumnya ditanam petani di Jawa Barat (Bogor) secara tumpang sari, benih cabai dan

mentimun yang akan digunakan diperoleh dari kios pertanian.

c. Persiapan Kurungan dan Penanaman

Benih tanaman mentimun dan cabai di semai menggunakan nampan (bak

penyemaian) dengan media semai adalah tanah kompos yang diperoleh dari kios

pertanian. Pemindahan tanaman mentimun ke dalam kantung plastik (tinggi 20 cm,

diameter 20 cm) dilakukan pada saat umur tanaman berumur 20 hari, dan cabai berumur

30 hari. Pemberian ajir bambu setinggi kurungan pada tanaman mentimun, digunakan

sebagai penunjang.

Setelah benih dipindahkan ke kantung plastik, kemudian di masukkan ke dalam kurungan kasa berbentuk kubus (panjang 1,5 m, tinggi 1,5 m, dan lebar 1,5 m). Bahan

penutup bagian depan kurungan menggunakan plastik kaca tipis, sedangkan di bagian

sisi lainya menggunakan kain kasa (Gambar 5). Tujuan pemakaian kurungan kasa

adalah untuk sterilisasi tanaman uji dari organisme pengganggu tanaman sebelum

digunakan.

(26)

Pembuatan Preparat Mikroskop dan Identifikasi

Puparium yang dikoleksi dipindahkan ke dalam alkohol 95% yang ditempatkan

pada gelas arloji, lalu dipindahkan secara hati-hati ke dalam tabung reaksi yang berisi

larutan KOH 10% kemudian dipanaskan selama 5-10 menit (hingga transparan), setelah

itu di cuci dengan akuades sebanyak dua kali, kemudian masukkan ke dalam alkohol

50% selama 10 menit. Selanjutnya ditambahkan tiga tetes fuchsin dan diamkan selama

20 menit, lalu tambahkan lagi dengan satu tetes asam asetat glasial, diamkan selama

± 10 menit. Setelah itu puparium dimasukkan ke dalam alkohol 80% selama 5-10 menit

lalu diganti dengan alkohol absolut selama 10 menit. Kemudian masukkan ke dalam

asam asetat glasial selama 10 menit, lalu diganti lagi dengan alkohol absolut selama

5-10 menit. Selanjutnya dimasukkan ke dalam minyak cengkeh selama 10 menit.

Setelah itu puparium ditempatkan pada gelas objek dengan menggunakan

canada balsam. Preparat mikroskop yang telah jadi, dikeringkan di atas pemanas dan

diidentifikasi dengan kunci identifikasi Martin (1987).

Pengujian Neraca Kehidupan B. tabaci Biotipe-B dan Non-B di Laboratorium a. Pengujian Neraca Kehidupan

Pengujian neraca kehidupan B. tabaci biotipe-B dan non-B dilakukan di

laboratorium Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Bogor. Untuk memperoleh telur B. tabaci biotipe-B dan non-B, pada tanaman cabai

digunakan plastik mika berbentuk tabung selinder (tinggi 25 cm, diameter 8 cm),

bagian atasnya dilapisi oleh kain kasa. Pada bagian tengah dari plastik mika terdapat

lubang yang berfungsi untuk memasukkan imago B. tabaci. Ukuran tabung pada

tanaman mentimun disesuaikan dengan tinggi tanaman. Setelah itu ke dalam tabung

plastik dimasukkan lima pasang B. tabaci. Tahap awal pengujian dan pengamatan

dimulai dari fase telur , nimfa, pupa, dan imago. Telur yang digunakan untuk pengujian

adalah sebanyak 100 telur dan diamati setiap hari dengan bantuan mikroskop binokuler,

untuk mengetahui usia, kematian, lama waktu hidup, jumlah generasi yang dihasilkan

satu betina, dan ukuran setiap stadianya. Pengujian di laboratorium dilakukan dengan

menggunakan B. tabaci biotipe-B dan non-B generasi ke dua dari masing-masing

(27)

b. Parameter Neraca Kehidupan

Parameter neraca kehidupan digunakan untuk melihat hubungan preferensi

kutukebul terhadap tanaman yang diujikan. Untuk menentukan kesesuaian inang

biasanya digunakan parameter pertumbuhan seperti lama stadia pradewasa, lamanya

stadia imago, dan keperidian.

Cara demikian sering menimbulkan kesulitan dalam pengambilan keputusan jika

parameter tersebut saling bertentangan. Penggunaan statistik demografi mampu

mengatasi kesulitan tersebut. Statistik demografi serangga oleh Zeng et al. (1983)

diartikan sebagai analisis secara kuantitatif populasi serangga hama dalam hubungannya

dengan kelangsungan hidup, keperidian, dan pola pertumbuhan populasi. Adapun data

mengenai daya kemampuan hidup dan keperidian disusun dalam bentuk neraca

kehidupan (life table). Parameter demografi yang dihitung (Birch 1948) meliputi :

1. Laju Reproduksi Bersih (Ro), dihitung dengan rumus:

Ro = ∑lxmx

2. Laju Reproduksi Kotor (GRR), dihitung dengan rumus :

GRR = ∑mx

3. Laju pertambahan Intrinsik (r) dihitung secara eterasi dihitung dengan rumus:

∑lxmx e- rx = 1

4. Rataan masa generasi (T) dihitung dengan rumus:

T = ∑xlxmx/∑lxmx

5. Populasi berlipat ganda dihitung dengan rumus :

DT = ln (2)/r

Keterangan :

x = Kelas umur kohor (hari).

lx = Proporsi individu yang hidup pada umur x.

mx = Keperidian spesifik individu-individu pada kelas umur x atau jumlah.

anak betina perkapita yang lahir pada kelas x.

Peubah biologi yang diamati meliputi: 1) lama waktu perkembangan yang di

butuhkan sejak telur di letakkan oleh imago hingga menetas menjadi nimfa instar satu;

(28)

3) lama waktu perkembangan yang dibutuhkan nimfa instar empat hingga menjadi pupa

; 4) lama waktu perkembangan yang dibutuhkan pupa hingga menjadi imago ; 5) lama

hidup imago sejak keluar dari pupa sampai mati ; 6) masa sebelum peletakkan telur

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi

Hasil identifikasi dengan menggunakan preparat mikroskop pada kantung pupa

kutukebul berdasarkan kunci identifikasi Martin (1987), ditemukan ciri morfologi

B. tabaci yang spesifik berupa seta kauda yang kokoh, umumnya sama panjang dengan

vasiform orifice, dan tidak banyak variasi diantara individu. Vasiform orifice terdapat di

daerah sebelum ujung posterior, berbentuk segitiga, ukurannya lebih panjang dari alur

kauda (caudal furrow) dan bagian samping orifice hampir lurus. Lingula berbentuk

seperti lidah, serta subdorsum tampa pori. Kutikula kantung pupa berwarna pucat,

dengan bentuk bervariasi tergantung bentuk permukaan daun.

Kantung pupa kutukebul antara biotipe-B dan non-B memiliki beberapa

perbedaan morfologi. Ciri morfologi spesifik bagi biotipe-B adalah tidak adanya

submarginal seta (ASMS4) di bagian anterior adanya lapisan lilin di anterior kiri dan

kanan tubuh yang berukuran pendek, serta lapisan lilin yang sedikit di bagian posterior.

Ciri morfologi spesifik biotipe non-B adalah terdapat submarginal seta (ASMS4) di

bagian anterior. Pada bagian anterior kiri dan kanan terdapat lapisan lilin yang panjang,

sedangkan bagian posterior terdapat lapisan lilin yang lebih melebar.

Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai

Siklus hidup adalah selang waktu sejak telur diletakkan hingga saat imago betina

meletakkan telur untuk pertama kalinya. Hasil pengamatan harian menunjukkan, siklus

hidup B. tabaci biotipe-B dan non-B pada mentimun (Tabel 2), berturut-turut adalah

31,27 hari dan 29,60 hari. Pada tanaman cabai siklus hidup B. tabaci biotipe-B dan

non-B (Tabel 3) yaitu berturut-turut 33,27 pada hari dan 30,86 hari. Pada tanaman

mentimun imago betina B. tabaci biotipe-B mulai meletakkan telur pada hari ke-25,

dengan masa peneluran 14,86 hari dan jumlah telur yang diletakkan 130 butir per

betina. Sementara itu di tanaman cabai, telur mulai diletakkan pada hari ke-27, dengan

masa peneluran 15,58 hari, dan jumlah telur yang diletakkan 82,05 butir per betina.

Jumlah telur yang diletakkan imago betina B. tabaci biotipe non-B pada tanaman

mentimun dan cabai masing masing 130,30 butir per betina, dengan masa peneluran

(30)
[image:30.612.102.523.107.482.2]

Tabel 2 Lama stadia B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman mentimun

Jenjang

Biotipe-B Biotipe non-B

n Periode

(hari) n

Periode (hari)

Telur 100 5,17±0,72 100 4,58±0,99

Nimfa

Instar-1 85 4,83±0,72 95 4,53±0,50

Instar-2 85 4,05±0,28 95 3,74±0,43

Instar-3 85 4,05±0,35 95 3,95±0,20

Instar-4 85 4,02±0,26 95 3,90±0,32

Pupa 85 3,75±0,53 95 3,64±0,48

Imago

Jantan 33 20,30±3,45 39 20,20±3,87

Betina 52 22,23±2,68 56 22,16±2,44

Pra peneluran 52 2,07±0,38 56 1,89±0,56

Peneluran 49 14,86±3,95 56 15,75±1,29

Siklus Hidup 49 31,27±17,70 56 29,60±3,80

Powell dan Bellows (1992) menyatakan bahwa siklus hidup B. tabaci pada

tanaman mentimun berkisar 17,4 hari dengan suhu 25oC, dan tingkat keberhasilan telur

menetas adalah 86,80%. Sementara itu Tsai dan Wang (1996) melaporkan siklus hidup

B. tabaci pada tanaman mentimun berkisar 19,3 hari pada suhu 25,5oC, dengan tingkat

keberhasilan telur menetas mencapai 95%.

Perbandingan sex rasio antara B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman cabai

dan tanaman mentimun adalah satu jantan banding dua betina, artinya ke dua biotipe

B. tabaci lebih banyak menghasilkan keturunan betina daripada jantan. Imago betina

hidup lebih lama daripada imago jantan yang dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Mortalitas pradewasa antara B. tabaci non-B dengan biotipe-B mempunyai kesamaan,

(31)

Mortalitas tertinggi B. tabaci non-B di tanaman cabai terjadi pada fase telur adalah

25%, dan nimfa instar satu sebesar 16%. Tingkat mortalitas pada B. tabaci biotipe-B

[image:31.612.104.524.176.552.2]

ditanaman cabai terjadi pada fase telur sebesar 30%, dan nimfa instar satu 15,71%.

Tabel 3 Lama stadia B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman cabai

Jenjang

Biotipe-B Biotipe non-B

n Periode

(hari) n

Periode (hari)

Telur 100 5,97±0,95 100 6,88±0,85

Nimfa

Instar-1 70 4,61±0,62 75 4,43±0,67

Instar-2 59 4,03±0,19 62 3,96±0,44

Instar-3 53 4,55±0,60 62 4,35±0,72

Instar-4 53 4,55±0,63 62 4,25±0,62

Pupa 53 3,92±3,69 62 3,22±0,62

Imago

Jantan 17 18,94±3,66 20 16,60±2,65

Betina 36 20,47±4,61 42 21,11±4,06

Pra peneluran 36 1,88±0,52 42 1,92±0,55

Peneluran 36 15,58±4,87 37 14,76±6,32

Siklus Hidup 36 33,27±4,60 37 30,86±6,32

Hasil uraian di atas terlihat bahwa perbedaan tanaman berpengaruh nyata

terhadap jenjang perkembangan B. tabaci biotipe-B dan non-B. Nilai keperidian

B. tabaci biotipe-B dan non-B dapat dilihat pada Tabel Lampiran 7.

Lama Hidup dan Keperidian B. tabaci Biotipe-B dan Non-B

Setiap organisme mempunyai variasi jangka hidup yang terbatas, yang

menentukan karakteristik kelangsungan hidupnya di dalam suatu populasi. Lama hidup

(32)

sama. Kemampuan bertahan hidup B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman

mentimun yaitu berturut-turut adalah 53 hari dan 51 hari. Laju kematian biotipe-B dan

non-B terjadi pada fase telur yang ditunjukkan dengan penurunan jumlah

masing-masing pada hari ke-8 dan ke-9. Hal ini mengisyaratkan bahwa fase telur sangat

rentan terhadap gangguan luar, termasuk gangguan mekanis pada saat gugurnya daun.

Pada tanaman cabai kemampuan hidup B. tabaci biotipe-B dan non-B masing-masing

adalah 54 hari dan 53 hari. Laju kematian tertinggi pada kedua biotipe terjadi pada fase

telur, setelah itu nimfa instar I dan nimfa instar II. Nutrisi merupakan salah satu faktor

yang penting yang mempengaruhi kehidupan serangga. Pengaruhnya antara lain pada

proses pertumbuhan, perkembangbiakan, reproduksi, dan kebugaran imago. Faktor yang

lainnya adalah faktor fisik dan kimia tanaman yang umumnya tidak berkerja secara

tunggal tetapi bersama-sama membentuk suatu sistem pertahanan terhadap serangga

(Wiseman 1985).

Tipe bertahan hidup B. tabaci biotipe-B dan non-B memperlihatkan pola yang

dikenal dengan tipe II. Menurut Price (1978), ada tiga jenis kurva bertahan hidup,

yaitu: tipe I, tipe II, dan tipe III. Kurva tipe I adalah kematian organisme dalam jumlah

yang sedikit ketika umur muda dan kematian dalam jumlah besar sewaktu organisme

lebih tua, tipe II menunjukkan laju kematian yang konstan, sedangkan tipe III

memperlihatkan kematian yang besar yang terjadi di waktu muda.

Banyaknya telur yang diletakkan setiap harinya disajikan dalam bentuk mx

(laju reproduksi kotor). Adapun nilai mx menunjukkan banyaknya telur betina yang

dihasilkan induk yang berumur hari ke-x, dan dihitung setelah mempertimbangkan

nisbah kelamin. Nilai mx B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman mentimun dapat

dilihat pada Tabel 4, sedangkan pada tanaman cabai disajikan pada Tabel 5. Puncak

kurva nilai mx pada B. tabaci non-B untuk tanaman cabai dicapai pada hari ke-43

dengan awal meletakkan telur pada hari ke-27 dengan nilai mx adalah 38,67 individu per

betina, sedangkan untuk tanaman mentimun dicapai pada hari ke-33 dengan awal

peletakan telur hari ke-25 dan nilai mx adalah 91,71 individu per betina. Sementara itu

puncak kurva dan nilai mx pada B. tabaci biotipe-B untuk tanaman cabai dan mentimun,

berturut-turut hari ke-35 dengan nilai mx adalah 75,79 individu dan hari ke-31 dengan

nilai mx adalah 49,36 individu. Kurva lama hidup dan keperidian B. tabaci pada

(33)

pada Gambar 7. Kurva bertahan hidup dan keperidian B. tabaci pada tanaman cabai

[image:33.612.107.513.177.374.2]

biotipe-B dapat dilihat pada Gambar 8, dan untuk B. tabaci non-B pada Gambar 9.

Tabel 4 Lama hidup dan keperidian B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman mentimun

Jenjang Biotipe-B Biotipe non-B

n hari lx mx n hari lx mx

Telur 100 0-7 1 - 100 0-8 1 -

Instar I 85 8-12 0,85 - 95 9-13 0,95 -

Instar II 85 13-16 0,85 - 95 14-17 0,95 -

Instar III 85 17-20 0,85 - 95 18-20 0,95 -

Instar IV 85 21-24 0,85 - 95 21-23 0,95 -

Pupa 85 25-28 0,85 - 95 24-26 0,95 -

Imago 52 29-48 0,52 75,79 56 27-44 0,56 91,71

Keterangan : (lx) individu yang hidup pada umur ke-x, (mx) keperidian individu

pada umur ke-x.

Tabel 5 Lama hidup dan keperidian B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman cabai

Jenjang Biotipe-B Biotipe non-B

n hari lx mx n hari lx mx

Telur 100 0-8 1 - 100 0-7 1 -

Instar I 70 9-14 0,70 - 75 8-12 0,75 -

Instar II 59 15-18 0,59 - 62 13-17 0,62 -

Instar III 53 19-22 0,53 - 62 18-20 0,62 -

Instar IV 53 23-26 0,53 - 62 21-24 0,62 -

Pupa 53 27-30 0,53 - 62 25-28 0,62 -

Imago 36 31-50 0,36 49,36 42 29-44 0,42 38,67

Keterangan : (lx) individu yang hidup pada umur ke-x, (mx) keperidian individu pada

[image:33.612.107.513.438.612.2]
(34)
[image:34.612.108.538.78.321.2]

Gambar 6 Kurva lama hidup (lx) dan rataan keperidian betina per hari (mx) B. tabaci

biotipe-B pada tanaman mentimun.

Gambar 7 Kurva lama hidup (lx) dan rataan keperidian betina per hari (mx) B. tabaci

[image:34.612.110.541.367.624.2]
(35)
[image:35.612.106.512.83.335.2]

Gambar 8 Kurva lama hidup (lx) dan rataan keperidian betina per hari (mx) B. tabaci

biotipe-B pada tanaman cabai.

Gambar 9 Kurva lama hidup (lx) dan retaan keperidian betina per hari (mx) B. tabaci

[image:35.612.109.506.389.669.2]
(36)

Neraca Kehidupan B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun

Pada tanaman mentimun (Tabel 6), nilai Ro untuk B. tabaci non-B per individu

per generasinya adalah 51,12 per individu, sedangkan biotipe-B adalah 38,39

per individu. Laju pertambahan intrinsik (r) merupakan pertambahan populasi pada

lingkungan konstan dan sumberdaya yang tidak terbatas (Birch 1948). Keturunan yang

dihasilkan B. tabaci non-B dan biotipe-B berturut-turut adalah 0,12 dan 0,10 betina per

induk per hari. Tingginya nilai r disebabkan oleh tingginya keperidian, rendahnya

mortalitas pradewasa, dan masa dewasa. Birch (1948) menyatakan bahwa semangkin

tinggi persentase telur diletakkan pada kelompok umur muda, maka akan semangkin

besar nilai laju pertambahan intrinsik organisme tersebut.

Rataan masa generasi (T) adalah rataan waktu yang dibutuhkan sejak telur

diletakkan hingga saat imago betina menghasilkan separuh keturunannya. Berdasarkan

dua jenis tanaman (mentimun dan cabai) yang diujikan, terlihat bahwa waktu yang

dibutuhkan B. tabaci non-B untuk berkembangbiak pada tanaman mentimun lebih

singkat 1,2 kali daripada biotipe-B. Menurut Oka (1998), arti penting nilai Ro dan T

adalah untuk membandingkan nilai r. Misalkan dua populasi spesies yang berbeda

dengan nilai Ro yang sama tinggi, tetapi salah satu spesies nilai T-nya pendek. Maka

laju pertambahan intrinsik kedua populasi tersebut dalam satuan waktu tertentu akan

berbeda. Waktu yang dibutuhkan populasi untuk berlipat ganda (DT) adalah 6,45 hari

pada biotipe-B dan 5,71 hari pada non-B.

Neraca Kehidupan B. tabaci Biotipe-B dan Non-B Pada Tanaman Cabai

Pada tanaman cabai (Tabel 7) diperoleh nilai laju reproduksi kotor (Ro) B. tabaci

biotipe-B dan non-B berturut-turut adalah 15,30 dan 15,41 per individu. Hasil tersebut

diartikan. Nilai r yang diperoleh pada B. tabaci biotipe-B dan non-B masing-masing

0,17 dan 0,07 per induk per hari. Rataan masa generasi (T) yang diperoleh merupakan

rataan waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan hingga saat imago menghasilkan

separuh keturunan masing- masing 37,69 hari pada biotipe-B dan 37,14 hari pada

non-B. Waktu yang dibutuhkan untuk populasi berlipat ganda (DT) adalah 3,96 hari pada

(37)
[image:37.612.100.487.100.242.2]

Tabel 6. Neraca kehidupan B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman mentimun

Parameter

populasi Biotipe-B Biotipe non-B Satuan

Ro 38,39 51,12 Individu/induk/generasi

r 0,10 0,12 Individu/induk/hari

T 35,00 33,53 Hari

DT 6,45 5,71 Hari

Keterangan : (Ro) Laju reproduksi bersih, (r) laju pertambahan intrinsik , (T) rataan

masa generasi, (DT) waktu untuk populasi berlipat ganda

Tabel 7. Neraca kehidupan B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman cabai

Parameter

populasi Biotipe-B Biotipe non-B Satuan

Ro 15,30 15,41 Individu/induk/generasi

r 0,17 0,07 Individu/induk/hari

T 37,69 37,14 Hari

DT 3,96 9,21 Hari

Keterangan : (Ro) Laju reproduksi bersih, (r) laju pertambahan intrinsik , (T) rataan

[image:37.612.102.486.306.458.2]
(38)

PEMBAHASAN UMUM

Hasil identifikasi menggunakan preparat mikroskop kantung pupa B. tabaci

berdasarkan kunci identifikasi Martin (1987) dan Martin (2000), diperoleh adanya

perbedaan secara morfologi. Perbedaan tersebut terlihat pada adanya submarginal seta

(ASMP4) pada B. tabaci biotipe-B, sedangkan pada non-B tidak ditemukan. Kemudian

perbedaan yang lainnya adalah lapisan lilin pada bagian posterior B. tabaci biotipe-B

lebih sedikit dan lebih pendek pada bagian anterior tubuhnya, berbeda dengan

biotipe-non B lapisan lilin bagian posterior tubuh lebih banyak dan lebih melebar pada

bagian anteriornya. Calvert et al. (2001), menemukan adanya perbedaan morfologi

lainnya yaitu pada bagian mata dan antena. Adapun metode identifikasi lainnya adalah

dengan menggunakan tehnik polymesterase chain reaction (PCR). Aidawati (2006)

melaporkan hasil identifikasi, dengan menggunakan metode tehnik PCR-RAPD

menemukannya bahwa B. tabaci biotipe-B diperoleh pada tanaman brokoli yang berasal

dari daerah Bogor, sedangkan B. tabaci non-B diperoleh dari tanaman cabai, terung,

mentimun, kedelai, dan edamame. Pengujian lainnya adalah menggunakan tanaman

indikator (tanaman squash), gejala yang timbul pada tanaman ini adalah dengan

perubahan warna daun menjadi keperak-perakan.

Siklus hidup B. tabaci biotipe-B dan non-B baik ditanaman mentimun maupun

di tanaman cabai tidak berbeda. Kesimpulan tersebut bedasarkan kisaran waktu yang

dibutuhkan dari telur hingga dewasa pada tanaman mentimun antara biotipe-B dan

non-B , masing-masing 31,27±17,70 hari dan 29,60±3,80 hari. Pada tanaman mentimun

kisaran waktu yang dibutuhkan dari telur hingga dewasapada B. tabaci biotipe-B dan

non-B, berturut-turut 33,27±4,60 hari dan 30,86±6,32 hari. Hasil tersebut berbeda

dengan yang dilaporkan oleh Powell dan Bellows (1996) yang menyatakan bahwa,

kisaran waktu yang dibutuhkan dari telur hingga dewasa oleh B. tabaci pada tanaman

mentimun masing-masing 38,2 hari dengan suhu 20oC; 20,2 hari dengan suhu 25oC, dan

17,4 hari dengan suhu 32oC. Setelah terjadinya kopulasi antara jantan dan betina,

selanjutnya imago betina meletakkan telur di permukaan daun. Jumlah telur yang

diletakkan oleh imago betina B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman mentimun

masing-masing sebanyak 130 telur dan 130,30 telur. Sedangkan pada tanaman cabai

(39)

butir untuk non-B. Adapun perbedaan jumlah telur yang dihasilkan oleh betina B. tabaci

diduga karena adanya faktor fisik dan kimi tanaman. Menurut Harris (2001),

kemampuan imago betina B. tabaci dalam menghasilkan telur dan siklus hidupnya

dipengaruhi oleh jenis tanaman inang dan kondisi suhu.

Perbandingan sex rasio antara B. tabaci biotipe-B dan non-B dengan perlakuan

mentimun dan cabai adalah 1:2 (satu jantan banding dua betina). Menurut Samudra dan

Naito (1991) B. tabaci bersifat arrhenotokous artinya lebih banyak menghasilkan betina

daripada jantan. Dengan demikian jumlah individu betina dapat mempengaruhi nilai

keperidian, yang terlihat pada B. tabaci biotipe non-B dengan perlakuan mentimun

(Tabel 2). Jumlah imago betina yang lebih banyak daripada imago jantan dapat

menimbulkan masalah jika serangga tersebut menimbulkan kerugian. Hal ini

disebabkan perkembangan populasi di suatu habitat ditentukan oleh banyaknya imago

betina, artinya semangkin banyak imago betina maka populasi akan semangkin

meningkat.

Siklus hidup B. tabaci non-B pada tanaman mentimun lebih pendek 1,04 kali

daripada tanaman cabai, dengan keperidian lebih banyak 1,37 kali. Sementara itu siklus

hidup pada B. tabaci biotipe-B pada tanaman mentimun lebih cepat 1,06 kali daripada

tanaman cabai, dengan keperidian lebih banyak 1,58 kali pada tanaman mentimun

daripada tanaman cabai. Keadaan ini disebabkan oleh kebutuhan makan, perilaku seekor

serangga, dan jenis dimakannya, yang selanjutnya akan menentukan keperidian dan

strategi reroduksinya (Caroline et al. 2002). Menurut Naranjo dan Ellsworth (2005),

tanaman inang merupakan salah satu faktor biotik yang dapat mempengaruhi aspek

biologi dan kelangsungan hidup suatu organisme.

Isaacs et al. (1998) menyatakan bahwa pemberian variasi terhadap kualitas

tanaman melon dapat memberikan pengaruh terhadap mekanisme fisiologi dan perilaku

B. tabaci. Mekanisme fisiologi diperlihatkan dengan penurunan berat tubuh yang

sejalan dengan penurunan konsentrasi karbohidrat. Blackmer et al. (2002) melaporkan

adanya pengaruh terhadap lama hari dan tingginya intensitas penyinaran terhadap

peletakkan telur dan daya bertahan hidup. Menurut Kogan (1982), faktor fisik dan kimia

tanaman memegang peranan penting dalam pemilihan dan penentuan inang tersebut.

Faktor ini umumnya tidak berkerja secara tunggal, tetapi bersama-sama membentuk

(40)

Waktu yang dibutuhkan untuk populasi berlipat ganda (DT) pada B. tabaci

biotipe-B adalah 3,96 hari, sedangkan yang terendah pada B. tabaci non-B dengan

perlakuan tanaman cabai. Walaupun nilai laju reproduksi bersih B. tabaci biotipe-B

dengan perlakuan cabai rendah yaitu 15,30 per generasi, tetapi dengan nilai DT yang

tinggi dapat menyebabkan meningkatnya laju reproduksi kotor (GRR) dan nilai laju

reproduksi bersih (Ro) dalam satuan waktu tertentu. Menurut Birch (1948), nilai

berlipat populasi ganda yang tinggi pada suatu individu dapat menyebabkan penurunan

sumber-sumber daya lingkungan dan mempengaruhi pada nilai laju pertambahan

intrinsik (r).

Nilai rataan masa generasi (T) diartikan sebagai rataan waktu yang dibutuhkan

sejak telur diletakkan hingga saat imago menghasilkan keturunan. Pada B. tabaci non-B

dengan perlakuan tanaman mentimun diperoleh nilai laju reproduksi bersihnya (Ro) dan

nilai laju reproduksi kotornya (GRR) masing-masing 51,12 per induk per generasi dan

91,71 per betina, dengan nilai rataan masa generasinya 33 hari. Nilai tersebut diartikan

sebagai bentuk respon dari nilai rataan masa generasi yang pendek, yang menyebabkan

imago betina meningkatkan nilai Ro dan GRR. Laba (2005) menyatakan bahwa nilai T

yang rendah dapat meyebabkan meningkatnya nilai Ro pada kepik renda lada

(Dicoronis hewetti) pada varietas chunuk. Nilai Ro dan GRR yang tinggi

memperlihatkan tingkat kesesuian hidup pada suatu tanaman.

Pada perlakuan tanaman cabai antara B. tabaci biotipe-B dan non-B terlihat nilai

Ro dan T yang tidak berbeda (Tabel 7). Menurut Oka (1998), jika kedua populasi dari

spesies yang berbeda mempunyai nilai Ro yang sama tetapi salah satu spesies

mempunyai nilai T yang rendah sedangkan yang kedua mempunyai nilai T yang tinggi,

maka nilai laju pertambahan intrinsik dalam satuan waktu tertentu akan berbeda.

Spesies populasi yang mempunyai nilai T yang rendah akan tumbuh lebih cepat di

bandingkan spesies yang mempunyai nilai T yang tinggi.

Laju pertambahan intrinsik merupakan kapasitas suatu populasi untuk

peningkatan, nilai yang diperoleh ditentukan oleh berbagai aspek yang berhubungan

dengan sejarah kehidupan organisme, yaitu kematian, kelahiran, dan waktu

perkembangan. Nilai laju pertambahan instrinsik (r) yang tertinggi terlihat pada

B. tabaci biotipe-B dengan perlakuan tanaman cabai sebesar 0,17 per induk per hari.

(41)

dewasa dengan reproduksi yang awal. Hal ini terlihat dari B. tabaci non-B dengan

perlakuan mentimun (Tabel 4). Menurut Birch (1948), jika nilai r lebih kecil dari nilai r

yang minimum maka spesies tersebut gagal dalam bertahan hidup. Tetapi nilai laju

pertambahan intrinsik (r) yang tinggi pada suatu spesies tidak selalu diartikan sebagai

tingkat keberhasilan dalam suatu habitat. Hal tersebut berdasarkan adanya proses seleksi

dari spesies tersebut agar nilai r-nya menjadi relatif tinggi untuk mampu berkompetisi

dengan spesies yang lain. Hasil laporan Ginting (1996), menunjukkan bahwa perbedaan

nilai r antara kohor bunga dan kohor polong pada tanaman kacang panjang disebabkan

adanya berbedaan nilai mx, sedangkan pada nilai lx dan T tidak banyak berbeda. Brewer

(1979) membagi dalam empat faktor yang menyebabkan tinggi dan rendahnya nilai r,

yaitu jumlah keturunan per periode perkembangan, jumlah yang bertahan hidup dan

selama masa reproduktif, usia saat reproduktif dimulai, dan lama usia reproduktif. Dari

nilai neraca kehidupan yang diperoleh baik B. tabaci biotipe-B maupun non-B dengan

perlakuan tanaman mentimun dan cabai memperlihatkan adanya hubungan pengaruh

tanaman inang dengan strategi untuk bertahan hidup pada suatu habitat, oleh karena itu

dapat disimpulkan bahwa tanaman inang merupakan salah satu komponen faktor yang

(42)

KESIMPULAN

B. tabaci biotipe-B dan non-B memiliki waktu generasi lebih cepat pada

tanaman mentimun daripada tanaman cabai. Begitu juga kedua biotipe memiliki nilai

laju reproduksi yang lebih besar pada tanaman mentimun dibandingkan dengan tanaman

cabai.

B. tabaci biotipe-B pada tanaman cabai mempunyai laju pertumbuhan intrinsik

tertinggi yaitu 0,17 individu per induk per hari dan waktu untuk populasi berlipat ganda

tercepat yaitu 3,96 hari. B. tabaci non-B pada tanaman cabai mempunyai laju

pertumbuhan intrinsik paling rendah yaitu 0,07 individu per induk per hari dan memiliki

waktu untuk populasi berlipat ganda 9,12 hari.

SARAN

Untuk mengetahui neraca kehidupan B. tabaci pada berbagai keadaan,

disarankan untuk melakukan penelitian neraca kehidupan B. tabaci pada berbagai inang

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Aidawati N 2006. Pengkajian Keanekaragaman Geminivirus Pada Tomat Dan Serangga Vektornya, Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera:Aleyrodidae), Serta Pengujian Ketahanan Genotipe Tomat Terhadap Strain Geminivirus. [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Belloti AC, Arias B. 2000. Host plant resistence to whitefly white emphasis on cassava as a case study. Cassava entomology. hlm : 1-23

Birch LC. 1948. The intristic rate of natural increase of an insect population. Journal Animal Ecology. hlm: 15-26

Blackmer JL, Lee LL, Henneberry J. 2002. Factor affecting egg hatch, development, and survival of B.argentifolii (Homoptera:Aleyrodidae) reared on artificial feeding. Journal Environment Entomology. 31(2): 306-312

Bosco D, Mason G, Accotto GP. 2001. Investigation on transovarial transmission of TYLCV-sar by Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae) European Whitefly Symp

Ragusa (Sicilia, Italy), 27 th Feb-3 rd March 2001

Burban C, Fishpool LDC, Fauquet C, Fargette D, Thouvenel JC. 1992. Host Assocoated biotypes within West African Population of the Whitefly Bemisia tabaci (Genn) (Homoptera: Aleyrodidae). J Appl. Entomol. 113: 416-432

Brewer R. 1979. Principles of ecology. W.B Sounders Co. Phidelphia. hlm : 299

Brown JK. 1990. An update on thw whitefly-transmitted geminiviruses in Americas and Carabian Basin. FAO Plant Prot. Bull. hlm : 33-58

[CABI] Center of Agricultural and Biologia Institute 2005. Crop Protection Comedium 2005 edition. London : CABI

Calvert LA, Cuervo M, Arroyave JA, Constantino AL, Belloti A, Frohclich D. 2001. Morphological and mitocondrial DNA marker analyses of whitefly (Homoptera: Aleyrodidae) colonizing cassava and beans in colombia. Journal of Annual Entomology society. 94(4):512-519

Carrey JR. 1993. Applied demograhy for biologist with special emphasis on insect. Oxford University Press. New York. hlm: 11-41

Caroline S A, Simon RL. 2002. Host plant quality and fecundity in herbivorous insect. [Review]. Annual review entomol. 47:817-835

(44)

Costa HS, Brown JK. 1990. Valibility in biology characteristics, is isozyme patterns and virus transmission among population of Bemisia tabaci in Arizona.

Journal Phytopathology. 61: 211-219

Czosnek H, Fridma V, Levy A, Morin S, Rubinstein G, Sobol I, Zeidan M. 2001. Interaction of whiteflies with geminiviruses from the old world. European Whitefly Symp. Ragusa (Sicilia, Italy), 27 th Feb-3rd March 2001.

De Barro PJ, Liebregts W, Carver M. 1998. Distribution and identiy of biotype of

Bemisia tabaci (Gennadius) using ribosomal ITS1. Mol. Phylogeny . Evol. 37:214-218

Drost YC, van Lenteren JC, van Roermund HJW. 1998. Life-history parameters of different biotypes of Bemisia tabaci (Hemiptera:Aleyrodidae) in relaction to temperature and host plant: a selective review. [Review]. Bulliten of entomological research. 88:219-229

Ginting BB. 1996. Biologi dan statistik demografi Maruca testulalis Geyer (Lepidoptera: Pyralidae) pada bunga dan polong kacang panjang. [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Harris KF. Smith OP, Duffus JE. 2001. Virus-Insect-Plant-Interaction. Academic Press. hlm: 250-254

Hasibuan KM. 1988. Permodelan Matematika di dalam biologi populasi: Dinamika populasi. Pusat antar Universitas IPB. Bogor. hlm : 170

Hidayat SH, Rusli ES, Nooraidawati. 1999. Penggunaan primer universal dalam Polymerase chain reaction untuk mendeteksi virusgemini pada cabe. Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI, Purwakerto, 16-18 September 1999

Hunter WB, Heibert E, Webb SE, Tsai JH, Polston JE. 1998. Location of Geminivirus

in the whitefly Bemisia tabaci (Homoptera;Aleyrididae). Plant Disiase. 82:1147-1151

Horowitz AR. 1986. Population dynamics of Bemisia tabaci (Gennadius): With special emphasis on cotton field. Journal of Agricultural Ecosistem and Environment. 17: 37-47

Horowitz AR, Weintrayb PG, Ishaaya I. 1998. Status of pesticide resistence in arthropod pest in Israel. [mini review]. Dalam artikel Phytoparasitica:// www. phytoparasitica.org. (13 Des 2005)

(45)

Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crop in Indonesia. PA van der Laan. Penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-van Houve. Terjemahan dari : De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesia

Kogan. M. 1982. Plant resistence in pest management. Introduction to insect management. New York. John wiley and Son

Laba IW. 2005, Kepik renda lada, Diconocoris hewetti Dist (Hemiptera: Tingiatae). Biologi, kelimpahan populasi, dan pengaruhnya terhadap kehilangan hasil. [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Legg JP. French R, Rogan D, Akao-Akuja, Browns K. 2002. A distinct Bemisia tabaci

(Gennadius) (Hemiptera:Sternorrhycha:Aleyrodidae) genotype cluster is associated with epidemic of severe cassava mosaic virus disease in Uganda.

Molecular ecology. 11:1219-1229

LimaLHC, Návia D, Inglis PW , de Oliveira MRV. 2000. Survey of Bemisia tabaci

(Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) biotypes in Brazil using RAPD markers.

Journal of Genetics and Molecular Biology. 23:781-785

Martin JH. 1987. An identification guide to common whitefly pest species of the word (Homoptera: Aleyrodidae). Tropical Pest Management. 33:298-322

Martin JH, Mifsud D, Rapisarda C. 2000. The whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae) of

eourope and mediterranean basin. Buletin of Entomological Reseach. 86:407-448

McCollum TG, Stoffella PJ, Powell CA, Cantliffe DJ, Hanif-khan S. 2000. Effect of silverleaf whitefly feeding on tomato fruit ripening. Postharvest Biology and Technology. 31: 183-190

Naranjo SE, Ellsworty PC. 2005. Mortality dinamics and population regulation in

Bemisia tabaci. Entomologia exsperimentalalis et aplicata. hlm: (116) 93-108. [NaranjoEllswortEEA.2005pdf].Dalamartikel http//.www.

ars.usda.gov/SP2UserFiles/person/4056/NaranjoEllsworthEEA .2005pdf [20.April. 2006]

Oka IN. 1998. Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di Indonesia. Yogyakarta. Gagjah Mada University Press.

Oleivera MRV, Henneberry TJ, Anderson P. 2001. History, current status, and collaborative projects for Bemisia tabaci. Species issue: Challenges and opportunities for pest management of Bemisia tabaci in the new century.

Journal of Crop Protection. 20(9):709-723

Perring MT. 2001. The Bemisia tabaci species complex. Special issue: Challenges and opportunities foe pest management of Bemisia tabaci in the new century.

(46)

Perring TM, Farrar CA, Bellows TS, Cooper AD, Rodriguez RJ. 1993. Evidence for a new species of whitefly: UCR findings and aplications. California. 48:7-8

Price PW. 1997. Insect ecology (3rd edn). John Wiley. New York. hlm : 474-511

Powell DA, Bellows TS, Jr. 1992. Preimaginal development and survival of

Bemisia tabaci on cotton and cucumber. Journal Environment Entomology. 21:359-363

Sulandari S. 2004. Karakteristik, biologi, serologi, dan analisis sidik jari DNA Virus Penyebab Penyakit Daun Keriting Kuning Cabai. [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Samudra IM, Naito A. 1991. Variental resistence of soybean to whitefly Bemisia tabaci Genn. Dalam. Proceeding of final seminar on the strenghening of pioneering research for palawija crop production (ATA-378). Central Researcj Institute for food crop. Bogor. Indonesia. hlm : 51-55

Tsai JH, Wang K. 1996. Development and reproduction of Bemisia argentifolii

(Homoptera:Aleyrodidae) on five host plant. Journal Environtment Entomology. 25: 810-816

Van den Ven WTG, Levesque CS, Perring TM, Walling LL. 2000. Local and systemic chages in squash gene exspession in response to silverleaf whitefly feeding. The plant cell. 12:1409-1423

Wilson EO, Bossert WH. 1971. Primer population biology. Sinauer Associstes Inc. Sunderlan. hlm : 111-114

Wiseman BR. 1984. Type and mechanisms of host plant resistance to insect attack. Insect science and its application. 6(3): 239-248

(47)
[image:47.612.129.531.125.695.2]

Tabel lampiran 1 Siklus hidup B. tabaci biotipe-B pada tanaman cabai

Individu Hari

telur Instar I Instar II Instar III Instar IV Pupa Imago

1 5 4 4 6 5 4 4

2 5 5 4 6 5 4 5

3 5 5 4 4 5 5 5

4 5 5 4 4 5 5 4

5 5 5 4 4 5 4 6

6 5 5 4 5 5 3 5

7 5 4 4 4 5 4 7

8 5 4 4 4 3 4 6

9 5 4 4 4 3 4 6

10 5 5 4 4 6 4 7

11 5 4 4 4 4 4 5

12 6 4 4 5 5 4 6

13 6 4 4 5 4 4 7

14 6 4 5 4 5 4 7

15 7 5 4 4 5 3 5

16 7 6 4 5 4 3 6

17 7 5 4 5 4 3 6

18 7 5 4 5 4 4 6

19 5 5 4 5 5 5 6

20 5 5 4 5 5 5 6

21 7 4 4 4 5 3 6

22 7 4 4 4 5 5 5

23 7 6 4 4 4 4 5

24 7 6 4 4 4 4 5

25 6 4 4 4 4 4 7

26 5 5 4 5 5 5 6

27 5 5 4 5 5 4 5

(48)

Lanjutan………..

Individu Hari Telur Instar I Instar II Instar III Instar IV Pupa Imago

29 7 5 4 5 5 3 5

30 5 5 4 5 5 4 5

31 5 5 4 4 4 4 7

32 5 4 4 5 4 3 4

33 7 5 4 4 4 3 7

34 7 5 4 4 4 3 7

35 5 5 4 5 4 5 6

36 5 5 4 4 5 5 5

Total 208 170 145 163 164 142 206

(49)
[image:49.612.131.529.116.695.2]

Tabel Lampiran 2 Siklus hidup B. tabaci non-B pada tanaman mentimun

Individu Hari telur instar I Instar II Instar III Instar IV Pupa Imago

1 4 5 4 4 4 3 4

2 4 5 4 4 4 3 4

3 4 5 5 4 4 4 5

4 4 6 4 4 3 3 5

5 4 5 4 4 4 4 5

6 4 4 5 4 4 4 5

7 4 5 4 4 4 4 5

8 5 5 4 4 4 3 5

9 5 5 4 4 4 4 5

10 5 6 4 4 4 4 4

11 5 4 4 4 4 4 5

12 5 5 4 4 4 5 5

13 5 4 4 4 4 4 3

14 5 4 4 4 4 4 5

15 5 4 4 4 4 4 5

16 5 4 4 4 4 4 5

17 4 5 4 4 4 4 5

18 5 5 4 4 4 4 4

19 5 5 4 4 4 4 5

20 5 4 4 4 4 4 6

21 5 6 4 4 4 4 6

22 5 3 4 5 4 4 10

23 5 5 4 4 5 3 5

24 5 4 4 4 4 3 5

25 5 5 4 4 4 4 5

26 5 5 4 4 4 4 5

27 5 4 4 4 4 3 4

28 6 4 4 4 4 3 5

29 6 5 4 4 4 4 5

30 5 6 4 4 4 4 8

31 6 6 4 4 4 3 4

32 6 6 4 4 4 3 5

33 6 5 5 5 4 4 5

34 6 5 4 4 4 4 5

35 6 4 4 4 4 4 5

36 6 5 4 4 4 4 5

37 6 5 4 4 4 4 5

38 6 5 4 3 5 4 5

39 6 5 4 5 4 3 5

40 6 5 4 4 4 4 5

41 6 5 4 4 4 4 5

42 6 5 5 4 4 4 5

(50)

Lanjutan………..

Individu Hari Telur Instar I Instar II Instar III Instar IV Pupa Imago

44 6 5 4 4 4 4 6

45 6 6 4 4 4 3 6

46 6 6 4 4 4 3 6

47 6 5 4 5 4 5 6

48 6 5 4 6 4 4 5

Total 252 236 196 197 193 181 246

(51)
[image:51.612.128.530.124.696.2]

Tabel Lampiran 3 Siklus hidup B.tabaci non-B p

Gambar

Gambar 2   Kantung pupa B. tabaci; keterangan : dds: dorsal disc spine, lms:  longitudinal moulting suture, ttc: thoracic tracheal, ttf: toraccic tracheal fold, r: rostrum, l : leg, tms: transverse moulting suture, m: margin, sma: sub marginal area, vo: va
Tabel 1  Keragaman biotipe B. tabaci di berbagai negara di dunia
Tabel 2  Lama stadia  B. tabaci biotipe-B dan non-B pada tanaman mentimun
Tabel 3  Lama stadia B. tabaci biotipe-B dan non-B  pada tanaman  cabai
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbe- daan secara signifikan kecemasan yang terjadi pada ibu hamil primigravida dan multigravida di RSIA

Untuk penelitian selanjutnya dilakukan dengan studi prospektif.Serta, waktu terjadinya perbaikan gambaran klinis demam pada anak dengan demam tifoid menunjukkan

Berawal dari tinjauan penelitian sebelumnya, penelitian yang akan saya lakukan ini juga mengenai Power Turbine yang diaplikasikan pada motor diesel di PLTD dengan

Dalam perancangan pemodelan sistem yang menggunakan MATLAB pada dasarnya gambar 3.1 sebagai acuan untuk merancang model sistem pada simulink.. Berikut ini simulink yang

表7.3 方式案 方式 方 式 内 容 方式A

Dalam menjawab kebutuhan SIM-RS tersebut, kami Rich Software yang bergerak di bidang jasa outsourcing system, memberikan solusi sebagai partner RS dalam memberikan jasa

SHUKXWDQDQ VRVLDO GL .DQWRU 3UHVLGHQ 5DEX 6HSWHPEHU PHQJDWDNDQ EDKZD DGD GHVD GL GDODP GDQ VHNLWDU NDZDVDQ KXWDQ GL PDQD SHUVHQ PHQJJDQWXQJNDQ KLGXSQ\D GDUL VXPEHU GD\D KXWDQ

Model pembelajaran TADIR ini dibutuhkan dalam membentuk sikap sosial siswa dalam proses pembelajaran, seperti siswa akan memiliki rasa ingin tahu, kreatif,