• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMUNOGEN UNTUK MENGHASILKAN ANTIBODI

PEMBAHASAN UMUM

Beberapa hasil penelitian bioteknologi peternakan saat ini sudah dapat diaplikasikan dan dimanfaatkan untuk peningkatan reproduksi ternak, pakan ternak serta untuk memperbaiki status kesehatan hewan. Selanjutnya dijelaskan, bahwa bioteknologi reproduksi meliputi inseminasi buatan (Generasi ke I), embryo transfer (Generasi ke II) dan pemuliabiakan ternak melalui kloning (Generasi ke III), dalam upaya peningkatan reproduksi ternak telah dikembangkan penelitian dan aplikasi bioteknologi sampai dengan generasi keempat, yaitu hewan transgenik. Bioteknologi di bidang pakan merupakan teknologi biokimia dan mikrobiologi yang telah diaplikasikan untuk perbaikan mutu pakan, seperti manipulasi mikroba rumen maupun dengan perlakuan kimiawi dan mikrobiologi. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya cerna dari hijauan pakan ternak, jerami dan limbah pertanian yang tinggi kadar selulosanya. Bioteknologi kesehatan hewan meliputi: (1) Produksi komersial berbagai macam zat penggertak pertumbuhan (growth promotors), seperti produksi hormone dengan DNA rekombinan memanfaatkan bakteri tertentu. (2) Produksi komersial substansi antigenik untuk memproduksi vaksin dengan DNA rekombinan yang relatif lebih baik dan lebih aman dibandingkan dengan antigen konvensional yang berasal dari bakteri atau mikroorganisme patogen yang lain. Selanjutnya Muladno (2002) menjelaskan, bahwa dengan tersedianya bioteknologi rekayasa genetika yang dilahirkan pada tahun 1973, manusia telah dapat mengisolasi gen (molekul DNA) serta memanipulasinya, kemudian memindahkan gen tersebut dari satu organisme ke organisme lain.

Teknologi kloning merupakan terobosan baru di bidang rekayasa genetika. Menurut Winarno dan Agustinah (2007), kloning adalah pengembangbiakan suatu mahluk hidup yang persis sama dengan induknya tanpa melalui pembuahan, seperti stek pada tanaman, tetapi kloning melalui rekayasa genetika adalah jauh lebih rumit. Muladno (2002) menjelaskan, bahwa pada prinsipnya kloning DNA adalah proses penggandaan jumlah DNA rekombinan melalui proses perkembangbiakan sel bakteri. Proses penggandaan tersebut dilakukan dengan memasukkan DNA rekombinan ke dalam E.coli, diikuti dengan inkubasi sel E.coli

60 pada suhu optimal sehingga sel berkembangbiak secara eksponensial. Selanjutnya dijelaskan pula, bahwa menggandakan jumlah molekul DNA tidak hanya dapat dilakukan dengan memanfaatkan mekanisme kehidupan mikroorganisma, tetapi dapat juga dilakukan melalui teknik PCR (Polymerase Chain Reaction).

Teknologi DNA rekombinan yang memungkinkan digunakan untuk menghasilkan protein rekombinan pada bakteri sangat penting untuk mengatasi permasalahan tersebut. Produksi vaksin dengan menggunakan bakteri akan dapat memenuhi permintaan vaksin yang semakin tinggi dengan waktu yang relatif singkat serta biaya yang relatif lebih murah. Selain itu, teknologi DNA rekombinan dan teknologi produksi pada bakteri memungkinkan dilakukan berbagai upaya rekayasa epitop dalam rangka meningkatkan kualitas vaksin yang akan dihasilkan.

Escherichia coli merupakan bakteri yang menjadi pilihan utama diantara aneka bakteri yang telah digunakan sebagai inang dalam menghasilkan protein rekombinan, baik di bidang riset maupun industri. Hal ini disebabkan bakteri Escherichia coli membutuhkan biaya media yang relatif murah, cepat berkembang biak, serta teknologinya sudah berkembang luas (Hu et al. 2004; Kristensen et al. 2005; Lombardi et al. 2005). Berbagai protein rekombinan dari bakteri, archaeabacteria, maupun dari eukariotik dapat diproduksi secara efisien pada E. coli (Kristensen et al. 2005).

Biosintesis antigen HBsAg100-GST telah dilakukan dalam penelitian ini dengan menggunakan Escherichia coli sebagai inang. Selain itu, gen penyandi antigen permukaan hepatitis B tersebut digabung (fusi) dengan gen penyandi enzim gluthation-S-transferase (GST) untuk meningkatkan ekspresi maupun kelarutan antigen untuk aktifitas maupun proses pemurnian. Antigen ini diharapkan dapat menghasilkan kandidat vaksin rekombinan hepatitis B yang sesuai dengan genetik virus lokal di Indonesia, dan antibodi yang dihasilkan juga diharapkan akan lebih efektif dalam melakukan proteksi terhadap virus hepatitis B lokal.

Campuran yang berhasil digunakan untuk mendapatkan hasil PCR yang optimal adalah 0,1 unit enzim DNA polymerase pyrobest (Takara Bioinc., Otsu, Japan) dengan bufernya; 0,5 μM primer forward (f) dan backward (b); 0,2 mM

dNTP; 1 ng/ml plasmid pGEMT-HB sebagai cetakan. Penggunaan DNA dengan konsentrasi kurang dari 1 ng/ml menghasilkan pita gen target yang kurang jelas, dan penggunaan DNA melebihi 1 ng/ml menyebabkan munculnya beberapa pita produk PCR yang tidak sesuai dengan ukuran pita target. Program PCR yang berhasil digunakan adalah 94oC selama 5 menit, 25 siklus pada 94oC selama 30 detik, 54oC selama 30 detik dan 72oC selama 30 detik, diakhiri dengan 72oC selama 5 menit dan 20oC sampai sampel diangkat untuk elektroforesis. Penemuan suhu annealing yang ideal (54oC ), setelah dilakukan PCR menggunakan beberapa suhu annealing mulai dari 50oC, 52oC, 54oC dan 56oC. Pita gen target yang paling tampak jelas diperoleh pada suhu annealing 54oC.

Ketepatan suhu dan waktu annealing, konsentrasi DNA dan primer, serta konsentrasi enzim polimerase DNA yang digunakan sangat menentukan keberhasilan amplifikasi. Penggunaan suhu annealing 54oC selama 30 detik telah menyebabkan primer-primer yang digunakan dapat menempel pada daerah spesifik dari DNA cetakan. Selain itu, waktu yang diperlukan untuk tahap extention adalah selama 30 detik pada suhu 72oC, karena enzim polymerase Pyrobest yang dipergunakan memerlukan waktu 1 menit per 1 kilo pasang basa. Berbeda dengan enzim polymerase Ex Taq yang biasanya memiliki kemampuan lebih cepat, yaitu 40 detik per 1 kilo pasang basa. Hal ini dikarenakan enzim polymerase Pyrobest merupakan enzim dengan tingkat kecermatan tinggi (high fidelity) yang memiliki kemampuan proof-reading.

Produk PCR selanjutnya perlu dimurnikan karena ada kelebihan primer-primer maupun substrat dan enzim yang digunakan pada campuran PCR dengan teknik pemotongan gel menggunakan DNA Gel extraction kit. Hasil pemurnian digunakan pada tahap ligasi dengan plasmid pGEX-4T-2 yang telah dipotong dengan enzim Sma1. Enzim Pyrobest yang digunakan untuk proses amplifikasi di atas termasuk enzim dengan tingkat kecermatan tinggi (high fidelity).

Campuran reaksi dari reaksi ligasi tersebut adalah produk PCR yang telah

diphosphorilasi 2 μl, 25 ng/μl plasmid pGEX-4T-2 yang telah diphosphorilasi, 1

μl kit ligasi, kemudian diinkubasi pada suhu 12oC selama 18 jam. Selanjutnya, dilakukan transformasi dengan E. coli DH5, kemudian ditumbuhkan pada media LB yang mengandung ampisilin pada suhu 37oC selama 14 jam. Koloni bakteri

62 yang tumbuh diduga memiliki plasmid rekombinan. Skrining koloni pembawa plasmid rekombinan dengan teknik PCR koloni dilakukan untuk memastikan hal tersebut.

Introduksi plasmid pGEX-SR100 ke dalam bakteri inang E. coli DH5α (transformasi) berhasil dilakukan dengan teknik heat shock. Koloni bakteri E. coli DH5α pembawa plasmid rekombinan pGEX-SR100 hasil transformasi ditumbuhkan pada media seleksi (ampisilin 50 µl/ml) yang mengandung X-gal dan IPTG. Hasil kultur dari bakteri tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Koloni bakteri yang berwarna putih diduga pembawa plasmid rekombinan pGEX-SR100, sebaliknya koloni bakteri berwarna biru tidak membawa plasmid rekombinan.

Penelitian ini telah menguji ekpresi plasmid rekombinan dengan menggunakan E. coli DH5α serta E. coli BL21. E. coli DH5α merupakan bakteri inang yang umum dipergunakan untuk tujuan kloning dan memperbanyak plasmid, sedangkan E. coli BL21 merupakan inang yang umum digunakan untuk tujuan ekspresi. Perbedaan kedua strain bakteri E. coli tersebut adalah E. coli DH5α memiliki banyak enzim protease baik di periplasma maupun sitoplasma, yang dapat mendegradasi protein rekombinan yang dihasilkan pada bakteri tersebut. Gen-gen penyandi enzim protease pada E. coli BL21 sudah dimutasi sehingga ekspresi protein rekombinan tidak akan mengalami degradasi yang intensif. Hal ini terlihat pada hasil SDS-PAGE pada Gambar 11 yang menunjukkan hal tersebut, yaitu intensitas pita protein rekombinan ketika menggunakan E. coli BL21 sebagai inang lebih tebal dibandingkan dengan ketika menggunakan E. coli DH5α. Tebalnya pita protein target masih terlihat walaupun dilakukan pengenceran sampai 10x, sedangkan pengenceran 10 x pada protein yang diekspresi pada E. coli DH5α sudah tidak terlihat.

Secara umum terlihat intensitas pita protein cukup tinggi, walaupun jumlah ekspresi protein rekombinan pada E. coli BL21 lebih tinggi dibandingkan pada E. coli DH5α. Hal ini disebabkan antara lain oleh fusi dengan GST. Maeng et al. (2001) melakukan ekspresi gen virus hepatitis B secara parsial diikuti dengan penggabungan atau fusi gen dengan gen penyandi enzim GST untuk peningkatan ekspresi dan kelarutan antigen permukaan hepatitis B pre-S2 pada E. coli.

Hasilnya menunjukkan terjadi peningkatan tingkat ekspresi antigen pre-S1 yang digabung dengan GST.

Berbagai macam affinity tag, seperti GST dan polyhistidin, dapat digunakan untuk meningkatkan ekspresi dan memfasilitasi pemurnian antigen rekombinan. Hasil pemurnian fusi HBsAg100 dan GST dalam penelitian ini menunjukkan bahwa antigen rekombinan yang diperoleh setelah pemurnian relatif murni dan dalam jumlah yang cukup untuk dapat digunakan dalam aplikasi (assay) selanjutnya (Gambar 15 pita nomor 5-7). Keberhasilan isolasi ini tidak terlepas dari sifat meningkatnya kelarutan protein rekombinan karena fusi dengan GST. Hal ini sesuai dengan pendapat Koschorreck et al. (2005) yang melaporkan terjadi peningkatan solubilitas protein rekombinan yang digabung dengan GST.

Dokumen terkait