• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik pati HMT dipengaruhi oleh karakteristik proses dan bahan baku pati yang digunakan. Untuk mengetahui pengaruh dari proses HMT terhadap karakteristik tapioka HMT, maka telah dipelajari karakteristik fisikokimia tapioka HMT yang dihasilkan jika dibuat dari tapioka dengan kondisi fisikokimia yang berbeda atau jika dibuat dari kondisi proses yang berbeda. Kondisi fisikokimia tapioka yang berbeda diperoleh dengan menggunakan tapioka dari lima varietas yang berbeda.

Disain Proses HMT

Disain peralatan dan proses HMT yang dibuat pada tahap awal penelitian ini ditujukan agar penelitian ini benar-benar bisa digunakan untuk melihat pengaruh dari kondisi perlakuan terhadap karakteristik fisikokimia tapioka HMT yang dihasilkan. Untuk itu, kemungkinan bias yang terjadi karena ketidakseragaman panas atau perubahan kadar air selama proses HMT harus diminimalkan. Kondisi proses HMT diinginkan berlangsung ‘segera’ atau proses memiliki waktu tunda (lag time) yang singkat sehingga suhu proses dapat tercapai dengan cepat dan

distribusi panas berlangsung secara merata. Pada kondisi demikian, proses dapat diasumsikan berlangsung secara isotermal. Disain juga diinginkan dapat memper- tahankan kadar air selama proses berlangsung sehingga perubahan karakteristik fisikokimia pati karena HMT terjadi pada kondisi kadar air yang sama.

Penelitian ini mengembangkan peralatan dan disain proses HMT yang dapat diasumsikan berlangsung secara isotermal dan mempertahankan kadar air yang diinginkan selama proses berlangsung. HMT dilakukan dengan menggunakan retort. Wadah sampel terbuat dari pipa aluminium tipis tertututup rapat dengan diameter 12,7 mm, panjang 20 cm, tebal dinding 0,75 mm dan kapasitas satu tabung sampel sekitar 15 gram pati (Gambar 3.2). Untuk proses pencampuran air dan pati, dilakukan dalam wadah tertutup yang dilengkapi pengaduk, sehingga tidak terjadi penurunan kadar air karena penguapan selama proses pencampuran. Diagram alir proses HMT yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.1. Proses pencampuran dan aging dilakukan untuk mendistribu-

144

sikan air secara homogen ke seluruh bagian sampel. Pencampuran dilakukan selama 15 menit (sampai tidak lagi dijumpai bungkahan pati yang disebabkan oleh distribusi air yang tidak merata) sementara aging dilakukan selama 2-3 jam di suhu ruang. Kedua proses ini harus dilakukan di ruang/wadah tertutup untuk mencegah terjadinya penguapan air.

Retort sudah dalam kondisi panas ketika sampel dimasukkan. Hal ini ditu- jukan untuk mempercepat peningkatan suhu sampel ke suhu proses yang diingin- kan. Proses HMT dilakukan dengan waktu venting selama 2 menit dan CUT 4 menit. Waktu proses dihitung setelah suhu retort mencapai suhu proses yang diinginkan. Setelah HMT selesai, proses pendinginan dilakukan dengan menu- runkan suhu retort dengan kecepatan sekitar 1°C/menit dan tabung sampel dikelu-

arkan setelah tekanan retort mencapai tekanan atmosfir. Pendinginan selanjutnya dilakukan di suhu ruang.

Disain peralatan dan proses HMT seperti digunakan dalam penelitian ini mampu menghasilkan tapioka HMT sebagaimana diperlihatkan oleh perubahan morfologi dan profil pastingnya (Gambar 3.6 3.7). Proses HMT berlangsung dengan waktu tunda yang singkat (2-4 menit) dan perubahan kadar air yang minimal (sekitar 1,58%).

Gambar 8.1. Diagram alir proses HMT yang dilakukan pada penelitian Tapioka Penyesuaian kadar air (pencampuran) Aging (T ruang, 2-3 jam) Pengisian ke

tabung sampel Pemanasan retort Pengisian tabung sampel ke dlm retort

HMT (venting 2 menit; CUT 4 menit)

Pendinginan dan

pengeluaran pati Pengeringan (oven 40°C)

Pengecilan ukuran (100 mesh) Tapioka HMT Pengemasan dan penyim- panan beku

145

Karakteristik Tapioka Native Dari Lima Varietas Ubi Kayu

Tapioka yang digunakan berasal dari lima varietas ubi kayu yaitu varietas Thailand, Kasetsar, Pucuk biru, Faroka dan Adira-4. Kelima tapioka yang digunakan memiliki karakteristik fisikokimia berbeda sehingga dapat digunakan untuk mempelajari pengaruh HMT terhadap tapioka dengan karakteristik fisiko- kimia yang berbeda.

Karakteristik fisikokimia dari tapioka native yang digunakan dalam peneli- tian ini dirangkum dalam Tabel 8.1 Tapioka Thailand memiliki kadar abu, lemak dan amilosa yang lebih tinggi dengan kristalinitas yang lebih rendah dibandingkan empat tapioka lainnya. Tapioka Kasetsar memiliki protein dalam jumlah sedikit lebih tinggi. Granula tapioka rata-rata berukuran sedang. Tapioka Kasetsar dido- minasi oleh granula berukuran sedang. Granula berukuran kecil lebih banyak dijumpai pada tapioka Adira-4. Granula dengan kapasitas pembengkakan (swelling power, SP) yang besar memiliki tingkat solubilitas yang tinggi. Tapioka

Thailand dan Adira 4 memiliki SP dan solubilitas lebih tinggi dibandingkan dengan tapioka yang lain.

Pengaruh Karakteristik Fisikokimia Tapioka Terhadap Karakteristik Fisi- kokimia Tapioka HMT Yang Dihasilkan

Modifikasi pati dengan HMT dilaporkan dapat meningkatkan ketahanan pati terhadap panas, perlakuan mekanis dan pH asam (Taggart, 2004). Pada modifikasi dengan HMT, pati dengan kadar air terbatas (kurang dari 35% air, w/w) dipa- naskan pada kondisi di atas suhu transisi gelas tetapi masih di bawah suhu gelati- nisasinya selama periode waktu tertentu. HMT menyebabkan perubahan konfor- masi molekul pati dan menghasilkan struktur kristalin yang lebih resisten terhadap proses gelatinisasi (Jacobs dan Delcour, 1998; Collado dan Corke, 1999; Stute, 1992 di dalam Zondag, 2003; Singh et al., 2005; Vermeylen et al., 2006; dan

Pukkahuta dan Varavinit, 2007).

Ratnayake dan Jackson (2006) menduga, energi yang diserap oleh granula tidak hanya membuka lipatan double heliks amilopektin, tetapi juga memfasilitasi pengaturan atau pembentukan ikatan-ikatan baru antar molekul pada suhu dibawah suhu gelatinisasi. Modifikasi berlangsung saat fase amorfis pati berada

146

Tabel 8.1 Karakteristik fisikokimia tapioka native

Komponen Thailand Kasetsar Pucuk biru Faroka Adira 4

Abu (g/100 g bk) 0,19d ± 0,000 0,12a ± 0,001 0,15c ± 0,000 0,14b ± 0,000 0,11a ± 0,001 Lemak (g/100 g bk) 0,76e ± 0,00 0,33a ± 0,00 0,53c ± 0,01 0,51b ± 0,00 0,56d ± 0,01 Protein (g/100 g bk) 0,13b ± 0,000 0,15c ± 0,001 0,10a ± 0,000 0,10a ± 0,000 0,10a ± 0,000 Amilosa (g/100 g bk) 33,13c ± 0,16 31,81b ± 0,04 30,88a ± 0,25 30,92a ± 0,12 31,13a ± 0,12 Amilopektin (g/100 g bk) 50,42a ± 0,51 50,80a ± 1,28 49,28a ± 0,85 48,85a ± 1,35 50,06a ± 1,66 Kristalinitas (%) 25,96 27,35 27,18 26,76 27,60

Ukuran rata-rata granula (µm) 14,12 16,66 14,98 14,69 12,82

Distribusi ukuran granula (%)

Sangat kecil (<5) 10,92 5,13 10,50 10,27 9,80 Kecil (5-10) 13,87 9,57 11,39 12,38 19,76 Sedang (10-25) 73,34 85,28 76,24 76,01 70,44 Besar (> 5) 1,86 1,00 1,88 1,35 0,00 Kap. Pembengkakan (g/g bk) 15,01 ± 0,024 10,35 ± 0,667 10,12 ± 0,446 10, 92 ± 0,328 13,03 ± 0,275 Solubilitas (%) 10,99 ± 0,703 5,30 ± 0,870 4,89 ± 0,360 6,03 ± 0,113 13,15 ± 0,914 Karakteristik pasting Viskositas puncak (Cp) 6335 6244 6115,5 6744 5895 Viskositas panas (Cp) 2161 1568 1683 1676 1595 Viskositas akhir (Cp) 2978,5 2623,5 2683,0 2778,0 2603,5 VBD-R (%) 65,9 74,9 72,5 75,1 72,9 VB-R (%) 37,8 67,3 59,4 65,8 63,3 Suhu pasting (°C) 67,3 71,1 70,5 70,5 71,1 Suhu puncak(°C) 79,2 79,4 78,6 78,4 79,0 Karakteristik tekstur Kekerasan (g) 162,48 227,74 226,20 254,15 196,43 Kelengketan (g.s) 19,66 66,73 42,42 65,97 51,57 Elastisitas 0,97 0,89 0,94 0,91 0,91 Kepaduan 0,66 0,68 0,66 0,69 0,67

147

Tabel 8.2 Karakteristik perubahan fisikokimia tapioka HMT terhadap native

Komponen Tapioka (data penelitian)

Thailand Kasetsar Pucuk biru Faroka Adira 4

Kristalinitas relatif (%)1 84,78 90,75 91,61 95,63 82,61 SP relatif (%) 66,99 90,05 100,67 96,16 74,18 Solubilitas relatif (%) 69,82 164,62 183,47 176,12 90,19 Sineresis HMT (%)2 12,64 9,17 17,06 10,76 13,72 Intensitas perubahan (%)3 parameter pasting

Penurunan viskositas puncak 56,44 76,20 70,44 75,21 80,53

Penurunan VBD-R 14,39 24,97 16,42 21,18 15,83

Peningkatan VB-R 122,83 32,17 36,23 35,64 39,32

Peningkatan suhu pasting 11,33 9,64 8,02 9,20 9,40

Peningkatan suhu puncak 3,03 3,51 3,33 3,60 4,03

Intensitas perubahan (%) parameter tekstur Kekerasan 175,99 89,56 0,23 51,59 158,37 Kepaduan 1,38 -12,48 -2,74 -10,49 -11,75 Kelengketan 375,56 46,86 55,12 9,82 67,09 Elastisitas -1,12 5,12 -5,15 2,61 2,60

Daya cerna pati gelatinisasi relatif (%)

85,10 69,05 55,58 80,73 92,51

1Nilai relatif adalah persentase dari nilai HMT dibandingkan dengan nilai nativenya 2Tapioka native tidak menunjukkan sineresis pada penyimpanan di freezer selama 22 jam

148

pada kondisi rubbery yang bersifat fluida, dimana mobilitas titik percabangan

amilopektin meningkat dan mengakibatkan peningkatan interaksi di bagian kristalit (Jacobs dan Delcour, 1998).

HMT mengubah konformasi molekul pati dengan memperkuat interaksi molekuler di daerah kristalin dan daerah amorfous. Pengaturan ulang struktur molekuler disebabkan oleh penurunan stabilitas kristal rantai panjang, terbukanya sebagian double heliks; pembentukan ikatan intermolekuler pada double heliks amilopektin rantai pendek, antara amilosa dengan amilosa dan/atau amilopektin; dan pembentukan kompleks amilosa–lemak. Besar perubahan yang terjadi sangat dipengaruhi oleh intensitas panas, kadar air, kadar amilosa, profil amilopektin, serta keberadaan lemak dan fosfat (Kawabata et al., 1994; Jacoubs dan Delcour,

1998; Collado dan Corke, 1999; Stute, 1992 di dalam Zondag, 2003; Singh et al.,

2005; Vermeylen et al., 2006; Pukkahuta dan Varavinit, 2007).

Selama proses HMT, pati mengalami dua kondisi yang sangat berbeda: pemanasan pada suhu tinggi (di atas suhu transisi gelasnya tetapi masih di bawah suhu gelatinisasinya) dan proses pendinginan. Dari penelitian ini, diduga bahwa pemanasan dalam kondisi kadar air terbatas yang diberikan pada pati selama proses HMT menyebabkan bentuk kristal pati berubah menjadi rubbery. Kondisi

ini menyebabkan mobilitas amilopektin meningkat dan double heliksnya terbuka. Pembukaan double heliks menyebabkan mobilitas amilopektin menjadi lebih tinggi. Selain itu, pemanasan juga menyebabkan peningkatan mobilitas amilosa. Setelah proses pemanasan selesai, selama proses pendinginan akan terjadi penga- turan ulang rantai pati yang melibatkan interaksi amilosa-amilosa, amilosa-amilo- pektin, amilosa-lemak dan amilopektin-amilopektin di daerah kristalit, amorfis maupun perbatasan antara amorfis dan kristalit. Karena daerah kristalit dibentuk oleh keteraturan molekuler amilopektin melalui ikatan double heliksnya, maka pembukaan double heliks amilopektin saat proses pemanasan menyebabkan terja- dinya penurunan kristalinitas. Sementara pengaturan ulang yang terjadi menye- babkan terjadinya penguatan struktur di daerah kristalit. Di daerah perbatasan dan daerah amorfis, pengaturan ulang diduga menyebabkan pembentukan daerah- daerah kristalit berukuran kecil yang meningkatkan kekuatan struktur (Gambar 8.2).

149

150

Bagian tengah dari granula tapioka kehilangan pola birefringence setelah di HMT (Gambar 6.1). Bagaimana intensitas perubahan birefringence dikaitkan de- ngan karakteristik fisikokimia tapioka nativenya tidak dilakukan dalam penelitian ini.

Berapa besar perubahan dari parameter fisikokimia tapioka akibat proses HMT ditampilkan pada Tabel 8.2. Tampak adanya pengaruh dari perbedaan karakteristik fisikokimia tapioka awal terhadap besarnya perubahan yang terjadi. Perbedaan fisikokimia tapioka yang diduga akan mempengaruhi intensitas proses HMT yang terjadi adalah komposisi kimia, tingkat kristalinitas, ukuran granula, kapasitas pembengkakan (swelling power, SP) dan solubilitas.

Kristalinitas

Proses HMT tidak mengubah tipe kristalit tapioka, tetapi kristalinitasnya menurun. Proses HMT menyebabkan pergerakan amilopektin menjadi lebih aktif dan ikatan double heliks terbuka. Kondisi ini merusak struktur kristalit dan terjadinya pengaturan ulang molekuler melalui interaksi yang melibatkan amilosa, amilopektin dan lemak. Di daerah amorfis dan perbatasan antara daerah amorfis dengan daerah kristalit, pengaturan ulang akan menyebabkan terbentuknya daerah-daerah kristalit baru dalam ukuran kecil yang aan memperkuat struktur daerah amorfis dan daerah perbatasan. Sementara itu, pengaturan ulang yang terjadi di daerah kristalit walau membentuk daerah kristalit baru tetapi merusak puncak-puncak utama. Kerusakan kristalit dan pengaturan ulang dari konformasi pati menyebabkan tapioka HMT mendifraksikan sinar X lebih rendah dari nativenya sehingga kristalinitas turun.

Penurunan kristalinitas terbesar ditunjukkan oleh tapioka Thailand dan kris- talinitas Adira 4 (Tabel 8.2). Penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan krista- linitas selama HMT tidak disebabkan oleh kuantitas kristalit tapioka native, tetapi dipengaruhi oleh karakteristik fisik pati native (Tabel 4.4). Kristalinitas native ta- pioka Adira 4 terkecil diantara lima tapioka yang diamati. Penurunan kristalinitas cenderung meningkat (kristalinitas HMT relatif terhadap nativenya menurun) jika tapioka native memiliki ukuran granula yang kecil, SP yang tinggi dan/atau solu- bilitas yang tinggi. Hal ini diduga terkait dengan seberapa luas daerah interior granula yang dapat diganggu.

151 Kapasitas pembengkakan (SP) dan solubilitas

Proses HMT menurunkan SP tapioka tetapi memberi pengaruh berbeda pada solubilitas: bisa menurunkan seperti ditunjukkan tapioka Thailand dan Adira 4 atau meningkatkan solubilitas seperti terjadi pada tiga tapioka lainnya (Tabel 8.2). Peningkatan interaksi amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin dan amilosa-lemak selama proses HMT menyebabkan terjadinya penurunan SP dan solubilitas. Tetapi, kondisi basah dan pergerakan rantai pati yang lebih tinggi selama HMT diduga juga berperan dalam meningkatkan jumlah fraksi linier berukuran pendek, yang tidak berperan dalam pengaturan ulang molekuler. Keberadaannya karena itu akan memfasilitasi solubilitas dalam air panas (meningkatkan solubilitas tapioka HMT).

Penurunan SP dan solubilitas berlangsung intensif jika granula native beru- kuran kecil atau memiliki SP dan solubilitas tinggi (Tabel 4.5). Kondisi fisik se- perti ini akan lebih mudah diganggu oleh proses HMT sehingga interaksi antar rantai menjadi lebih intensif. Kondisi ini menyebabkan kristalinitas relatif tapioka HMT menjadi rendah (penurunan kristalinitas lebih besar), pengaturan daerah amorfis menjadi lebih rapat sehingga penurunan SP dan solubilitas menjadi lebih besar.

Pada kondisi granula native berukuran besar atau memiliki SP dan solubili- tas yang rendah, maka pengaturan ulang tidak seintensif pada kondisi yang sebe- lumnya, dan menyebabkan peningkatan fraksi linier berukuran pendek menghasil- kan tapioka HMT dengan solubilitas yang lebih tinggi dan penurunan SP tidak ter- lalu besar jika dibandingkan dengan nativenya.

Dari penelitian ini juga terlihat adanya kecenderungan penurunan SP dan solubilitas yang lebih tinggi jika amilosa dan lemak tapioka native lebih tinggi (Tabel 4.5). Hal ini diduga terkait dengan pembentukan kompleks amilosa-amilo- sa dan amilosa-lemak yang lebih tinggi.

Sineresis

HMT meningkatkan kecenderungan retrogradasi pati, terlihat dari VB-R re- latif HMT yang lebih rendah (Tabel 8.2). Akibatnya, sifat gel tapioka yang tadi- nya stabil selama penyimpanan (tidak sineresis) berubah menjadi tidak stabil (ter-

152

jadi sineresis). Penurunan SP pasca HMT, baik dengan peningkatan atau penurun- an solubilitas diduga sebagai penyebab terjadinya sineresis gel tapioka HMT.

Penurunan SP dan solubilitas pasca HMT seperti ditunjukkan oleh tapioka Adira dan Thailand mengindikasikan pembengkakan granula tapioka HMT sela- ma pemanasan lebih rendah dari tapioka native. Dengan ukuran granula yang le- bih kecil, maka proses agregasi amilosa pada saat pendinginan dan penyimpanan akan berlangsung lebih intensif sehingga berpotensi meningkatkan sineresis.

Penurunan SP pasca HMT pada tapioka Kasetsar, Pucuk biru dan Faroka ti- dak terlalu besar, tetapi mereka menunjukkan peningkatan solubilitas dibanding- kan tapioka nativenya. Dengan solubilitas yang lebih tinggi, maka lisis amilosa selama proses pemanasan pati HMT menjadi lebih tinggi dari tapioka native. Kon- disi ini menyebabkan retrogradasi berlangsung lebih intensif dan menyebabkan sineresis.

Karakteristik pasting

HMT menggeser amilograf ke kanan, dengan bentuk yang lebih landai dan puncak yang lebih rendah (Gambar 5.5). Profil ini menunjukkan bahwa tapioka HMT lebih tahan terhadap pemanasan dibandingkan dengan tapioka nativenya.

Perubahan parameter pasting pasca HMT dapat dilihat pada Tabel 8.2. Tapioka mengalami penurunan viskositas puncak dan VBD-R dengan peningkat- an suhu pasting dan suhu puncak, mengindikasikan meningkatnya ketahanan terhadap panas. Sementara itu, penurunan VB-R mengindikasikan bahwa kecenderungan retrogradasi akan meningkat pasca HMT. Ukuran granula, SP, tingkat kristalinitas, kadar amilosa, lemak dan abu dari tapioka native mempengaruhi besarnya intensitas perubahan karakteristik pasting tapioka setelah HMT (Tabel 5.7).

Suhu puncak, viskositas puncak dan viskositas breakdown terutama dipengaruhi oleh kondisi daerah kristalit. Terjadinya kondisi-kondisi yang mempengaruhi daerah kristalit karena itu akan mengubah karakteristik suhu puncak, viskositas puncak dan viskositas breakdown (agar bisa dibandingkan antar pati, maka dilihat dalam bentuk VBD-R). Sementara itu, perubahan suhu pasting lebih dipengaruhi oleh kondisi perubahan di daerah amorfis.

153

Ukuran granula yang lebih kecil dan/atau SP yang lebih besar memungkinkan lebih banyak daerah granula yang bisa dipengaruhi. Hal ini menyebabkan peningkatan keteraturan struktur daerah amorfis menjadi lebih besar dan menyebabkan peningkatan suhu pasting menjadi lebih tinggi. Sebaliknya, peningkatan gangguan di daerah kristalit menyebabkan akan menyebabkan pengaturan ulang di daerah kristalit tidak terlalu baik, terutama jika tingkat kristalinitas rendah. Kondisi ini akan menyebabkan peningkatan suhu pasting menjadi tidak terlalu besar. Gangguan yang lebih intensif terhadap keteraturan di daerah kristalin ini juga bisa memicu meningkatnya fraksi linier rantai pendek yang menyebabkan lisis selama proses pemanasan menjadi lebih besar. Akibatnya, penurunan viskositas puncak, penurunan VBD-relatif menjadi tidak terlalu besar tetapi peningkatan VB-R menjadi lebih besar pasca HMT.

Kristalinitas yang tinggi menyebabkan pengaturan yang lebih intensif di daerah kristalit. Walaupun demikian, juga akan mempengaruhi daerah amorfis terutama melalui pembentukan ikatan amilosa-amilopektin. Karena itu, peningkatan kristalinitas akan menyebabkan intensitas peningkatan suhu puncak menjadi lebih tinggi, tetapi hanya menyumbang sedikit pada peningkatan suhu pasting (karena pengaturan lebih banyak dalam daerah kristalit). Peningkatan VB-R akan ditekan karena pemutusan rantai samping (pembentukan fraksi linier) diduga akan minimal. Kondisi ini juga menyebabkan penurunan viskositas puncak dan penurunan VBD-R menjadi lebih besar.

Keberadaan amilosa dan lemak dalam jumlah besar berpeluang untuk meningkatkan keteraturan molekuler di daerah amorfis. Hal ini menyebabkan peningkatan suhu pasting menjadi lebih besar. Peningkatan jumlah amilosa dan/atau lemak akan menyebabkan intensitas pengaturan ulang lebih banyak di daerah amorfis, yang melibatkan interaksi antara amilosa, amilopektin dan lemak dan menyebabkan gangguan lebih besar pada daerah kristalin. Kondisi ini diduga juga akan meningkatkan jumlah fraksi linier berukuran pendek. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan gangguan di daerah kristalin akan menyebabkan penurunan viskositas puncak dan VBD-R menjadi tidak terlalu besar sementara peningkatan VB-R menjadi lebih besar.

154

Kadar abu yang besar akan meningkatkan jumlah muatan sejenis. Peningkatan muatan sejenis akan meningkatkan pembukaan double heliks tetapi memperlambat proses pengaturan ulang. Akibatnya, intensitas peningkatan suhu puncak menjadi lebih rendah, intensitas penurunan viskositas puncak dan VBD-R lebih rendah, sementara peningkatan VB-R menjadi tinggi.

Karakteristik tekstur

Gel pati terbentuk karena proses retrogradasi selama pendinginan pasta pati. Karakteristik gel yang paling terpengaruh oleh proses HMT adalah kekerasan dan kelengketan. Thailand dan adira 4 menunjukkan peningkatan kekerasan yang sangat tinggi sementara kekerasan gel dari tapioka pucuk biru HMT relatif tidak berbeda dengan tapioka nativenya. Kelengketan terbesar pasca HMT ditunjukkan oleh tapioka thailand sementara tapioka faroka menunjukkan peningkatan kelengketan yang rendah (Tabel 8.2).

SP dan solubilitas yang tinggi akan meningkatkan kekerasan dan kelengketan (Tabel 5.9). Peningkatan SP dan solubilitas tapioka native menyebabkan intensitas pengaturan di daerah amorfis meningkat tetapi perpotensi untuk memutus rantai samping amilopektin berukuran pendek. Peningkatan pengaturan di daerah amorfis menyebabkan penurunan SP menjadi besar. Selama pemanasan, tapioka yang mengalami penurunan SP yang besar diduga akan memiliki ukuran pengembangan granula yang jauh lebih kecil dari nativenya sementara peningkatan keberadaan fraksi linier berukuran pendek menyebabkan lisis amilosa menjadi lebih besar. Kondisi ini menyebabkan proses agregasi amilosa yang terlarut di dalam pasta pati menjadi meningkat. Peningkatan kelengketan akan terjadi jika keteraturan di daerah amorfis meningkat dan hal ini akan tercapai dengan meningkatnya kadar abu, lemak, amilosa dan SP pati native.

Daya cerna tapioka gelatinisasi

Proses HMT menurunkan daya cerna tapioka gelatinisasi, mengindikasikan bahwa beberapa interaksi yang terbentuk selama proses HMT tetap bertahan setelah proses gelatinisasi sehingga menghambat akses antara enzim dan pati. Dari penelitian ini terlihat kecenderungan penurunan daya cerna akan lebih besar jika proses pengaturan ulang terutama terjadi di daerah kristalin.

155

Pengaruh Proses HMT Terhadap Karakteristik Morfologi Dan Kristalinitas

HMT yang dilakukan selama 240 menit pada kombinasi kadar air (18 dan 20%) dengan suhu (110 dan 120°C) menunjukkan adanya pengaruh dari kondisi

proses pada intensitas perubahan morfologi dan kristalinitas granula.

Sebagian granula mengalami kehilangan birefringence di bagian tengah granula. Peningkatan intensitas proses dengan meningkatkan suhu dan/atau kadar proses akan meningkatkan jumlah granula yang mengalami kehilangan birefringence parsial dan/atau luasan daerah yang kehilangan birefringence semakin meningkat. Kehilangan birefringence dibagian tengah granula yang merupakan daerah amorfis, mengindikasikan bahwa daerah amorfis adalah daerah pertama yang diganggu oleh proses HMT.

Tipe kristalit tapioka tidak berubah selama HMT, tetapi kristalinitas menurun. Pada suhu 110°C, penurunan kristalinitas hanya sedikit, pada dua kadar

air proses (18 dan 20%). Penggunaan suhu tinggi dikombinasikan dengan kadar air proses akan menyebabkan penurunan kristalinitas menjadi lebih intensif. Penurunan kristalinitas yang cukup besar pada kombinasi suhu dan kadar air proses yang tinggi disebabkan oleh terjadinya gelatinisasi parsial (Gambar 8.3). Gambar SEM (6.2-6.3) menunjukkan terjadinya perubahan bentuk tapioka yang diproses pada suhu 120°C kadar air 20% selama 240 menit, mengindikasin terjadinya gelatinisasi parsial

156

Kinetika Termal Beberapa Parameter Fisikokimia Selama HMT

Perubahan SP, solubilitas, parameter pasting dan parameter tekstur sebagai fungsi dari suhu dan waktu proses pada dua tingkat kadar air proses (18% dan 20%) telah dipelajari. Diketahui bahwa perubahan SP berkorelasi negatif dengan kadar air dan waktu proses, sementara perubahan solubilitas berkorelasi negatif dengan kadar air proses. Tidak ditemukan korelasi antara perubahan SP dan solubilitas dengan suhu proses. Perubahan SP dan solubilitas sebagai fungsi dari waktu tidak bisa dijelaskan dengan menggunakan model kinetika ordo 0 2.

Perubahan parameter pasting (VP, VBD, VB dan T pasting) serta karakteristik kekerasan tekstur gel tapioka dipengaruhi oleh suhu, waktu dan kadar air proses HMT. Perubahan VP, VBD dan VB sebagai fungsi waktu pada suatu suhu proses berlangsung mengikuti persamaan kinetika ordo 1, sementara perubahan suhu pasting dan kekerasan berlangsung mengikuti ordo 0.

Laju perubahan suatu parameter berlangsung lebih cepat jika suhu proses dinaikkan ke 120°C. Dengan persamaan Arrhenius diketahui bahwa laju peru-

bahan tekstur paling sensitif terhadap perubahan suhu, diikuti oleh VB. Laju peru- bahan suhu pasting paling tidak sensitif terhadap perubahan suhu.

Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Pukkahuta et al (2007) dan Vermeylen et al (2006), yang menyebutkan bahwa perubahan morfo- logi granula akibat HMT dipengaruhi oleh kadar air, suhu dan waktu proses.

157

Dokumen terkait