• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN UMUM

Dalam dokumen KARAKTERISASI PENANDA GENETIK (Halaman 73-79)

Penanda Genetik untuk Identifikasi Karang dan Manfaatnya dalam Pengelolaan Terumbu Karang

Menurut Veron (2000) dan Volmer dan Palumbi (2002), perangkat molekuler sangat jelas diperlukan untuk menggambarkan batasan spesies, dan untuk mengungkapkan pola evolusi dan keanekaragaman hayati-nya. Namun, penelitian molekuler telah menghadapi banyak tantangan teknis, dan memicu kontroversi tambahan tentang cakupan dan signifikansi evolusi hibridisasi antara spesies.

van Oppen et al. (1999) dan Shearer et al. (2002) mennyatakan bahwa DNA mitokondria adalah salah satu penanda molekuler yang paling informatif dan banyak digunakan pada metazoa, namun genom mitokondria pada Anthozoa mengalami evolusi yang luar biasa lambat, dan hanya memberikan sedikit pemecahan filogenetik pada atau di bawah tingkat famili atau genus. Daerah ITS ribosomal nuklear (bagian dari cistron ribosomal yang terdiri dari dua internal transcribed spacer dan gen 5.8S yang berevolusi secara cepat) merupakan salah satu molekul yang paling banyak digunakan sebagai penanda untuk kajian genetika pada tingkat spesies tanaman (Kress et al. 2005), jamur (O’Donnell. 1997), dan karang (Medina et al. 1998; Takabayashi et al. 1998; Volmer dan Palumbi 2004). Meskipun daerah ITS digunakan secara luas, penanda multi-copy ini menimbulkan tantangan, terutama ketika varian yang berbeda ditemukan dalam satu genom. Salinan ITS yang sangat berbeda ditemukan secara eksklusif dalam organisme yang memiliki sejarah hibridisasi antara tetua yang berbeda, dan ribuan salinan dalam genom eukariotik tertentu dianggap homogen oleh proses rekombinan (evolusi bersamaan) dalam kelompok yang sering terjadi inbreeding.

Vollmer & Palumbi (2004) mengingatkan bahwa sulit untuk membedakan antara introgressi (transfer informasi genetik dari satu spesies yang lain melalui hibridisasi) dan backcrossing berulang (hibrid dengan salah satu dari induk atau suatu organisme dengan karakteristik genetik yang sama dari salah satu induk) dari garis keturunan hibridisasi dan pemisahan yang tidak lengkap dari polimorfisme leluhur. Mereka beradu argumentasi dengan peneliti lainnya tentang

penggunaan daerah ITS pada karang yang didasarkan pada pengamatan pada genus Acropora, yang diketahui mempunyai banyak spesies yang berhibridisasi.

Sebuah survei yang dilakukan secara luas terhadap variasi intra-genomik ITS pada karang menunjukkan bahwa masalah variasi adalah hal yang jarang terjadi, pengecualiannya hanya ditemukan pada genus Acropora dan bukan sebagai aturan umum untuk taksa karang lainnya (Flot dan Tillier 2006). Hal ini juga didukung oleh Forsman et al. 2009 pada penelitan mereka bahwa variasi intra-genomik ITS pada genus Porites relatif rendah, dan tanda filogenetiknya relatif cukup kuat terhadap gangguan penyelarasan yang ambigu, menurut mereka, keadaan ini dapat dikurangi dengan peningkatan jumlah sampling taksonomi.

Forsman et al. (2009) melakukan pengujian evolusi nuklear pada daerah internal ribosomal spacer (ITS) dan mitokondria (COI, sebagai wilayah control sementara) pada karang Porites, salah satu genus yang paling menantang dan penting secara taksonomi dan ekologis karena merupakan genus pembentuk terumbu karang. Hasilnya, mereka menunjukkan bahwa integrasi analisis taksonomi dengan penanda molekuler mengungkapkan beberapa pola-pola tersembunyi dalam keanekaragaman jenis genus Porites. Kajian mereka menunjukkan bahwa kerangka karang secara evolusioner dapat mengalami plastisitas yang luar biasa, yang mungkin menjelaskan beberapa kesulitan taksonomi dan dapat mengaburkan pola-pola yang mendasari endemisitas dan keanekaragamannya.

Seperti halnya pada penelitian ini, Sitokrom c oxidase subunit 1 (COI) mempunyai tingkat polimorfisme yang sangat rendah dan memiliki keterbatasan sebagai alat yang berguna untuk membedakan spesies karang Goniopora, namun, akan sangat informatif bila dikombinasikan dan dibandingkan dengan pendekatan. penanda genetik lainnya seperti daerah ITS ribosomal. Menurut Forsman (2009) Daerah ITS sangat informatif pada genus Porites dalam penelitian mereka, karena dapat membedakan divergensi pada tingkat spesies dan dapat menjadi alat yang berharga untuk menjelaskan pola evolusi dan keanekaragaman hayati pada karang.

Karena ekosistem karang semakin terancam, ada kebutuhan untuk memahami ciri dan spesies karang dalam bentuk kelompok-kelompok

55

oleh Forsman et al. (2009) menunjukkan bahwa karakter morfologi yang diduga sebelumnya mampu melukiskan spesies yang diuji, harus diulang secara akurat untuk dapat memahami pola-pola evolusi, endemik, dan keanekaragaman hayati pada karang pembentuk terumbu. Definisi spesies hanya berdasarkan evolusi yang labil, polimorfik, atau sifat-sifat plastisitas fenotipik cenderung menyesatkan dan mengacaukan usaha-usaha untuk mengidentifikasi, memahami, dan melestarikan keanekaragaman hayati karang.

Berdasarkan penelitian ini, walaupun masih belum dapat ditentukan secara tepat, penanda genetik mana yang paling akurat yang mampu menjelaskan karakteristik genotipik karang Goniopora spp. tetapi paling tidak dalam penerapan pengelolaan misalnya,untuk merehabilitasi terumbu karang yang rusak, maka pola dendrogram yang paling mendekati perbedaan dan persamaan fenotipiknya, dapat dijadikan acuan sementara, species mana saja yang mempunyai kemiripan secara genotipik yang dapat direkomendasikan jika akan melakukan suatu kegiatan transplantasi karang Goniopora. Sebagai contoh jika pada lokasi yang rusak dan perlu dilakukan rehabilitasi hanya ada spesies karang Goniopora stokesi, maka sebaiknya dilakukan transplantasi karang dari spesies yang sama, tetapi jika tidak ada spesies donor dari spesies yang sama, maka yang dianjurkan adalah melakukan transplantasi dari spesies G. columna, karena karang ini mempunyai kemiripan genotipik yang lebih dekat dengan karang G. stokesi, dan tidak dianjurkan untuk melakukan transplantasi dengan donor dari G. norfolkensis karena spesies ini mempunyai jarak genetik yang sangat jauh dari spesies G.

stokesi, walaupun mungkin secara fenotipik dan secara taksonomis,

spesies-spesies ini tidak menunjukkan perbedaan morfologik yang nyata dan masih dalam genus yang sama.

Dengan mengetahui persamaan dan perbedaan karakteristik genetik ini, akan berguna dalam upaya pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang yang rusak, yaitu dalam hal pemilihan atau penempatan donor dalam kegiatan transplantasi. Jika terdapat variasi genetik yang sangat ekstrim, maka donor harus dipertimbangkan dengan seksama, karena berpotensi mempunyai efek yang negatif bagi ekosistem yang telah ada sebelumnya, yaitu dapat terjadi dominansi,

agresivitas spesies karang tertentu, kompetisi intraspesifik, percepatan penyebaran penyakit pada karang, dan lain sebagainya.

Peranan Barkode DNA bagi Pengelolaan, Pemanfaatan, Perdagangan dan Konservasi Terumbu Karang

Penggunaan Barkode DNA (DNA Barcoding / DBC) dengan penanda genetik COI bagi perdagangan dan konservasi hewan laut telah diterapkan pada beberapa spesies baru-baru ini, seperti pada perdagangan ikan hias (Steinke et al. 2009) dan konservasi beberapa spesies penyu (Vargas et al. 2009). Dengan tersedianya layanan barkode DNA yang mudah diakses dan komprehensif, maka masalah identifikasi ikan laut tropis yang biasanya sulit dilakukan dan membutuhkan para ahli taksonomi, menjadi lebih mudah dilakukan dan akan menguntungkan para pengumpul, grosir dan pengecer, serta lembaga yang melakukan kontrol pada peraturan perdagangan ikan hias (Steinke et al. 2009).

Selain kegunaannya dalam taksonomi, metoda DBC diharapkan mampu memberikan manfaat dalam biologi konservasi, misalnya, saat melakukan survei keanekaragaman hayati. Bisa juga diterapkan ketika metode tradisional tidak efisien, seperti dalam identifikasi bentuk telur dan larva, dan dalam analisis isi perut atau ekskreta untuk menentukan jaring makanan (Stoeckle, 2003). Selain itu, juga mempunyai potensi digunakan dalam kasus forensik untuk mengidentifikasi sumber contoh jaringan yang diperoleh baik dari perdagangan ilegal atau penggunaan telur dan daging. Dengan demikian, metoda DBC dapat diterapkan pada daging dan telur penyu yang dimakan atau diperdagangkan sebagai sumber untuk mengindentifikasi spesies penyu tersebut. DBC dapat digunakan untuk melakukan survei dalam rangka konservasi penyu laut dan untuk memberikan sosialisasi (public awareness) baik bagi penduduk lokal dan konservasionis atas ancaman spesies pada tingkat lokal (Vargas et al. 2009). Namun hal tersebut masih belum dapat diterapkan dalam pengelolaan dan konservasi terumbu karang, karena belum adanya penanda genetik yang dapat diandalkan dan cocok untuk semua spesies karang.

Niegel et al. (2007) menyatakan bahwa DBC dapat memecahkan beberapa masalah yang biasanya tidak dapat dipecahkan. Setidaknya, dapat membantu mengidentifikasi spesimen yang sulit untuk diidentifikasi dan sebagai manfaat

57

lainnya, dapat memfasilitasi penemuan spesies baru. Penggunaan dasar DBC ini harus memungkinkan untuk memasukkan lebih banyak spesies karang dalam survei keanekaragaman hayati dan mengurangi bias yang terjadi saat ini. DBC bisa menjadi alat yang penting dalam konservasi terumbu karang apabila tersedia

database runutan COI yang sesuai.

Selanjutnya Niegel et al. (2007) menambahkan, bagi beberapa kelompok taxa lainnya, runutan selain COI terbukti telah menjadi standar bagi penggunaan DBC. Runutan selain COI pasti sangat diperlukan untuk menentukan karakteristik spesies Porifera, Anthozoa dan kelompok lainnya di mana runutan mitokondria pada kelompok ini berevolusi terlalu lambat untuk membedakan spesies. Namun, bahkan untuk kelompok di mana COI tidak dapat memberikan spesifikasi spesies, tetapi masih dapat berguna untuk menetapkan spesimen pada tingkat genus atau familia. Untuk beberapa tujuan, hal ini mungkin dapat memadai. Tetapi untuk tujuan yang memerlukan ketelitian yang lebih tinggi, identifikasi kasar COI bisa berfungsi sebagai titik awal (starting point) di luar runutan dari lokus tambahan, yang dapat digunakan untuk memberikan pemecahan masalah pada tingkat spesies.

Penanda genetik yang telah disetujui secara ilmiah dapat digunakan sebagai Barkode DNA (DBC). DBC dapat diaplikasikan dalam perdagangan karang (hias), yaitu dapat meminimalisasikan kesalahan dalam penentuan kuota perdagangan spesies karang (hias) yang direkomendasikan oleh CITES pada tingkat lokal (regional), membantu dalam pengawasan (monitoring) perdagangan karang dan pencegahan perdagangan karang ilegal. Dalam usaha pembudidayaan karang untuk perdagangan dapat diketahui karang yang berasal dari penangkaran atau karang yang diambil dari alam (wild coral), karena dengan diberlakukannya DBC untuk semua indukan (parental) karang yang ditangkarkan, maka turunan berikutnya (F1/F2) juga dapat dikenali berdasarkan barkode DNA yang sesuai dengan induk nya. DBC juga dapat dijadikan alat bukti jika terjadi perdagangan karang ilegal, dapat dipakai sebagai alat identifikasi spesies karang yang sulit untuk diamati secara morfologik dan spesies karang yang langka (endemik), dan juga dapat dipakai dalam bidang konservasi karang untuk menentukan jenis karang mana yang tahan terhadap kenaikan temperatur air laut atau tahan terhadap tekanan lingkungan lainnya.

Van Oppen dan Gates (2006) menyatakan bahwa faktor penting bagi ketahanan (resilience) terumbu karang adalah konektivitas antara dan di dalam terumbu karang. Pertukaran larva menciptakan dan mempertahankan tingkat keragaman genetik yang tinggi, yang sangat penting dalam hal ketahanan terhadap gangguan. Migran dapat membawa alel baru yang akan terintegrasi ke dalam populasi melalui reproduksi, menciptakan kombinasi gen yang lebih tahan terhadap gangguan. Penyebaran selektif alel-alel yang menguntungkan pada lokus DNA yang terlibat dalam tanggapan fisiologis seperti resistensi pemutihan (bleaching) dan potensi lainnya segagai konsekuensi dari migrasi.

Peran genetika dalam konservasi biologi, dan dalam ekologi secara umum, telah sangat meningkat selama dua dekade terakhir, dan data yang tersedia dalam bidang ini mulai berkembang, terutama untuk karang-karang pembentuk terumbu. Diharapkan bahwa genetika dan biologi molekular dapat dikombinasikan dengan data fisiologis dan ekologis, sehingga dapat memberikan perspektif multifaset ketahanan karang pembentuk terumbu. Dengan demikian, data ini merupakan komponen berharga dalam bidang konservasi terumbu-karang. Filogenetika, filogeografi populasi dan analisis genetika yang berguna sebagai indikator dari sejarah populasi di alam dan prognosis untuk masa depan. Lebih lanjut, karakterisasi tanggapan stres pada tingkat molekuler dapat menyebabkan pengembangan tes diagnostik untuk deteksi dini tanggapan stres pada karang dan cepat mengidentifikasi pemicu stress yang tepat dan bertanggung jawab atas degradasi ekosistem terumbu-terumbu karang tertentu.

Dalam dokumen KARAKTERISASI PENANDA GENETIK (Halaman 73-79)