• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tuna dan ikan pelagis lainnya seringkali ditemukan berasosiasi dengan benda terapung dan tinggal di sekitarnya dalam jangka waktu tertentu. Tingkah laku ini kemudian dimanfaatkan oleh nelayan dengan memasang objek buatan yang menyerupai benda terapung alami yang dikenal dengan rumpon atau Fish Aggregating Devices (FADs). Rumpon dipasang baik di perairan pantai oleh nelayan tradisional maupun di laut dalam oleh nelayan modern. Para peneliti mengajukan beberapa teori tentang alasan ikan berkumpul di dekat rumpon, diantaranya : (1) gerombolan ikan berkumpul di sekitar rumpon karena menjadikannya sebagai tempat berlindung dari pemangsa. Namun nampaknya teori ini tidak berlaku untuk gerombolan tuna karena konstruksi rumpon yang kecil bukanlah tempat yang cocok untuk berlindung bagi mereka; (2) rumpon dianggap sebagai indikator adanya makanan. Rumpon mengumpulkan ikan-ikan kecil di sekitarnya dan kemudian ikan-ikan besar memangsa ikan kecil tersebut. Meski demikian, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa ikan kecil yang berkumpul di sekitar rumpon merupakan makanan bagi ikan lainnya yang lebih besar. Rumpon dijadikan sebagai indikator perairan yang produktif oleh ikan karena biasanya benda yang terapung berasal dari sungai yang kaya nutrisi dan biasa ditemukan di daerah pertemuan arus yang subur, sehingga ikan cenderung berkumpul di sekitarnya; (3) rumpon dijadikan sebagai acuan ruang (spasial references) di lautan yang luas dan kosong (Klima dan Wicham 1971). Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa tuna sirip kuning yang diberi tanda selalu kembali ke rumpon asalnya secara rutin (Klimley dan Holloway 1999). Meski demikian banyak kasus menunjukkan hasil sebaliknya, yaitu ikan tuna tidak kembali ke rumpon asalnya (Holland 1990); dan (4) rumpon dijadikan sebagai titik pertemuan bagi ikan, di mana ikan yang berenang sendiri atau bergerombol bisa bertemu dengan gerombolan lain (Freon dan Dagorn 2000). Berkumpulnya ikan membentuk gerombolan yang lebih besar akan meningkatkan peluang kelangsungan hidupnya, hingga ukuran gerombolan optimalnya tercapai (Pitcher dan Parrish (1993). Pengamatan Robert et al. (2013) terhadap tingkah laku sosial ikan tuna di dua rumpon yang identik menunjukkan bahwa proses berkumpulnya ikan di sekitar rumpon ini karena ikan menjadikannya sebagai titik pertemuan. Berkumpulnya ikan dengan berbagai alasan yang mungkin terjadi tersebut menjadikan perairan di sekitar rumpon sebagai daerah penangkapan yang potensial, sehingga rumpon banyak digunakan oleh perikanan pukat cincin, huhate, pancing ulur dan rawai sebagai lokasi pengoperasian alat tangkapnya.

Kabupaten Pacitan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang posisinya berhadapan langsung dengan Samudera Hindia yang terbentang dari Afrika di sebelah barat hingga Australia di sebelah timur yang memiliki kekayaan sumber daya ikan yang melimpah. Berbeda dengan samudera Pasifik yang telah tereksploitasi secara penuh, sumber daya ikan di perairan Samudera Hindia masih belum dimanfaatkan secara optimal kecuali di bagian barat. Samudera Hindia sebelah timur merupakan jalur ruaya bagi ikan-ikan penjelajah (high migratory fishes) yang bernilai ekonomi tinggi. Jenis ikan ekonomis penting yang terdapat di Samudera Hindia dintaranya yaitu tuna albakora (Thunnus alalunga), tuna mata besar (T. obesus), cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna sirip kuning (T. albacares), tongkol (Euthynnus affinis, Auxis thazard),

marlin (Makaira indica, M. Nigricans, Tetrapturus audax), layaran (Istiophorus platypterus) dan ikan pedang (Xiphias gladius) (Maguire et al. 2006).

Upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan yang ada di perairan selatan Kabupaten Pacitan dilakukan dengan memperkenalkan rumpon kepada nelayan. Meskipun rumpon telah lama dikenal di Indonesia, namun alat bantu pengumpul ikan ini baru diperkenalkan di kabupaten ini pada tahun 2005. Unit penangkapan yang memanfaatkan rumpon sebagai lokasi penangkapannya yaitu pukat cincin dan pancing ulur. Penggunaan rumpon oleh kedua alat tangkap tersebut mampu meningkatkan produksi ikan hasil tangkapan di Pacitan.

Pemanfaatan rumpon laut dalam sebagai daerah penangkapan ikan dapat memberikan dampak positif bagi produktivitas unit penangkapan pukat cincin dan pancing ulur, namun dapat juga mengakibatkan dampak negatif bagi keberlanjutan sumber daya ikan, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 8. Dagorn et al. (2013) menyebutkan dua keuntungan menangkap ikan di sekitar rumpon yaitu : (1) mengurangi waktu pencarian gerombolan ikan yang menjadi target penangkapan karena gerombolan ikan dapat dengan mudah terlihat di permukaan air; dan (2) operasi penangkapan ikan di sekitar rumpon memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi karena umumnya pergerakan ikan yang berkumpul di sekitar rumpon lebih lambat dibandingkan ikan yang tidak berasosiasi dengan rumpon. Penggunaan rumpon membuat waktu yang dibutuhkan untuk mencari ikan lebih sedikit dan menghemat pemakaian bahan bakar. Nelayan hanya perlu datang ke lokasi pemasangan rumpon, sehingga penggunaan waktu untuk mencari gerombolan ikan semakin efisien. Nelayan pukat cincin dan pancing ulur di Pacitan umumnya memasang 3–5 rumpon sebagai lokasi pengoperasian alat tangkapnya. Rumpon-rumpon tersebut dipasang dengan jarak 30–200 mil dari pantai sehingga dapat dijangkau dalam waktu 6–40 jam perjalanan. Jarak pemasangan antar rumpon berkisar antara 2 sampai 12 mil, sehingga waktu tempuh untuk berpindah dari satu rumpon ke rumpon lainnya hanya beberapa jam. Hal ini memberikan keuntungan kepada nelayan karena waktu penangkapan menjadi lebih efisien dan dapat menghemat penggunaan bahan bakar.

Pengoperasian alat tangkap pukat cincin dan pancing ulur di sekitar rumpon memiliki peluang keberhasilan yang tinggi. Hal ini terlihat dari produktivitas penangkapan pukat cincin (rata-rata 7 ton/trip) dan pancing ulur (rata-rata 0,9 ton per trip) yang dioperasikan di sekitar rumpon. Produktivitas kedua jenis alat tangkap tersebut juga lebih stabil baik saat bulan gelap (fase bulan I dan II) maupun bulan terang (fase bulan III dan IV), sehingga kedua alat tangkap tersebut dapat dioperasikan sepanjang waktu. Keberadaan rumpon membuat produktivitas pukat cincin tetap tinggi meskipun saat intensitas cahaya bulan tinggi. Hal ini berbeda pada kondisi yang umum, di mana produktivitas alat tangkap yang menggunakan cahaya (light fishing) biasanya lebih rendah saat bulan terang. Kondisi ini disebabkan karena ketertarikan ikan terhadap rumpon membuatnya tetap berkumpul di sekitar rumpon dan tidak menyebar di perairan sebagaimana terjadi di perairan yang tidak terdapat rumpon, sehingga penggunaan lampu pada pukat cincin tetap efektif meskipun saat bulan terang. Tingkat keberhasilan operasi penangkapan menggunakan pukat cincin di sekitar rumpon lebih tinggi (90%) dibandingkan penangkapan gerombolan ikan yang berenang bebas (50%) (Suzuki et al. 1999; Fonteneau et al. 2000; Miyake et al. 2010). Keuntungan ini mendorong para nelayan untuk memasang lebih banyak rumpon sebagai lokasi

penangkapan ikannya, sehingga jumlah rumpon yang dipasang di perairan terus meningkat dengan cepat.

Tabel 8 Dampak penggunaan rumpon dan alat tangkap terhadap keberlanjutan sumber daya ikan

Objek kajian Deskripsi Dampak Solusi Positif Negatif

Rumpon - Jenis rumpon tetap - Atraktor dari daun

kelapa - Dipasang pada 8o 12o LS - Kedalaman perairan 1 000–5 500 m - Pemasangan zig zag membujur atau bergerombol - Jarak antar rumpon 1–17 mil - Rumpon tidak terdaftar - Jumlah terpasang sekitar 250 unit - Posisinya mudah ditemukan - Bahan atraktor mudah terurai secara alami - Mengumpulkan 16

jenis ikan pelagis termasuk tuna sirip kuning, cakalang dan albakora - Pergerakan ikan lambat sehingga mudah ditangkap - Mengganggu alur ruaya alami ikan - Menggiring ikan ke perairan yang tidak produktif - Mengganggu pertumbuhan dan reproduksi ikan - Ikan yang berkumpul berukuran kecil terutama di permukaan - Pengaturan perizinan pemasangan rumpon - Pengaturan posisi dan jarak pemasangan rumpon Pukat cincin dengan rumpon - Memasang 3–5 rumpon/kapal - Tipe pukat cincin

kecil (mini purse

seine) - Dioperasikan di permukaan - Dioperasikan di dekat rumpon - Menggunakan lampu sebagai pengumpul ikan - Kemampuan menangkap ikan tinggi - Selektivitas rendah

- Hemat bahan bakar - Produksi tinggi - Produktivitas penangkapan tinggi - Peluang keberhasilan penangkapan tinggi - Produktivitas tidak terpengaruh fase bulan - Persentase hasil tangkapan sampingan (by- catch) tinggi - Ikan yang tertangkap masih berukuran kecil (under size) - Mengancam keberlanjutan sumber daya ikan

- Pengurangan jumlah rumpon yang dipasang - Jarak pengope- rasian dari rumpon diperjauh - Memperbesar ukuran mata jaring - Mengganti dengan alat tangkap lain Pancing ulur dengan rumpon - Memasang 3–5 rumpon/kapal - Menangkap ikan

satu per satu - Kedalaman operasi

di atas 100 meter - Selektivitas tinggi

- Hemat bahan bakar - Peluang keberhasilan penangkapan tinggi - Produktivitas tidak terpengaruh fase bulan - Hasil tangkapan berukuran besar - By-catch sedikit - Produksi rendah - Produktivitas rendah - Trip penangkapan ditingkatkan

Penggunaan rumpon yang terlalu banyak dapat menimbulkan dampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya ikan. Dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan rumpon diantaranya : (1) meningkatkan jumlah ikan non-target yang tertangkap yang disebut sebagai hasil tangkapan sampingan (by-catch); (2) meningkatkan peluang tertangkapnya ikan yang masih berukuran kecil (juvenil); dan (3) terganggunya ruaya/pergerakan alami ikan.

Rumpon yang dipasang oleh nelayan di Pacitan merupakan jenis rumpon tetap. Masing-masing kapal memasang 3–5 unit rumpon pada posisi 8o–12o LS dengan kedalaman perairan 1 000–5 500 meter. Rumpon dipasang secara zig zag melintang dari utara ke selatan atau bergerombol dengan jarak antar rumpon 2–17 mil, namun sebagian besarnya di bawah 10 mil. Rumpon-rumpon yang dipasang oleh nelayan Pacitan umumnya tidak didaftarkan di dinas terkait, sehingga pengontrolannya sulit dilakukan.

Pemerintah telah mengatur penggunaan rumpon agar dapat memberikan keuntungan bagi nelayan tanpa membahayakan keberlanjutan sumber daya ikan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26/PERMEN- KP/2014 tentang Rumpon (KKP 2014b). Peraturan tersebut mengatur tentang desain teknis, cara pemasangan rumpon dan perizinan pemasangan rumpon, diantaranya : jumlah rumpon yang dipasang oleh satu unit kapal paling banyak 3 unit (Pasal 14); pemasangan rumpon di wilayah WPP-NRI wajib memiliki izin (Pasal 7); jarak pemasangan antar rumpon tidak boleh lebih dari 10 mil dan tidak dipasang secara zig zag yang menimbulkan efek pagar (Pasal 12). Berdasarkan peraturan tersebut maka penggunaan rumpon di Pacitan masih belum sesuai dengan ketentuan dan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya ikan berupa terganggunya pola ruaya alami ikan.

Penggunaan rumpon dapat meningkatkan jumlah ikan non-target yang tertangkap yang dikenal sebagai hasil tangkapan sampingan (by-catch). Hal ini dapat mengganggu keseimbangan ekosistem pelagis, karena tertangkapnya ikan yang bukan target penangkapan dapat mengganggu keberagaman jenis ikan di perairan (Druce dan Kingsford 1995). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis ikan yang berkumpul di sekitar rumpon sangat beragam, di mana terdapat paling sedikit 16 spesies ikan dari 8 famili yang berasosiasi dengan rumpon laut dalam yang di pasang oleh nelayan Pacitan. Castro et al. (2002) mencatat ada 333 spesies ikan dari 96 famili yang berasosiasi dengan rumpon melalui kajian terhadap beberapa hasil penelitian. Spesies ikan tersebut tertangkap menggunakan pukat cincin di sekitar rumpon (Romanov 2008; Amande et al. 2010). Hasil tangkapan utama alat tangkap pukat cincin di Pacitan yaitu cakalang dan tuna sirip kuning. Ikan jenis lain yang tertangkap berupa layang, tongkol, lemadang, sunglir, pogot, tenggiri, lemuru, kuwe, kembung dan hiu merupakan hasil tangkapan sampingan karena memiliki harga yang jauh lebih rendah dibandingkan hasil tangkapan utama. Target penangkapan alat tangkap pancing ulur yaitu ikan tuna sirip kuning dan jenis tuna besar lainnya seperti albakora, tuna mata besar dan marlin. Ikan cakalang, lemadang dan sunglir yang tertangkap oleh alat tangkap ini dianggap sebagai hasil tangkapan sampingan. Hilangnya jenis ikan non-target tersebut dari perairan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem pelagis yang ada.

Penggunaan rumpon juga menyebabkan besarnya jumlah juvenil ikan yang tertangkap, terutama untuk jenis tuna sirip kuning. Hal ini dapat berdampak pada berkurangnya populasi tuna sirip kuning dan ikan pelagis lainnya di perairan. Hampir semua hasil tangkapan pukat cincin di Pacitan merupakan ikan yang belum layak tangkap karena belum pernah memijah untuk pertama kali, sedangkan pancing ulur menangkap ikan dengan ukuran yang telah dewasa atau menjelang dewasa. Hasil tangkapan juvenil ikan tuna terus meningkat tajam sejak tahun 1996 ketika rumpon mulai diperkenalkan pada perikanan pukat cincin di Indonesia (Williams dan Terawasi 2010). Tertangkapnya ikan yang belum dewasa

dalam jumlah besar akan mengurangi jumlah ikan yang direkrut per musim nya sehingga dapat membahayakan keberlanjutan sumber daya ikan tersebut. Berkurangnya stok ikan tuna sirip kuning di Samudera Pasifik diduga disebabkan oleh besarnya jumlah penangkapan anakan tuna tersebut oleh kapal-kapal pukat cincin di sekitar rumpon (Langley et al. 2009).

Alat tangkap pancing ulur lebih layak untuk digunakan menangkap ikan di sekitar rumpon dibandingkan pukat cincin jika dilihat dari persentase kelaik tangkapan ikan hasil tangkapannya. Jika hasil tangkapan selain cakalang dan tuna dianggap sebagai hasil tangkapan sampingan dan cakalang yang berukuran kecil (<3 kg) serta tuna yang berukuran <15 kg dianggap tidak layak tangkap, maka ikan yang diproduksi oleh perikanan pukat cincin di Pacitan pada tahun 2014 yang dianggap layak tangkap hanya sekitar 11% dan selebihnya (89%) merupakan ikan yang tidak layak tangkap. Bromhead et al. (2003) menyebutkan bahwa bycatch pada hasil tangkapan pukat cincin yang dioperasikan di sekitar rumpon dalam sekali setting yaitu sekitar 10%, sedangkan yang mengejar gerombolan tanpa menggunakan rumpon hanya 1–2%. Produksi ikan hasil tangkapan pancing ulur yang layak tangkap yaitu sekitar 41% sehingga alat tangkap ini lebih tepat untuk digunakan menangkap ikan di sekitar rumpon.

Dampak negatif lainnya dari penggunaan rumpon oleh nelayan pukat cincin dan pancing ulur di Pacitan yaitu terganggunya ruaya dan pertumbuhan ikan yang berasosiasi dengan rumpon. Banyaknya jumlah ikan yang tertangkap di sekitar rumpon menunjukkan bahwa rumpon memiliki daya tarik yang kuat terhadap ikan untuk berkumpul di sekitarnya, sehingga pergerakan ruaya alamiahnya akan terganggu, terutama jika jumlah rumpon yang dipasang di perairan terlalu banyak. Perairan di sekitar rumpon laut dalam umumnya tidak produktif karena posisinya yang jauh dari daratan (Marsac et al. 2000), sehingga ketersediaan makanan bagi biomassa ikan yang berkumpul di sekitarnya menjadi terbatas. Hal tersebut ditunjukkan oleh besarnya persentase jumlah ikan hasil tangkapan yang lambungnya dalam keadaan kosong (40%), rendahnya tingkat kepenuhan lambung ikan dan sedikitnya jenis makanan yang didapati dalam lambung ikan hasil tangkapan. Keenam jenis ikan pelagis yang diambil sebagai contoh dalam penelitian ini merupakan jenis ikan yang rakus (voracious fishes), terutama cakalang. Jenis ikan ini akan segera mencari makan saat isi perutnya hanya 1/3 dari kapasitas lambungnya (Magnuson 1969). Rendahnya nilai rata-rata kepenuhan lambung tiap jenis ikan menunjukkan bahwa ikan-ikan tersebut tidak mendapat makanan yang cukup. Sedikitnya jenis ikan yang ditemukan dalam lambung ikan yang tertangkap di sekitar rumpon juga mengindikasikan sedikitnya ketersediaan ikan mangsa, sehingga semua jenis ikan tersebut berkompetisi untuk mendapatkan mangsa yang sama. Ikan-ikan yang lebih besar memiliki diet yang lebih bervariasi karena: kurangnya keterikatan terhadap rumpon; kemampuannya menjelajah tempat lain untuk mencari makan; dan bukaan mulutnya yang lebih besar sehingga mampu mengkonsumsi mangsa yang berukuran lebih besar dari lemuru, teri dan cumi-cumi seperti anakan cakalang, layang, dan tongkol. Ketersediaan makanan yang terbatas dapat berpengaruh pada pertumbuhan dan reproduksi ikan yang berasosiasi dengan rumpon. Perubahan tingkah laku ikan yang lebih memilih lingkungan yang tidak produktif akibat ketertarikannya terhadap rumpon ini pada akhirnya dapat mengurangi pertumbuhan populasi ikan- ikan tersebut (Schlaepfer et al. 2002). Rumpon dapat menjadi sebuah jebakan

ekologis bagi ikan karena jumlah rumpon yang banyak dapat mengganggu pergerakan ruaya alami ikan; asosiasi ikan di sekitar rumpon, terutama ikan yang berukuran kecil sangat kuat dan dapat berlangsung lama; dan pada akhirnya dapat berpengaruh pada pertumbuhan dan tingkat kematian ikan (Marsac et al. 2000). Hallier et al. (2008) mendapati bahwa ikan yang ditangkap di sekitar rumpon berada dalam kondisi yang “kurang sehat” dibandingkan ikan yang ditangkap tanpa menggunakan rumpon.

Dokumen terkait