• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada penelitian ini, kajian karakteristik penggunaan HPKU yang menggunakan kompresor refrigerator bertekanan hisap rendah telah dilakukan. Refrigeran yang dipilih adalah R-134a karena sifat merusak ozonnya yang rendah. Dengan pengaturan beban panas yang diberikan, yang dilakukan dengan pengubahan laju aliran udara pada evaporator dan kondensor sistem HPKU dapat bekerja pada selang suhu evaporasi dan kondensasi masing-masing adalah 4-14oC dan 50-65oC. Dengan menggunakan metode regresi (least square), telah diperoleh persamaan kuadratik berganda karakteristik panas evaporasi, daya kompresi serta laju aliran massa refrigeran masing-masing terhadap suhu evaporasi dan kondensasi dengan hasil yang cukup sesuai. Daya kompresor berkisar antara 0.351 kW sampai dengan 0.562 kW sedangkan laju aliran massa refrigran dari 0.00579 kg/s sampai 0.00847 kg/s. Kenaikan daya kompresor dan laju aliran massa refrigeran yang dipengaruhi oleh besarnya laju aliran massa udara (beban panas) di evaporator dan di kondensor.

COP heat yang dihasilkan pada selang suhu evaporasi dan kondensasi yang diuji cukup baik yaitu dalam kisaran 3.0-4.2. Nilai ini cukup memadai untuk menerapkan sistem HPKU yang telah dibuat ini sebagai sistem pengeringan. Kumar et al. (1984) memperoleh COP heat 1-4 pada penggunaan R-12 dan R-22. Bahkan Ceylan and Aktas (2008) hanya memperoleh 1.4-1.7 walaupun nilai ini telah memperhitungkan daya input blower yang digunakan.

Persamaan karakteristik HPKU yang diperoleh di atas digunakan untuk melakukan simulasi sistem HPKU sebagai pengering. Tujuan praktis dari simulasi ini adalah mengetahui suhu dan kelembaban udara serta besarnya panas yang dapat dihasilkan oleh sistem HPKU yang digunakan untuk pengeringan gabah pada berbagai kondisi (suhu dan kelembaban) udara lingkungan dimana pengering ini ditempatkan. Untuk itu dibutuhkan juga input laju aliran udara yang digunakan sehingga nantinya pengoperasian laju aliran udara yang digunakan dapat disesuaikan dengan kondisi udara lingkungan untuk mendapatkan konsumsi energi yang minimum. Selanjutnya dengan menggunakan persamaan karakteristik sistem HPKU yang lebih besar, scale-up untuk pengeringan dengan kapasitas yang lebih besar dapat dilakukan.

Simulasi dilakukan berbasis neraca energi di evaporator dan kondensor pada kedua sisi udara dan refrigeran serta neraca massa uap air di sisi udara. Karena melibatkan persamaan-persamaan non-linier maka metode Newton-Raphson digunakan untuk memecahkan parameter-parameter yang ingin diperoleh. Simulasi ini disusun dalam bahasa pemograman VBA dalam Microsoft Excel, sehingga penggunaannya relatif sederhana. Suhu dan kelembaban udara pengering yang dihasilkan dari simulasi serta laju aliran udara digunakan sebagai input dalam metode Hukill untuk menghitung waktu pengeringan.

Hasil simulasi secara umum memperlihatkan konsumsi energi untuk pengeringan (KETS) relatif cukup rendah yaitu 0.5 – 1 MJ/kg air yang diuapkan, dibandingkan dengan konsumsi energi pada umumnya pengeringan gabah konvensional. Walaupun demikian jenis input energi pada HPKU adalah energi mekanik (listrik) yang dibandingkan dengan energi termal kualitasnya jauh lebih tinggi. Namun, dengan mengambil nilai rasio pembangkitan energi listrik dari termal sebesar 25% saja, nilai KETS tersebut menjadi 2–4 MJ/kg air yang diuapkan yang masih digolongkan dalam sistem pengeringan yang hemat energi.

Simulasi ini menggunakan metode pengeringan secara kontinyu. Apabila pengeringan dilakukan secara intermitten, konsumsi energi yang dibutuhkan akan jauh lebih rendah. Sehubungan dengan pentingnya penghematan dari metode intermittent, perlu simulasi yang menggunakan pengoperasian intermittent untuk kebutuhan pengembangan sistem pengering ini. Selain itu simulasi menggunakan penukar panas di antara evaporator dan kondensor sebagaimana pada konfigurasi pengering yang didesain juga perlu dilakukan. Hasil simulasi pada bab IV memperlihatkan bahwa kelembaban mutlak udara lingkungan sangat mempengaruhi waktu pengeringan. Dengan meningkatkan kapasitas refrigerasi dari HPKU yang ada maka kelembaban mutlak udara dapat turun secara signifikan. Selanjutnya penukar panas pada HPKU dapat memberikan panas dari udara lingkungan sehingga suhu udara masuk kondensor memiliki kelembaban yang rendah tetapi suhunya cukup tinggi.

Dari percobaan konfigurasi pengeringan yang dilakukan diperoleh bahwa pada kondisi udara lingkungan maupun jumlah (ketebalan) gabah yang diuji, dampak dari siklus terbuka atau resirkulasi tidak terlalu berpengaruh. Walaupun secara teoritis resirkulasi berarti memanfaatkan panas sensibel dan panas laten dari udara ekshaus, pemanfaatannya memberikan implikasi pada tingginya kelembaban udara untuk pengering. Apabila penggunaan evaporator cukup memadai dalam menurunkan kelembaban, udara pengering yang dihasilkan memiliki potensi yang baik dan pengeringan dapat dilakukan secara efisien. Namun demikian ketika evaporator kurang memadai dalam menurunkan kelembaban, waktu pengeringan dapat menjadi lebih lama karena dari hasil simulasi (bab IV) kelembaban sangat menentukan waktu pengeringan.

Pemberian penukar panas di antara evaporator dan kondensor dari hasil percobaan tidak terlalu signifikan. Hal ini dapat disebabkan oleh laju aliran udara yang diterapkan pada pengujian cukup tinggi, sehingga penurunan suhu di evaporator tidak terlalu besar. Selain itu, panas yang diterima dari udara lingkungan melalui dinding saluran kemungkinan sudah cukup besar sehingga udara dari evaporator sudah mengalami kenaikan suhu. Akan tetapi, dapat dilihat bahwa penggunaan udara ekshaus dari pengering memberikan kerugian karena suhu udara tersebut cukup rendah karena cenderung mendekati suhu bola basah udara pengering.

Perlakuan secara intermittent tidak terlalu mempengaruhi rata-rata suhu yang dicapai dan akibatnya penurunan kadar air juga tidak terlalu terpengaruh. Namun selama pengoperasian berhenti daya HPKU tentu saja menjadi nol sehingga sistem intermittent memberikan efek penurunan konsumsi energi yang cukup signifikan dimana pada siklus terbuka penghematan mencapai 1.5 kali lipat. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi udara lingkungan yang cukup potensial (rata-rata suhu dari 30.4 – 31.9oC dengan RH 63–68%.). Apabila kondisi udara

lingkungan memiliki suhu yang relatif rendah dan kelembaban yang tinggi, maka sistem intermittent mungkin tidak memberikan keuntungan, karena pengeringan dapat lebih lambat yang bahkan dapat meningkatkan konsumsi energi. Secara keseluruhan konfigurasi juga mengalami pengoperasian intermittent akibat kondisi kelebihan tekanan pada kompresor HPKU.

Sebagaimana yang telah diduga, dibandingkan dengan pengering yang menggunakan pemanas resistif, nilai SMERTot dari seluruh konfigurasi pengering

HPKU memberikan nilai yang lebih tinggi karena COP HPKU memiliki nilai lebih dari 1. Peningkatan SMERTot berkisar antara 159–329%, yang berarti

keefektifan per satuan energi yang digunakan oleh pengering HPKU mencapai lebih dari tiga kali lipat. Nilai SMERT bahkan lebih tinggi lagi, yaitu mencapai

hampir empat kali lipat.

Biaya energi termal pada umumnya merupakan komponen biaya yang paling tinggi dari biaya operasional (variabel) pada suatu sistem pengering. Oleh karena itu penghematan biaya ini akan memberikan penghematan yang signifikan dari biaya pengeringan total. Dari pengujian pengeringan HPKU pada bab IV diperoleh bahwa SMERT berkisar antara 3.39-7.06 kg/kWh.

Hubungan antara massa air yang diuapkan terhadap kadar air awal dan akhir adalah:

��

= −

−��

−�

(5.1)

Konsumsi energi termal per kg bahan awal yang dikeringkan (KEB) dapat dihitung dari rasio massa air per massa awal dengan SMERT, yang dinyatakan

sebagai

�� =

��⁄��

� (5.2)

Atau dari persamaan (5.1) dan (5.2), KEB dapat dihitung dari:

�� =

− � −

�� � (5.3)

Dengan demikian apabila pengeringan dilakukan dari kadar air awal 24% b.b. ke kadar air akhir 14%b.b., maka KEBnya berkisar antara 0.0167–0.0343 kWh/kg. Dengan asumsi harga listrik adalah Rp. 1500 per kWh maka biaya energi termalnya menjadi Rp. 25 – Rp. 51 per kg gabah awal. Hasil survei di Bekasi Cikarang Utara pada bulan Juni 2016, model pengeringan gabah dengan menggunakan bahan bakar untuk mengengeringkan gabah 8000 kg menghabiskan bahan bakar 60 liter dengan harga Rp. 8300 per liter solar, maka biaya energi termalnya yang dibutuhkan Rp. 62.25 per kg gabah. Dengan demikian potensi ekonomis dari sistem HPKU cukup besar untuk dikembangkan pada skala komersial.

6

SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait