• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahan lokal spesifik daerah, khususnya limbah hasil ikutan berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak, meskipun disisi lain perlu diberi sentuhan teknologi, diantaranya melalui pengolahan biologis karena umumnya bahan limbah hasil ikutan mempunyai kualitas nutrisi yang rendah atau memiliki keterbatasan. Umumnya pemanfaatan bahan limbah mempunyai keuntungan, yakni mengurangi pencemaran lingkungan, menambah pendapatan bagi petani peternakdan mengatasi permasalahan ketersediaan pakan.

Daerah-daerah yang merupakan kawasan sagu adalah Papua, Maluku dan Maluku Utara dan Sulawesi (lokasi tertentu), Kalimantan terutama Kalimantan Barat dan Sumatra terutama Riau, Kepulauan Nias dan Mentawai. Di Pulau Jawa, sagu ditemukan secara terbatas di Banten, Sukabumi, Bogor dan beberapa lokasi sepanjang pantai utara. Di daerah Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat, Maluku Barat Daya, Bali, Nusa Tenggara dan Timor sagu ditemukan sangat sedikit atau tidak ada. Kondisi ini menggambarkan potensi produksi ampas sagu di daerah kawasan sagu dalam jumlah yang cukup banyak sehingga pemanfaatannya sebagai pakan ternak tidak menjadi kendala. Ampas sagu yang masih memiliki energi tersebut dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia dan monogastrik. Khususnya di Maluku, pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan ternak hanya dilakukan pada peternakan babi yang berdekatan dengan lokasi pengolahan tepung sagu sehingga pemanfaatannya belum optimal. Dengan demikian masih terdapat ampas sagu yang tidak dimanfaatkan ditempat penumpukan pengolahan tepung sagu. Pemanfaatan ampas sagu dalam ransum ternak monogastrik hanya terbatas pada persentase tertentu, hal ini terkait dengan kadar serat kasar yang tinggi, yakni 11,02-27,08% dan kadar selulosa adalah 21,62-23,92%. Namun disisi lain hasil penelitian membuktikan bahwa selulosa dapat menurunkan kadar kolesterol darah, dengan demikian keterbatasan ampas sagu merupakan hal positif yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan menurunkan kolesterol sekaligus memperbaiki kualitas karkas. Sumber serat lain yang juga dapat dimanfaatkan adalah kitin pada limbah udang, yang kadarnya berkisar

antara 15-20%. Pemanfaatan limbah udang, didukung oleh produksi udang yang cukup tinggi di Indonesia.

Kajian potensi ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat dalam ransum dan pengaruhnya terhadap kadar kolesterol dan kualitas karkas babi diteliti dalam tiga tahapan penelitian yang diawali dengan pengolahan biologis pada ampas sagu. Pengolahan biologis ini dilakukan sebagai usaha untuk meningkatkan nutrien ampas sagu karena kualitasnya yang rendah, disebabkan kadar protein kasar yang rendah akan tetapi kadar serat kasar yang tinggi. Oleh karena itu ampas sagu diperkaya dengan beberapa mineral dan diolah secara biologis menggunakan jamur Pleurotus ostreatus. Tujuan menambahkan beberapa mineral adalah untuk kecukupan nutrien bagi pertumbuhan dan perkembang-biakan mikroorganisme yang terjadi secara maksimal.

Pengolahan biologis ini secara statistik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap semua peubah yang diamati. Berdasarkan hasil yang diperoleh tampaknya ampas sagu yang difermentasi hingga 5 minggu waktu fermentasi dianggap baik. Pemilihan 5 minggu waktu fermentasi, terkait dengan persentase dari protein kasar, protein murni, selulosa dan lignin yang dihasilkan. Pada waktu fermentasi 7 minggu kadar protein kasar, protein murni lebih tinggi dan signifikan daripada 5 minggu waktu fermentasi, namun persentase peningkatan tersebut, yakni pada waktu fermentasi 4 minggu ke 7 minggu tidak sebanding dengan persentase peningkatan selulosa dan penurunan lignin pada waktu tersebut, artinya peningkatan selulosa dan penurunan lignin pada kedua waktu tersebut tidak signifikan (Tabel 8).

Kandungan nutrien ampas sagu fermentrasi dipengaruhi oleh substrat yang digunakan, hal ini terkait dengan kadar pati pada ampas sagu yang masih cukup tinggi (52,98%). Pati merupakan polisakharida yang mudah tercerna sehingga kebutuhan karbon atau energi dapat diperoleh untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan jamur Pleurotus ostreatus. Kadar pati yang cukup tinggi menyebabkan degradasi lignin ampas sagu yang drastis terjadi pada 5 minggu waktu fermentasi. Kajian untuk mempelajari potensi ampas sagu dan limbah udang sebagai sumber serat terhadap kadar kolesterol dan kualitas karkas babi diteliti pada tikus putih (Rattus novergicus) umur satu bulan (tahap IIa) dengan

menggunakan hasil fermentasi ampas sagu yang terbaik (5 minggu), limbah udang dan ampas sagu tanpa fermentasi pada taraf yang berbeda. Tahapan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh serat dari masing-masing bahan tersebut terhadap performa, profil lipida darah dan kadar kolesterol daging tikus.

Hasil pengujian ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang pada taraf pemberian yang berbeda dalam ransum tikus putih berumur satu bulan menunjukkan pemberian 20% ampas sagu (R2) menghasilkan pertambahan bobot badan yang tertinggi, yakni 3,55 g/e/h. Hal ini diduga karena kecukupan dan keseimbangan nutrien yang diterima sehingga proses metabolisme dapat berlangsung dengan baik. Tikus yang menerima ransum R2 diduga mempunyai ketersediaan asam amino cukup dan lebih baik yang diperoleh dari penggunaan tepung ikan yang cukup tinggi dalam ransum. Seperti yang dilaporkan (Agbede 2003) bahwa protein yang berasal dari tepung ikan lebih seimbang. Selain menghasilkan pertambahan bobot badan yang tertinggi, ransum R2 mempunyai efisiensi penggunaan ransum yang tinggi (0,31) dibandingkan dengan ransum yang diberi ampas sagu, ampas sagu fermentasi dan limbah udang. Demikian halnya dengan R0 juga mempunyai efisiensi penggunaan ransum yang tinggi (0,30). Hal ini berarti kelompok tikus yang menerima ransum R2 dan R0 lebih efisien menggunakan ransum untuk menghasilkan pertambahan bobot badan. Pemberian R2 (20% ampas sagu) sebagai sumber serat memberikan dampak positif terhadap kadar kolesterol darah, ditandai dengan menurunnya kadar kolesterol darah tikus mencapai 59,75 mg/dl dari nilai yang tertinggi 71,09 mg/dl atau menurun 15,95%. Hal ini terjadi disebabkan aktivitas enzim HMG-KoA reduktase yang berfungsi untuk sintesis kolesterol didalam hati dihambat. Penghambatan aktivitas enzim tersebut terjadi oleh adanya salah satu metabolit yang dihasilkan dari proses fermentasi mikroorganisme dalam kolon terhadap selulosa, yakni asam propionat yang dibawa melalui vena porta ke hati (Nishimura et al. 1993 dan Stipanuk 2000 ). Thacker et al. (1981) melaporkan bahwa konsumsi propionat mengurangi kolesterol

Hasil penelitian pada tahap ini memperlihatkan ampas sagu fermentasi dengan taraf pemberian yang tertinggi (20%) dalam ransum tikus tidak memberikan hasil yang baik terhadap performa tikus selain itu mempunyai

kemampuan yang sama dengan 20% ampas sagu tanpa fermentasi terhadap kadar kolesterol darah tikus. Sehubungan dengan hasil penelitian tersebut, maka dalam tahapan penelitian berikutnya ampas sagu fermentasi tidak diberikan karena dianggap tidak ekonomis dari sisi biaya dan tidak efisien dari sisi waktu.

Selanjutnya hasil yang diperoleh dari penelitian tahap IIa yang dianggap baik ditambah beberapa perlakuan kombinasi ampas sagu dan limbah udang diberikan dalam ransum tikus umur dua bulan dan diuji pada penelitian tahap IIb. Penelitian tahap IIb lebih difokuskan pada kombinasi ampas sagu dan limbah udang pada taraf pemberian yang berbeda. Kajian penelitian pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi taraf ampas sagu dan limbah udang terhadap performa, profil lipida darah dan kolesterol daging tikus.

Hasil dari tahapan penelitian ini memperlihatkan kadar kolesterol dan trigliserida darah menurun (P<0,05) pada ransum R6, masing-masing 45,95 dan 43,81%. Menurunnya kolesterol dan trigliserida darah tikus pada ransum R6, diduga disebabkan fungsi selulosa dari ampas sagu dan kitin dari limbah udang pada kombinasi perlakuan tersebut cukup baik berperan menurunkan kolesterol dan trigliserida darah melalui mekanisme yang berbeda, yakni selulosa dengan cara penghambatan sintesa kolesterol secara tidak langsung oleh metabolit fermentasi selulosa didalam kolon. Sebaliknya kitin dengan cara membentuk suatu ikatan yang tidak dapat dicerna oleh enzim, sehingga pencernaan dan penyerapan zat makanan menjadi terhambat. Hal ini terlihat dari taraf pemberian 20% ampas sagu pada tahap IIa dan IIb yang menghasilkan kadar kolesterol darah hampir sama (masing-masing 54,40 mg/dl dan 59,75 mg/dl).

Hasil yang diperoleh pada penelitian tahap IIb yang dianggap baik selanjutnya diuji pada ternak babi. Pada tahap ini ingin diketahui pengaruh serat yang berasal dari ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya terhadap performa, profil lipida darah dan kualitas karkas babi. Hasil penelitian memperlihatkan perlakuan yang diberikan meningkatkan (P<0,05) bobot dan persentase karkas babi serta mempercepat (P<0,05) laju digesta ransum. Perbedaan bobot dan persentase karkas berhubungan erat dengan bobot potong. Bobot potong yang berbeda menghasilkan bobot dan persentase karkas yang berbeda. Pemberian ransum R5 (20% ampas sagu + 0% limbah udang) dan R1

(0% ampas sagu + 10% limbah udang) mempunyai laju digesta ransum yang lebih cepat, hal ini disebabkan selulosa dan kitin dalam saluran pencernaan menyerap air yang menyebabkan volume kandungan feses dalam usus besar menjadi meningkat dan merangsang syaraf pada rektum sehingga menimbulkan keinginan untuk defikasi lebih cepat (Kusharto 2006).

Pengujian ampas sagu, limbah udang dan kombinasinya pada taraf yang berbeda dalam ransum babi pada penelitian ini belum memberikan hasil yang signifikan terhadap kolesterol daging babi. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian pemberian R4 (17,5% ampas sagu dan 2,5% limbah udang) dalam ransum masih lebih baik karena menghasilkan bobot karkas yang lebih tinggi daripada babi yang mendapat ransum R1, R2 dan R3, selain itu kadar kolesterol daging babi yang mendapat ransum tersebut masih rendah (0,38 mg/g atau 38 mg/100g) jika dibandingkan dengan standart kolesterol daging babi (83,5 mg/100 g) yang disarankan oleh USDA (1985) serta menghasilkan daging yang berkadar asam lemak tidak jenuh, PUFAn-6 dan PUFAn-3 yang lebih tinggi berturut-turut 40,53, 081 dan 11,62% daripada perlakuan yang lain.

Memperhatikan hasil penelitian pada tahap penelitian IIa, IIb dan III, untuk memperoleh pemanfaatan ampas sagu dan limbah udang lebih efisien dalam ransum sebaiknya bahan tersebut diolah sebelumnya. Pengukusan atau pemeletan merupakan bentuk pengolahan ransum yang dapat menyebabkan terjadinya pengembangan serat sehingga memudahkan penetrasi enzim untuk terjadinya proses hidrolisis. Hal ini disebabkan uap panas merenggangkan ikatan selulosa, hemiselulosa, lignin dan protein-kitin sehingga mampu meningkatkan keterse-diaan energi dan zat makanan yang lain. Proses yang terjadi dalam pemeletan ransum sekaligus menjawab perbedaan bentuk fisik ransum dengan kecernaan nutrien pada tikus dan babi. Selain membuat pelet, terjadinya hidrolisis juga dapat dilakukan dengan menggunakan HCl. Mengacu pada kemampuan HCl dapat menghidrolisis kitin, maka pada penelitian ini limbah udang diberikan tanpa diolah terlebih dahulu, disebabkan dalam lambung ternak terdapat HCL sehingga diduga dapat terjadi proses hidrolisis. Dugaan inipun kemungkinan tidak terjadi dengan sempurna sebagai akibat dari rasio HCl dalam lambung dan limbah udang tidak mendukung terjadinya hidrolisis. Kemungkinan lain, lamanya makanan

berada dalam lambung juga tidak mendukung tercapainya proses hidrolisis disebabkan didalam lambung protein hanya mendapat proses denaturasi sedangkan proses pencernaanya berlangsung didalam usus kecil. Hal ini tampak dari kecernaan nutrien pada tikus yang diberi limbah udang lebih tinggi daripada kecernaan nutrien pada babi. Faktor lain yang menyebabkan belum terlihat signifikansi pemberian ampas sagu, limbah udang dan kombinasi keduanya dalam ransum terhadap peubah yang diamati pada ternak babi adalah kemungkinan disebabkan nilai standar deviasi yang bervariasi cukup besar sebagai akibat dari bobot badan awal yang beragam.

Dibandingkan dengan kitosan, pemberian limbah udang tanpa diolah mempunyai dampak yang lebih rendah untuk menurunkan kolesterol disebabkan kitosan mempunyai viskositas dan kemampuan untuk membentuk gel yang tinggi sehingga lemak dan kolesterol dapat terhindar dari proses enzimatis. Selain itu keberadaan HCl dalam lambung tidak menghasilkan suatu proses perubahan kitin menjadi kitosan.

Hasil penelitian ini memberikan nilai tambah bagi pemanfaatan ampas sagu dan limbah udang sebagai pakan lokal dalam ransum yang dapat digunakan sebagai usaha diversifikasi pakan ternak, sehingga peternak tidak selalu bergan-tung pada bahan pakan konvensional yang ketersediaannya terkadang tidak menentu dipasaran. Selain itu kedua limbah tersebut dapat dijadikan bahan pakan sumber serat untuk menghasilkan daging babi yang berkualitas baik. Kontribusi dari penelitian ini bagi peternak adalah secara teknis peternak dapat mengaplikasikan pemberian ampas sagu dan limbah udang dalam ransum babi dengan mudah karena menggunakan teknologi yang sederhana. Pemanfaatan ampas sagu dan limbah udang berdampak positif meningkatkan nilai ekonomis limbah serta menghindari pencemaran lingkungan. Selain itu pemanfaatan ampas sagu dan limbah udang juga memberikan nilai tambah bagi industri pakan ternak untuk memproduksikan ransum yang lebih murah karena berdasarkan hasil penelitian penggunaan ampas sagu dalam ransum dapat mengurangi 12-33% penggunaan jagung dan 14-59% dedak padi. Sebaliknya penggunaan limbah udang dalam ransum dapat mengurangi 4-34% penggunaan bungkil kelapa dan 17-44% tepung ikan.

Dokumen terkait