• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehadiran gulma E. indica di perkebunan kelapa sawit telah dilaporkan sebagai salah satu penyebab kerugian perusahaan. Kerugian yang ditimbulkan oleh gulma ini dapat menurunkan produksi tanaman yang disebabkan adanya persaingan unsur hara dan air. Oleh karena itu perusahaan perkebunan kelapa sawit melakukan pengendalian gulma ini menggunakan herbisida kimiawi seperti glifosat, namun penggunaan herbisida yang sejenis secara berulang-ulang menimbulkan permasalahan baru yaitu gulma menjadi resisten herbisida. Dengan adanya gulma menjadi resisten herbisida maka perusahaan perkebunan kelapa sawit mengeluarkan biaya yang lebih besar dalam operasional dilapangan.

Diperlukan beberapa upaya mengatasi permasalahan resistensi ini melalui penelitian skrining resistensi tunggal, pengujian herbisida campuran, resistensi ganda, dan upaya pengelolaan gulma resisten-glifosat dari beberapa perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara.

Penelitian tahap I dilakukan bertujuan untuk mendapatkan sebaran dan klasifikasi resistensi populasi E. indica dari perkebunan kelapa sawit pada 11 kabupaten di Sumatera Utara. Berdasarkan hasil skrining resistensi tunggal diperoleh bahwa populasi E. indica dominan resisten-glifosat (65,56%), diikuti berkembang resisten-glifosat sebesar 20.90%, dan sensitif-glifosat sebesar 13,54%

pada dosis rekomendasi 720 g b.a./ha (Gambar 19). Semakin tinggi persentase resistensi E. indica terhadap glifosat maka semakin sulit untuk mengendalikan gulma tersebut. Selain itu diperoleh informasi 5 kabupaten yang memiliki perkebunan kelapa sawit akan mengalami kesulitan dalam resistensi E. indica terhadap glifosat. Hal ini disebabkan kisaran bobot kering E. indica antara

populasi resisten-glifosat teringgi dengan terendah terdapat pada Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Serdang Bedagai, Simalungun, Asahan, dan Labuhanbatu Utara.

Tingginya kisaran berat kering menunjukkan bahwa E. indica dapat menghasilkan biomassa yang lebih tinggi kemudian menghasilkan produksi benih E. indica resisten-glifosat sehingga mempengaruhi pola distribusi biji resisten pada areal perkebunan kelapa sawit. Hal ini kemungkinan disebabkan glifosat menghambat enzim 5-enolpyruvylshikimate-3-phosphate synthase (EPSPS) di jaringan kloroplas tanaman dan terjadi akumulasi asam shikimat. Hal ini sesuai dengan Purba, (2009) menyatakan bahwa populasi resisten terbentuk akibat adanya tekanan seleksi oleh penggunaan herbisida sejenis secara berulang-ulang dalam periode yang lama. Molin et al., (2013) juga melaporkan bahwa peningkatan kadar asam shikimat pada daun E. indica terpapar glifosat mengindikasi terjadi peningkatan resistensi lima hingga delapan kali dibandingkan populasi sensitif yang berasal dari Washington County, Mississippi.

Penelitian tahap II dilakukan dengan melanjutkan penelitian tahap I yaitu mengambil 2 (dua) biotip yang memiliki persentase resistensi tertinggi dari masing-masing kabupaten. Diperoleh 29 biotip E. indica resisten-glifosat dari 421 populasi E. indica yang dapat dilakukan pengujian herbisida campuran (penelitian tahap II). Penelitian tahap II dilakukan bertujuan untuk mengetahui biotip E.

indica resisten-glifosat telah mengalami resisten terhadap herbisida dengan mode of action campuran yaitu monosodium metil arsenat (MSMA)+diuron.

Berdasarkan hasil pengujian herbisida campuran ini diperoleh 15 biotip E. indica yang tergolong sangat resisten-glifosat pada dosis 1080 g b.a./ha dan hanya 3

biotip yang memiliki persentase bertahan hidup sebesar 20,00-27,50%; (resisten-MSMA+diuron). Terdapat 7 biotip E. indica yang tergolong resisten-glifosat dosis 1080 g b.a./ha dan hanya 2 biotip yang memiliki persentase bertahan hidup sebesar 2,50-5,00% (berkembang resisten-MSMA+diuron). Hal ini menunjukkan bahwa biotip E. indica resisten-glifosat yang bertahan hidup mengalami penurunan dengan perubahan mode of action herbisida dari glifosat menjadi MSMA+diuron pada perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. Herbisida MSMA+diuron dosis 2945+600 g b.a./ha secara signifikan dapat mengubah warna daun (kehilangan zat hijau daun/klorosis) biotip E. indica resisten-glifosat pada 3, 7, dan 21 hari setelah semprot (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan herbisida campuran dengan dua mode of action memiliki kemampuan efikasi yang lebih besar dibandingkan herbisida tunggal.

Kemampuan herbisida MSMA+diuron dosis 2945+600 g b.a./ha lebih efektif mengendalikan bertahan hidup, jumlah anakan, umur pembungaan, bobot basah dan bobot kering biotip E. indica resisten-glifosat masing-masing sebesar 62,07%, 87,53%; 66,88%; 95,66%; dan 95,92% dibandingkan aplikasi glifosat pada dosis 1080 g b.a./ha. Hal ini disebabkan herbisida MSMA+diuron dapat menghambat pembelahan sel dan fotosistem II biotip E. indica resisten-glifosat dengan kelangsungan hidup yang lebih rendah dibandingkan glifosat. Hal ini sesuai dengan Monaco et al., (2002) menyatakan bahwa MSMA+diuron dapat menginduksi klorosis daun diikuti oleh pencoklatan jaringan secara bertahap, dan akhirnya mengalami nekrosis. Sim et al., (2018) juga melaporkan bahwa penggunaan herbisida MSMA+diuron dosis 3000+600 g b.a./ha dapat

menghambat pertumbuhan biotip E. indica (menghasilkan) resisten herbisida sebesar 80-95% di rumah kaca.

Penelitian tahap III dilakukan dengan melanjutkan penelitian tahap II yaitu mengambil 3 (tiga) biotip E. indica terpilih secara random yang memiliki riwayat resisten-glifosat pada skrining resistensi tunggal dan sangat resisten pada pengujian herbisida campuran. Ketiga biotip tersebut berasal dari Kabupaten Deli Serdang (biotip 03), Kabupaten Serdang Bedagai (biotip 12), dan Kabupaten Tapanuli Selatan (biotip 29). Terjadi penurunan jaringan epidermis atas, mesofil, dan epidermis bawah pada biotip E.indica resisten-glifosat yang terpapar herbisida glifosat, parakuat, amonium glufosinat dan tricklopir dibandingkan sensitif-glifosat. Herbisida amonium glufosinat dosis 300-1200 g b.a./ha dan triklopir 960-3840 g b.a./ha atau setara 2-8 kali dosis rekomendasi paling efektif menekan klorofil relatif daun (nilai SPAD), kemampuan bertahan hidup, jumlah anakan, bobot basah, bobot kering, dan umur berbunga semua biotip E. indica resisten-glifosat dibandingkan parakuat maupun glifosat. Diperoleh indeks resistensi (IR) dan GR50 biotip E. indica resisten-glifosat (biotip 03, 12, 29) pada penyemprotan amonium glufosinat (2,02; 0,20; 0,33 kali dan 0,67; 0,20; 0,23 kali) dan triklopir (1,47; 0,25; 1,84 kali dan 1,77; 0,39; 1,91 kali) yang lebih rendah dibandingkan herbisida glifosat dan parakuat.

Hal ini disebabkan herbisida glifosat dan parakuat kurang efektif dalam menekan E. indica resisten-glifosat disebabkan penggunaan kedua herbisida tersebut sudah sering digunakan secara berulang-ulang diareal perkebunan kelapa sawit. Menurut Monaco et al., (2002) menyatakan bahwa herbisida amonium glufosinat dapat menghambat aliran elektron dalam fotosintesis dan menghambat

enzim glutamin sintesis (GS) serta terjadi peningkatan kadar amoniak yang dratis sebesar 10 kali pada 4 jam setelah terpapar dibandingkan tanpa terpapar.

Herbisida triklopir memiliki mekanisme menghambat regulator pertumbuhan dengan mentranslokasikan bahan aktif lebih lambat ke jaringan floem dan terakumulasi pada jaringan meristematis (ujung daun maupun akar). Seng et al., (2010) menyatakan bahwa terjadi penurunan bobot basah tajuk biotip E. indica dari Malaysia seiring dengan peningkatan dosis amonium glufosinat dan efektif pengendaliannya mencapai 100% pada dosis 4 kali rekomendasi. Jalaludin et al., (2015) juga menyatakan bahwa penggunaan herbisida amonium glufosinat kurang efektif dibandingkan parakuat (GR50 dan IRglufosinat > GR50 dan IRparakuat) dalam mengendalikan biotip E. indica resisten-glufosinat, artinya rotasi mode of action herbisida (parakuat) membuktikan efektif jika dibandingkan herbisida amonium glufosinat dalam mengendalikan biotip E. indica resisten-glufosinat.

Penelitian tahap IV dilakukan dengan melanjutkan penelitian tahap II yaitu mengambil biotip E. indica yang memiliki riwayat resisten-glifosat pada skrining resistensi tunggal (dosis 720 g b.a./ha) dan sangat resisten-glifosat (bertahan hidup

>60% dosis 1080 g b.a./ha) pada pengujian herbisida campuran. Diperoleh 15 dari 29 biotip yang digunakan pada pengujian pengelolaan resistensi yang berasal dari Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Labuhanbatu, Labuhanbatu Utara, Labuhanbatu Selatan, Padang Lawas, dan Tapanuli Selatan. Penelitian tahap IV dilakukan bertujuan untuk mendapatkan tindakan pengelolaan biotip E.

indica resisten-glifosat melalui herbisida pra- dan purna-tumbuh. Berdasarkan hasil pengujian pengelolaan resistensi diperoleh bahwa herbisida pra-tumbuh

lebih efektif mengendalikan biotip E. indica resisten-IPA glifosat dibandingkan herbisida purna-tumbuh.

Urutan persentase kemampuan herbisida pra- dan purna-tumbuh dari tertinggi sampai terendah yaitu indaziflam atau oksiflourfen > pendimetalin >

propaquizop > kalium glifosat > mesotrion. Herbisida pra-tumbuh (indaziflam dan oksiflourfen) lebih efektif dalam mengendalikan biotip E. indica resisten-IPA glifosat bertahan hidup, jumlah anakan, bobot basah dan bobot kering sampai 100% (tergolong sempurna) dibandingkan pendimetalin tergolong sangat baik-sempurna. Hal ini disebabkan herbisida indaziflam dapat menghambat biosintesis selulosa dengan mengganggu pertumbuhan akar sehingga biotip E. indica resisten-IPA glifosat tidak mengalami tumbuhnya radikula setelah beberapa hari penyemprotan. Menurut Brabham et al., (2014) menyatakan bahwa indaziflam menghambat biosintesis selulosa melalui tidak terbentuknya 14C-glukosa menjadi fraksi selulosa yang tidak larut selama 1 jam setelah aplikasi sehingga menghambat pertumbuhan akar. Monaco et al., (2002) juga menambahkan bahwa herbisida oksifluorfen dapat menghambat enzim protoporphyrinogen oxidase (PROTOX) sehingga menyebabkan kerusakan membran sel dan lipid peroksida biotip E. indica resisten-IPA glifosat.

Herbisida purna-tumbuh (propaquizop) lebih efektif dalam mengendalikan biotip E. indica resisten-IPA glifosat bertahan hidup, jumlah anakan, gejala kerusakan, klorofil relatif daun (nilai SPAD), bobot basah dan bobot kering yang tergolong kurang memuaskan-sangat baik dibandingkan herbisida kalium glifosat (tergolong kurang memuaskan) dan herbisida mesotrion (tergolong lemah-baik). Menurut Monaco et al., (2002) bahwa herbisida propaquizafop

menghambat asetil-CoA karboksilase (ACCase). ACCase mengubah asetil-CoA ke malonil-CoA dengan penambahan CO2 terhadap asetil CoA. Reaksi awal biosintesis lipid dengan membatasi kadar lipid, sehingga dapat menghentikan pertumbuhan tajuk dan akar serta mengalami perubahan pigmen daun dengan cepat pada 2-4 hari setelah penyemprotan. Thakare et al., (2018) melaporkan bahwa penyemprotan propaquizafop 0,10 kg/ha memiliki efisiensi pengendalian gulma pada pertanaman bawang merah sebesar 63,50% pada 20 HSA.

Berdasarkan tahapan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa E. indica dominan (65,56%) telah mengalami resistensi herbisida glifosat dosis rekomendasi 720 g b.a./ha dari perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara.

Penundaan biotip E. indica resisten-glifosat ini dapat dilakukan dengan pergantian mode of action herbisida lainnya seperti monosodium metil arsenat (MSMA)+diuron, amonium glufosinat, dan triklopir sesuai dosis rekomendasi, namun kurang efektif jika menggunakan herbisida glifosat dan parakuat meskipun dosisnya ditingkatkan sampai 8 kali rekomendasi. Pengelolaan biotip E. indica resisten-glifosat ini dapat dilakukan dengan penggunaan herbisida pra- dan purna-tumbuh dengan urutan persentase kemampuan dari tertinggi sampai terendah yaitu indaziflam atau oksiflourfen > pendimetalin > propaquizop > kalium glifosat >

mesotrion. Managemen biotip E. indica resisten-glifosat ini dapat menggunakan mode of action yang berbeda-beda dari pemakaian herbisida sebelumnya. Adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara dalam mengendalikan biotip E. indica resisten-glifosat.