• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dilakukan untuk mengisolasi DNA yaitu dengan cara fisik (penggerusan) dibantu oleh senyawa-senyawa kimia dengan metode tertentu sehingga didapat DNA murni. Hasil ekstraksi DNA ini dapat diketahui dengan melakukan pengujian kuantitas dan kualitas DNA. Uji kuantitas dan kualitas DNA dilakukan dengan proses elektroforesis dengan menggunakan gel agarose. Selain itu uji kualitas DNA dilakukan juga untuk dapat menentukan perbandingan pengenceran DNA untuk dapat dipakai sebagai salah satu bahan pada tahap selanjutnya, yaitu tahapan PCR.

Gambar 10. Hasil ekstraksi DNA daun

Pengenceran dilakukan untuk dapat memperoleh DNA yang lebih bersih dan murni. Setiap sampel DNA mempunyai perlakuan pengenceran yang berbeda- beda dan hal ini sangat tergantung dari kualitas DNA yang dihasilkan. Pengenceran dimaksudkan agar pada tahap PCR, primer dapat menempel pada pita DNA. Apabila DNA terlalu banyak kotoran, maka primer tidak dapat menempel sehingga tidak akan terjadi proses amplifikasi DNA.

Menurut Qiagen (2001), pita DNA yang tebal mengindikasikan bahwa hasil ekstraksi pada pita tersebut masih kotor. Hasil ekstraksi yang kotor ini masih mengandung larutan kloroform, kandungan fenol yang tinggi dan alkohol. Selain itu, hasil yang kotor tersebut masih mengandung kontaminasi protein,

polisakarida, dan RNA. Pita DNA yang tebal memerlukan perbandingan pengenceran yang lebih besar yaitu 100x (99 µL aquabidest : 1 µL DNA) dan hal ini mengindikasikan bahwa kualitas pita DNA tersebut kotor, sedangkan untuk pita yang paling tipis menggunakan perbandingan pengenceran 10x (9 µL

aquabidest : 1 µL DNA). Pengenceran yang lain mengikuti tebal tipisnya pita

seperti yang ditunjukkan pada Gambar 10.

Terdapat perbedaan metode ekstraksi antara sampel daun dan kayu. Pada sampel daun menggunakan metode Promega sedangkan pada sampel kayu menggunakan metode CTAB yang dimodifikasi. Berdasarkan data yang didapatkan di lapangan terdapat 4 sampel kayu dan daun yang berasal dari satu induk yang sama yaitu pohon dengan nomor 5719, 5722, 5710 dan 5721. Hasil yang didapatkan pada ekstraksi DNA dari kayu berbeda dengan ekstraksi pada daun, pita DNA yang dihasilkan pada kayu tipis bahkan ada beberapa pita yang sangat tipis. Meskipun sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian tentang ekstraksi DNA pada kayu, namun sama halnya dengan ekstraksi pada sampel daun, pengenceran hasil ekstraksi pada kayu untuk kegiatan PCR tergantung pada tebal tipisnya pita DNA yang terbentuk. Sebagian besar pita DNA yang didapatkan hasilnya tipis sehingga perbandingan pengenceran yang dilakukan adalah 10x (9 µL aquabidest : 1 µL DNA).

Optimasi Seleksi Primer (Screening Primer)

Kegiatan seleksi primer dimaksudkan untuk mencari primer acak yang dapat menghasilkan amplifikasi, karena tidak semua primer nukleotida dapat menghasilkan produk amplifikasi (primer positif) dan dari primer positif tidak semuanya menghasilkan fragmen DNA polimorfik. Dalam penelitian ini, seleksi primer dilakukan terhadap primer produksi Operon Technology. Untuk menyeleksi primer yang akan digunakan, 30 primer diujicobakan untuk mengamplifikasi DNA gabungan hasil ekstraksi semua individu. Hasil percobaan amplifikasi seleksi primer menunjukkan bahwa 25 primer (angka berwarna merah) yang mampu menghasilkan produk amplifikasi akan tetapi kualitasnya beragam antara bagus dan kurang bagus dan 5 (angka berwarna hitam) primer

tidak menghasilkan produk amplifikasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12.

M O1 O2 O4 O5 O6 O7 O8 O9 O10 O11 O12 O13 O14 O15 O16

Gambar 11. Hasil Seleksi Primer no 1-15

M O19 O20 Y2 Y3 Y6 Y8 Y9 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y17

Gambar 12. Hasil Seleksi Primer no 16-30

(Keterangan: M=marker ; O1-O20=Primer OPO1-OPO20 ; Y2-Y17=Primer OPY2-OPY17)

Hasil seleksi primer untuk sampel daun menunjukkan bahwa terdapat 3 (angka berwarna biru) primer yang mampu menghasilkan produk amplifikasi yang konsisten beserta polimorfismenya, yaitu primer OPO-13, OPY-02, dan OPY-09,

sedangkan untuk sampel kayu menggunakan 1 primer, yaitu primer OPY-11. Selanjutnya primer-primer ini digunakan untuk menduga analisis keragaman di dalam dan antar populasi sampel. Kualitas pita primer dalam seleksi 30 primer disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kualitas pita primer dalam seleksi primer

No. Primer Kualitas

pita No. Primer

Kualitas pita 1 OPO-1 * 16 OPO-18 ** 2 OPO-2 ** 17 OPO-19 ** 3 OPO-4 - 18 OPO-20 * 4 OPO-5 - 19 OPY-2 * 5 OPO-6 * 20 OPY-3 ** 6 OPO-7 - 21 OPY-6 * 7 OPO-8 - 22 OPY-8 ** 8 OPO-9 * 23 OPY-9 ** 9 OPO-10 ** 24 OPY-11 ** 10 OPO-11 * 25 OPY-12 ** 11 OPO-12 ** 26 OPY-13 * 12 OPO-13 ** 27 OPY-14 * 13 OPO-14 ** 28 OPY-15 * 14 OPO-15 ** 29 OPY-16 * 15 OPO-16 * 30 OPY-17 **

Keterangan: - = tidak terdapat pita (tidak teramplifikasi)

* = terdapat pita namun teramplifikasi kurang jelas (kurang baik) ** = terdapat pita dan teramplifikasi jelas (baik)

Optimasi PCR (Polymerase Chain Reaction)

PCR merupakan suatu proses menggandakan atau mengamplifikasi DNA yang diisolasi pada sebuah tabung reaksi kecil dengan melalui replikasi berulang. PCR yang digunakan adalah melalui teknik RAPD baik pada jenis sampel daun maupun kayu. Dalam proses RAPD, primer yang dipakai adalah primer tunggal dan pendek (biasanya terdiri dari 10-20 basa nukleotida) yang akan menempel secara acak pada DNA.

1. Optimasi PCR pada Sampel Daun

Kegiatan PCR pada sampel daun menggunakan primer yang telah diseleksi dari 30 primer dan didapatkan primer-primer sebagai berikut yaitu OPO-13,

OPY-02 dan OPY-09. Primer-primer ini diaplikasikan pada sampel-sampel dari masing-masing lokasi. Jumlah fragmen DNA hasil amplifikasi 3 primer (OPO-13, OPY-02 dan OPY-09) berkisar antara 1 - 20 pita. Urutan basa dari masing-masing primer menurut Operon Technology adalah sebagai berikut :

OPO-13 : 5' GTCAGAGTCC '3

OPY-02 : 5' CATCGCCGCA '3

OPY-09 : 5' GTGACCGAGT '3

Dari hasil PCR yang dilakukan, pola pita yang dihasilkan adalah polimorfik, baik di dalam sampel maupun antar sampel. Adapun proses scoring

dilakukan dengan melihat pola pita hasil PCR, yang kemudian dianalisis dengan menggunakan program POPGENE 32 dan NTSYS untuk melihat adanya variasi genetik dan hubungan kekerabatan.

Dalam penelitian ini, masing-masing primer diujicobakan pada masing- masing populasi (KPH). Masing-masing lokasi terdiri atas 5 sampel untuk daun dan 4 sampel pada kayu yang berasal dari KPH Indramayu dimana terdiri dari 4 pohon induk yang masing-masing dianalisis menjadi 3 bagian sampel. Berdasarkan scoring, jumlah lokus terbanyak adalah pada primer OPO-13 yaitu 20 lokus, pada primer OPY-02 yaitu 23 lokus, dan primer OPY-09 yaitu 24 lokus. Untuk primer OPO-13, ukuran fragmen berkisar antara 100 bp-2500 bp. Untuk primer OPY-02, ukuran fragmen berkisar antara 300 bp-2500 bp. Sedangkan untuk primer OPY-09, ukuran fragmen berkisar antara 200 bp-2500 bp. Untuk lebih jelasnya gambar hasil PCR ketiga primer disajikan pada Gambar 13, Gambar 14 dan Gambar 15.

Dari penampilan gambar di bawah ada beberapa pita DNA yang kurang jelas, sehingga menimbulkan keraguan dalam menginterpretasikan dan menganalisis pita. Banyak faktor yang mungkin menyebabkan hal tersebut, diantaranya adalah kurang murninya DNA genom yang dihasilkan, proses pengenceran dan komposisi bahan-bahan yang kurang tepat. Menurut Qiagen (2001) pada dasarnya, DNA genom yang kurang murni dan pengenceran yang kurang tepat akan menyebabkan tidak menempelnya primer pada DNA yang diinginkan. Selain itu, adanya bahan-bahan kimia yang belum tercuci sempurna

2642 bp 100 bp 500 bp 1000 bp 1000 bp 2642 bp 2642 bp 1000 bp 500 bp 100 bp 100 bp 500 bp pada saat ekstraksi (pencucian) dapat menghambat primer untuk menempel pada DNA yang diinginkan pada tahap PCR (annealing). M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Gambar 13. Hasil PCR Primer OPO-13 Lokasi Jawa Barat M 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Gambar 14. Hasil PCR Primer OPY- 2 Lokasi Jawa Tengah

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Gambar 15. Hasil PCR Primer OPY- 9 Lokasi Jawa Barat

Keterangan: M=marker; 1-5=Jati Banten; 6-10=Jati Indramayu; 11-15=Jati Ciamis; 11- 15=Jati Kendal; 16-20=Jati Cepu; 21-25=Jati Randublatung

Proses PCR yang dilakukan dalam penelitian, baik pada daun maupun kayu adalah menggunakan produk dari Qiagen yaitu HotStar Taq Master Mix Kit.

HotStar Taq Master Mix Kit merupakan bahan yang paling penting untuk

berlangsungnya proses amplifikasi DNA. Bahan HotStar Taq Master Mix Kit

mengandung senyawa-senyawa kimia yang dibutuhkan pada proses PCR. HotStar

Taq Master Mix Kit terdiri dari komponen Taq DNA polymerase, buffer PCR,

campuran dNTP, MgCl2 dan air destilasi. Buffer PCR mengandung KCl dan

(NH4)2SO4. Menurut Brown (1991) konsentrasi ion Mg2+ sangat berpengaruh

pada proses PCR. Ion logam dan garam yang diperlukan untuk PCR adalah MgCl2, NaCl atau KCl. Ion Mg2+ akan mempengaruhi aktivitas enzim Taq DNA polymerase karena ion Mg2+ berfungsi sebagai kofaktor.

Menurut Brown (1991) konsentrasi yang tidak tepat dari MgCl2, NaCl atau

KCl akan menyebabkan penurunan aktivitas enzim dan juga akan mengakibatkan perubahan spesifikasi enzim, sehingga pemotongan DNA terjadi pada urutan pengenal tambahan yang tidak baku. Selain itu konsentrasi Magnesium yang optimum merupakan hal yang penting, karena Magnesium akan mempengaruhi penguatan primer, suhu penguraian pada utas cetakan dan PCR.

Selain itu, dari hasil amplifikasi DNA dengan menggunakan primer OPY-09 didapatkan pola pita yang khas antara DNA daun jati dari KPH yang berasal dari provinsi Jawa Barat-Banten, Jawa Tengan dan Jawa Timur. Pada gambar 16 di bawah, dapat dilihat bahwa pada KPH di provinsi Jawa Barat-Banten semua individu jati memiliki lokus dengan pita yang tebal dengan berukuran 750 bp. Sedangkan di Jawa Tengah sebagian besar individu jati tidak memiliki pita atau lokus DNA pada ukuran tersebut dan pada individu jati di Jawa Timur ada beberapa individu yang tidak memiliki pita atau lokus DNA pada ukuran 750 bp.

750 bp 750 bp 750 bp M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 11 12 13 14 15 (a) M 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 (b) M 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 (c)

Gambar 16. Hasil RAPD menggunakan primer OPY-09 pada populasi Jawa Barat (a), Jawa Tengah (b) dan Jawa Timur (c)

Keterangan: M=marker; 1-5=Jati Banten; 6-10=Jati Indramayu; 11-15=Jati Ciamis; 16-20=Jati Kendal; 21-25=Jati Cepu; 26-30=Jati Randublatung; 31-35=Jati Kebonharjo; 36- 40=Jati Bojonegoro; 41-45=Jati Ngawi

2. Optimasi PCR pada Sampel Kayu

Kegiatan PCR pada sampel kayu menggunakan primer yang telah diseleksi dari 30 primer dan primer yang digunakan untuk kegiatan amplifikasi DNA pada kayu adalah primer OPY-11. Jumlah fragmen DNA hasil amplifikasi dengan primer OPY-11 berkisar antara 1 - 10 pita. Urutan basa nukleotida pada primer tersebut menurut Operon Technology adalah 5'AGACGATGGG'3. Sampel yang diambil dan digunakan untuk amplifikasi DNA dari kayu adalah sampel yang berasal dari KPH Indramayu. Sampel daun dan kayu jati yang berasal dari KPH Indramayu diambil dari satu induk yang sama. Pada saat dilakukan proses PCR dari kayu, sampel daun dan kontrol negatif juga ikut disertakan dalam kegiatan amplifikasi (PCR) yang berfungsi sebagai kontrol dan pembanding. Kontrol negatif hanya berisi H2O sehingga tidak menghasilkan pita. Hasil akhir PCR pada

kayu dihitung jumlah fragmen-fragmennya. Hasil PCR dari kayu jati dapat dilihat pada Gambar 17 dan untuk perhitungan jumlah fragmen disajikan dalam Tabel 7

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Gambar 17. Hasil PCR pada kayu

Keterangan: M=marker; 1-3= sampel kayu dengan no pohon 5719 ; 4= sampel daun dengan no pohon 5719; 5=kontrol negatif 6-8= sampel kayu dengan no pohon 5722 ; 9= sampel daun dengan no pohon 5722 ; 10=kontrol negatif ; 11-13= sampel kayu dengan no pohon 5710 ; 14= sampel daun dengan no pohon 5710 ; 15=kontrol negatif ; 16-18 sampel kayu dengan no pohon 5721 ; 19= sampel daun dengan no pohon 5721 ; 20=kontrol negatif

Tabel 7 . Fragmen dominan secara manual dan hasil tabulasi

Fragmen

Ukuran

Basa (bp) Kontrol (Daun) S1 S2 S3 S4 S1 S2 S3 S4 1 100 - - - x - - - - 2 300 - - - x - - x - 3 500 - - - - x x x - 4 1000 - - - - x x x x 5 1500 - - - - x x x x 6 2000 - x - - x x x x 7 2500 x x - x x x x Total 7900 5400 3400 7900 5000 400 400 100 900 % Fragmen 100 68,35 43,04 100 63,29 5,06 5,06 1,26 11,39

Keterangan = S1-S4 : Sampel no 1 hingga 4 - : DNA yang muncul pitanya X : DNA yang tidak muncul pitanya

Dari hasil foto DNA dan tabel mengenai besarnya fragmen yang terbentuk di atas terlihat bahwa besarnya fragmen yang terbentuk pada kayu dan daun berbeda. Pada daun, ukuran fragmen yang terbentuk berkisar dari ukuran basa yang terkecil (100 bp) hingga ukuran basa yang paling besar (2500 bp) sedangkan pada kayu ukuran fragmen yang terbentuk hanya berkisar pada ukuran basa yang kecil (100 bp – 500 bp).

Variasi DNA dalam Populasi Pada Sampel Daun

Data variasi genetik di dalam populasi ditunjukkan oleh nilai parameter variabilitas genetik seperti disajikan pada Tabel 8. Parameter variabilitas genetik yang diukur adalah jumlah alel yang diamati (na), jumlah alel yang efektif (ne), jumlah lokus polimorfik, persen lokus polimorfik (PLP) dan heterozigitas harapan (He).

Berdasarkan pada tabel 8 di bawah, populasi Jati KPH Indramayu menunjukkan nilai-nilai variabilitas genetik yang tertinggi, yaitu: PPL=59,70%; na=1,5970; ne=1,5277; h=0,2753, sedangkan populasi Jati KPH Ngawi menunjukkan nilai-nilai variabilitas genetik yang terendah yaitu: PPL=19,40%; na=1,1940; ne=1,0979; h=0,0614. Nilai variabilitas genetik yang dimiliki oleh populasi lainnya berada pada kisaran kedua populasi tersebut.

Tabel 8. Variabilitas genetik dalam populasi jati di Jawa No Populasi N PPL na ne h 1 KPH Banten 5 38,81 1,3881 1,3143 0,1711 2 KPH Indramayu 5 59,70 1,5970 1,5277 0,2753 3 KPH Ciamis 5 32,84 1,3284 1,2933 0,1540 4 KPH Kendal 5 40,30 1,4030 1,2883 0,1586 5 KPH Cepu 5 38,81 1,3881 1,2902 0,1565 6 KPH Randublatung 5 22,39 1,2239 1,1671 0,0920 7 KPH Kebonharjo 5 34,33 1,3433 1,2334 0,1308 8 KPH Bojonegoro 5 35,82 1,3582 1,2285 0,1302 9 KPH Ngawi 5 19,40 1,1940 1,0979 0,0614 Keterangan:

PPL= Percentage of Polymorphic Loci na = Observed number of alleles

ne = Effective number of alleles [Kimura and Crow (1964) dalam Yunanto (2006)] h = Nei's (1973) gene diversity dalam Yunanto (2006)

Nilai variabilitas genetik tersebut dapat dibandingkan dengan penelitian- penelitian sebelumnya yang menggunakan sampel berbasis individu, dimana hasil yang diperoleh belum tentu dapat dijadikan acuan bahwa jati di lokasi tertentu dengan sampel berbasis individu menghasilkan variasi genetik yang tinggi. Pendugaan keragaman genetik jati yang telah dilakukan oleh Widyatmoko (1996) menghasilkan nilai h sebesar 0,199 (berdasarkan 7 lokus polimorfik isozim). Apabila dibandingkan dengan nilai h pada tumbuhan berkayu di hutan tropis sebesar 0,191, maka jati termasuk jenis yang memiliki keragaman genetik sedang (Hamrick et al., 1992 dalam Finkeldey, 1998). Namun Kertadikara dan Prat (1995) melakukan penelitian terhadap berbagai provenans Jati (Indonesia, India, Thailand dan Afrika) dan menghasilkan keragaman genetik yang cukup tinggi sebesar 0,347.

Pengelolan hutan dilakukan untuk jangka waktu yang panjang. Menurut Namkoong et al. (1996) dalam Finkeldey (2005) salah satu indikator genetik dalam praktek manajemen hutan yang lestari adalah besarnya keragaman genetik. Keragaman genetik yang besar sangat mempengaruhi kemampuan suatu jenis untuk beradaptasi. Individu atau populasi dengan keragaman genetik yang sempit akan rentan terhadap kondisi lingkungan yang heterogen. Salah satu akibat yang disebabkan oleh sempitnya variasi genetik adalah mudah terserang oleh hama dan penyakit. Pada dasarnya kemampuan suatu jenis pohon hutan untuk beradaptasi

pada berbagai kondisi lingkungan sangat tergantung pada keragaman genetik dan multiplisitas individual pohon dalam populasi (Gregorius, 1989 dalam Hosius et al., 2000). Keragaman genetik suatu jenis dapat diduga melalui nilai heterozigositas harapan pada keseimbangan hokum HARDY-WEINBERG (He) hasil survei genetik pada lokus-lokus yang polimorfik.

Keragaman DNA (RAPD) antar Populasi Pada Sampel Daun

Berdasarkan analisis gerombol dan nilai jarak genetik yang telah dihitung berdasarkan software POPGENE versi 3.2 dengan menggunakan metode pemasangan kelompok aritmatika tidak berbobot (Unweighted Pair-Grouping

Method with Aritmatic Averaging, UPGMA) dengan menggunakan software

NTSYS versi 2.02 dihasilkan dendrogram jarak genetik antar populasi seperti terlihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Pengelompokkan populasi jati berdasarkan analisis RAPD

(Keterangan: B=Banten; I=Indramayu; C=Ciamis; K=Kendal; Ce=Cepu; R=Randu-blatung; Kb=Kebonharjo; Bo=Bojonegoro; N=Ngawi)

Dendogram digunakan untuk mengetahui pola pengelempokkan populasi berdasarkan DNA yang dimiliki (memiliki hubungan kekerabatan) seperti yang disajikan dendogram pada gambar 18 di atas. Hasil dendrogram tersebut

Jabar-Banten

Jateng

Jatim

menunjukkan pengelompokkan yang sangat jelas menurut wilayah (provinsi) populasi tersebut berada. Hasil pengelompokkan memperlihatkan ada tiga gerombol, dimana Jati asal Jawa Barat-Banten tetap membentuk gerombol yang sama, sedangkan Jati Jawa Tengah dan Jawa Timur bersama-sama membentuk satu gerombol. Khusus di Jawa Tengah, Jati KPH Kendal, Cepu dan Randublatung memiliki keragaman genetik yang tidak jauh berbeda, sedangkan Jati KPH Ngawi, lebih mirip struktur genetiknya dengan Jawa Tengah. Jati KPH Kebonharjo dan Bojonegoro memiliki struktur genetik yang berdekatan dan terpisah dari gerombol Jati jawa Tengah lainnya.

Informasi sumber daya genetik khususnya mengenai pengelompokan populasi Jati secara genetik tersebut penting sebagai bahan pertimbangan dilakukannya upaya pemuliaan dimasa mendatang sehingga nantinya kegiatan pemuliaan dapat mapan dan berpengaruh terhadap produktivitas jati Jawa. Faktor aliran gen akan berpengaruh terhadap struktur dan variasi genetik populasi. Pola variasi genetik suatu jenis ditentukan oleh sistem perkawinan yang terjadi dan akan mempengaruhi struktur genetik dan dinamika populasi dalam jenis tersebut. Dengan mengetahui proses-proses perkawinan yang terjadi pada suatu jenis akan bermanfaat bagi efektifitas konservasi sumberdaya genetik dan optimalisasi upaya pemuliaan genetik jenis yang bersangkutan.

Sistem perkawinan pada Jati telah lebih dahulu dipelajari oleh Hedegart (1976) dan Kertadikara dan Prat (1995). Kedua penelitian tersebut melaporkan bahwa Jati merupakan jenis yang menyerbuk silang (allogami) dan ditemukan tingkat selfing yang sangat rendah (sekitar 2 %). Analisis yang dilakukan pada populasi keturunan di KBK juga menunjukkan hal yang sama dengan rata-rata tingkat selfing sekitar 3 %. Berdasarkan hasil tersebut maka alasan utama terjadinya defisit heterozigositas pada populasi keturunan bukan disebabkan oleh derajat selfing, karena defisit heterozigositas dapat terjadi bila derajat selfing

tinggi. Sebagai jenis yang menyerbuk silang, transfer polen pada Jati memerlukan agen penyerbuk yang menurut Hedegart (1973) dibantu oleh serangga berupa lebah dan kupu-kupu. Sehingga penjelasan yang paling mungkin untuk menerangkan fenomena defisit heterozigositas di KBK Jati Padangan adalah adanya keterbatasan gerak polinator yang berasosiasi dengan variasi iklim mikro,

seperti pengamatan yang dilakukan oleh Mathew et al. (1987). Hal ini cenderung akan meningkatkan perkawinan antar individu-individu pohon bertetangga dekat yang kemungkinan besar berkerabat. Perkawinan antar kerabat ini akhirnya akan menyumbang terjadinya defisit heterozigositas (Kertadikara dan Prat, 1996). Persilangan antar individu yang berkerabat pada tanaman yang penyerbukannya dibantu serangga cenderung tinggi, seperti dilaporkan Loveless dan Hamrick (1984) dalam Shapcott (1994).

Analisis Fragmen Kayu

Analisis fragmen kayu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar jumlah DNA, khususnya pada jaringan kayu yang terdegradasi. Selanjutnya dapat digunakan sebagai pembanding antara jumlah DNA yang ada pada jaringan daun dan kayu.

Dari hasil penelitian terlihat bahwa ternyata letak DNA pada kayu dan daun berbeda. Pada daun, DNA yang ada hampir tersebar di seluruh sel sedangkan pada sebagian besar kayu, DNA hanya terletak pada bagian sel-sel tertentu saja hal ini disebabkan sampel kayu dan daun yang diambil adalah pohon-pohon yang sudah memasuki kelas umur tua dan sedang dilakukan penebangan. Sebagian besar lokus terbanyak terletak pada jaringan kayu yang paling luar, pada bagian ini jaringan yang terbentuk masih baru (muda) sehingga dapat dipastikan bahwa pada jaringan kayu yang masih muda bisa digunakan untuk menganalisis DNA.

Dokumen terkait