• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN Viabilitas Bakter

Upaya perbaikan teknik produksi pupuk hayati yang memiliki daya simpan lama dan viabilitas yang tinggi sangat dibutuhkan. Hasil percobaan yang dilakukan menunjukkan bahwa viabilitas pupuk hayati yang diproduksi dengan teknik pemekatan lebih tinggi dari teknik kering beku bahkan sejak awal periode penyimpanan (Tabel 1). Hal ini diduga proses pengeringan yang diberikan saat perlakuan dengan teknik kering beku adalah dengan kondisi suhu yang ekstrim yaitu -230C. Skala suhu yang demikian dapat menyebabkan terganggunya sistem membran (Ronald 1984) sehingga fungsi fungsi metabolisme yang berlangsung di sekitar membran terganggu.

Tidak adanya perlakuan tertentu pada saat proses pengeringan dengan kondisi suhu beku juga terindikasi sebagai penyebab penurunan viabilitas bakteri. Perlakuan tertentu pada kutur bakteri dilaporkan dapat mempertahan- kan viabilitas bakteri pada kondisi suhu ekstrim. Adanya perlakuan dengan senyawa tertentu sepertigliserol atau dimetilsulfoksida (DMSO) pada medium bakteri dapat mencegah terjadinya pembekuan pada sel bakteri. Senyawa ini dapat menembus bagian dalam (internal) sel sehingga melindungi sel dari dehidrasi ekstrim dan mencegah terbentuknya kristal es. Suspensi sel bakteri pada medium tertentu yang ditambahkan 10% DMSO atau gliserol dapat bertahan dalam waktu yang lama pada suhu antara -70oC sampai -196oC (Madiganet al.2009).

Penurunan tingkat viabilitas selama masa penyimpanan pupuk hayati pada teknik kering beku (freeze drying) juga menunjukkan penurunan yang lebih besar dibandingkan dengan pengeringan pupuk hayati teknik pemekatan (Tabel 1). Terganggunya sistem membran selama proses pengeringan berlanjut pada pasca pengeringan, karena kadar air yang rendah. Dalam konteks penelitian ini, bahwa penghambatan dengan kadar air yang sangat rendah diduga juga mempengaruhi viabilitas mikroba pada masa simpan tertentu.

Pupuk Hayati Meningkatkan Serapan Hara Tanaman

Kemampuan penyerapan hara menjadi aspek penting dalam siklus per- kembangan tanaman. Data pola serapan hara (Tabel 3 & 5) menunjukkan adanya peningkatan serapan hara tanaman padi dan jagung yang diberikan perlakuan pupuk hayati baik dalam bentuk cair, padatan dengan teknik pemekatan, maupun kering beku. Bakteri Azotobacter dan Azospirillum yang digunakan pada penelitian ini termasuk kelompok bakteri yang mampu mengikat nitrogen bebas yang tidak bersimbiosis dengan tanaman (Simanungkalit 2001), sehingga dapat berperan sebagai penyedia hara N pada tanaman non legum seperti padi dan jagung.

Bakteri dalam menyediakan hara tanaman dapat terlihat pula perannya dalam menghasilkan enzim-enzim pertumbuhan yang menginisiasi pertumbuh- an dan pemanjangan akar (Vassey 2003). Pertumbuhan dan pemanjangan akar mengindikasikan bahwa tanaman memperluas area dan daya serap unsur hara yang berakibat pada tingginya tingkat serapan hara tanaman.

Pola interaksi sesama bakteri dalam pupuk hayati yang digunakan dengan bakteri yang ada pada lahan percobaan juga menunjukkan hubungan yang baik sehingga proses serapan hara mengalami peningkatan yang signifikan. Adanya asumsi ini karena dalam penelitian tidak dilakukan reisolasi ulang pada lahan percobaan, tetapi data analisis serapan hara untuk tanaman yang diberi perlakuan pupuk hayati memiliki tingkat serapan hara lebih tinggi dibanding tanaman kontrol baik tanaman padi gogo maupun jagung. Efektivitas dari pupuk hayati ini juga terlihat dengan adanya perbedaan tingkat serapan hara antara pupuk hayati yang disimpan pada 0 bulan dengan yang 3 bulan (Gambar 6 & 7). Dengan penurunan viabilitas bakteri selama penyimpanan 3 bulan ternyata juga berpengaruh terhadap serapan hara tanaman. Selain itu, adanya interaksi sejenis juga telah dilaporkan bahwa senyawa yang dikeluarkan dari hasil fermentasi pektin olehBacillusatau hasil perombakan selulosa olehCellulomonas dapat memacu aktivitasdiazotroppadaAzospirillum(Halsall 1993).

Peningkatan serapan hara lainnya seperti P dan K tidak terlepas dari peranan bakteri pelarut fosfat dan pemobilisasi K seperti Bacillus subtilis

strain HU48, dan Pseudomonas beteli strain ATTCC19861T yang digunakan dalam pupuk hayati. Kelompok bakteri tersebut memiliki kemampuan dalam melepaskan P tidak larut pada batuan di tanah sehingga menjadi ion P dalam bentuk H2PO4-atau HPO4- yang tersedia bagi tanaman (Han & Lee 2005). Oleh

karena itu, keberadaan isolat bakteri tersebut memiliki peran penting dalam penyediaan hara bagi tanaman khususnya hara P dan K. Han et al (2006) melaporkan adanya peningkatan serapan hara N, P, dan K pada tanaman lada dan mentimun yang diberi inokulasi bersama antara bakteri pelarut fosfat dan pemobilisasi K.

Pupuk Hayati Memacu Pertumbuhan dan Meningkatkan Produksi Tanaman Pertumbuhan tanaman tidak terlepas dari kemampuannya dalam me- manfaatkan sumber daya disekitarnya. Selain itu, ketersediaan unsur hara, air, serta daya dukung lingkungan adalah faktor-faktor yang diperlukan dalam proses tersebut. Penggunaan lahan secara intensif berakibat pada terjadinya ketidak seimbangan daya dukung lahan baik berupa kehilangan materi organik, keragaman mikroorganisme, maupun kondisi fisik kimia lahan yang berujung pada terciptanya lahan-lahan marjinal. Input materi organik sepeti pupuk organik pada lahan adalah upaya penting dalam pemulihan kondisi lahan namun demikian konsentrasi hara yang rendah pada pupuk organik menyebab- kan perlunya jumlah yang banyak dalam aplikasi, sehingga secara ekonomi memerlukan biaya dan tenaga yang lebih besar.

Pupuk hayati yang mengandung mikroorganisme dengan peran spesifik dalam proses penyediaan hara, seperti mikroba pemfiksasi nitrogen, pelarut fosfat, dan penghasil hormon dapat menjadi pemicu yang sinergis jika dikombinasikan dengan bahan organik. Azospirillum dan Azotobacter dikenal sebagai bakteri nonsimbiotik yang dapat memfiksasi nitrogen bebas di udara (Simanungkalit 2001). Hal ini menjadi faktor penting bagi tanaman non legum seperti padi dan jagung sebagai sumber penyedia N. Adapun Bacillus dan Pseudomonas memiliki kemampuan dalam melarutkan P dan K yang ada di tanah sehingga menjadi hara yang tersedia bagi tanaman (Simanungkalit 2001).

Unsur hara yang disebutkan di atas seperti N dan P pada organisme khususnya pada tumbuhan, memiliki peran dalam sintesis molekul penting berupa protein dan asam nukleat yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman (Taiz & Zeiger, 2002). Parameter tinggi dan rasio akar tajuk tanaman terkait erat dengan aktivitas meristem apikal tajuk dan akar yang diinisiasi oleh hormon pertumbuhan seperti IAA untuk terjadinya pembelahan sel. Hormon ini selain dihasilkan oleh tanaman itu sendiri juga dapat diekskresikan oleh bakteri kelompok PGPR khususnya isolat Azospirillum sp yang diinokulsikan pada daerah perakaran (Lestariet al. 2007).

Vassey (2003) melaporkan bahwa hormon pertumbuhan yang dihasilkan oleh bakteri mempengaruhi inisiasi dan pemanjangan sel akar. Peningkatan pertumbuhan akar akan memperluas daerah serapan hara tanaman yang digunakan untuk mekanisme fisiologis pertambahan volume dan jumlah sel dalam proses pertumbuhan tanaman, sehingga dapat meningkatkan bobot kering dari setiap organ penting tanaman.

Efektivitas daya serap akar yang tinggi oleh adanya induksi beberapa bakteri spesifik terhadap unsur hara secara signifikan dapat meningkatkan biomassa tanaman (Tabel 7 dan 9). Terindikasi bahwa biomassa yang rendah pada tanaman yang diusahakan pada lahan pertanian intensif dan menggunakan pupuk anorganik dihubungkan dengan hilang atau berkurangnya organisme yang berperan dalam penyediaan hara penting tanaman (Wu et al. 2005). Beberapa contoh pembuktian dilaporkan bahwa hasil gandum meningkat sampai dengan 30% dengan inokulasi Azotobacter dan sampai 43% dengan inokulanBacillus (Kloepperet al. 1989).

Pengaruh pemberian isolat bakteri pada peningakatan produksi tanaman tidak terlepas dari peran bakteri tersebut dalam menyediakan dan meningkat- kan unsur hara penting dalam siklus perkembangan tanaman. Dari data serapan hara baik pada tanaman padi gogo maupun jagung, serapan unsur hara makro dan mikro mengalami peningkatan (Tabel 3 & 5). Data ini mempunyai hubungan yang erat dengan peningkatan pertumbuhan dan biomassa (Tabel 7 & 9), serta produksi tanaman (Tabel 11 & 13). Pada tahap produksi, fase

akumulasi hasil fotosintat pada organ penting tanaman seperti pengisian biji adalah fase penting terhadap hasil produksi yang diperoleh.

Kebutuhan unsur hara yang cukup menjadi syarat penting bagi tanaman untuk menyelesaikan setiap siklus hidupnya (Taiz & Zeiger 2002), khususnya pada fase vegetatif. Misalnya unsur Mg, merupakan unsur penting di dalam struktur klorofil. Ketersediaan unsur tersebut dalam jumlah yang cukup dapat meningkatkan kandungan klorofil (Marschner 1995). Analisis klorofil pada tanaman padi dan jagung, memiliki korelasi positif antara peningkatan serapan hara Mg dan Fe yang tinggi dengan peningkatan kandungan klorofil kedua tanaman tersebut (El Ainy 2008).

Dampak dari serapan hara yang tinggi terhadap tanaman yang diberi perlakuan pupuk hayati adalah adanya peningkatan bobot perumpun dan seribu butir pada tanaman padi serta peningkatan bobot tanaman dan bobot pipilan pada tanaman jagung. Pengaruh ini terkait dengan peningkatan serapan hara dan proses fotosintesis yang optimal pada tanaman. Kandungan klorofil yang tinggi pada daun mendukung proses fotosintesis lebih baik. Serapan unsur N yang tinggi juga pada tanaman yang diberi pupuk hayati dapat berperan dalam meningkatkan kandungan enzim yang berperan dalam fotosintesis seperti Ribulose-1.5-bisphosphate (RuBP). Enzim ini mempunyai kemampuan dalam mereduksi CO2 untuk disintesis menjadi karbohidrat pada proses fotosintesis

dalam bentuk Phosphoglyseric acid (PGA) (Lambers et al. 1998), sehingga jumlah fotosintat yang ditranslokasikan untuk pengisian biji pada tanaman padi gogo dan jagung relatif lebih besar yang selanjutnya dapat meningkatkan produktivitas tanaman.

Dokumen terkait