• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepemimpinan Pesantren Waria Al-Fatah

Pemimpin adalah seseorang yang mampu memengaruhi orang lain atau pengikutnya sehingga bertingkah laku sesuai dengan kehendaknya (Soekanto 2009). Tingkat kepemimpinan diukur melalui tiga hal, yaitu: tingkat kemampuan, tingkat kepribadian, dan gaya kepemimpinan. Ketiga variabel tersebut akan digunakan untuk melihat tingkat kepemimpinan.

Kemampuan Memimpin Pesantren Waria Al-Fatah

Kemampuan adalah salah satu hal yang penting dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memengaruhi bawahan atau pengikutnya. Pemimpin yang dilihat tingkat kemampuannya adalah Shinta Ratri sebagai pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah. Bawahan atau pengikut Shinta Ratri adalah komunitas waria migran yang menjadi anggota di Pesantren Waria Al-Fatah.

Tabel 11 Penilaian atas kemampuan pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Membimbing 89 27.81

Mengelola 81 25.31

Memerintah 66 20.63

Memotivasi 84 26.25

Jumlah 320 100.00

Terdapat empat kemampuan yang dimiliki oleh Shinta Ratri sebagai pemimpin yaitu membimbing, mengelola, memerintah, dan memotivasi (Tabel 11). Keempat kemampuan tersebut memiliki persentase yang tidak jauh berbeda satu sama lain. Kemampuan paling tinggi yaitu membimbing (27.81%). Pemimpin membimbing dengan cara mendampingi waria melakukan kegiatan di pesantren dan membantu waria ketika kesulitan mengerjakan kegiatan. Kemampuan selanjutnya adalah memotivasi (26.25%). Pemimpin memberi dorongan semangat kepada waria untuk membangun usaha mandiri, pemimpin menyemangati waria agar mampu menghadapi masalah (masalah pribadi dan masalah bersama), dan melakukan kegiatan produktif dalam hidupnya. Pemimpin mampu mengelola (25.31%) dengan cara menciptakan suasana nyaman bagi para waria ketika sedang berkomunikasi, serta mampu membuat waria bekerjasama dalam melakukan kegiatan produktif di pesantren. Pemimpin juga mampu memerintah (20.63%). Ia memberi perintah kepada waria untuk melakukan suatu hal. Memerintah memiliki persentase yang lebih rendah dibandingkan kemampuan lain. Hal ini karena terkadang pemimpin memberi perintah sesuai keinginannya saja, tidak sesuai aturan. Kemampuan yang dimiliki pemimpin dapat menentukan kategori tingkat kemampuan pemimpin.

Tabel 12 Jumlah dan persentase tingkat kemampuan pemimpin komunitas waria di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Kurang Baik 8 26.67

Cukup Baik 10 33.33

Baik 12 40.00

Jumlah 30 100.00

Tingkat kemampuan pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah termasuk dalam kategori baik, yakni sebesar 40% (Tabel 12). Tingkat kemampuan pemimpin dinilai oleh komunitas waria migran sesuai dengan apa yang dirasakan komunitas waria selama pemimpin membimbing, mengelola, memerintah, dan memotivasi komunitas waria migran.

Kepribadian Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah

Kepribadian adalah salah satu hal yang penting dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memengaruhi bawahan atau pengikutnya. Pemimpin yang dilihat tingkat kepribadiannya adalah Shinta Ratri sebagai pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah. Bawahan atau pengikut Shinta Ratri adalah komunitas waria migran yang menjadi anggota di Pesantren Waria Al-Fatah.

Tabel 13 Penilaian atas kepribadian pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Tegas 86 26.88

Berani 78 24.38

Agresif 81 25.31

Mengayomi 75 23.44

Jumlah 320 100.00

Terdapat empat kepribadian yang dimiliki oleh Shinta Ratri sebagai pemimpin komunitas waria migran di pesantren waria yaitu tegas, berani, agresif, dan mengayomi (Tabel 13). Keempat kepribadian tersebut memiliki persentase yang tidak jauh berbeda satu sama lain. Kepribadian yang paling tinggi adalah tegas (26.88%). Pemimpin memberikan perintah dengan jelas dan tegas kepada komunitas waria. Pemimpin juga memberikan hukuman kepada waria yang bersalah. Kepribadian selanjutnya adalah agresif (25.31%). Terlihat ketika pemimpin mendekatkan diri kepada waria dengan sangat bergairah/antusias agar lebih mengenal satu sama lain. Pemimpin juga memiliki kepribadian berani (24.38%). Keberanian terlihat saat pemimpin berbicara di hadapan waria dengan percaya diri dan yakin, berani menegur dan menghukum waria yang melakukan kesalahan/melanggar aturan, dan berani mengakui kesalahan yang dilakukannya. Mengayomi (23.44%) terlihat saat pemimpin melindungi waria dari masalah- masalah kehidupan dan selalu mendengarkan keluhan para waria. Kepribadian yang dimiliki pemimpin dapat menentukan kategori tingkat kepribadian pemimpin.

Tabel 14 Jumlah dan persentase tingkat kepribadian pemimpin komunitas waria di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Kurang Baik 9 30.00

Cukup Baik 10 33.33

Baik 11 36.67

Jumlah 30 100.00

Tingkat kepribadian pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah termasuk dalam kategori baik, sebesar 37% (Tabel 14). Tingkat kepribadian pemimpin memiliki persentase yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut diperoleh dari hasil penelitian di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan. Tingkat kepribadian pemimpin dinilai oleh komunitas waria migran sesuai dengan penilaian kepribadian tegas, berani, agresif, dan mengayomi yang dimiliki pemimpin.

Gaya Kepemimpinan Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah

Gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan oleh pemimpin untuk menjalankan kepemimpinannya. Pemimpin yang dilihat gaya kepemimpinannya adalah Shinta Ratri sebagai pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah. Bawahan atau pengikut Shinta Ratri adalah komunitas waria migran yang menjadi anggota di Pesantren Waria Al-Fatah.

Tabel 15 Penilaian atas gaya kepemimpinan pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Direktif 69 21.84

Delegatif 87 27.53

Konsultatif 82 25.95

Partisipatif 78 24.68

Jumlah 316 100.00

Terdapat empat gaya kepemimpinan yang dimiliki Shinta Ratri sebagai pemimpin komunitas waria migran di pesantren waria yaitu direktif, delegatif, konsultatif, dan partisipatif (Tabel 15). Persentase gaya kepemimpinan tidak jauh berbeda satu sama lain. Pemimpin menerapkan gaya kepemimpinan sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi.

Gaya kepemimpinan dengan persentase tertinggi adalah delegatif (27.53%). Delegatif diterapkan saat pemimpin menghadapi masalah yang sulit, sehingga ia meminta bantuan pihak ketiga yang ia percaya (pembina pesantren) untuk membantu menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan. Adanya bantuan pihak ketiga merupakan hasil diskusi bersama komunitas waria migran.

“…Kalo ada masalah besar biasanya bunda Shinta minta bantuan Pak Kyai

buat bantuin kita. Waktu itu ada pemeriksaan dari Pak Polisi, ngiranya

pesantren cuma nama ‘kedok’ buat ngelindungin PSK-PSK waria. Nah kalo masalahnya udah gitu kita langsung minta bantuan Pak Kyai buat bantuin

ngadepin polisi dan berunding enaknya gimana…” (Yuni, Anggota di

Pesantren Waria Al-Fatah).

Gaya kepemimpinan selanjutnya adalah konsultatif (25.95%). Konsultatif digunakan saat masalah yang muncul datang dari pihak anggota waria (masalah dari bawah). Pemimpin mendengarkan terlebih dahulu masalah yang terjadi, kemudian mengambil langkah penyelesaian dan keputusan terkait masalah tersebut. Salah satu contoh kasus saat anggota kekurangan modal usaha, dan mengalami masalah terkait usaha mandiri, maka anggota mengutarakan permasalahan tersebut kepada pemimpin untuk ditindaklanjuti.

Gaya partisipatif (24.68%) mampu membangun kebersamaan antara pemimpin dan pengikutnya. Akan tetapi, pemimpin waria tidak selalu menerapkan gaya ini saat memimpin. Gaya partisipatif diterapkan saat terjadi masalah yang mencakup semua pihak. Pemimpin mengajak komunitas waria untuk berdiskusi, merancang cara penyelesaian masalah, dan memutuskan langkah yang akan diambil. Gaya partisipatif akan efektif jika antar pemimpin dan waria saling terbuka.

“…kami diskusi bersama bukan hanya kalau ada masalah saja mba, tapi

kami juga diskusi kalau kami mau ngelakuin kegiatan-kegiatan di pesantren. Masalah yang didiskusikan biasanya mencakup aturan pesantren, karena kan kita buat aturan buat dipatuhi bersama, jadi ya dirancangnya juga harus bersama. Kegiatan yang didiskusikan terkait kegiatan sehari-hari santri mencakup bersih-bersih, pengajian, dan kegiatan usaha mandiri. kami juga selalu diskusi tentang program bersama masyarakat sini…” (Shinta, Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah).

Gaya kepemimpinan direktif (21.84%) diterapkan saat pemimpin harus menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan dengan cepat, tidak ada waktu untuk berdiskusi, dan orientasi untuk tugas. Sehingga pemimpin mengerjakan segala sesuatunya secara individual. Gaya direktif biasanya akan membuat hubungan pemimpin dengan komunitas waria kurang baik, karena anggota akan menganggap pemimpin egois.

“…Bunda Shinta sih make gaya kepemimpinannya ga menentu mba, tergantung sama situasi dan keadaan yang terjadi. Kalo emang masalah laporan-laporan ke pihak pemerintah gitu dia biasanya kerja sendiri, yah paling kita bantu-bantu kalo disuruh aja, takutnya malah salah kalo sok tau. Tapi kalo masalahnya nyangkut kita semua ya kita rembukan bareng-bareng

mba…” (Rully, Anggota di Pesantren Waria Al-Fatah).

Tabel 16 Jumlah dan persentase tingkat gaya kepemimpinan pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Kurang Baik 9 30.00

Cukup Baik 9 30.00

Baik 12 40.00

Gaya kepemimpinan yang diterapkan pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah termasuk dalam kategori baik, yakni sebesar 40% (Tabel 16). Gaya kepemimpinan memiliki persentase yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut diperoleh dari penelitian di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan. Gaya kepemimpinan dinilai oleh komunitas waria migran sesuai dengan apa yang dirasakan selama pemimpin menerapkan gaya kepemimpinan direktif, delegatif, konsultatif, dan partisipatif di setiap situasi dan kondisi yang terjadi.

Produktivitas Komunitas Waria Migran

Produktivitas adalah hasil kerja seseorang (waria) berupa barang atau jasa dengan menggunakan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan. Produktivitas yang dilihat adalah produktivitas komunitas waria migran yang menjadi anggota di Pesantren Waria Al-Fatah.

Tabel 17 Penilaian atas produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al- Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Memiliki Usaha Mandiri 73 23.55 Memenuhi Keb Pokok 75 24.19 Akses Pelayanan Kesehatan 79 25.48 Akses Pelatihan 83 26.77

Jumlah 310 100.00

Terdapat empat macam produktivitas yang dicapai komunitas waria migran yaitu mampu memeroleh pendapatan dengan memiliki usaha mandiri. Usaha mandiri adalah usaha yang didirikan oleh komunitas waria migran baik secara individu ataupun secara berkelompok dengan modal usaha yang didapatkan dari warung kejujuran di Pesantren Waria Al-Fatah. Mampu memenuhi kebutuhan pokok (pangan, sandang, dan papan), mampu mengakses pelayanan kesehatan di puskesmas Desa Jagalan, dan mampu mengakses pelatihan-pelatihan. Persentase pencapaian produktivitas tidak jauh berbeda satu sama lain (Tabel 17).

Produktivitas dalam akses pelatihan (26.77%) yang dimaksud dalam hal ini adalah pelatihan terkait keagamaan, memasak, menjahit, tata rias dan menyanyi. Komunitas waria merasa bahwa pencapaian akses pelatihan mereka meningkat saat mereka berada di pesantren waria. Waria bebas menentukan pelatihan apa yang akan mereka ikuti sesuai dengan minat dan bakat mereka. Waria akan dikelompokkan sesuai dengan pelatihan yang mereka pilih, kemudian masing- masing kelompok akan dilatih oleh mentor atau ahli bidang pelatihan tersebut. Khusus untuk pelatihan keagamaan semua waria wajib ikut serta.

Akses pelayanan kesehatan (25.48%) dilihat dari kemampuan waria menjaga dirinya dari serangan penyakit, hidup di lingkungan yang bersih, dan menerapkan pola hidup yang sehat. Awalnya waria tidak mendapatkan tempat tinggal, sebagian besar dari mereka hidup di pinggiran sungai yang kotor, dekat dengan tumpukan sampah, dan mengonsumsi makanan yang kotor. Sampai akhirnya mereka hidup bersama di Pesantren Waria Al-Fatah. Pindahnya mereka ke pesantren ini merubah lingkungan dan pola hidup mereka menjadi lebih baik. Waria dapat hidup di tempat yang layak, jauh dari kumpulan sampah, dan

makanan yang mereka konsumsi pun lebih baik. Waria juga dapat berobat di puskesmas Desa Jagalan apabila terserang penyakit atau sekedar ingin mengontrol kesehatan mereka.

Pemenuhan kebutuhan pokok (24.19%) dan memiliki usaha mandiri (23.55%) adalah pencapaian produktivitas yang saling berkaitan. Pendapatan yang diperoleh waria dari hasil usahanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, namun belum bisa digunakan untuk menabung atau membeli barang mewah (tersier) yang diinginkan oleh para waria. Usaha-usaha yang didirikan oleh komunitas waria belum bisa menghasilkan pendapatan yang tinggi dan tetap. Oleh karena itu, komunitas waria harus selalu dimotivasi untuk terus melanjutkan usaha mandiri, supaya tidak ada yang kembali menjadi PSK atau pekerjaan kurang baik lainnya. Pencapaian yang terpenuhi menentukan tingkat produktivitas komunitas waria migran.

“…kalo pendapatan sih ada mba, tapi ya itu cuma pas buat beli keperluan

sehari-hari aja. Paling buat makan, beli baju yo ndak sebulan sekali mba, ga bisa bajunya kemahalan. Apalagi buat beli keperluan-keperluan lainnya mba, yo mana bisa. Nabung juga yo ndak bisa mba. Penghasilan usaha mandiri itu beda jauh sama kalo kita kerja di jalanan mba. Kalo di jalanan ya sehari juga gede dapetnya. Tapi balik lagi kan kita udah gamau mba nyoba-nyoba dunia gelap itu. Dikit uangnya yang penting halal mba

hehe…” (Betty, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah).

Tabel 18 Jumlah dan persentase tingkat produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Rendah 7 23.33

Sedang 13 43.33

Tinggi 10 33.33

Jumlah 30 100.00

Produktivitas komunitas waria migran memiliki persentase sebesar 43.33% termasuk dalam kategori sedang (tabel 18). Salah satu faktor yang membuat tingkat produktivitas berada di kategori sedang karena pendapatan waria dari usaha mandiri tidak tetap atau fluktuatif, sehingga pemenuhan kebutuhan pokok, akses pelayanan kesehatan, dan akses pelatihan yang dapat dicapai masih dalam kategori sederhana/secukupnya. Produktivitas dinilai oleh komunitas waria migran sesuai dengan apa yang diperoleh mereka selama melakukan kegiatan produktif di Pesantren Waria Al-Fatah. Kegiatan produktif yang dilakukan komunitas waria migran mencakup kegiatan di ranah keagamaan, sosial, dan perekonomian. Kegiatan keagamaan mampu meningkatkan produktivitas komunitas waria migran dalam hal kerohaniannya, sedangkan untuk meningkatkan produktivitas komunitas waria migran dalam hal pendapatan, pemeliharaan kesehatan, pengaksesan pelatihan, dan pemenuhan kebutuhan hidup pokok, kegiatan produktif yang harus ditingkatkan adalah kegiatan usaha ekonomi mandiri. Apabila komunitas waria migran dapat melakukan kegiatan usaha ekonomi mandiri dengan baik, maka komunitas waria akan memeroleh pendapatan yang baik pula, dengan pendapatan ini komunitas waria migran akan

lebih mudah mengakses pelayanan kesehatan di Desa Jagalan, mengakses pelatihan-pelatihan sesuai minat, serta dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka dengan baik. Oleh karena itu kegiatan produktif dinilai dapat mendukung tingkat produktivitas komunitas waria migran.

Peran Serta Waria Migran Dalam Pembangunan Desa Peran Serta Waria Migran Dalam Pembangunan Desa Jagalan

Pembangunan desa diukur melalui empat hal, yaitu: pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga, pembangunan sarana dan prasarana desa, mengembangkan potensi ekonomi lokal, dan memanfaatkan sumber daya lokal berkelanjutan (UU No. 06 Tahun 2014). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, terdapat empat peranan waria migran dalam pembangunan Desa Jagalan. Peranan waria tersebut dapat memberikan keuntungan bagi para waria dan masyarakat Desa Jagalan. Hal ini dijelaskan pada tabel 19.

Tabel 19 Penilaian atas peranan waria migran dalam pembangunan Desa Jagalan, tahun 2014

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Kebutuhan Dasar 76 23.31 Ikut Gotong Royong 83 25.46 Mengajak Pemuda Desa Bekerja 84 25.77 Memanfaatkan SD Lokal 83 25.46

Jumlah 326 100.00

Tabel 19 menjelaskan bahwa peranan komunitas waria migran dalam pembangunan Desa Jagalan memiliki persentase yang hampir seimbang. Pembangunan sarana dan prasarana Desa Jagalan dilakukan oleh komunitas waria migran dengan cara ikut bergotong-royong atau menyumbangkan tenaga kerja mereka (25.46%). Komunitas waria juga memberikan sumbangan uang, sumbangan bahan bangunan, atau sumbangan makanan dan minuman untuk pembangunan sarana dan prasarana Desa Jagalan. Pengembangan potensi ekonomi lokal diwujudkan komunitas waria migran dengan mengajak pemuda- pemuda desa untuk bekerja di usaha mandiri yang didirikan oleh komunitas waria migran (25.77%). Pemuda yang diajak untuk bekerja adalah mereka yang sudah tidak bersekolah lagi. Hasil dari usaha tersebut disumbangkan kepada pihak Desa Jagalan. Waktu dan jumlah nominal sumbangan disesuaikan oleh kemampuan komunitas waria.

Komunitas waria migran memanfaatkan sumber daya Desa Jagalan untuk kepentingan usaha mandiri (25.46%), namun mereka juga memanfaatkan sumber daya di luar Desa Jagalan untuk memenuhi kebutuhan pribadi ataupun kebutuhan usaha mandiri.

“…susah mba kalo ngandelin yang ada disini aja. Ga semua yang kita butuhin ada disini. Ya kalo beli sayuran, ikan, daging itu ada di pasar sini. Tapi kalo untuk beli-beli perlengkapan buat nyalon, rias-rias ya ndak ada

disini mba. Harus ke kota buat beli barangnya…”(Dewi, Anggota Pesantren

Pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga (23.31%) terbilang rendah. Rumah tangga dalam hal ini adalah satu keluarga atau kepala keluarga (KK) di Desa Jagalan. Sangat sedikit waria yang berasal dari Desa Jagalan, sehingga sedikit pula sumbangan yang diberikan untuk rumah tangganya. Itulah penyebab persentase pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga berada di kategori rendah.

“…biasanya kalo ngasih sumbangan itu langsung ke pihak desa, atau ke

RT/RW mba, jarang kita ngasih sumbangan khusus ke satu keluarga. Ya paling yang ngasih sumbangan pribadi gitu yang punya keluarga disini. Tapi kan disini jarang yang asli sini, cuma sekitar 2 orang yang punya keluarga

disini, yang lainnya rantauan mba…” (Betty, Anggota Pesantren Waria Al- Fatah).

Peranan waria dalam kegiatan pemberian sumbangan kepada pihak Desa Jagalan merupakan salah satu perintah dari Shinta Ratri sebagai pemimpin komunitas waria migran di pesantren. Hal ini dilakukan agar pihak Desa Jagalan bersedia lebih menerima kehadiran pesantren waria di desa mereka.

Tabel 20 Jumlah dan persentase tingkat peranan waria migran dalam pembangunan Desa Jagalan, tahun 2014

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Rendah 6 20.00

Sedang 10 33.33

Tinggi 14 46.67

Jumlah 30 100.00

Tingkat peranan komunitas waria migran dalam pembangunan Desa Jagalan masuk dalam kategori tinggi, yakni sebesar 46.67% (Tabel 20). Tingkat sumbangan memiliki persentase yang berbeda-beda sesuai dengan sumbangan yang diberikan oleh komunitas waria migran melalui ikut serta dalam gotong- royong, pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga, ajakan kepada pemuda desa untuk bekerja, dan pemanfaatan sumber daya lokal. Sumbangan kepada Desa Jagalan diukur oleh komunitas waria migran selama mereka aktif melakukan kegiatan di Pesantren Waria Al-Fatah.

Peran Serta Waria Migran Dalam Pembangunan Desa Asal

Desa asal adalah desa tempat waria dilahirkan atau tempat waria menjalani kehidupan mereka sebelum mereka melakukan migrasi ke Desa Jagalan. Daerah asal responden waria terdiri dari beberapa wilayah. Daerah tersebut bukan hanya di Daerah Yogyakarta saja, tetapi juga di Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera, dan Sulawesi (Dokumen Pesantren Waria Al-Fatah 2014).

Hasil wawancara menjelaskan bahwa komunitas waria yang melakukan migrasi sebagian besar karena mereka diusir atau tidak diterima di desa asal. Mayoritas dari mereka mendapat perlakuan yang kurang baik di desa asal (dikucilkan, diejek, didiskriminasi, bahkan diusir), karena masyarakat desa belum bisa menerima kehadiran waria. Masyarakat desa menganggap waria sebagai

orang yang mengalami “kelainan mental” karena antara jasad dan jiwa nya berbeda.

Hal tersebut yang mengakibatkan para waria melakukan migrasi. Mereka ingin merubah hidup menjadi lebih baik dari segi perekonomian maupun sosial di tempat baru (perkotaan). Kebanyakan waria memilih kota-kota besar sebagai tempat pindah, salah satunya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki tempat pemberdayaan komunitas waria di Desa Jagalan, Kabupaten Bantul yaitu Pesantren Waria Al-Fatah. Waria yang saat ini hidup di Pesantren Waria Al-Fatah, tidak begitu saja melupakan daerah asalnya. Mereka turut berperan serta menyumbangkan uang atau barang untuk pembangunan desa asal mereka. Hal tersebut dijelaskan pada tabel 21.

Tabel 21 Penilaian atas peranan waria migran dalam pembangunan desa asal, tahun 2014

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Kebutuhan Dasar 84 100.00 Ikut Gotong Royong - - Mengajak Pemuda Bekerja - - Memanfaatkan SD Lokal - -

Jumlah 84 100.00

Terlihat pada tabel 21 bahwa peranan waria dalam pembangunan desa asal hanya memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga (100.00%). Hal ini diwujudkan melalui sumbangan yang diberikan kepada keluarga waria di desa asal mereka. Sumbangan dapat berupa uang ataupun barang yang disesuaikan dengan kemampuan waria yang bersangkutan.

Tabel 22 Jumlah dan persentase tingkat peranan waria migran dalam pembangunan desa asal, tahun 2014

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Rendah 14 46.67

Sedang 7 23.33

Tinggi 9 30.00

Jumlah 30 100.00

Tingkat peranan waria migran dalam pembangunan desa asal berada dalam kategori rendah, yakni sebesar 46.67% (Tabel 22). Tingkat peranan ini diukur dari sumbangan yang diberikan oleh komunitas waria migran untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga di masing-masing desa mereka. Hanya 30% waria yang memberikan sumbangan kepada keluarganya di desa asal. Hal ini karena jarak desa asal yang terlalu jauh, waria yang tidak terlalu antusias atau enggan menyumbang kepada keluarga, dan banyak diantara mereka yang masih merasa sakit hati dengan keluarga di desa karena mereka diusir dan tidak dianggap sebagai anggota keluarga tersebut. Akibatnya sedikit waria yang berperan serta memberikan sumbangan kepada keluarga di desa asal mereka.

PENGARUH TINGKAT KEPEMIMPINAN, TINGKAT

Dokumen terkait