• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Konsep Pembangunan Berkelanjutan

2.4.2 Pembangunan Permukiman Berkelanjutan

Pembangunan permukiman yang berkelanjutan merupakan pembangunan permukiman yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi masa kini maupun masa depan secara merata. Ciri-ciri model pembangunan yang berkelanjutan adalah berwawasan lingkungan dan memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, falsafah, hukum, dan perundang-undangan. Model ini berusaha mencapai keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana. Terwujudnya manusia Indonesia yang mampu membina lingkungan hidup, dan terlaksananya pembangunan yang berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.

Dengan pola pembangunan berkelanjutan, kualitas lingkungan ditingkatkan dan kerusakan lingkungan ditekan menjadi sekecil mungkin.

Menurut Hertzen et al. (1973) bahwa pembangunan perumahan berkelanjutan adalah pembangunan perumahan yang memperhatikan perencanaan sosial mencakup pelayanan sosial, partisipasi masyarakat, organisasi dan metode, informasi, ketrampilan dalam perencanaan, komunikasi, dan manajemen. Pembangunan permukiman yang berkelanjutan diartikan sebagai upaya yang berkelanjutan untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan kualitas lingkungan tempat hidup dan bekerja semua orang. Sehingga dalam mewujudkan pembangunan permukiman yang berkelanjutan sangatlah penting untuk mempertimbangkan permukiman yang berwawasan lingkungan (Kirmanto, 2002).

Beberapa konsep yang pernah dikemukakan para pakar dalam melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah : pelestarian ekologi, teknologi hijau, dan mengatasi pencemaran lingkungan (Budiharjo et al., 1999). Lebih lanjut dijelaskan beberapa prinsip dasar pembangunan yang berkelanjutan terdiri atas: 1) Ekonomi, 2) Ekologi, 3) Equity, 4) Engagement, dan 5) Energi. Dua aspek yang sangat terkait dengan fisik pembangunan berkelanjutan adalah aspek ekologi dan energi yang dijabarkan sebagai berikut (Budihardjo, 1999):

1. Aspek ekologi :

 Pemanfaatan Sumberdaya Alam: konservasi sumber daya alam, pencegahan polusi dan penanggulangan bencana.

 Peraturan penggunaan tanah: penggunaan lahan campuran, menciptakan ruang-ruang terbuka, menetapkan batas perkembangan/pemekaran kota. 2. Aspek energi:

 Sumber energi: penghematan energi dan pemilihan sumber energi alternatif.

 Sistem transportasi: optimalisasi transportasi missal (public transportation).

 Bangunan: optimalisasi pencahayaan dan penghawaan alami.

Berbagai konsep perencanaan kota yang berkelanjutan sudah dipaparkan oleh para pakar perencana kota seperti : ‘The City of Tomorrow’ (Corbusier, 1977), ‘Garden City’ (Howard, 1902), dan ‘New Town’ (Osborn dan Whittick, 1963). Konsep-konsep para urban designer tersebut tidak akan dapat mencapai tujuan dari Kota yang Berkelanjutan apabila manusia yang menghuni kota tersebut tidak menjalankan peran yang semestinya. Dengan kata lain dibutuhkan keterpaduan

dari semua bidang kehidupan dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Konsep permukiman yang berwawasan lingkungan bertujuan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Indikator-indikator permukiman berwawasan lingkungan dijelaskan pada Gambar 10.

(Sumber: Maclaren, 1996)

Gambar 10. Indikator permukiman yang berwawasan lingkungan

Pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan didominasi oleh penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang. Untuk itu perlu dipertimbangkan 4 (empat) hal utama, yaitu (Campbell, 1996):

a. Socially and culturally suitable and accountable, yaitu pembangunan yang secara sosial dan kultural bisa diterima dan dipertanggung jawabkan;

b. Politically acceptable, yaitu pembangunan yang secara politik dapat diterima; c. Economically feasible, yaitu pembangunan yang layak secara ekonomis; dan d. Environmentally sound and sustainable, yaitu pembangunan yang bisa

dipertanggung jawabkan dari segi lingkungan.

Menurut Maclaren (1996) dalam mewujudkan permukiman yang berwawasan lingkungan ada 4 komponen yang digunakan sebagai indikator, yaitu: Ekonomi, Sosial, Lingkungan dan Budaya. Jadi ketika kita berbicara tentang permukiman yang berwawasan lingkungan tidak hanya melibatkan indikator fisik saja melainkan juga indikator non-fisiknya. Kirmanto (2002) menjelaskan bahwa salah satu upaya untuk mewujudkan permukiman yang berwawasan lingkungan adalah dengan menciptakan kawasan perumahan ekologis yang lebih memperhatikan aspek lingkungan dalam merencanakan huniannya.

Gambar 11 menjelaskan komponen-komponen yang dibutuhkan untuk terwujudnya sebuah permukiman :

(Sumber: Huovilla dan Pekka, 1999)

Gambar 11. Komponen-komponen sebuah kawasan perumahan

Gambar diatas menjelaskan tentang komponen-komponen apa saja yang saling terkait dalam suatu kawasan perumahan mulai dari konsep perencanaan sampai kepada perumahan yang siap huni. Komponen tersebut yang akan berperan dalam mewujudkan permukiman yang berwawasan lingkungan.

Beberapa strategi perencaan kawasan permukiman yang berwawasan lingkungan dapat dilihat pada prinsip-prinsip dibawah ini (Grant et al., 1996):

 Mengelola dan memelihara lingkungan supaya berfungsi dengan semestinya, seperti: tempat pembuangan sampah, drainase lingkungan dan sistem pembuangan air limbah.

 Meminimalisasi pengaruh bangunan pada lingkungan sekitar, contoh pemanfaatan ruang, fasilitas pelayanan, dan perencanaan infrastruktur yang efisien.

 Melindungi sumber-sumber alam dan sumberdaya lahan untuk generasi mendatang, seperti melindungi sumberdaya air, tanah, dan udara.

 Mengurangi dan mengolah limbah yang dihasilkan dari hunian agar tidak mencemari lingkungan.

 Meningkatkan peran serta dan partisipasi masyarakat dalam memelihara lingkungan.

 Menciptakan lingkungan sosial yang sehat, seperti keamanan dan kesehatan lingkungan (sanitasi).

Campbell (1996) mengatakan bahwa ada 3 (tiga) konflik yang dapat terjadi dalam usaha mencapai tujuan Permukiman yang Berwawasan Lingkungan, yaitu : 1. Konflik Properti (Property Conflict), yaitu konflik yang terjadi antara

pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi, konflik antara pemilik rumah dan penyewa, atau konflik antara pengelola kawasan dan pekerja.

2. Konflik Sumberdaya (Resource Conflict), yaitu konflik tentang prioritas sumberdaya alam. Dari aspek bisnis sedapat mungkin memanfaatkan sumberdaya alam secara bijaksana, namun pada saat yang bersamaan juga dibutuhkan kebijakan tentang konservasi sumberdaya alam tersebut untuk kepentingan masa yang akan datang.

3. Konflik Pembangunan (Development Conflict), yaitu melaksanakan kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia tanpa harus merusak lingkungan hidup.

Untuk mendukung pembangunan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Sustainable Development), undang- undang penataan ruang dan undang-undang perumahan dan permukiman perlu ditaati dan kemampuan pemerintah perlu ditingkatkan. Pembangunan yang tidak memperhatikan kondisi kemampuan daya dukung serta kelestarian lingkungan akan cenderung menurunkan kemampuan daya dukung lingkungan tersebut (degradasi lingkungan). Oleh karena itu pembangunan permukiman harus diarahkan pada kondisi ideal atau berada pada kondisi daya dukung lingkungan yang optimal.

2.4.3 Pengembangan Bangunan Tinggi Berwawasan Lingkungan

Salim (2000) dalam bukunya ‘Kembali ke Jalan Lurus’ mengemukakan bahwa pengalaman negara maju menunjukkan proses pembangunan yang mengubah struktur ekonomi pertanian menjadi ekonomi industri yang selalu disertai dengan tingkat urbanisasi yang tinggi. Keperluan pembangunan dalam memenuhi kebutuhan permukiman mendorong permintaan akan ruang (lingkungan). Keterbatasan ruang di kota mendorong tumbuhnya kebutuhan untuk membangun ke atas sehingga melahirkan konsep bangunan tinggi (high rise building).

Di Indonesia, beberapa kota besar telah menunjukkan perkembangan bangunan tinggi yang cukup pesat. Meningkatnya jumlah penduduk dan semakin mahalnya harga lahan di kota menjadikan pembangunan bangunan tinggi tak

dapat dihindari. Permasalahan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana menata bangunan tinggi yang berwawasan lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa kehadiran bangunan tinggi membawa 2 (dua) dampak penting: Pertama, kehadiran bangunan tinggi yang mempengaruhi 1) sirkulasi udara/angin, penetrasi sinar matahari, ancaman api pada saat terjadi kebakaran, potensi kehancuran pada saat terjadi gempa, meningkatkan kebutuhan air dan menghasilan limbah buangan. Kedua, meningkatnya konsentrasi penduduk sehingga meningkatkan kepadatan penduduk.

Lebih lanjut Salim (2000) menjelaskan bahwa pembangunan bangunan tinggi umumnya dilaksanakan oleh pihak swasta mengingat dana yang dibutuhkan sangat besar sehingga terjadi pertumbuhan secara parsial yang menghasilkan serangkaian egoisme bangunan tinggi sebagai wajah kota. Danishworo mengecam tumbuhnya bangunan tinggi yang tidak tertata menyebabkan pola parcel development dimana setiap arsitektur berlomba-lomba menunjukkan ke-akuannya, sehingga menyebabkan polusi arsitektur. Hal ini ditengarai belum adanya sistem zonasi yang mantap pada suatu kawasan perkotaan. Bangunan tinggi juga membutuhkan aksesibilitas yang tinggi, sehingga gejala yang ditimbulkan selanjutnya adalah pola ribbon development di sepanjang jalan yang menyebabkan kemacetan lalu lintas yang serius. Oleh karena itu, untuk menghindari pola parcel and ribbon development, perlu kiranya dilakukan zonasi seperti yang tertuang dalam rencana tata ruang.

UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang membuka jalan bagi pengembangan zonasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota/ Kabupaten, sehingga dapat menjadi acuan bagi pengembangan bangunan tinggi dalam proporsi yang wajar.

Dokumen terkait