• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal Bank Dunia dan Program Pengembangan Kecamatan di

Dalam dokumen Kebijakan Pembangunan Neo-liberal (Halaman 64-85)

Indonesia*

Toby Carroll

ABSTRAK Artikel ini mencoba mengonseptualisasi ulang pasca-Konsensus Washington (PWC) dengan tidak sekadar memfokuskan pada struktur-struk-tur kelembagaan dan ideologi yang dikembangkannya, namun cara ia dikam-pa- nyekan di lapangan. Tujuannya adalah untuk mengungkap perbedaan men-dasar antara Konsensus Washington dengan PWC yang selama ini cenderung diabaikan. Penulis memfokuskan pada Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Indonesia yang didanai Bank Dunia. Program itu dianggap radikal karena ia “Kuda Troya” baru untuk menanamkan sekaligus meneruskan nor-ma-norma dan praktik berorientasi pasar. Secara umum, inilah yang menjadi kunci perbedaan dalam banyak analisis.

* Saya mengucapkan terima kasih kepada Garry Rodan, Kasnishka Jayasuriya, Teresita del Ro-sario, Shahar Hameiri dan dua orang pengulas yang tidak ingin disebut namanya atas komentar mereka terhadap versi awal artikel ini. Setiap kekeliruan dan kesalahan tentu menjadi tang- gung jawab penulis. Penggunaan istilah “Kuda Troya” di sini adalah plesetan terhadap penga- matan John Harriss tentang cara bagaimana beberapa praktisi pembangunan mencoba meng- guna-kan konsep modal sosial untuk mengubah agenda pembangunan neoliberal dari dalam (lihat di bawah).

Orang yang tertarik dan terkait dengan pembangunan berorientasi pasar telah ban-yak membahas pasca-Konsensus Washington sejak akhir tahun 1990-an. Istilah “pasca-Konsensus Washington” (post-Washington Consensus) lazim digunakan untuk merujuk paradigma dominan yang menjadi landasan praktik pembangunan saat ini, terutama

pendekatan yang dikembangkan dan disebarluaskan oleh Bank Dunia.1 Di sini

dinya-takan, pemahaman kontemporer PWC, termasuk pemahaman yang kritis, tidak banyak memberitahu kepada kita mengenai cara ia dijalankan di lapangan, dan karenanya, apa sebenarnya konsep itu.

Pendukung-pendukung PWC ortodoks mendefinisikannya sebagai sesuatu yang

berlawanan dengan “fundamentalisme-pasar” Konsensus Washington.2Kritik terhadap

PWC, sebaliknya, lebih banyak didominasi oleh pernyataan-pernyataan dari para pen-dukung PWC yang bersifat menentukan, kerap mempergunakan dokumen-dokumen seperti laporan tahunan Bank Dunia, World Development Report baik untuk

mendefin-64

isikan maupun menilai perwujudan terbaru pembangunan berorientasi pasar.3 Sumber-sumber tersebut telah memberi wawasan berharga yang membantu kami menguraikan

PWC atau paradigma pembangunan baru.4 Namun demikian, fokus pada resep-resep

tersebut telah mengurangi pemahaman terhadap beberapa karakteristik pembeda ter-penting dari PWC. Hal ini khususnya berlaku bagi elemen-elemen utama agenda pem-bangunan baru yang dirancang untuk menangani frustrasi besar

neoliberalisme—ham-batan- hambatan dalam menerapkan dan melanjutkan reformasi pasar liberal.5

Artikel ini banyak mengambil kontribusi para penulis yang dikutip di atas sebagai titik awal memahami PWC dalam praktik. Namun, ketimbang memfokuskan secara langsung pada resep-resep yang sama artinya dengan PWC, tulisan ini mengambil posisi bahwa PWC mempromosikan bentuk baru tata pemerintahan pembangunan al—saya menyebutnya neoliberalisme kelembagaan sosial (socio-institutional neoliber-alism/SIN)—yang keduanya merupakan setumpuk resep serta seperangkat metode dan mekanisme untuk membentuk medan politik di dunia terbelakang ke arah penegakan dan kelangsungan masyarakat pasar liberal.

Kegunaan konsepsi PWC terlihat tatkala kita memeriksa beberapa jenis proyek baru yang berasal dari PWC. Ini karena membantu kita untuk memahami apa yang sebenarn-ya berubah, dari sekadar fokus kelembagaan, dalam pergeseran dari Konsensus Wash-ington ke PWC. Memang, analisis seperti itu khususnya penting bagi proyek-proyek “sosial” yang tampaknya berangkat dari penyesuaian struktural (structural adjustment) sederhana Konsensus Washington. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di In-donesia yang didanai Bank Dunia, dengan penekanan pada partisipasi warga setempat serta pilihan dalam alokasi dana, merupakan sebuah contoh kasus sangat menarik. Pada satu tingkat, PPK mewakili titik keberangkatan substansial dari pendekatan pemban-gunan neoliberal sebelumnya. Namun, apa yang radikal tentang hal ini adalah cara di mana reformasi neoliberal disampaikan pada intinya berusaha membangun kembali ke-wargaan dari “bawah ke atas” (bottom up), yang tetap kompatibel dengan pasar liberal, dengan memakai dana berbasis-utang untuk infrastruktur ekonomi dan sosial produk-tif sebagai insenproduk-tif. Pendek kata, para pendukung PPK menggunakan teknologi politik “pembangunan partisipatif ” sebagai alat pengantar yang jelas berbeda dan sementara waktu efektif untuk memperluas hubungan sosial kapitalis dan lembaga-lembaga yang ditempatkan oleh ortodoksi pembangunan untuk mengiringi hubungan semacam itu.

Bahwa dana sejumlah US$ 1,6 miliar yang diperoleh PPK bisa menghindari banyakn-ya hambatan politik banyakn-yang mengganggu pelaksanaan bentuk-bentuk intervensi neoliberal sebelumnya agaknya memerlukan perhatian kritis. Bagi program yang sangat banyak didanai oleh utang untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia—sebuah negeri

den-gan pendapatan nasional bruto per kapita US$ 1.2806—dalam kerangka pasar liberal,

tanpa menyentuh titik-lemah paradigmatis liberal yang berkaitan dengan kepemilikan alat produksi dan perjuangan kelas yang lebih luas. Memang, proyek tersebut

mengga-65

bungkan tugas penanggulangan kemiskinan dengan proses teknis yang dirancang untuk menciptakan pasar kompetitif baru dengan memberdayakan warga melalui transparansi dan akuntabilitas—perbaikan kelembagaan baru yang utama dalam PPK. Dalam hal ini, program tersebut bersesuaian di dalam batasan-batasan yang dapat diterima oleh pro-gram kerja dan paradigma Bank Dunia yang melekat padanya, yang menurut pendapat

Cammack telah mendorong proletarisasi kaum miskin se-dunia.7

Kami mengangkat persoalan ini untuk memperluas pemahaman kita mengenai PWC dengan menggarisbawahi unsur-unsur pokok SIN, dan khususnya potongan-potongan itu yang menurut saya kurang mendapat perhatian daripada semestinya (metode dan mekanisme yang ditujukan langsung pada rekayasa kewargaan pasar). Dengan landasan ini, kita kemudian beralih ke PPK sebagai sebuah contoh operasional SIN, untuk menun-jukkan manfaat mengevaluasi PWC di luar konten preskriptifnya.

PPK Sebagai Sebuah Contoh Neoliberalisme Kelembagaan- Sosial yang Anti-politik

Neoliberalisme kelembagaan-sosial (SIN) berkembang sebagai jawaban terhadap kri-sis legitimasi yang menjangkiti bentuk-bentuk kebijakan pembangunan neoliberal awal.8 Ini menunjukkan konten preskriptif yang sama sekali baru, karena ditopang oleh ekono-mi kelembagaan baru (new institutional econoekono-mics/NIE), dengan penekanan pada

hubungan antara lembaga dan biaya transaksi.9Penekanan kelembagaan ini mengubah

beberapa kebijakan Konsensus Washington seperti privatisasi, deregulasi, dan

liberal-isasi,10 dengan menempatkan fokus “pengembangan industri” dalam matrik pentingnya

kelembagaan khusus bagi operasi pasar (dipahami dalam istilah ortodoks sebagai “tata pemerintahan yang baik”). Bahkan, dorongan kelembagaan ini khususnya telah

memi-lah-milah peran lembaga sosial dan me- manfaatkan saham “modal sosial” mereka.11

Hal terpenting, banyak bentuk SIN yang berkaitan dengan metode dan mekanisme mutakhir diarahkan menuju pencapaian implementasi masyarakat pasar dan

diju-luki Jayasuriya sebagai “kewargaan pasar”12—di mana hak dan kewajiban warga dalam

hubungan dengan negara pada dasarnya dikondisikan oleh imperatif pasar. Di pusat ar-sitektur SIN diciptakan saluran-saluran pengantar baru—perangkat yang membungkus isi ketentuan kelembagaan baru SIN. Contohnya, Poverty Reduction Strategy Papers, Country Assistance Strategies, Country Development Partnership, serta proyek dan pro-gram-program yang ditargetkan Bank Dunia. Perangkat pengantar ini disampaikan oleh dan memasukkan bentuk-bentuk teknologi politik, seperti proses partisipatif dan latihan konsultasi. Teknologi tersebut ditugaskan mengelola tuntutan representasi politik yang memiliki potensi berseteru supaya tercapai masyarakat monopolitik, yakni mencakup keadaan pasar yang kuat (yang membuat kegagalan pasar dan bagian dari persediaan pasar yang dibutuhkan matriks kelembagaan) serta persekutuan fleksibel secara politik

di antara pelaku pasar yang tuntutan satu-satunya adalah kesetaraan akses pasar.13

66

dengan pemanfaatan koalisi dukungan bagi reformasi, dengan menghadang masukan

dari posisi yang berlawanan, dan penyingkiran oposisi.14 Mereka juga memainkan

se-buah peran ideologis penting dalam menyebarluaskan gagasan-gagasan Bank Dunia tentang pembangunan — yang kerap disebutnya “alih pengetahuan”. Poin sangat pent-ing di sini adalah mengatasi rintangan dalam menerapkan dan mempertahankan pasar liberal adalah inti dari SIN. Memang, bersama pengaruh terbuka NIE, adalah perangkat pengantar dan teknologi politik SIN yang paling membedakannya dari bentuk kebijakan pembangunan neoliberal sebelumnya.

Kombinasi perangkat pengantar dan teknologi politik SIN memainkan fungsi pent-ing, baik dalam upaya menyelaraskan kembali negara dan masyarakat sepanjang garis neoliberal maupun mengejar pengentasan kemiskinan ala liberal. Hal terpenting, pen-dekatan ini menghindari titik-titik lemah paradigmatik seperti kelas dan lokasi histo-ris suatu negeri di dalam lingkup ekonomi politik global yang secara analitis penting dalam desain program dan proyek, sekaligus mencoba memperluas hubungan sosial kapitalis. Alhasil, Cammack menuding komitmen pengentasan kemiskinan (melekat dalam SIN) Bank Dunia sebagai “nyata di dalam batas-batas”, namun “bergantung pada, dan sekunder untuk tujuan yang lebih luas”: pengekalan kelembagaan dan prasarana lain yang diperlukan bagi akumulasi kapitalis global dan transformasi hubungan sosial

(pro-letarianisasi) yang menyertainya.15

Meskipun seruan berulang-ulang para akademisi dan sejumlah kalangan me-mandang organisasi semacam Bank Dunia sebagai non-monolitik, bahkan sayap pal-ing “progresif ” dari organisasi ini menunjukkan sikap konsisten dengan kritik pedas yang dilontarkan kepada SIN dan proyek perluasan pasar liberal. Ini tidak lantas berarti bahwa secara internal Bank Dunia bebas dari beberapa keanekaragaman dan kontestasi intelektual. Namun, mereka yang memilih dan diterima bekerja dalam dunia organisasi, terlepas dari politik pribadi mereka, harus melekat erat dalam batasannya. Agen-agen tersebut (dipahami dalam istilah kontemporer sebagai ‘usahawan norma’ atau ‘agen pe-rubahan’) tentu harus mengikuti dunia “pernyataan dan pengucapan yang bisa diterima

di tempat tinggal mereka”,16 dikondisikan sebagaimana dunia ini didefinisikan dengan

jelas oleh batasan-batasan ideologi hegemonik. Selanjutnya, proyek Bank Dunia harus membagi-bagi kesatuan ikatan-negeri dengan rapi, difokuskan pada intervensi di area khusus yang diidentifikasi sebagai wilayah yang membutuh- kan pembaruan, dijalankan selama jangka waktu tertentu dan memiliki struktur pendanaan yang “cocok”. Pendek kata, Bank Dunia — kendati beberapa eklektisisme dalam staf-nya — bertanggung jawab untuk proyek dan program-program yang menunjukkan ketaatan sesuai dengan ideologi tertentu (neoliberalisme) dan selalu memelihara kekakuan tertentu lainnya dalam desain mereka.

Program Pengembangan Kecamatan yang didanai Bank Dunia, terkait dengan unit pembangunan sosial Bank Dunia di Jakarta, terutama membantu menjelaskan hal ini.

67

Program Pengembangan Kecamatan khususnya menarik banyak perhatian karena per-bedaannya tampak jelas dengan proyek lain Bank Dunia – kualitas yang sama sekali tidak

kecil dikaitkan dengan usaha mereka yang berada di tengah proyek ini.17 Namun, bagi

mereka yang secara kritis tertarik pada corak pembangunan neoliberal, ada banyak hal yang menakutkan tampak tidak asing dalam program itu. Memang, meski berpenampi-lan sebaliknya, dalam kenyataannya PPK banyak meletakkan penekanan kelem- bagaan SIN seperti modal sosial dan tatakelola (governance) dalam praktik. Menyuarakan hal senada, Tania Li menggambarkan tim pembangunan sosial Bank Dunia di Jakarta

seba-gai “pelopor dalam mengubah konsep menjadi program intervensi”.18 Mengikuti

Niko-las Rose, dan pengaruh yang tak dapat dihilangkan dari Foucault, TM Li melihat PPK

sebagai contoh “pemerintahan melalui komunitas”;19 sebuah gagasan yang menurutnya

mengandung banyak kecocokan dengan neoliberalisme. Dari perspektif ini, PPK dipan-dang sebagai contoh program pembangunan yang menampilkan masyarakat sebagai so-lusi untuk masalah-masalah tertentu — walaupun soso-lusi ini membutuhkan intervensi elite “pakar” yang diperhitungkan dengan hati-hati untuk mengolah dan memanen

man-faat nyata komunitas.20 Dalam hal PPK, Li berpendapat bahwa para pakar

menempat-kan masyarakat di pusat program besar dan mahal yang dirancang untuk memperbaiki kekurangan dan kegagalan perencanaan tata pemerintahan di Indonesia, sembari

meng-abaikan “hubungan-hubungan produksi dan alokasi yang tak setara”.21

Sebagaimana terbukti kemudian, analisis PPK yang disajikan di sini memiliki tim-bang rasa signifikan dengan kritik Li terhadap program itu, yang secara teguh mengikuti tradisi Ferguson dan lainnya. Secara khusus, analisis ini melihat pentingnya mengiden-tifikasi PPK sebagai suatu intervensi yang dirancang oleh pakar tertentu yang berop-erasi di dalam batasan opberop-erasional dan gagasan tertentu. Namun, analisis saya terhadap PPK lebih banyak dikondisikan oleh garis silsilah tertentu di dalam materialisme

his-toris22 ketimbang Foucault, menggeser fokus ke arah pemahaman program itu sebagai

contoh evolusi politik neoliberalisme yang sedang berlangsung. Pendek kata, artikel ini menekankan bagaimana upaya para “pakar” sebenarnya dikondisikan secara substantif dengan ideologi dan struktur, menghasilkan suatu program yang pada dasarnya meru-pakan sebuah mekanisme penyampaian besar-besaran dan inovatif untuk memperluas hubungan-hubungan sosial pro- duksi kapitalis dan infrastruktur (keras dan lunak) yang dibutuhkannya. Artikel ini meletakkan neoliberalisme (sebagai proyek yang didorong oleh kepentingan modal) — dan bukan para pakar — di tengah panggung analisis.

Dalam hal ini, PPK berusaha mengubah pola perilaku di pelbagai tingkat masyarakat (mencoba menormalisasi transparansi dan akuntabilitas serta memperdalam kompetisi) dengan menggunakan ketentuan pendanaan bagi infrastruktur yang terkait dengan keg-iatan produktif dan kredit mikro pada aras lokal sebagai sebuah insentif. Perubahan ini merupakan perhatian klasik SIN. Namun, pendekatan PPK dalam mengantarkan refor-masi yang membuatnya benar-benar berbeda dari mayoritas proyek yang biasanya terkait

68

dengan Bank Dunia (terutama wataknya yang sangat inklusif, memberi kuasa pengam-bilan-keputusan pada aras desa dan memastikan tingkat tinggi partisipasi perempuan). Dengan demikian, ketimbang memperhatikan PPK sebagai sesuatu yang menyimpang dari anomali dalam neoliberalisme, atau secara umum hanya cocok dengannya, analisis ini memandang PPK bersaing mencapai posisi kepeloporan, yakni sebuah proyek yang sesungguhnya, setidaknya dalam jangka pendek, memecahkan persoalan neoliberalisme paling berkanjang: pelaksanaan.

Pemerintah Indonesia menggambarkan PPK sebagai sebuah proyek yang bertujuan mengurangi kemiskinan dan memperbaiki tata pemerintahan di tingkat lokal

perde-saan Indonesia.23 Bagi Bank Dunia, yang menggolongkan PPK sebagai sebuah proyek

pemberdayaan masyarakat/perlindungan sosial, program itu digambarkan dalam makna lebih formal sebagai “perencanaan partisipatif dan pengelolaan pembangunan di perd-esaan melalui program luas infrastruktur sosial ekonomi, (yang) juga akan memperkuat institusi-institusi formal dan informal tingkat lokal melalui pelibatan lebih besar dan

akuntabilitas kebutuhan dasar pembangunan”.24 Program Pengembangan Kecamatan

telah melewati beberapa fase, masing-masing meluas secara signifikan dibanding fase sebelumnya. Versi percontohannya, pada 1997, meliput dua puluh lima perdesaan, fase pertama dan utama (PPK 1) mencapai 15.000 perdesaan dan sekarang mencapai lebih

setengah dari seluruh desa (sekitar 38.000) di Indonesia.25

Salah satu versinya pernah digunakan Bank Dunia di Aceh dan Sumatera Utara un-tuk membantu lingkungan pasca-tsunami dan proyek serupa dibenun-tuk kembali di

Af-ganistan, Timor Timur, dan Filipina.26 Inilah proyek pembangunan masyarakat terbesar

di Asia Tenggara,27 dan menjadi contoh utama dari apa yang disebut Bank Dunia sebagai

“scaling-up” — peningkatan pesat jumlah program-program baru untuk mengurangi kemiskinan.

Hal penting, program tersebut dipandang (khususnya mereka yang terjalin erat den-gan program ini) sebagai sesuatu yang secara substantif berbeda dari “proyek-proyek

pembangunan baku”.28 Ulasan singkat struktur PPK menggambarkan banyaknya

per-bedaan itu berasal. Di sini, watak pengantar pembaruan adalah kuncinya. PPK

menye-diakan dana hibah sebesar US$ 50.000-150.000 untuk tingkat kecamatan.29 Daftar umum

yang mendapatkan pembiayaan PPK begitu panjang dan mencakup banyak bidang. Na-mun, ada penekanan khusus yang ditujukan pada infrastruktur (ekonomi dan sosial)

yang dapat memfasilitasi output produktif dalam pasar.30 Dalam hal ini, Bank Dunia

menyatakan PPK telah memiliki tingkat pengembalian internal tinggi yang sebagian be-sar diperoleh dari perannya dalam memfasilitasi kegiatan ekonomi baru dan pengetatan

“kapasitas produksi terpendam/ditekan yang akhirnya dapat disalurkan ke pasar lokal”.31

Khususnya, program tersebut disanjung oleh Bank Dunia karena kapasitasnya dalam memproduksi infrastruktur berbiaya-rendah (yang diklaim telah membangkitkan 39 juta hari kerja dan memfasilitasi ekspansi peluang usaha) dan “751 ribu penerima pinjaman

69

Hal penting, PPK memasukkan proses “sosialisasi”, mengabarkan kepada orang

mengenai proyek itu dan menguraikan panjang lebar caranya beroperasi.33 Ini dianggap

sebagai hal menentukan bagi keberlangsungan proyek tersebut, menggambarkan pent-ingnya aturan yang sederhana (namun tegas) serta peran sentral fasilitator dalam pelak-sanaan proyek. Tahap sosialisasi PPK dipandang sebagai tahap mendasar yang penting untuk mendukung “keberhasilan proses dan kegiatan yang dilaksanakan pada tahap

berikutnya”.34 Keberadaan berbagai forum itu amat penting dalam proses ini.35 Awalnya,

istilah tentang PPK ditebar melalui lokakarya di tingkat provinsi, kabupaten, dan

ke-camatan, “untuk menyebarluaskan informasi dan mempopulerkan program tersebut”.36

“Lokakarya tersebut melibatkan tokoh masyarakat, pejabat pemerintah daerah, pers

dae-rah, perguruan tinggi, dan organisasi non-pemerintah (Ornop).37Pertemuan-pertemuan

kelompok, dusun, dan desa, juga diselenggarakan untuk menebar informasi lebih lanjut mengenai PPK serta “mendorong orang untuk mengajukan gagasan yang mendukung

PPK”.38

Rapat-rapat perencanaan selanjutnya dilakukan di tingkat dusun dan desa. Dalam pertemuan itu, fasilitator dari tingkat dusun hingga desa dilibatkan untuk menyebar in-formasi mengenai prosedur PPK dan mendorong pengajuan ide untuk pendanaan PPK. Pada tahap ini, kaum perempuan juga mengadakan rapat sendiri untuk memutuskan

“proposal perempuan”.39 Selanjutnya diadakan pertemuan desa membahas proposal

mas-ing-masing warga desa. Proposal yang terpilih kemudian diangkat ke forum kecamatan. Setiap desa mengajukan tiga proposal untuk dibahas dalam forum kelurahan, salah satu proposal berasal dari “perempuan desa dan proposal kedua diajukan oleh kelompok

sim-pan pinjam perempuan”.40

Semua itu kemudian dibahas di tingkat kelurahan. Proses verifikasi kelengkapan per-syaratan teknis masing-masing proposal juga dilakukan sebelum pemilihan proyek. Itu dilakukan untuk menilai kelayakan ekonomis dan teknis proyek bersangkutan, jumlah orang yang akan memperoleh manfaat dari proyek itu, perencanaan biaya atau pengem-balian pinjaman (bila melibatkan pinjaman), tingkat partisipasi orang dalam proses pe-nyusunan proposal, serta kontribusi masyarakat setempat. Proposal tersebut kemudian dibahas dalam rapat kelurahan kedua untuk menentukan urutan prioritas. Setelah ini, sekali lagi diadakan rapat desa, proposal dipilih dan perjanjian hibah dirancang untuk

proposal yang berhasil lolos.41

Hal penting, persaingan di antara proposal individu adalah fitur utama PPK. Apa-bila tidak dapat dicapai mufakat bulat, warga desa diberi kriteria untuk memprioritaskan proposal tertentu, sering kali dengan bantuan seorang fasilitator (dibahas lebih lanjut di

bawah ini).42

Menariknya, unsur persaingan ini disorot dalam pertemuan warga desa di Jawa Barat pada 2005 sebagai sebuah aspek tidak diinginkan dari proyek yang seharusnya

dihilang-kan.43 Salah seorang peserta pertemuan juga mencatat bahwa menyusun prioritas proyek

den-70

gan proses tawar-menawar yang terjadi antar-desa. Namun, bagi Scott Guggenheim

(mantan ketua tim program), konflik di dalam PPK bukanlah faktor utama.44

Salah seorang yang pernah bergabung dengan Guggenheim mungkin sedikit lebih hati-hati dengan menyatakan bahwa “mufakat di tingkat desa umumnya tercapai —

meskipun ada be- berapa perselisihan”.45 Dikatakannya, tidak mengherankan jika

fasili-tator dan konsultan (hampir semuanya orang Indonesia) menjadi sangat penting bagi pengelolaan dan pengoperasian PPK — hal ini diperkuat oleh banyak orang yang pernah

terlibat dalam program itu.46

Memang, barisan konsultan swasta sangat banyak (4.200 orang dalam PPK II) dili-batkan di semua tingkatan sampai ke tingkat kecamatan untuk “melaksanakan

aspek-aspek teknis proyek itu”.47 Selanjutnya, dua atau tiga orang fasilitator (setidaknya satu

laki-laki dan satu perempuan) dipilih untuk setiap desa yang berpartisipasi dalam PPK.48

Semua berada di bawah binaan Badan Pengembangan Masyarakat, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, yang bertanggung jawab atas pengelolaan PPK sehari-hari, untuk kepentingan Bank Dunia serta badan-badan pelaksananya. Kementerian lain di-wakili oleh tim koordinasi pemerintah, yang juga membantu manajemen PPK, dan ada

juga peran yang dimainkan di tingkat provinsi dan kabupaten.49

Sebagian besar proyek tersebut dibiayai oleh Bank Dunia. Sangatlah penting untuk memahami struktur pembiayaan PPK, khususnya karena program itu memakai sebuah pendekatan penanggulangan kemiskinan yang mengandalkan utang, di suatu negeri tem-pat 50 persen penduduknya berpenghasilan kurang dari US$ 2 per hari (tahun 2002),50 dan lebih dari 6 persen utang pemerintah sebesar US$ 144 miliar (tahun 2006) berutang

kepada Bank Dunia.51 Pada aras Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia, PPK adalah

kombinasi kredit (pinjaman tanpa bunga) dan pinjaman berbunga.52

Hal ini sendiri dianggap sebagai masalah besar oleh berbagai kalangan, mulai dari birokrat senior yang sebelumnya terlibat dalam PPK hingga organisasi non-pemerintah

yang terkait dengan proyek itu.53 PPK II, III dan IIIb memakai dana pinjaman berbunga

dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) maupun dana pin-jaman tanpa bunga dari International Development Association (IDA) dengan berbagai

tenggang jatuh tempo lima sampai sepuluh tahun.54

Kontribusi pemerintah pusat untuk proyek PPK pada dasarnya nol, meski kontribusi

Dalam dokumen Kebijakan Pembangunan Neo-liberal (Halaman 64-85)

Dokumen terkait