• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pembangunan Neo-liberal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kebijakan Pembangunan Neo-liberal"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

Neo-liberal Development Policy in

Asia Beyond the Post-W

ashing ton Consensus Toby Carroll International NGO Forum on Indonesian Development

Kebijakan Pembangunan Neo-liberal

di Asia Pasca-Konsensus Washington

Toby Carroll

(2)
(3)
(4)

Kebijakan Pembangunan Neo-liberal di

Asia Pasca-Konsensus Washington

(5)

Diterbitkan oleh:

INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) Jl. Jati Padang Raya Kav. 3 No. 105

Pasar Minggu, Jakarta 12540 INDONESIA

Email: infid@infid.org Website: www.infid.org Telp : +62 - 21- 7819734 Fax : +62-21-78844703

(6)

Daftar isi

Pendahuluan: Kebijakan Pembangunan Neo-liberal di Asia Pasca-Konsensus

Washington 7

Bekerja terhadap Negara, melalui Negara, dan tanpa Keterlibatan Langsung Negara: In-ternational Finance Corporation (IFC) dan Marketisasi Mendalam pada

Pemban-gunan di Asia-Pasifik 19

Politik Baru Pembangunan serta Munculnya Respon Kebijakan Pembangunan yang

Mendorong Sektor Swasta 53

Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal Bank Dunia dan Program Pengembangan Kecamatan di Indonesia 63

(7)
(8)

7

Journal of Contemporary Asia Vol. 42, No. 3, Agustus 2012

Pendahuluan: Kebijakan Pembangunan Neo-liberal di Asia

Pasca-Konsensus Washington

TOBY CARROLL

Pusat Kajian Asia dan Globalisasi, Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, Singapore.

ABSTRAK Makalah ini membahas sebuah isu khusus tentang kebijakan pembangunan neo-liberal kontemporer di Asia. Makalah ini mengkontekstualisasikan kondisi terkini kebijakan pembangunan neo-liberal yang telah berubah melampaui dua fase pendahu-lunya: yakni yang ingin membatasi peran negara dan melepaskan kekuatan-kekuatan pasar dan, selanjutnya, yang berorientasi ke arah pembentukan kembali negara dalam bentuk pasar liberal yang ideal. Sembari membangun dari leluhurnya, kebijakan neo-liberal kontemporer – apa yang kita sebut sebagai “bangunan pasar” – menampilkan sebuah bentuk baru dari berbagai forum dan modalitas yang tidak hanya terus melan-jutkan untuk menargetkan negara sabagai ajang dari perubahan (meski sering dengan berbagai cara baru) tapi yang juga yang secara teratur bekerja di ranah negara guna me-nyemaikan kegiatan sektor swasta. Selain itu, sebagai produk pada masanya, bangunan pasar menggabungkan peningkatan pengaruh atas risiko dan managemen risiko den-gan risiko pelaksanaan program dan modal merupakan pusat perhatian utama dalam agenda neo-liberal saat ini. Namun, seperti halnya dengan fase awal neo-liberal, agenda bangunan-pasar adalah keduanya dikendalikan dan memproduksi pola tertantu dari politik. Sebagaimana makalah-makalah di edisi spesial ini menunjukkan, barangkali tiada tempat lain yang lebih menarik daripada realitas di Asia, di mana pola baru dan berani dari akumulasi modal begitu nyata dan dimana juga, Negara-negara bangsa tidak lagi secara material tergantung pada organisasi seperti Bank Dunia seperti sebelumnya. Kata kunci: Bangunan pasar, neo-liberalism, pasca-Konsensus Washington, Konsesus Washington

Edisi khusus Journal of Contemporary Asia menyatukan enam artikel yang me-neliti berbagai aspek mutakhir dari upaya-upaya neo-liberal untuk memberi gam-baran tentang hubungan pasar: upaya kita sebut sebagai “bangunan pasar.”1 Setiap kontribusi melihat pada contoh bangunan pasar di Asia dengan badan-badan mul-tilateral dan bilateral yang mengatasnamakan pembangunan. Setiap kontribusi juga mengambil serius gagasan bahwa berbagai ukuran bangunan pasar adalah bagian dari dorongan baru guna mewujudkan hubungan sosial kapitalis, menurut gam-baran neoliberal tertentu, dalam skala yang benar-benar global, dan, lebih jauh, bahwa dorongan baru ini menuntut perhatian analitis kritis yang segar (lihat

(9)

Cam-8

mack, 2009; Cammack, 2012; Carroll 2012).

Dioperasikan melalui pelembagaan disiplin pasar kompetitif untuk area baru dan, di mana sudah ada, untuk derajat baru, bangunan pasar dengan cepat, meski-pun sering diam-diam, mentransformasikan gagasan-gagasan pembangunan. Di sini, penanaman peraturan sektor pro-swasta secara konsisten, semakin pentingnya ditempatkan pada pengelolaan konsepsi risiko tertentu, advokasi berbasis luas dari kemitraan publik-swasta, dan peningkatan dramatis dalam dukungan perantara keuangan untuk menciptakan sektor perusahaan mikro, kecil dan menengah, se-mua fitur menonjol dalam menekan bangunan pasar. Lebih dari sekedar memband-ingkan perubahan untuk “membiarkan kekuatan pasar bekerja” atau “membangun institusi untuk pasar,” unsur-unsur di dalam liputan edisi khusus ini mencakup se-mua agenda teknokratis yang dioperasionalisasikan atas nama pembangunan. Pent-ingnya lagi, meskipun beberapa sirine lonceng kematian neo-liberalisme menggema akhir-akhir ini, fase baru ini telah mendapatkan dukungan meningkat dalam era “darurat ekonomi permanen’’ (Zizek, 2010).

Bagi mereka yang terlibat dalam pembangunan pasar atas nama pembangunan, konstitusi kapitalisme yang tidak sempurna dalam ilustrasi tertentu memerlukan upaya “pengobatan” kuat untuk mendorong berbagai “ilmu pengetahuan” (melalui bantuan teknis), “membentuk” berbagai lembaga tertentu dan membesarkan semua ruang baru kegiatan sektor swasta lewat mitigasi risiko dan instrumen baru berupa bantuan keuangan (sering langsung ke sektor swasta). Tidak hanya dibatasi pada ne-gara yang berorientasi reformasi (pro-pasar), sebagaimana yang terjadi di masa lalu, berbagai upaya pembaruan ini - mencerminkan peralihan dalam ekonomi politik global dan bersamaan dengan pembaruan politik pembangunan (dibahas di bawah) - bekerja pada, melalui dan di seluruh negara, dengan setiap komponen reformasi saling mengacu dan melengkapi yang lain. Secara krusial, meskipun tidak dapat disangkal bahwa berbagai upaya neo-liberal, bangunan pasar baru bergerak lebih dalam ketimbang fase terdahulu kebijakan pembangunan neoliberal - kenyataan yang tidak sesuai realita untuk menganalisa terjebak pada cara sederhana negara/ non-negara dalam memahami bentuk neo-liberalisme dan pengaruhnya.

Jika Konsensus Washington dan strategi penyesuaian struktural pada 1980-an semua tentang mengurangi peran negara untuk membebaskan pasar, dan pasca-Konsensus Washington berikutnya pada 1990 dan awal 2000-an adalah “mengem-balikan peran negara” untuk mendukung pasar, bangunan pasar sebagai sebuah proyek pembangunan dalam kapitalisme akhir merupakan – pemanfaatan gagasan ide pembangunan en vogue – dengan pendekatan “masyarakat secara keseluruhan’’ yang menggabungkan sektor publik dan swasta di dalam pelembagaan aturan pro-pasar yang kuat di mana risiko terhadap modal diprioritaskan dan dikurangi, dan di mana risiko semakin dibebankan ke masyarakat dan individu. Sementara dorongan

(10)

9

ini tidak hanya menyebar dari negara transnasional/supranasional ke ranah domes-tik di negara berkembang (polidomes-tik membuat mewujudkan tujuan akhir ideal dari bangunan pasar tidak mungkin), realita nyata, lebih rumit dan kontestasi sekarang menjadi fokus perhatian. Realitas ini melukiskan kembali hubungan antara negara dan warga negara dan menjerat keduanya dalam pola pikir cari untung/akumulatif/ kompetitif global yang dijual atas dasar peningkatan kesejahteraan dalam kondisi-kondisi material obyektif akan tetapi menghasilkan ketimpangan yang besar.

Dalam konteks geografis dan politik, Asia merupakan kasus paripurna untuk konsepsi dan penelitian proses bangunan pasar di bawah kapitalisme akhir, bu-kan hanya karena unsur-unsur dalam penyelidibu-kan sedang dikerahbu-kan di wilayah ini tetapi juga karena Asia merupakan tuan rumah bagi 60% dari populasi dunia, mayoritas penduduk miskin di dunia, dan - secara bersamaan dan berhubungan – merupakan pusat produksi global dan mata rantai konsumsi. Selanjutnya, analisa pengukur bangunan pasar dalam konteks Asia juga memerlukan keterlibatan baik implisit dan eksplisit dengan berbagai “kebangkitan Asia”/tesis dunia multi-polar yang populer sekarang. Dalam poin akhir ini, berbagai sumbangsih atas isu ini men-unjukkan bahwa sementara Asia bisa menjadi “kutub” penting dalam kancah dunia baru, khususnya dalam hal pertumbuhan (Cammack, 2012), maksud sebenarnya ini (bersama dengan konsep pasar itu sendiri) perlu dibongkar untuk mengungkap basis yang sebenarnya dan dinamika pertumbuhan di wilayah ini, pola operasi tata kelola pemerintah dan berbagai perjuangan dan berbagai hasil terkait dengan hal tersebut. Proses-proses dan aktor-aktor yang disebut dalam berbagai artikel edisi khusus ini jelas menampakkan kondisi di mana sebuah pergolakan besar sedang berlangsung dimana struktur pemerintahan dan hubungan sosial yang lebih luas dianggap sebagai penghubung atau penghalang untuk memperdalam pola tertentu dari pertumbuhan dan akumulasi – sebuah proses yang memerlukan perjuangan yang signifikan sebagai kekuatan sosial dengan berbagai cara menolak, membantu dan / atau mengkapitalisasi nilai bangunan pasar. Dengan kata lain, sementara mo-dalitas institusionalisasi pasar baru yang sedang diteliti merupakan wujud nyata dari “gagasan” ideal tatanan sosial, politik, dan ekonomi di bawah kapitalisme akhir, su-sunan dan fungsi dari modalitas ini sangat diperebutkan di ranah hukum, yang se-cara teratur menghasilkan ketidakstabilan, (untuk sebagian) tidak terduga dan hasil yang semu (etsatz).

Selanjutnya, edisi khusus ini menyertakan enam artikel-artikel kritis yang meng-konsepsikan dan meneliti secara empiris peran baru, proses dan perjuangan terkait dengan organisasi-organisasi multilateral dan bilateral dan bangunan pasar di Asia. Semua kontributor memandang berbagai proses terkait bangunan pasar sebagai fokus analitis sentral dalam kapitalisme akhir, serta setiap penulis menyadari bahwa organisasi-organisasi dalam penelitian di edisi ini sangat sentral dalam mengope-rasikan proyek bangunan pasar dan bahwa aktor negara dan non-negara, seperti

(11)

10

Lembaga Swadaya Masyarakat, telah menjadi sasaran reformasi bangunan pasar baru dan juga menjadi komprador/pembelanya. Yang juga diakui semua kontribu-tor adalah bahwa organisasi karib neo-liberal, seperti Bank Dunia, kini memainkan peran agak aneh dalam “mendorong pembangunan” dan memang, gagasan tentang apa yang disebut “pembangunan” sedang disusun ulang. Di sini, dukungan sektor swasta dan operasi mitigasi risiko yang sangat dikuasai oleh badan-badan multi-lateral sangat terkait dengan pendekatan baru yang mana organisasi publik seperti Bank Dunia sedang bermain dalam pembangunan pasar-pasar dengan kesan tert-entu di Asia.

Dalam banyak hal, modalitas bangunan pasar baru dalam penelitian ini bermula dari kemunculan politik pembangunan - politik yang mendorong aktor-aktor pem-bangunan ternama untuk mengubah cara mereka mengatur reformasi negara dan campur tangan yang pro-pasar lainnya. Ini terutama diperlukan dalam arti politik untuk lembaga multilateral dan bilateral dalam lingkungan di mana kisah sukses pembangunan yang dicapai dari reformasi neo-liberal secara matang telah ambigu dan pengaruh yang dimiliki lembaga-lembaga tersebut atas negara secara teratur menjadi tantangan pembangunan terkini dalam ekonomi politik global. Di sini, kemunculan (yang harus diletakkan dalam konteks yang lebih bijak/tidak angkuh) dari negara-negara yang mulai terlibat atau “Pasar Baru”, seperti yang disebut BRIC (Brasil, Rusia, India dan Cina), sebagai kontributor penting dalam pertumbuhan ekonomi global; gudang cadangan devisa asing; dan peserta dalam bantuan pem-bangunan resmi, kegiatan penggusuran, mengubah banyak hal terutama untuk lem-baga multilateral dan reformasi pasar. Pergeseran - yang telah dideskripsikan selem-bagai pergeseran ke “multipolaritas” (Lin, 2011: xiii) – sebagian tercermin dengan desakan untuk representasi yang lebih besar negara-negara yang sebelumnya selaras den-gan pengambilan keputusan di lembaga-lembaga multilateral. Namun, perubahan itu juga tercermin dalam pergeseran pengaruh di ranah domestik, dimana negara-negara tersebut sekarang kurang membutuhkan pendanaan multilateral dibanding saat sebelumnya. Bahkan, negara-negara seperti Cina kini menjadi pesaing sengit bagi sumber pembangunan resmi tradisional karena mereka telah menjadi sumber keuangan dan infrastruktur dalam suasana di mana pasar modal juga lebih dalam dan lebih mengglobal. Fakta terakhir ini penting dalam menentukan arah politik pembangunan baru dan ukuran bangunan pasar, yang sepadan dengan kenyataan berkurangnya peluang meraup keuntungan untuk modal di banyak negara maju dan pencarian ladang baru di tempat lain.

Meski yang pasti, untuk semua pembahasan tentang multi-polaritas dan pertum-buhan tinggi (yang terakhir bukanlah hal baru bagi banyak negara Asia), sebagian besar negara di kawasan ini masih menghadapi tantangan besar dalam meningkat-kan kesejahteraan. Sementara Pendapatan Nasional Bruto (PNB) di negara anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan pembangunan (OECD) berada sekitar US $41

(12)

11

triliun (PNB dunia sekitar US$60 triliun) atau sekitar US$ 35.000 per kapita, PNB untuk semua Asia Timur dan Pasifik sekitar US$12,5 triliun atau US$5.953 per ka-pita atau sekitar sepertujuh dari negara-negara OECD. Untuk beberapa kalangan, angka-angka ini mungkin tampak tinggi, namun angkanya agak menipu dan jika anggota OECD Jepang dan Korea dihilangkan. Sesungguhnya, Jepang dan Korea memiliki 176 juta populasi - atau 8% - di kawasan dengan populasi 2,1 miliar tapi memiliki lebih dari US$6 triliun dari GNI regional. Menghilangkan dua ekonomi negara tersebut menurunkan per kapita regional menjadi sekitar US$3.334. Bahkan angka ini menutupi angka pendapatan per kapita yang lebih rendah, misalnya, Laos dan Kamboja dengan GNIs per kapita masing-masing US$880 dan US$650).2

Tentu saja, nilai agregat PNB melukiskan gambaran yang sumir yang sering tidak bisa memuaskan mereka yang bergelut dengan kondisi kualitatif di lapangan. Me-mang, di seluruh Asia, isu-isu pembangunan - terkadang bergeser ke bentuk yang mereka inginkan - tampaknya hanya meningkat besar ukuran saja. Misalnya, ket-impangan dan dampak politik dan ekonomi (konsumsi yang terlalu rendah dan perampasan, kohesi sosial) melimpah. Di Cina, hasil pertumbuhan ekonomi yang sangat asimetris adalah fakta yang memisahkan tidak cuma desa-kota tetapi juga meningkatkan kesenjangan kota/kota yang semakin nyata, dengan kaum elit baru yang mampu “mengkonsumsi super” dan banyak pekerja (terutama pekerja migran staf perusahaan yang mendukung pertumbuhan China) terjerembab ke konsumsi rendah dan bentuk peminggiran warga negara yang hanya memperkeruh keadaan. Indikasi kondisi ini adalah ketimpangan Cina yang meningkat pesat, dengan koe-fisien Gini naik dari 0,28 pada 1983 menjadi 0,473 pada 2009 (Selden dan Wu, 2011: 3, 6).

Di tempat lain di Asia potret pertumbuhan yang mengesankan ini dengan masalah yang terus ada dan persoalan yang semakin dalam bagi kebanyakan orang adalah bukti dalam perjuangan mencari uang dalam keluarga Jawa ketika anggota keluarga membutuhkan perawatan medis atau ketidakmampuan bagi kebanyakan orang untuk pulih setelah bencana alam, seperti Tsunami 2004 yang melanda daerah Aceh dan area sekitarnya. Lalu lintas macet dan infrastruktur yang sangat tidak me-madai yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan di kota besar seperti Jakarta atau Manila, jangan lupakan degradasi lingkungan dan alinasi yang meny-ertai pembangunan di sebagian besar Asia, hanya memperindah citra ini. Untuk banyak negara di kawasan Asia dan di luarnya, kenyataan ini telah menyebabkan semua jadi lebih buruk oleh berbagai krisis kapitalisme akhir, dengan arus modal yang terkadang membeku sementara dan goyahnya permintaan eksport (kondisi yang mungkin paling tepat dicirikan dengan kosongnya pabrik-pabrik di Cina tidak lama setelah krisis ekonomi global melanda). Negara-negara di Asia juga mengha-dapi persoalan besar dalam kaitannya dengan perubahan kondisi iklim dan mer-oketnya harga pangan, yang terkadang membulatkan racikan spekuliasi najis,

(13)

pen-12

imbunan, dan perampasan tanah. Khususnya terkait hal terakhir, ekspor tanaman untuk bahan bakar seperti kelapa sawit saat ini masyhur di Asia untuk menghasilkan kekayaan yang sangat banyak bagi segelintir di atas lahan yang dulunya hutan tropis yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat (isu-isu ini, lihat Gellert, 2010 dan Westra, 2011).

Semua ini berfungsi baik untuk meningkatkan pengaruh politik baru pemban-gunan sebagaimana dijelaskan di atas dan menyajikan titik awal bagi upaya respon-sif baru yang berasal dari organisasi-organisasi yang menjadi fokus di edisi khusus ini. Seperti yang akan dijelaskan, tanggapan tersebut meneruskan orientasi terhadap perubahan yang dipicu pasar yang dalam banyak kasus telah secara langsung dan tidak langsung terkait dengan berbagai masalah yang disorot di atas. Namun, bu-kannya persoalan tersebut secara fundamental mengancam neo-liberalisme, modal-itas bangunan pasar baru yang diselidiki dalam edisi ini menunjukkan kemampuan neo-liberalisme berkembang dalam menghadapi tantangan atas legitimasinya. Me-mang, karena banyak kontribusi dalam edisi ini menjelaskan, krisis dan kontradiksi neo-liberalisme dan pola akumulasi modal yang menyertainya telah menghasilkan tekanan yang kuat untuk sebuah evolusi dalam reformasi neoliberal reformasi - suatu realitas tercermin dalam standar ukuran bangunan pasar kontemporer. Seba-gaimana telah disebutkan dengan singkat di atas, istilah “bangunan pasar” diguna-kan di sini dan di seluruh edisi khusus sebagai istilah umum untuk menunjukdiguna-kan berbagai proses pelembagaan pasar. Proses ini harus dipahami sebagai bagian dari evolusi neo-liberalisme yang sedang berlangsung dan yang memiliki akar langsung “fase tengah” neo-liberalisme - fase sering mengacu pasca-Konsensus Washing-ton (PKW) (Carroll, 2010; Stiglitz, 2001). Sebelum PKW, kegiatan neo-liberalisasi meliputi penyesuaian struktural dan Konsensus Washington berupaya untuk me-masung atau mengerdilkan peran negara melalui privatisasi, liberalisasi, deregulasi dan penghematan fiskal dalam suatu proses yang telah dijuluki oleh para ekonom politik kritis sebagai “menarik kembali neo-liberalisme” (Brenner dan Theodore, 2002: 26; Williamson, 1990; WilliamSon, 2000). Beranjak dari hal ini dan berag-amnya reaksi dari dalam neo-liberalisme atas pertentangan mengikuti Konsensus Washington dan krisis legitimasi yang dihasilkan, pendukung PKW seperti Joseph Stiglitz mendorong peran yang lebih luas bagi negara sebagai pengawas peraturan aktivitas pasar, bagian penting dari apa yang sebagian orang sebut sebagai “membu-ka” neo-liberalisme (Brenner dan Theodore, 2002: 27; Carroll, 2010; Stiglitz, 2001). Simbol dari PKW adalah persyaratan tanpa henti oleh Bank Dunia tentang ben-tuk dan fungsi negara dengan cara melengkapi pasar, kecenderungan ini tampak nyata dalam seri Laporan Pembangunan Dunia tahunan (lihat laporan 1997 dan 2002 sebagai contoh). Spesifikasi bentuk dan fungsi negara ini didampingi beragam prakarsa yang dirancang untuk menargetkan negara tidak sebagai musuh dari pasar (seperti yang terjadi dengan, misalnya, penyesuaian struktural) melainkan sebagai

(14)

13

pijakan reformasi di mana negara perlu dibangun kembali (rolling out) dalam citra pasar yang kompatibel. Krusial, citra ini - yang dirancang dengan cara yang sangat teknokratis - menuntut bahwa negara, terisolasi dari politik, menyediakan fungsi-fungsi dan pengaturan lainnya yang dipandang oleh pasar sebagai syarat untuk “bi-aya transaksi” dan “informasi asimetris” yang harus dikurangi dan efisiensi pasar bisa direalisasikan.

Mengingat bahwa PKW melibatkan bentuk tertentu dari negara - apa yang Jayas-uriya (2000) dan teman-temannya sebut sebagai “negara pengatur” - perlu dipahami bahwa PKW menyaratkan dampak signifikan bagi hubungan antara negara dan war-ga newar-gara. Sementara proses pengerjaan ulang hubunwar-gan antara newar-gara dan warwar-ga negara telah dituangkan dalam bentuk yang brutal di bawah penyesuaian struktural (dimana negara sering dipaksa untuk meninggalkan pemenuhan layanan penting bagi masyarakat), PKW menyaratkan konstitusi yang lebih dalam untuk mendikte pasar ke dalam kelembagaan aparatur negara. Salah satu capaiannya adalah bahwa hasilnya terkadang tidak jelas kelihatan ketimbang di bawah penyesuaian struktural. Namun, untuk memastikan, putaran “pembangunan institusi”- bagian dari apa Gill (2000) tangkap dengan menawan dalam konsep “konstitusionalisme baru” - men-yaratkan masyarakat untuk menerima tidak hanya bahwa hubungan pasar dan kom-petisi sosial bukanlah satu-satunya pilihan namun susunan lembaga-lembaga terse-but “secara normatif baik.” Dilihat dalam konteks ini, lembaga pengatur independen yang menguasai pelaksanaan layanan swasta secara khusus dihargai. Namun, agak menawan dan membingungkan bagi sebagian orang, adalah dimasukkannya pene-kanan pada jaring pengaman sosial, kesehatan dasar dan pendidikan, dengan dua yang awal dianggap penting dalam menjaga reformasi pasar dan yang terakhir pent-ing dalam menpent-ingkatkan sumber daya manusia.

Secara singkat, agenda PKW dikembangkan dan dijalankan dengan cetak biru yang muncul untuk mengatur negara apa yang boleh dilakukan dan yang tidak, se-mentara juga menetapkan tuntutan, harapan dan hak-hak yang warga negara akan miliki terkait dengan negara baru dan “secara normatif baik.” Di sini, warga mem-pertahankan haknya untuk terlibat dalam membangun institusi baru dari pasar, dengan kemitraan dan proses partisipatif dari PKW penting dalam menyusun ulang kewarganegaraan, mengembangkan konstituensi untuk perubahan dan mengkar-antina lembaga yang bukan konstituen neoliberal (lihat Jayasuriya dan Hewison, 2004). Selain itu, warga negara, tentu saja, dikonseptualisasikan lebih jauh sebagai konsumen, klien, buruh dan produsen dalam sebuah masyarakat kompetitif. Na-mun, di luar ini, dengan absennya keputusan kelembagaan yang dibuat selain yang berkenaan dengan mewujudkan negara pasar, batas-batas pasar kewarganegaraan menjadi sangat sempit dan perlu ditilik secara teknokratis.

Namun, berbagai kontribusi dalam edisi ini membuat jelas, modalitas neo-lib-eralisme dan bangunan pasar saat ini tidak tinggal diam dengan peraturan PKW

(15)

14

negara mereka. Memang, mereka jauh dari itu. Sementara banyak bangunan pasar era kontemporer memperluas proses fase awal neo-liberalisme, misalnya den-gan meneruskan pola marketisasi melalui dukunden-gan kemitraan publik-swasta dan pengembangan aturan hukum baru untuk sektor-sektor tertentu, banyak yang beru-bah. Sebagaimana Paulus Cammack tunjukkan dalam makalah pertama di edisi ini, bangunan pasar harus dilihat sebagai bagian dari proyek yang lebih besar, yang be-rakar dalam Adam Smith dan diakui oleh Marx dan Engels (1978), untuk mengem-bangkan kapitalisme dalam skala yang benar-benar global. Manifestasi terkini dari proyek ini, yang hanya diperoleh dalam momentum, saat ini menempatkan risiko sebagai pusat strategi untuk menciptakan pasar global. Karena alasan inilah kontri-businya Cammack untuk memahamkan bangunan pasar membuat perbedaan pent-ing antara “risiko negatif ” (risiko yang mengancam takaran bangunan pasar dan proyek neo-liberal yang lebih luas) dan “risiko positif ” (risiko yang takaran bangu-nan pasar coba untuk bangkitkan dan dorong melalui pebangu-nanaman hubungan sosial kompetitif). Cammack menunjukkan bagaimana pengertian tentang risiko yang tertanam dalam literatur berpengaruh pada politik ekonomi reformasi dan dalam strategi “manajemen risiko sosial” dari dua inti pembangun pasar: Bank Pembangu-nan Asia dan Bank Dunia.

Sama pentingnya dengan makalah Cammack untuk edisi ini, dalam artikel ked-ua saya rinci bagaimana kadar bangunan pasar sekarang bekerja pada, melalui dan di sekitar negara dalam proses menciptakan pasar kapitalisme global dan yang pent-ing, pergeseran pola pemerintahan dan akumulasi modal di Asia. Makalah ini me-nekankan bahwa meskipun bentuk-bentuk awal dari neo-liberalisme bekerja pada dan melalui negara, konstitusi pasar dalam citra neo-liberal sekarang sering “lang-sung ke sektor” - yakni lang“lang-sung ke ranah swasta. Saya mengkonsepsikan proses kekuatan sektor swasta Bank Dunia, Kerjasama Keuangan Internasional (Interna-tional Finance Corporation), dan sektor swasta lainnya--dana organisasi publik ter-libat dalam “pendalaman pemasaran pembangunan.” Muncul pendekatan di dalam praktik pengarusutamaan pembangunan yang berpusat pada mitigasi risiko untuk modal dalam mengejar terbukanya dan memperluas lingkup akumulasi. Mitigasi risiko ini dan kreasi pasar yang ada melibatkan strategi baru dan instrumen yang dioperasionalkan di dunia berkembang, termasuk memprioritaskan ukuran pato-kan kompetitif baru dan penyebaran investasi ekuitas dan pinjaman kepada enti-tas seperti perantara keuangan. Sementara strategi ini dengan cepat menjadi gaya “pembangunan” terakhir, saya menasihatkan bahwa imbalan dari inisiatif tersebut akan rendah dan potensi untuk merusak bentuk perlindungan pemerintahan dan menciptakan gelembung ekonomi yang besar tinggi.

Dalam makalah ketiga, Shahar Hameiri menunjukkan bagaimana kadar ban-gunan negara telah mengadopsi gagasan “kegagalan negara” sebagai pintu masuk untuk menyebarkan serangkaian tindakan yang bertujuan membangun kapasitas

(16)

15

negara tertentu dan, melalui struktur kelembagaan yang pasar dipandang perlu, mendukung pengembangan pasar liberal. Fokus pada Misi Bantuan Regional untuk Kepulauan Solomon (RAMSI) intervensi Australia di Kepulauan Solomon, Hameiri menyajikan nuansa analisis tentang bagaimana logika teknokratik bangunan ne-gara telah diterapkan dan bagaimana, kemudian, lintasan pembangunan telah ber-jalan, dengan hasil yang tidak diinginkan jelas kelihatan. Dia menjelaskan bahwa sementara berbagai upaya terkait dengan RAMSI telah membantu dalam mening-katkan kegiatan ekonomi, mereka dengan tanpa sadar bertindak untuk mengurangi risiko untuk akumulasi primitif,” yang paling menonjol di sektor kehutanan. Di sini, kekhawatiran yang sangat nyata ada bahwa pola kegiatan ekonomi tidak hanya san-gat tidak berkelanjutan dalam hal menguras sumber daya pokok tetapi itu juga bisa berfungsi sebagai dasar menumbuhkan bentuk konflik sosial dari bawah.

Fokus pada sumber daya alam dan bangunan pasar juga menjadi tema untuk artikel keempat dalam edisi khusus oleh Pascale Hatcher. Hatcher membuat catatan usaha Grup Bank Dunia (GBD), menyusul Review Industri Ekstraktif 2003, untuk tetap terlibat di negara berkembang, tapi sangat kaya sumber daya ekonominya. Berfokus pada Filipina, Papua New Guinea dan Laos, tiga negara yang mendapat dana hibah besar untuk sumber daya alam, Hatcher melukiskan cara di mana GBD memainkan peran penting dalam tata kelola ulang pertambangan, mencoba untuk membangun rezim pemerintahan tertentu untuk ekstraksi sumber daya. Rezim-re-zim, yang meliputi jaminan sosial dan lingkungan, bertugas, pertama dan terutama, menuju mitigasi risiko pada industri di atas dan di bawah yang dihadapi oleh pen-duduk lokal. Namun, sementara rezim baru membantu penetrasi modal ke negara-negara kaya sumber daya alam, mengubah pengertian risiko dan tanggung jawab, permusuhan lokal dan nasional yang ekstraksi sumberdaya hasilkan tidak begitu mudah dipahami oleh kaum teknokratis dari GBD. Sebagaimana Hatcher jelaskan, kenyataan ini mungkin, memang, berarti bahwa dalam jangka panjang upaya GBD mungkin tidak dapat dipertahankan.

Dalam makalah kelima, Andrew Rosser dan Thomas Wanner melanjutkan penyelidikan tentang hubungan antara risiko dan bangunan pasar dengan mem-berikan analisis kritis atas kerja Australian Agency for International Development (AusAID). Identifikasi risiko sebagai fokus baru dalam ukuran bangunan pasar, Rosser dan Wanner menunjukkan bahwa agenda ini muncul dari kepentingan politik dan sosial tertentu. Mereka berpendapat bahwa sementara kebijakan dan pedoman AusAID berorientasi pada pengelolaan luasnya susunan risiko, poin yang lebih penting adalah bahwa manajemen risiko telah ditargetkan pada persoalan uta-ma dari pengembangan pasar neo-liberal dan mengauta-mankan tujuan kebijakan luar negeri Australia secara lebih luas. Study menunjukkan bahwa upaya mitigasi risiko AusAID telah merugikan konstituen miskin yang tinggal di negara tempatnya ber-operasi. Dipertajam dengan program Kemitraan Filipina-Australia untuk Reformasi

(17)

16

Tata Kelola Ekonomi sebagai wujud nyata dari fusi manajemen risiko dan bangunan pasar dalam bantuan pembangunan resmi, Rosser dan Wanner meminta perhatian jauh lebih besar yang harus dibayar dengan isu inklusi dan masyarakat sipil.

Dalam makalah keenam dan terakhir untuk edisi khusus ini, Darryl Jarvis me-mandang upaya untuk menanamkan negara hukum di Indonesia dan, khususnya, tata kelola sektor kelistrikan. Sebagai contoh unggulan bangunan pasar, Jarvis me-nantang ortodoksi pembangunan dengan menanyakan apakah, dalam cara penuh makna, negara hukum bisa hadir di negara seperti Indonesia dan apakah, memang, kita menginginkan mereka. Di sini, perhatian utama Jarvis tidak hanya kemungki-nan penerapan negara hukum tapi yang terpenting, logika menggabungkan negara hukum dengan peningkatan kesejahteraan sosial. Jarvis membongkar gagasan ten-tang negara hukum yang secara kritis dan empiris membumi, mendetailkan bahwa banyak dari apa yang membentuk “pemerintahan yang baik” untuk yang semisal Bank Dunia, secara khusus mendukung penetapan lembaga-lembaga standardisasi dan aturan yang akan diadopsi oleh negara, bisa jadi membantu dalam melindungi kemunduran negara-negara terbelakang.

Setiap makalah dalam edisi khusus ini mencoba untuk mengkonsepsikan proses marketisasi di Asia yang kadang ruwet dan berjumlah besar dan politik ini - baik politik yang menghasilkan ukuran marketisasi baru di awal tempatnya dan apa yang standard marketisasi, pada gilirannya, hasilkan dan jumpai. Pada dasarnya kumpu-lan makalah ini bertanya secara kolektif apa arti neo-liberalisme di bawah kapital-isme akhir dan apa, yang terpenting, itu berarti di wilayah yang paling dinamis di dunia: Asia. Mengingat ciri khas fokus edisi khusus ini, diharapkan bahwa ide dan analisis yang disajikan di setiap artikel ini akan menjadi titik penting untuk putaran baru analisis berorientasi pada pemahaman lintasan neo-liberalisme dalam ekono-mi politik global yang penuh gejolak dan, khususnya, pengaruhnya dalam ekonoekono-mi dan masyarakat menghadapi tantangan pembangunan besar.

Catatan

1 Makalah-makalah berasal dari lokakarya yang diselenggarakan di Sekolah Lee Kuan Yew of Public Policy di Universitas Nasional Singapura pada April 2011. Lokakarya, bagian dari proyek berjudul Pen-dekatan Baru untuk Pasar Pembangunan di Asia, ini didanai oleh Kementerian Pendidikan Singapura Tier 1 Dana Penelitian Akademik Pemberian judul yang sama.

2 Angka-angka GNP yang ada di sini dihitung secara manual oleh penulis menggunakan alat Data-Bank, Bank Dunia. Angka untuk 2009 dalam US$ dan berasal dari daftar negara-negara Bank Dunia di kawasan Asia dan Pasifik (EaaP) demarkasi regional. Pendapatan per kapita sub-region dihitung dengan menjumlahan total GNP tiap negara yang mana Bank ada datanya untuk membaginya sesuai dengan jumlah populasi. Untuk negara-negara tertentu (misalnya Brunei, Korea Utara, Myanmar, Timor-Leste dan Tuvalu) di kawasan ini ada baik data yang tidak lengkap atau tidak ada dalam data-bank Dunia untuk periode waktu yang dicakup. Oleh karena itu, angka-angka untuk negara-negara ini tidak termasuk dalam perhitungan di atas.

(18)

17 Referensi

Brenner, N. and N. Theodore (2002) “Cities and the Geographies of ‘Actually Existing Neoliberalism,’” in N. Brenner and N. Theodore (eds), Spaces of Neoliberalism, Malden: Blackwell, pp. 1–32.

Cammack, P. (2009) “All Power to Global Capital!,” http://e-space.openrepository. com/e-space/ bitstream/2173/67573/1/All%20Power%20to%20Global%20Capital. pdf, (downloaded 20 June 2011).

Cammack, P. (2012) “Risk, Social Protection and the World Market,” Journal of Contem-porary Asia, 42, 3, pp. 359–77.

Carroll, T. (2010) Delusions of Development: the World Bank and the post-Washing-ton Consensus in Southeast Asia, London: Palgrave-MacMillan.

Carroll, T. (2012) “The Cutting Edge of Accumulation: Neoliberal Risk Mitigation, the Baku-Tbilisi- Ceyhan Pipeline and its Impact,” Antipode, 44, 2, pp. 281–302. Gellert, P. (2010) “Rival Transnational Networks, Domestic Politics and Indonesian

Timber,” Journal of Contemporary Asia, 40, 4, pp. 539–67.

Gill, S. (2000) “The Constitution of Global Capitalism,” http://www.theglobalsite.ac.uk/ press/010gill.htm (downloaded 29 June 2011).

Jayasuriya, K. (2000) “Authoritarian Liberalism, Governance and the Emergence of the Regulatory State in Post-Crisis East Asia,” in R. Robison, M. Beeson, K. Jayasuriya and H. R. Kim (eds), Politics and Markets in the Wake of the Asian Crisis, Lon-don: Routledge, pp. 315–30.

Jayasuriya, K. and K. Hewison (2004) “The Antipolitics of Good Governance: From Global Social Policy to a Global Populism?” Critical Asian Studies, 36, 4, pp. 571– 90.

Lin, J. (2011) “Foreword,” in World Bank, Global Development Horizons 2011 – Multipolarity: The New Global Economy, Washington DC: World Bank, pp. xi–xiii. Marx, K. and F. Engels (1978) “Manifesto of the Communist Party,” in R. Tucker (ed.),

The Marx-Engels Reader, New York: W.W. Norton, pp. 469–500.

Selden, M. and J. Wu (2011) “The Chinese State, Incomplete Proletarianization and Structures of Inequality in Two Epochs,” Japan Focus, http://www.japanfocus.org/-Jieh_min-Wu/3480 (downloaded 29 June 2011).

Stiglitz, J. (2001) “More Instruments and Broader Goals: Moving Towards a Post-Washington Consensus,” in H.-J Chang (ed.), Joseph Stiglitz and the World Bank, The Rebel Within, London: Anthem Press, pp. 17–56.

Westra, R. (2011) “Renewing Socialist Development in the Third World,” Journal of Contemporary Asia, 41, 4, pp. 519–43.

Williamson, J. (1990) “What Washington Means by Policy Reform,” in J. Williamson (ed.), Latin American Adjustment: How Much has Happened?, Washington: Insti-tute for International Economics, pp. 5–20.

Williamson, J. (2000) “What Should the World Bank Think About the Washington Consensus,” The World Bank Research Observer, 15, 2, pp. 251–64.

(19)
(20)

19

Bekerja terhadap Negara, melalui Negara, dan tanpa

Keterli-batan Langsung Negara: International Finance Corporation

(IFC) dan Marketisasi Mendalam pada Pembangunan di

Asia-3DVL¿N

TOBY CARROLL

Pusat Kajian Asia dan Globalisasi, Departemen Kebijakan Publik Lee Kuan Yew, Uni-versitas Nasional Singapura

ABSTRAK: Makalah ini menjelaskan tentang adanya suatu desakan baru dari lem-baga keuangan internasional untuk memperluas dan memperdalam hubungan sosial kapitalis di negara-negara kurang maju dengan cara-cara yang melampaui konsensus penyesuaian struktural Washington atau bahkan pascakesepakatan Washington (Post-Washington Consensus, PWC) dengan berbagai bentuk “neo-liberalisme partisipatif ” yang berorientasi kelembagaan. Disebutkan di sini sebagai “marketisasi mendalam atas pembangunan” (deep marketisation of development) atau cukup dengan sebutan “marketisasi mendalam”, proses ini dapat menarik se-makin banyak sumber daya yang secara formal dialokasikan langsung bagi aktor swasta tanpa keterlibatan langsung negara. Proses ini juga menuntut dan men-dorong pergeseran bentuk dan fungsi negara dalam upaya membina “lingkungan yang mendukung” penciptaan modal dan memfasilitasi “akses terhadap pembi-ayaan”. Makalah ini dimulai dengan penjabaran konsep marketisasi mendalam dan menempatkannya dalam konteks historis dan politik. Bagian kedua makalah ini menyajikan beberapa contoh marketisasi mendalam yang berlangsung di wilayah Asia-Pasifik sehubungan dengan kegiatan kerja unit sektor swasta dari Bank Dunia, yaitu International Finance Corporation.1 Makalah ini diakhiri dengan menyoroti beberapa masalah serius, terkait agenda marketisasi mendalam.

Kata Kunci: Doing Business, lingkungan yang mendukung, International Finance Cor-poration, marketisasi, kemitraan publik-swasta, risiko

Journal of Contemporary Asia Vol. 42, No. 3, Agustus 2012

PENDAHULUAN

Meskipun praktik Pembangunan2 sepertinya terhenti pada reformasi neoliberal yang berorientasi pada negara dari pascakesepakatan Washington (lihat bagian pendahuluan dari topik ini), dalam makalah ini saya mengemukakan bahwa sebenarnya evolusi dan ekspansi yang signifikan jelas terlihat dalam kebijakan Pembangunan neoliberal, khu-susnya dalam kerja organisasi berorientasi sektor swasta, seperti unit sektor swasta dari Bank Dunia, yaitu International Finance Corporation (IFC). Evolusi ini harus dilihat dalam kaitannya dengan berbagai dinamika utama yang terjadi pada kapitalisme tingkat lanjut (termasuk dampak neoliberalisme) -dinamika yang telah mengubah lanskap

(21)

tem-20

pat Pembangunan berlangsung. Secara khusus, pergeseran “kutub-kutub” pertumbu-han global dan pertentangan terkait reformasi neoliberal dan kapitalisme tingkat lanjut secara lebih luas dalam beberapa tahun terakhir telah melatarbelakangi pertumbuhan pesat pada dukungan sektor swasta yang berasal dari organisasi Pembangunan, serta meningkatnya jumlah dan bentuk modalitas Pembangunan yang dikerahkan.

Di balik ekspansi dan evolusi ini, IFC kini harus dilihat sebagai protagonis pent-ing, tidak hanya dalam Kelompok Bank Dunia (World Bank Group, WBG), tetapi juga dalam proyek neoliberal yang lebih luas untuk mendirikan sebuah “pasar dunia”, yang terpusat pada hubungan sosial yang kompetitif dan pada akumulasi (Cammack, 2009; 2011; Gill, 2000; Marx dan Engels, 1888: 475). Argumen yang saya kemukakan dalam tulisan ini adalah bahwa IFC sekarang memainkan peran penting, meskipun seringkali diremehkan, dalam memperkuat aktivitas pasar tanpa keterlibatan langsung negara, se-mentara secara bersamaan mendorong pergeseran pada negara yang dianggap kondusif bagi berlangsungnya pola akumulasi modal yang telah “dirancang secara ideal”. Atau, jika kita menggunakan istilah Pembangunan yang populer saat ini, IFC sekarang jadi aktor utama yang berupaya menciptakan “lingkungan [kelembagaan] yang men-dukung” bagi modal serta memfasilitasi dan menyediakan “akses terhadap pembiayaan” sebagai perpanjangan dari akumulasi modal.

Dalam hal ini, salah satu bagian proyek yang dijalankan IFC dan badan-badan se-jenis (seperti European Bank for Reconstruction and Development, EBRD) lebih tidak bersifat teknokratis/kelembagaan dibanding bentuk-bentuk awal kebijakan Pembangu-nan neoliberal, yang mewujud melalui cara-cara yang bersifat sangat instrumental dan langsung (dalam hal ini “langsung ke sektor”). Yang pasti, elemen lain dari upaya baru ini –yang melibatkan modalitas sebagaimana tahap awal kebijakan neoliberal yang bekerja terhadap negara dan melalui negara (work on and through the state)– masih menunjuk-kan kecenderungan teknokratik klasik dari pendekatan “membangun lembaga-lembaga untuk pasar” yang berorientasi pada negara dari pascakesepakatan Washington (Post-Washington Consensus, PWC), dengan adanya berbagai penambahan dan pengurangan dari pendekatan tersebut (Carroll, 2010; Stiglitz, 2001a, 2001b; Bank Dunia, 1997; 2002). Namun demikian, tidak seperti pendekatan tradisional dari kebijakan Pembangunan neoliberal –yang terikat secara tidak sempurna melalui persyaratan untuk pengaloka-sian uang– berbagai upaya baru dari badan seperti IFC dilakukan dengan lebih mem-beri perhatian atau tidak terlalu memmem-beri perhatian pada pembangunan kelembagaan yang terkait PWC, tetapi sebaliknya berupaya mewujudkan akuntabilitas individu dan organisasi melalui mekanisme kedisiplinan langsung dari pasar dan profitabilitas (ber-gantung pada unsur pengamanan yang diterapkan) dari investasi tertentu. Singkatnya, apa yang sedang diteliti di sini adalah pendekatan baru untuk mengembangkan, mem-perluas, dan memperdalam hubungan sosial yang kompetitif, dan secara bersamaan, pola akumulasi dengan cara mengurangi ketergantungan pada upaya yang dilakukan melalui negara sebagai tempat terjadinya reformasi dan lebih kepada upaya untuk secara langsung mengembangkan aktivitas pasar yang nyata (dimana upaya secara langsung mengembangkan aktivitas pasar yang secara nyata digunakan untuk mendorong trans-formasi negara sebagai hasil sampingnya).

(22)

21

Merujuk pendekatan materialis historis untuk memahami kemunculan kapitalisme tingkat lanjut (bdk. Cammack, 2003; Gill, 2000; Harvey, 2006), makalah ini dimulai den-gan menempatkan proyek yang dilakukan IFC dan lainnya dalam konteks historis dan politik, serta menguraikan berbagai aspek inti proyek. Saya berpendapat bahwa doron-gan dalam kebijakan Pembangunan neoliberal –apa yang saya sebut sebagai “marketi-sasi mendalam atas pembangunan” atau singkatnya “marketi“marketi-sasi mendalam”– menjadi semakin menonjol seiring munculnya politik pembangunan yang baru. Politik baru ini ditandai pergeseran pola akumulasi, terutama terhadap kapitalisme tingkat lanjut dan keselarasannya dengan kepentingan kelembagaan dari berbagai entitas, seperti WBG dan negara-negara anggotanya (baik donor maupun klien). Secara lebih spesi-fik, marketisasi mendalam memiliki kesesuaian yang tepat dengan berbagai kepent-ingan utama kapitalisme tingkat lanjut, serta kepentkepent-ingan ideologis yang mendukung kepentingan-kepentingan utama tersebut, sehingga membantu munculnya pola-pola baru yang lebih mendalam dari akumulasi melalui apa yang mungkin ahli geografi poli-tik menyebutnya sebagai “penyelesaian tata ruang” (spatial fixes) –suatu solusi spasial (atau sementara) untuk berbagai hambatan dan krisis yang terkait akumulasi (Harvey, 2006: 415-19). Permintaan terhadap solusi spasial seperti ini sangat tinggi, terutama pada situasi dimana pengembalian modal sangat diharapkan dan sumber daya semak-in sulit ditemukan di negara maju, serta pemersemak-intah sangat membutuhkan solusi bagi berbagai masalah berkepanjangan terkait infrastruktur, penyediaan layanan, dan ket-erbelakangan secara lebih umum. Guna mencapai berbagai tujuan ini, tidak mengher-ankan apabila modalitas marketisasi mendalam –meliputi bantuan teknis (yang tanpa henti mendukung kemitraan publik-swasta (public-private partnerships, PPP)– dalam segala bentuk dan ukuran misalnya), berbagai pola baru untuk investasi saham, pem-binaan terhadap perantara keuangan untuk mendorong sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), serta tolok ukur yang kompetitif –ditargetkan pada negara yang belum berkembang yang ternyata seringkali memiliki pertumbuhan ekonomi pesat. Na-mun demikian, jangan sampai dilupakan bahwa marketisasi mendalam juga melayani kepentingan kelembagaan dari organisasi Pembangunan (kepentingan material serta kepentingan ideologi dan legitimasi) yang dalam hal ini menghindari terjadinya ber-bagai kesulitan yang dihadapi langsung oleh organisasi seperti Bank Dunia yang terkait agenda reformasi “tata kelola yang baik” yang secara signifikan bergantung pada kerja terhadap negara dan melalui negara.

Bagian kedua makalah ini menyajikan tiga contoh marketisasi mendalam di ka-wasan Asia-Pasifik sebagaimana dilaksanakan oleh protagonis yang paling penting: IFC. Setiap contoh telah dipilih untuk menunjukkan, melalui analisis kualitatif dari modalitas tertentu, cara yang berbeda namun saling melengkapi dimana marketisasi mendalam bekerja terhadap negara, melalui negara, dan (secara khas) tanpa keterli-batan langsung negara dalam upaya untuk memperluas lingkup hubungan pasar. Con-toh pertama dari marketisasi mendalam terfokus pada aspek tolok ukur/penetapan indikator/kedisiplinan proyek yang sedang dikaji melalui analisis seri laporan Doing Business dan operasionalisasinya di Asia. Analisis ini menunjukkan cara dimana Doing Business semakin mempertegas IFC dan WBG sebagai lembaga pemeringkat kuasi dari

(23)

22

pemerintah serta kemampuan (atau sebaliknya) bagi pembangunan “lingkungan yang mendukung” untuk modal. Ini bukan tugas yang pasif, dimana Doing Business diran-cang untuk menyatukan negara dan warganya ke dalam suatu dinamika yang kompetitif terkait penerimaan mereka (atau sebaliknya) terhadap suatu bentuk negara tertentu, terutama bagi kepentingan sektor swasta. Contoh pertama marketisasi mendalam ini merupakan contoh dimana marketisasi mendalam bekerja terhadap negara dan meru-pakan keberlanjutan dari PWC. Contoh kedua marketisasi mendalam dapat dilihat pada komodifikasi layanan air bersih kota Manila. Kasus ini merupakan contoh pendeka-tan yang semakin sering dipromosikan IFC untuk mewujudkan kepemilikan swasta atas layanan publik dan fasilitas umum –suatu pendekatan yang juga banyak merujuk pada PWC namun telah banyak mengalami perkembangan dan semakin canggih. Pada dasarnya, dengan merujuk pada preferensi PWC terhadap penyediaan layanan umum sektor swasta yang diatur secara independen, pendekatan ini memadukannya dengan jasa konsultasi yang mendorong PPP sebagai kebijakan yang dianjurkan, seringkali atas perintah para teknokrat dan politisi yang mencari jawaban terhadap berbagai masalah terkait layanan umum. Namun demikian, kecenderungan untuk mendorong PPP ini sering dipadukan dengan pemberian pinjaman dan modal untuk penyedia swasta agar dapat menstabilkan, mempertahankan, dan memperluas pengaturan privatisasi terse-but, dimana pinjaman dan modal seringkali disediakan hanya bagi perusahaan yang tercatat di bursa efek (persyaratan ini sendiri merupakan langkah lebih lanjut untuk pendalaman pasar). Contoh kedua ini menunjukkan bagaimana marketisasi mendalam bekerja terhadap negara, melalui negara, dan tanpa keterlibatan langsung negara untuk mengubah hubungan antara negara dan warganya dari waktu ke waktu. Contoh tera-khir marketisasi mendalam mengkaji secara seksama peran baru yang dimainkan IFC dan pihak lain dalam membuka lingkup produksi dan akumulasi dengan bekerja tanpa keterlibatan langsung negara sejak tahapan awal. Ulasan berikut adalah dua contoh ber-beda yang menggambarkan marketisasi mendalam yang mendukung berbagai bentuk modal (internasional dan domestik). Contoh pertama akan menyoroti peran IFC dalam upaya pengurangan risiko penting (pengamanan) terkait modal untuk proyek-proyek dunia berskala besar (contoh kasusnya pipa BTC) di berbagai wilayah atau “pasar yang belum digarap dan yang baru berkembang”. Dalam contoh kedua, kita akan melihat bagaimana IFC bekerja melalui organisasi keuangan mikro dan organisasi perantara keuangan lainnya, terutama dalam mempromosikan keuangan mikro sebagai modali-tas penting yang berorienmodali-tasi pada penanaman disiplin pasar di negara-negara seperti Timor-Leste dan Indonesia.

Makalah ini akan menyimpulkan bahwa karena marketisasi mendalam didasarkan pada asumsi-asumsi neoliberal yang memiliki kontradiksi terkait hubungan antara ne-gara dengan modal, maka potensi pendekatan baru ini untuk dapat ikut memperbaiki kondisi material kebanyakan negara akan tetap rendah. Berdasarkan situasi ini, maka di masa mendatang, pihak wirausahawan serta fasilitator dan penerima manfaat dari pihak birokrat dan politikus (baik di negara maju maupun negara kurang maju) pasti akan memanfaatkan gagasan marketisasi mendalam dengan baik dan juga beranggapan bahwa marketisasi mendalam bagi pasar yang sedang berkembang/masih baru meru-pakan bagian yang penting –bahkan kadangkala sebagai katalisator. Selanjutnya, fakta

(24)

23

bahwa marketisasi mendalam sepertinya merupakan solusi legitimasi bagi neoliberal-isme dan solusi spasial bagi modal (merupakan solusi berbagai hambatan sebelumnya dari akumulasi) akan menjamin ekspansinya (Harvey, 2006: 415-19; Arrighi, 2003). Na-mun demikian, berbagai kontradiksi yang melekat, baik pada neoliberalisme maupun kapitalisme tingkat lanjut itu sendiri (hasil reformasi yang bersifat semu dan tak terdu-ga, krisis kelebihan produksi, dll.) menunjukkan bahwa marketisasi mendalam sebagai upaya utama menuju penyempurnaan pasar dunia akan lebih memungkinkan untuk ikut lebih berperan memperluas penyebaran akibat krisis kapitalis, bentuk-bentuk baru hubungan sosial yang tidak setara, dan pola tata kelola pemerintahan (seringkali meru-sak) yang mengambil manfaat hubungan ini. Selain itu, kita tidak boleh meremehkan fungsi marketisasi mendalam dalam mengaburkan sumber-sumber utama keterbela-kangan dan juga politik untuk mengatasi hal ini.

Marketisasi Mendalam sebagai Respon terhadap Politik Baru Pembangunan

Di bagian pertama ini, secara singkat saya menempatkan marketisasi mendalam pada konteks historis dan politik dan memberikan rincian tentang “logika” inti dan modalitasnya. Saya telah melakukan hal ini bersama-sama (meskipun dalam urutan tertentu) untuk menunjukkan adanya politik tertentu bagi kebijakan Pembangunan di bawah kapitalisme tingkat lanjut yang hingga tingkat tertentu menjelaskan penyebab marketisasi mendalam telah berkembang begitu pesatnya akhir-akhir ini. Upaya ini layak diberi ruang yang memadai karena berbagai tindakan dan kepentingan di balik marketisasi mendalam kurang memperoleh perhatian dari yang semestinya –bahkan dalam literatur penting.

Secara historis dan politik, marketisasi mendalam harus dipahami sebagai bentuk terbaru kebijakan Pembangunan neoliberal yang seperti bentuk-bentuk awal kebijakan Pembangunan neoliberal, merupakan produk signifikan kepentingan material dan ide-ologis yang dominan dari kapitalisme tingkat lanjut dan (berbagai) upaya dari berbagai macam kepentingan tersebut untuk merespon kontradiksi dan kebutuhan guna mel-anjutkan dan memperluas pola akumulasi. Dengan demikian, marketisasi mendalam merupakan tahap terakhir dari tiga fase umum dalam kebijakan Pembangunan neolib-eral yang telah berusaha menanamkan hubungan sosial kapitalis yang kompetitif pada skala yang benar-benar global (lihat Cammack, pada terbitan ini). Tahap pertama yang membidik negara dengan cara yang seringkali kejam telah diwujudkan dalam program penyesuaian struktural (structural adjustment programs, SAPs) dari Dana Moneter In-ternasional (IMF) dan Bank Dunia pada tahun 1980-an dan awal 1990-an, serta ber-bagai kebijakan yang kemudian disebut seber-bagai “kesepakatan Washington”. Mengingat perhatian ilmiah yang cukup besar yang diberikan di tahap awal dari kebijakan Pem-bangunan neoliberal, maka cukup dikatakan di sini bahwa pendekatan ini (sebagian dari pendekatan ada yang menyebutnya sebagai “neoliberalisme roll back” (Brenner dan Theodore, 2002: 26)) memerlukan kebijakan yang berorientasi pada pembatasan dan perampingan negara secara kasar (untuk “membiarkan kekuatan pasar bekerja”) melalui intervensi yang mencakup privatisasi, liberalisasi perdagangan, dan seringkali

(25)

langkah-24

langkah kaku yang terkesan mendadak (Mosley, Harrigan dan Toye, 1991; Williamson, 1990). Kebijakan-kebijakan yang semakin mencuat sejak awal tahun 1980-an ini, be-rasal dari kontra-revolusi dalam kebijakan pembangunan yang menyatu dengan per-lambatan pertumbuhan global secara jangka panjang, krisis utang yang masif di dunia ketiga, dan hadirnya pemerintah sayap kanan di Inggris, Amerika Serikat, dan Republik Federal Jerman (Colclough, 1991: 5-6; Leys, 1996: 21; Mosley, Harrigan dan Toye, 1991: 7; Toye, 1987: 23).

Namun demikian, pada awal hingga pertengahan tahun 1990-an, kegagalan besar kesepakatan Washington terlihat lebih jelas, bahkan lazim diterima dengan hasil bu-ruk dan sungguh mengerikan, terutama jelas terjadi di negara Afrika Sub-Sahara dan bekas negara komunis. Ketegangan yang dihasilkan berbagai pembaharuan (ditambah efek samping proyek multilateral tertentu), berakibat pada krisis legitimasi yang dialami Bank Dunia dan IMF yang semakin tampak dari waktu ke waktu. Hal penting adalah bahwa perjuangan berkelanjutan para aktivis dari berbagai kalangan (kiri, hijau, dan anarkis) diiringi peningkatan pengawasan kaum konservatif di Amerika Serikat yang terus-menerus merasa skeptis terhadap multilateralisme dan dukungan publik terhadap upaya pembangunan “liberal” secara umum (Pincus dan Winters, 2002: 2 4 ; Carroll, 2010: 175-6). Bagi Bank Dunia –sebagai lembaga kebijakan Pembangunan neoliberal terkemuka dan penghasil utama “pengetahuan pembangunan”– agar dapat tetap kredi-bel menghadapi krisis legitimasi yang besar ini dan memastikan suntikan reguler uang dari negara-negara anggota utamanya untuk program “pinjaman lunaknya”, maka lem-baga ini minimal harus menunjukkan adanya pergeseran dalam cara kerjanya.

Selanjutnya, karena masih terkendala politik pro-pasar/konservatif yang telah menghasilkan tahap pertama kebijakan Pembangunan neoliberal, Bank Dunia tidak menekankan pada upaya untuk meluruhkan neoliberalisme, tetapi lebih pada penanga-nan masalah terkait bagaimana melembagakan hubungan sosial yang kompetitif dan menaklukkan masalah pelaksanaan reformasi resmi –yaitu fokus utama kebijakan Pem-bangunan neoliberal tahap kedua (Cammack, 2009: 2-3; Carroll, 2010). Bagi mereka yang terlibat dalam pengembangan upaya ini, hal ini bukan mengenai masalah per-tentangan neoliberalisme (dan kapitalisme) yang mengakibatkan munculnya berbagai masalah Pembangunan dan bahkan masalah keterbelakangan itu sendiri. Sebaliknya, permasalahan utama –yang akan melegitimasi seluruh intervensi baru yang akan di-jalankan kader “pakar” teknokratis yang dibayar tinggi dengan mobilitas global –adalah cara pasar dihadirkan dan dipelihara dalam arti kelembagaan. Bagi kader teknokratis yang bertugas melakukan reorientasi kebijakan Pembangunan neoliberal, penyesua-ian struktural kesepakatan Washington tidak hanya berlangsung tanpa mempedulikan perlunya membangun dukungan konstituensi yang luas, tetapi juga tanpa mekanisme pengaturan dan struktur penting lainnya (yang seringkali merupakan bagian dari nega-ra yang sebelumnya rusak dan hancur) yang kini dianggap perlu bagi pasar. Selanjutnya, Laporan Pembangunan Dunia dan pejabat senior Bank Dunia menyatakan sangat pentingnya “tata kelola yang baik” –pada dasarnya adalah pembentukan sebuah negara tertentu (didepolitisasi dan terisolasi secara politik pada saat pembentukannya) yang dianggap penting untuk mengurangi “biaya transaksi” dan “asimetri informasi” (World Bank, 1993; 1997; 2002; Stiglitz, 2001a; 2001b). Bahkan, lembaga-lembaga sosial –yang

(26)

25

tampaknya begitu dikesampingkan dalam kebanyakan kebijakan Pembangunan dan ekonomi ortodoks yang mendasarinya– telah menarik perhatian, karena kontribusinya dalam memanfaatkan pasar secara maksimal dan memperkuat dan memelihara pasar tersebut (Harriss, 2002: 76-96; Carroll, 2010, 88 -89, 109-113). Tahap kedua, yaitu ba-gian yang telah digambarkan sebagai “neoliberalisme roll out” (Brenner dan Theodore, 2002: 27) dan telah mendominasi wacana dan praktik pembangunan selama lima belas tahun terakhir, merupakan apa yang sering digambarkan sebagai “PWC”.

Namun demikian, pelaksanaan “neoliberalisme roll out” juga telah dihadapkan pada tantangan berat, dimana ada beberapa pihak (mungkin agak terlalu bersemangat) yang mengisyaratkan bahwa neoliberalisme dan ekonomi politik global kini berada di titik yang secara fatal dapat merusak legitimasi neoliberalisme (Peck, Theodore dan Bren-ner, 2009: 95). Krisis keuangan global pada akhir dasawarsa pertama abad ke-21 (yang berubah menjadi krisis ekonomi global yang lebih luas dan berkepanjangan), stagnasi ekonomi serta utang publik dan swasta yang semakin membumbung yang terjadi di negara-negara maju di perekonomian global, dan bangkitnya negara Cina dan negara lain yang muncul atas pertumbuhan yang sangat asimetris, telah mengubah (meskipun tidak secara keseluruhan) keseimbangan hegemoni, baik dalam ekonomi politik global maupun neoliberalisme yang berkaitan.

Namun demikian, tanpa perlu melawan kebijakan Pembangunan neoliberal secara fundamental, berbagai dinamika ini mungkin lebih tepatnya telah membawa pada poli-tik pembangunan yang baru –menyesuaikan kembali berbagai tuntutan dan tekanan yang terus membentuk kebijakan dan praktik Pembangunan neoliberal. Sangat jelas bahwa politik pembangunan yang baru merupakan tantangan bagi neoliberalisme yang berorientasi pada negara dari PWC –dengan “pasar-pasar berkembang” dengan per-tumbuhan tinggi yang telah melewati masa ketergantungan berlebihan pada pinjaman berbagai pihak, seperti Bank Dunia, dan di beberapa kasus bersaing dengan organisasi multilateral sebagai sumber keuangan dan kegiatan yang menggantikan pembiayaan. Sebagai contoh, beberapa “negara berpendapatan menengah” yang biasanya meminjam dari berbagai lembaga Bank Dunia, baik yang bersifat lunak, yaitu International De-velopment Association (IDA), maupun tidak lunak, yaitu International Bank for Re-construction and Development (IBRD), tidak begitu terpengaruh oleh pinjaman dari organisasi multilateral beserta segala persyaratannya. Kenyataan ini tercermin dalam pinjaman neto yang menurun dari IBRD pada dekade terakhir menjelang terjadinya krisis (kenyataan yang terutama tampak di wilayah Asia Timur, Pasifik, Eropa Timur, dan Asia Tengah), sedikit penurunan dalam “ketergantungan bantuan” di negara ber-penghasilan menengah secara keseluruhan, dan penurunan tajam dalam total hutang yang dinyatakan sebagai persentase ekspor barang dan jasa, baik di negara-negara ber-penghasilan rendah maupun menengah (Bank Dunia, 2010: 392, 400-401, 408) .3

Gambaran keseluruhan tantangan terhadap pengaruh organisasi Pembangunan yang mengupayakan reformasi pasar yang membidik negara/pro-liberal juga didukung pen-ingkatan besar dalam obligasi publik dan swasta yang diterbitkan pasar-pasar “berkem-bang” sejak akhir 1990-an dan aliran penanaman modal asing (PMA) yang (sempit), namun semakin deras ke negara berkembang, yang telah meningkat dari hanya kurang dari AS $100 miliar pada tahun 1995 menjadi hampir AS $600 ratus miliar pada tahun

(27)

26

2008. Persentase PMA yang mengalir ke negara berkembang tumbuh pesat sebesar 10% antara tahun 2007 dan 2008, sementara negara maju terpukul krisis dan permodalan terpaksa mencari sumber alternatif dari surplus. Tentu saja, tidak mengherankan bahwa banyak dari PMA tersebut ditujukan kepada negara “BRICS” yang mencetak performa dahsyat yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, dan mewakili separuh lebih dari seluruh PMA bagi dunia terbelakang (Bank Dunia , 2010: 396-397; Bank Dunia, 2011, 98). Namun demikian, angka di atas menunjukkan memudarnya pengaruh berbagai organisasi “pembangunan kelembagaan” PWC terhadap beberapa “klien” utama mereka. Situasi ini digabung dengan tantangan berkelanjutan yang terkait legitimasi organisasi Pembangunan dalam bentuk berbagai permasalahan serius yang berkenaan pelaksanaan (penolakan terhadap reformasi, korupsi yang terus terjadi, dll.), dan adanya kenyataan bahwa banyak contoh keberhasilan pembangunan yang terikat persyaratan –seperti Cina dan Vietnam– sesungguhnya tidak dapat disebut sebagai suri teladan bagi “pembangunan kelembagaan” neoliberal dan kelebihan dari “tata kelola yang baik” (lihat Carroll, 2010: 167).

Sementara, politik pembangunan yang baru merupakan tantangan bagi legitimasi PWC dan pembenarannya terhadap pengaturan kelembagaan tertentu sebagai aspek penting pembangunan. Politik pembangunan baru juga menyediakan kondisi yang kon-dusif bagi organisasi yang melakukan marketisasi mendalam. Hal ini karena marketisasi mendalam adalah suatu dorongan yang bertujuan memenuhi kepentingan permodalan yang haus akan tingkat pengembalian dan sumber daya yang semakin tidak terjangkau di negara maju (elemen solusi spasial) dan tampaknya, merupakan jalan keluar bagi pemerintah di bagian selatan dunia yang menghadapi berbagai dilema pembangunan berkepanjangan (penyediaan infrastruktur, layanan, dan akses terhadap pembiayaan).

Yang pasti, marketisasi mendalam dibangun dan dilengkapi berdasarkan berbagai tema PWC, misalnya menyertakan penilaian dampak sosial dan lingkungan, proses konsultasi dan partisipasi, dan penekanan pada lembaga pendukung pasar yang sering-kali tercermin dalam istilah-istilah ala PWC, seperti “enabling state” atau “negara yang mendukung”. Namun demikian, lebih dari sekedar sebagai perpanjangan yang sederha-na dari PWC, marketisasi mendalam menggusederha-nakan bahasa sektor swasta dan memper-oleh banyak perhatian dari sektor swasta, khususnya terkait masalah keuangan –yang menekankan pada “mitigasi risiko” dan hubungannya dengan pengerahan modal atau “akses terhadap keuangan”. Hal lain yang berhubungan langsung adalah bahwa marketi-sasi mendalam menitikberatkan pada penciptaan “lingkungan yang mendukung” bagi modal –yang seakan-akan merupakan paket kelembagaan “ideal” (bentuk-bentuk ne-gara) yang diklaim sebagai hal yang khususnya kondusif untuk menarik modal (dengan mengurangi risiko serta biaya lainnya), sehingga memberikan berbagai manfaat bagi pasar.

Bukan hanya sekadar terciptanya hubungan sentral antara pemberi pinjaman publik multilateral dengan peminjam berdaulat (negara anggota), namun hubungan yang me-nyertakan persyaratan programatik untuk mempromosikan pasar, mengupayakan mar-ketisasi mendalam untuk meleburkan pihak publik dan swasta ke dalam realitas pasar liberal yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang secara beragam bekerja terhadap negara, melalui negara, dan tanpa keterlibatan langsung negara. Dalam upaya ini,

(28)

pen-27

dekatan yang diterapkan menggunakan berbagai instrumen (seperti pinjaman sektor swasta bersyarat dan investasi ekuitas) untuk tidak hanya mencapai hal ini tetapi juga “mengunci” keadaan dan bahkan memperpanjang proses privatisasi PWC sebelumnya. Selanjutnya, tidak dipersulit masalah legitimasi dan campur tangan politik sebagaimana neoliberalisme yang berorientasi pada negara, upaya marketisasi mendalam dalam ban-yak kasus dapat berlangsung dengan atau tanpa adanya “enabling state”, bahkan yang masih pada tahap awal. Hal ini menunjukkan bahwa tidak seperti dua fase pertama ke-bijakan pembangunan neoliberal, reformasi kelembagaan tidak perlu menjadi prasyarat bagi berlangsungnya berbagai langkah yang membangun pasar. Hal yang seringkali lebih penting dalam proses marketisasi mendalam dibandingkan reformasi klasik PWC bukan karena tolok ukur utama telah terpenuhi terkait reformasi kelembagaan, mel-ainkan karena proyek yang dilakukan langsung mempunyai nilai komersial dan karena telah terbentuknya hubungan sentral tertentu antara pemberi pinjaman dan peminjam (hubungan pribadi/kelembagaan yang regular terpisah dengan yang “terpatri” dalam kontrak dan perundang-undangan). Bukti yang ada menunjukkan bahwa pendekatan “langsung ke sektor” ini digunakan untuk mewujudkan transformasi negara neoliberal dari “cara yang sebaliknya” –menciptakan konstituen baru dari reformasi pro-sektor swasta dengan terlebih dahulu menciptakan kegiatan sektor swasta itu sendiri (penjela-san lebih lanjut akan diberikan pada bagian berikut ini).

Sangat jelas bahwa marketisasi mendalam masih banyak menggunakan instrumen Pembangunan neoliberal yang berorientasi negara, seperti pinjaman, bantuan teknis, serta upaya pemantauan, evaluasi dan penerapan barometer (Carroll, 2010: 68-114). Namun demikian, dengan adanya marketisasi mendalam, maka pinjaman akan beralih ke sektor swasta dan bantuan teknis secara bersamaan juga akan berpindah, baik ke sektor publik maupun swasta. Selain itu, banyak upaya pengukuran barometer (seperti yang ada pada seri laporan Doing Business yang dibahas pada bagian berikutnya), secara sangat spesifik berorientasi pada negara dan pada kemajuan yang dicapai untuk mem-bentuk kondisi yang dianggap paling kondusif bagi sektor swasta –suatu fokus yang jauh lebih sempit dari PWC. Hal selanjutnya yang membedakan marketisasi mendalam dengan praktik Pembangunan yang sudah ada yang tidak hanya terbatas pada pinjaman negara adalah bahwa marketisasi mendalam menyangkut jaminan pengerahan modal (informal dan formal) serta investasi ekuitas. Jaminan dapat bersifat formal sepanjang organisasi seperti IFC menjamin beberapa risiko (seringkali bersifat politik) yang me-nyertai proyek yang bersangkutan. Jaminan juga dapat bersifat informal, dimana kehad-iran IFC dapat mengurangi risiko tertentu terhadap sektor swasta berdasarkan status keadaan suatu negara/status multilateral yang diberikan IFC. Secara krusial, instrumen berbentuk ekuitas, yang sangat berbeda dengan pinjaman yang berorientasi pada nega-ra, memungkinkan organisasi marketisasi mendalam memperoleh kepemilikan saham di dalam perusahaan, baik untuk menyediakan likuiditas maupun untuk mendorong perusahaan yang berada pada masa transisi agar bergerak terus menuju arah marketisa-si. Dengan cara ini, marketisasi mendalam memerlukan pengamanan risiko bagi modal dalam proses perluasan pola akumulasi kapitalis.

Hal penting adalah bahwa marketisasi mendalam juga menyangkut kegiatan kerja melalui perantara keuangan (financial intermediary, FI) dalam proses pembangunan

(29)

28

berbagai ruang baru yang seutuhnya agar tercipta aktivitas pasar tanpa keterlibatan langsung negara. Dalam hal ini, dukungan FI, yang meliputi organisasi pembiayaan mikro, dana ekuitas swasta, dan bank komersial telah menjadi strategi utama marketisa-si mendalam, dimana ekuitas dan pinjaman multilateral untuk FI semakin memainkan perannya dalam menopang peningkatan kapitalisasi FI untuk memfasilitasi pinjaman yang bersifat on-lending serta pengembangan sektor UMKM.

Karena tidak bersifat lemah dalam menghadapi “berbagai masalah yang terkait tata kelola pemerintahan” dibanding lembaga neoliberal yang berorientasi negara, mar-ketisasi mendalam dalam banyak hal –meskipun tidak secara eksklusif– adalah proyek “frontier” (wilayah pasar yang belum terjamah sebelumnya) (IFC, 2009: 24) yang secara berani diterapkan di wilayah transisi dan pascapenjajahan yang terkenal dengan “kega-galan kelembagaannya”, “permasalahan tata kelola pemerintahan”, dan “defisit kapasi-tas” mereka. Organisasi marketisasi mendalam semakin menjadi pemain sentral dalam upayanya membuka peluang baru bagi akumulasi di kawasan dengan tingkat risiko/ tingkat pengembalian yang tinggi dalam industri ekstraktif, jasa keuangan, dan sektor sensitif, seperti air dan energi –dimana faktor-faktor politik, sosial, ekonomi, dan ling-kungan menjadi permasalahan, namun terdapat peluang signifikan untuk meraih ke-untungan, dimana motif keuntungan dapat diklaim sebagai kesempatan meningkatkan kondisi sosial.

Pada wilayah “frontier” dan berisiko lainnya bagi modal internasional, keterlibatan organisasi marketisasi mendalam dengan terjalinnya hubungan yang berdaulat dan adanya dukungan finansial akan memberikan keyakinan terhadap pihak sektor swasta (khususnya sektor keuangan swasta), bahwa suatu proyek tertentu akan lebih sedikit menghadapi masalah (renasionalisasi, pengambilalihan/penggunaan laba, dll.) diband-ing jika terjadi hal yang sebaliknya. Menurunkan risiko tersebut berarti biaya peminja-man untuk perusahaan swasta akan berkurang, dan adanya (potensi) peningkatan mar-gin. Namun lebih dari itu, marketisasi mendalam mensyaratkan terbentuknya struktur pengaturan tertentu (setidaknya secara formal) dan diterapkannya berbagai langkah pengamanan oleh pelaku sektor swasta untuk mengurangi risiko (termasuk risiko repu-tasi) terhadap modal.

Hal penting adalah bahwa marketisasi mendalam mengaitkan keharusan dan kepentingan modal, khususnya modal keuangan dari negara-negara maju dengan ne-gara-negara kurang maju yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan demikian, marketisasi mendalam menyebarkan beberapa elemen proses yang lebih luas dari “fi-nansialisasi” –istilah yang diberikan untuk menggambarkan pengalihan dari “bentuk-bentuk produktif ke “bentuk-bentuk-“bentuk-bentuk finansial akumulasi modal”– ke wilayah-wilayah yang sampai sekarang belum tersentuh oleh tekanan tersebut (Duménil dan Retribusi, 2011: 99-112; Gunnoe dan Gellert, 2010: 7; Foster dan Magdoff, 2009). Dalam hal ini, organisasi seperti IFC secara teratur menerbitkan obligasi, baik dalam dolar maupun dalam mata uang negara berkembang yang dibeli investor kelembagaan dan lainnya (seperti dana pensiun utara) untuk penggalangan dana agar dapat digunakan di wilayah selatan dalam berbagai proyek IFC yang menghasilkan laba, seperti yang terkait dengan keuangan mikro.4

(30)

29

tidak sekedar berarti bahwa proyek-proyek tertentu (termasuk megaproyek) yang sebel-umnya tidak mungkin dapat dilaksanakan dapat berlangsung, tetapi juga bahwa organ-isasi-organisasi tersebut dapat menarik pembiayaan lebih baik dari lembaga keuangan internasional, sehingga dapat menjamin bahwa langkah pengamanan tertentu telah diterapkan, risiko keuangan dan risiko reputasi dapat dikurangi, serta marjin terlind-ungi dan meningkat. Ketika suatu perusahaan telekomunikasi asing atau perusahaan air minum multinasional bermaksud melakukan investasi dalam suatu kemitraan pub-lik-swasta pada suatu “pasar frontier/pasar berkembang” masih merasa cemas tentang masalah pengambilalihan keuntungan atau masih ragu tentang bagaimana rezim tert-entu di suatu negara tuan rumah akan berdampak pada suatu usaha komersial, maka or-ganisasi seperti IFC dan EBRD siap menyediakan dana riil (dibuat lebih murah karena peringkat AAA atau triple A yang mereka miliki), instrumen penilaian dan mitigasi risiko, ditambah adanya hubungan berdaulat serta kapasitas penetapan sinyal global (“negara ini merupakan/tidak merupakan negara dengan suatu risiko investasi”) dalam upaya mengurangi kecemasan atau keraguan terhadap penanaman modal.5

Yang pasti, di negara-negara kurang maju, mobilisasi modal dalam jumlah besar seringkali menjadi jauh lebih mudah jika suatu organisasi marketisasi mendalam sep-erti IFC dan EBRD ikut berpartisipasi, baik berperan sebagai investor maupun sebagai penasihat, atau idealnya memainkan kedua peran tersebut. Kenyataan ini terjadi ka-rena berbagai alasan dan hal ini layak dijabarkan untuk membuat lebih jelas tentang hal yang dimaksud marketisasi mendalam. IFC –seperti organisasi-organisasi marketi-sasi mendalam lainnya– sering tidak hanya meminjamkan dana untuk proyek tertentu, tetapi juga secara teratur ikut berpartisipasi dalam bentuk ekuitas (kepemilikan saham) di dalam proyek tersebut. Hal ini menempatkan organisasi seperti IFC di posisi agak unik sebagai lembaga multilateral yang mempromosikan dan berinvestasi di perusa-haan swasta. Dengan demikian, organisasi-organisasi ini memiliki koneksi kuat dan sangat berpengaruh, baik dengan “negara tuan rumah” maupun negara-negara besar dimana modal internasional berasal. Selanjutnya, organisasi marketisasi mendalam juga menikmati pengaruh signifikan dan memunculkan posisinya sebagai organisasi “ahli” yang “berpengetahuan” tentang masalah sektoral dan pembiayaan, dan sebagai organ-isasi penetapan sinyal/bermanfaat untuk modal, khususnya modal asing/internasional/ multinasional. Tidak banyak organisasi internasional yang dapat meyakinkan investor bahwa suatu pemerintah atau kepentingan domestik yang kuat di negara-negara kurang maju tidak akan “memburu rente” atau menggoyang proyek komersial tertentu dengan cara yang dapat dilakukan suatu organisasi sebagaimana dilakukan IFC. Singkatnya, jika pemerintah atau perusahaan tertentu tampak sepertinya melibatkan IFC dan/atau IFC terlibat dalam proyek tertentu, maka risiko terhadap modal menjadi berkurang –maka proyek dapat terselenggara dan memberi dampak pada profitabilitas. Dengan demikian, organisasi marketisasi mendalam memainkan peran penting terhadap modal yang be-rada di bawah kapitalisme tingkat lajut. Dalam hal ini, mereka dapat dianggap sebagai pemberi pinjaman multilateral dan penyedia asuransi kepada sektor swasta, investor multilateral, “lembaga pemeringkat”, pembangun sektor, dan penegak, semuanya men-jadi satu!

(31)

30

Gambar 1: Komitmen tahunan dan komitmen portofolio kumulatif IFC, untuk tahun fiskal 2001-2011 (jumlah dalam AS $ miliar).

Disusun oleh penulis dari data laporan tahunan IFC (IFC, 2001; 2005; 2009; 2011a)

organisasi-organisasi ini memainkan peran sentral dalam memperluas wilayah kom-petitif produksi dan konsumsi yang baru dan mendorong pengaturan regulasi/mitigasi risiko baru untuk membantu hal ini. Hal ini tercermin dengan jelas pada perluasan besar dalam jumlah dan jangkauan geografis atas upaya marketisasi mendalam. Coba perhatikan misalnya, kemunculan IFC –organisasi yang berada di garis terdepan dalam mendorong marketisasi mendalam. Baru-baru ini, IFC berada di bawah bayang-bayang IDA dan IBRD (keduanya mencerminkan sisi tradisional WBG).6 Meskipun demikian, baru-baru ini situasi tersebut telah mengalami perubahan signifikan yang ditunjukkan kenaikan besar dalam komitmen dan portofolio IFC. Sejak tahun fiskal 2001, portofolio kumulatif IFC meningkat dari AS $10,9 miliar menjadi lebih dari $42 miliar, dengan komitmen baru tahunan untuk periode yang sama, naik dari AS $2,7 miliar menjadi sekitar AS $12,2 miliar (lebih dari sepertiga jumlah ini dialokasikan bagi negara “IDA”). Pada saat yang sama, IFC juga telah meningkatkan jangkauan spasialnya dengan mel-akukan proyek-proyek baru di 102 negara (naik dari 69 negara di setengah dekade lalu) (IFC 2011a: 9; (lihat gambar 1).

Dorongan IFC telah menjadi bagian suatu tren yang menunjukkan peningkatan be-sar yang pada umumnya terkait dukungan bagi sektor swasta dari jalur multilateral dan bilateral –tidak termasuk jumlah yang lebih besar yang dikerahkan organisasi-organ-isasi tersebut– yang telah melonjak sepuluh kali, dari kurang dari AS $4 miliar menjadi lebih dari AS $40 miliar (Bretton Woods Project, 2010b; IFC, 2009). Selanjutnya, dalam setengah dekade terakhir, marketisasi mendalam telah memungkinkan terlaksananya banyak megaproyek yang berada di negara kurang maju –proyek seperti jalur pipa Ba-ku-Tbilisi-Ceyhan yang bernilai multimiliar dolar yang dibahas di bagian berikutnya. Selain itu, bentuk baru praktik Pembangunan telah memainkan peran semakin penting

Gambar

Gambar 1: Komitmen tahunan dan komitmen portofolio kumulatif IFC, untuk tahun fiskal 2001-2011 (jumlah dalam AS $ miliar).

Referensi

Dokumen terkait

Dalam perbincangan kita pada era Daulah Islam Madinah, sejarah telah membuktikan bahwa tidak ramai manusia yang akan beriman dan terus percaya dengan hanya kata-kata

Dari hasil penelitian juga menunjukkan bahwa keanekaragaman produk memiliki pengaruh yang paling dominan terhadap keputusan pembelian konsumen di Toserba Maya hal

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis pengaruh beberapa faktor terhadap produktivitas kerja karyawan (Studi pada: LPK Istibank di Surakarta). Dengan variabel

Metode penelitian dilakukan dengan mengambil data lapangan dalam upaya mengevaluasi kegiatan dari stimulasi matrix acidizing yang bertujuan meningkatkan laju produksi dari

Kualitas hidup pasien diabetes mellitus tipe 2 rawat jalan berdasarkan karakteristik subyek penelitian yang meliputi jenis kelamin,usia, durasi diabetes melitus,

Jaringan granulasi pada dasar ulkus merupakan komponen jaringan ikat yang terdiri dari fibroblas, makrofag, dan sel endotel yang berproliferasi membentuk pembuluh darah

Kegiatan PKP di rumah sakit meliputi: melihat fungsi dan tugas rumah sakit dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat, melihat peran Instalasi Farmasi Rumah Sakit dalam