• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

B. Kajian Tunanetra

3. Pembelajaran Bagi Siswa Tunanetra

a. Strategi Pembelajaran Bagi Siswa Tunanetra

Strategi pembelajaran dalam pendidikan siswa tunanetra didasarkan pada upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak dan upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang

Pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus membutuhkan suatu strategi tersendiri sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Demikian juga dalam pembelajaran untuk siswa tunanetra, terdapat prinsip-prinsip dasar layanan pendidikan yang harus diperhatikan (Sari Rudiyati; 2002), yaitu: 1) prinsip totalitas; 2) prinsip individual, 3) prinsip kekonkritan; 4) aktivitas mandiri; 5) prinsip berkesinanmbungan. Prinsip-prinsip tersebut dapat dimaknai sebagai berikut:

1) Prinsip Totalitas

Prinsip totalitas adalah dasar keutuhan dalam memberikan layanan pendidikan bagi siswa tunanetra berupa pengetahuan atau keterampilan yang utuh atau lengkap, sehingga akan memberikan pembelajaran untuk hidup normal di dalam masyarakat dan mendapatkan kehidupan yang layak.

2) Prinsip Individual

Prinsip individual adalah prinsip umum dalam pembelajaran di manapun (di sekolah umum maupun sekolah luar biasa). Adanya perbedaan antar individu mengharuskan guru merancang pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa.

3) Prinsip Kekonkritan atau Pengalaman Penginderaan

Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan siswa tunanetra mendapatkan pengalaman

secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Untuk mendapatkan pengalaman yang nyata, diperlukan alat dan media pembelajaran yang mendukung dan sesuai dengan materi.

4) Prinsip Aktifitas Mandiri (Self Activity)

Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan atau mendorong siswa tunanetra belajar secara aktif dan mandiri tidak hanya sekedar mendengar dan mencatat materi. Namun anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru sebagai fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar dan motivator yang membangkitkan keinginannya untuk belajar.

5) Prinsip Berkesinambungan

Prinsip berkesinambungan adalah asas berkelanjutan dalam layanan pendidikan siswa tunanetra. Program-program layanan pendidikan bagi siswa tunanetra harus berkelanjutan atau berkesinambungan, artinya program layanan pendidikan merupakan satu paket program utuh yang terdapat bagian-bagian atau kelanjutan dari program yang saling berhubungan dengan yang lainnya. Jika diputus ditengah tidak akan kurang bermakna bagi siswa, sehingga program tersebut harus diselesaikan.

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut dapat ditegaskan bahwa proses pembelajaran memperhatikan kesatuan materi dan

penglihatan yang dialami anak dengan kelaian penglihatan yang meliputi keterbatasan dalam hal variasi dan luasnya pengalaman, keterbatasan mobilitas dan keteerbatasan interaksi, maka diperlukan prinsip pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik siswa tunanetra.

b. Media Pembelajaran Bagi Siswa Tunanetra

1) Definisi Media Pembelajaran untuk Siswa Tunanetra

Menurut Arif S. Sadiman (2008:7) tantang media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima pesan. Jadi, media pembelajaran untuk siswa tunanetra merupakan alat bantu kegiatan belajar mengajar yang digunakan sesuai dengan tujuan dan isi materi pelajaran yang bisa dipakai dan sesuai dengan karakteristik anak tunanetra Tujuan penggunaan media pembelajaran untuk mempermudah penyampaian informasi dari sumber belajar kepada siswa, sehingga diharapkan memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Pemilihan media pembelajaran harus memperhatikan kondisi siswa karena siswa tunanetra berbeda kondisinya, sehingga memrlukan kekhususan dalam pembelajaran.

2) Media Pembelajaran untuk Siswa Tunanetra.

MnurutSadiman, dkk (1990), fungsi media (media

pendidikan) secara umum, adalah sebagai berikut; 1) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat visual; 2) mengatasi

keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera; 3) meningkatkan kegairahan belajar, memungkinkan siswa belajar sendiri berdasarkan minat dan kemampuannya, dan mengatasi sikap pasif siswa; dan 4) memberikan rangsangan yang sama, dapat

menyamakan pengalaman dan persepsi siswa terhadap isi pelajaran. Jadi ada beberapa fungsi media pembelajaran, antara lain adalah untuk memperlancar proses pembelajaran, memperjelas sebuah konsep serta membangkitkan minat dan perhatian terhadap pembelajaran. Media pembelajaran yang digunakan oleh tunanetra harus dirancang sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa tunanetra. Karena katerbatasan siswa tunanetra maka media pembelajaran untuk siswa tunanetra haruslah sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera perabaan, pendengaran, penciuman, pencecap atau sisa penglihatan. Berikut adalah macam-macam media pembelajaran yang dapat digunakan untuk siswa tunanetra :

a) Braille

Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia (dalam Rancangan MA SPLASH, 2014: 8), braille adalah sebuah sistem penulisan khusus bagi tunanetra yang diciptakan oleh Louis Braille dari Perancis. Braille merupakan sejenis sistem tulisan sentuh yang digunakan oleh tunanetra.

Huruf-huruf Braille menggunakan kerangka penulisan seperti kartu domino, karena disusun terdiri dari enam titik dengan posisi vertikal dan dua titik horisontal. Keenam titik tersebut dapat disusun sedemikian rupa hingga menciptakan 64 macam kombinasi. Huruf Braille dibaca dari kiri ke kanan, dan dapat melambangkan abjad, tanda baca, angka, tanda musik, simbol matematika dan lainnya.

Media Braille merupakan media pembelajaran utama yang digunakan dalam proses belajar siswa tunanetra. Siswa tunanetra membaca dengan meraba titik-titik timbul yang tercetak pada kertas. Ada beberapa kendala dalam menggunakan media Braille dalam pembelajaran, 1) mahal dalam pengadaannya; 2) memerlukan waktu yang lama untuk mengidentifikasi huruf kemudian dirangkai menjadi satu kata dan kalimat; 3) memerlukan perlakuan khusus dalam penyimpanan (buku harus didirikan agar huruf timbul tidak menjadi rata sehingga sulit dikenali).

b) Media Audio

Media audio telah banyak dimanfaatkan dalam pembelajaran untuk siswa tunanetra. Menurut Daryanto, ada beberapa manfaat yang akan diperoleh jika guru memanfaatkan media audio atau radio sebagai media pembelajaran. Tugas guru akan jauh menjadi lebih ringan jika dibandingkan dengan jika tanpa dibantu oleh media ini (Daryanto, 2010:38). Selama ini guru waktu lebih banyak digunakan untuk membacakan materi pembelajaran. Media audio merupakan

salah satu pemecahan pembelajaran karena dapat dimanfaatkan secara individual atau mandiri oleh siswa.

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi pada saat ini media audio tidak hanya disimpan dan disajikan dalam bentuk analog tetapi sudah disimpan dan disajikan dalam bentuk digital. Penyimpanan dan tranportasi data dalam bentuk digital lebih memudahkan pengguna dalam menggunakan media audio sebagai media pembelajaran. Media audio digital dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan materi dalam bentuk audiobook, e-book, ataupun digital talking book.

Pada audiobook, pemutar atau player yang digunakan dapat berupa pemutar CD atau CD Player, USB, pemutar MP3 maupun MP4. Audio book terdiri dari dua kata gabungan bahasa Inggris yaitu kata audio yang berarti “suara”, dan kata book yang artinya “buku”. Dari dua kata yang digabungkan tersebut, audiobook diterjemahkan secara bebas “buku dalam bentuk suara” atau “buku audio.”

Pada prinsipnya, audiobook hadir sebagai bentuk lain dari sebuah buku. Selama ini, buku konvensional yang dikenal luas di masyarakat adalah buku cetak. Buku cetak sendiri sifatnya visual, sehingga hanya dapat dibaca oleh orang berpenglihatan normal. Sedangkan audiobook adalah buku yang dibaca dengan cara mendengar. Audiobook nyaman dimanfaatkan oleh orang yang

bergaya belajar auditori dan orang yang mengalami gangguan penglihatan termasuk penyandang tunanetra.

Dengan adanya audiobook, siswa tunanetra yang selama ini hanya bergantung pada pembacaan buku oleh orang lain (guru/orang tua), dan buku Braille, kini mereka dapat secara lebih mandiri “membaca buku dengan cara mendengarkan audiobook.”

Audiobook biasanya berisi isi dari buku yang dibaca dan direkam. Isi buku yang di-audiobook-kan dapat dibacakan dan direkam secara sama dan persis dengan buku sumbernya, atau pembacaan dan rekamannya dilengkapi dengan sajian yang mampu menarik minat pengguna.

Sajian dalam audiobook dapat juga diolah sehingga tidak akan membosankan bagi para pendengar. Pengolahan kata menjadi bahasa verbal dapat menjadikannya lebih menarik jika dilakukan secara kreatif. Bagi mereka yang tidak memiliki kekurangan dalam hal penglihatan, audiobook dapat menjadi alternative dalam menikmati isi sebuah buku. Kebanyakan audiobook yang

didengarkan oleh orang normal berupa novel, buku cerita maupun buku-buku best seller.

c) Media Audio SPLASH

MA SPLASH adalah media audio Solusi Pintar Jelas dan Mudah. Media ini media audio pembelajaran yang diperuntukkan bagi siswa tunanetra.

Ada beberapa keunggulan dari MA SPLASH yaitu menarik karena materi yang disampaikan dikemas secara singkat, padat, jelas, mudah dipahami karena menggunakan bahasa yang komunikatif dan kosakata yang sesuai dengan kemampuan siswa tunanetra.

Selain itu, penggunaan MA SPLASH juga bersifat fleksibel karena berbentuk track-track dengan format MP3 yang dapat diputar dengan handphone, MP3 Player, dan komputer atau laptop sehingga mudah digunakan siswa tunanetra.

c. Aksesbilitas Belajar Bagi Tunanetra

Aksesibilitas belajar yang dimaksud adalah keseluruhan komponen yang terkait dalam proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sesuai dengan hambatan yang ditimbulkan oleh ketunanetraan, sehingga memudahkan siswa tunanetra untuk

mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Kegiatan belajar yang diikuti oleh siswa tunanetra di sekolah reguler (inklusi) yang sebagian besar siswanya berpenglihatan awas dan cara belajarnya berbeda dengan siswa tunanetra, tidak mengharuskan pemisahan dari lingkungan belajar sekolah reguler.

Belajar bagi siswa tunanetra di sekolah inklusi, menuntut guru untuk melakukan berbagai upaya penyesuaian berbagai komponen belajar dan pendukungnya dengan kondisi yang dialami siswa tunanetra, agar kegiatan belajar dapat diikutinya dengan mudah, dan

dengan potensi yang dimilikinya. Komponen belajar dan pendukungnya yang mungkin perlu penyesuaian dapat digolongkan ke dalam bidang-bidang sebagai berikut:

1) Kegiatan belajar mengajar yang meliputi pengelolaan kelas, pengembangan kurikulum, pemilihan dan penggunaan materi, metode, media, dan evaluasi.

2) Lingkungan fisik sekolah yang meliputi sarana dan prasarana. 3) Lingkungan sosial yang berhubungan dengan pihak-pihak yang

terlibat dan mendukung kegiatan belajar siswa tunanetra, seperti teman, orang tua, guru, dan masyarakat serta stakeholders lainnya.

Di samping aspek tersebut, ada hal penting yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh guru dalam menciptakan aksesibilitas belajar sebelum kegiatan belajar itu berlangsung, yaitu adaptasi ruang kelas. Kegiatan guru yang dapat dilakukan untuk mengadaptasi ruang kelas, terutama bagi siswa yang masih memiliki sisa penglihatan (low vision), adalah:

1) Menentukan tempat terbaik dan tepat bagi siswa low vision agar dapat melihat papan tulis, contoh kapan dia duduk di depan kelas. 2) Mengupayakan agar cahaya tidak memantul ke mata siswa low

vision sehingga menyilaukan, dan meyakinkan bahwa tulisan di papan tulis jelas terlihat olehnya.

3) Jika mata siswa sensitif terhadap cahaya, guru perlu memindahkan dia dari dekat jendela. Bisa juga dengan menggunakan ujung peci untuk menaungi matanya.

4) Meyakinkan siswa low vision mengetahui jalan di sekitar sekolah dan ruang kelas. Guru dan siswa awas yang melihat sebaiknya menuntunnya dengan berjalan di depan siswa tunanetra sedikit di belakang dan menyamping; dengan berpegangan erat pada siku pembimbing (Unesco, 2001:50).

Dengan demikian, bahwa aksesibilitas belajar bagi siswa tunanetra meliputi aksesibilitas belajar fisik dan nonfisik. Aksesibilitas belajar fisik berkenaan dengan sarana-prasarana belajar yang dipergunakan untuk membantu siswa tunanetra bisa belajar dengan baik, seperti lapangan olah raga, ruang kelas, perpustakaan, alat bantu belajar, atau media khusus lainnya. Sedangkan aksesibilitas belajar nonfisik menyangkut sikap positif semua anggota sekolah terhadap keberadaan siswa tunanetra yang dapat membantu mendorong motivasi belajarnya dengan baik, seperti sikap menerima secara terbuka, menghargai, toleransi, tolong-menolong, ramah, dan hangat.

Dalam penyampaian pengembangan konsep dasar hendaknya jangan melupakan kemampuan-kemampuan yang perlu diberikan dan dievaluasikan terhadap siswa tunanetra. Menurut Irham Hosni dalam Buku Ajar Orientasi dan Mobilitas, jenis-jenis kemampuan yang perlu

labelling; 4) grouping; 5) sorting; 6) ordering; 7) copying; 8) paterning; dan 9) contrasting. Dari kemampuan-kemapuan tersebut, dapat dikaji sebagai berikut ini:

1) Identifikasi

Mengenal (identiffying) yaitu kemampuan untuk mengetahui dan mengenal suatu objek.

2) Deskripsi

Menjelaskan (describing) yaitu kemampuan untuk menjelaskan susunan atau ciri-ciri suatu objek.

3) Labelling

Melabel (labeling) yaitu kemampuan memberi tanda (label) pada suatu benda baik mengenai isi (volume), keadaan ataupun bentuk benda tersebut, dan sebagainya.

4) Grouping

Mengelompokkan (grouping) yaitu kemampuan mengelompokkan benda yang mempunyai ciri-ciri khas. Sesuai dengan klasifikasinya. 5) Sorting

Memilih (sorting) yaitu kemampuan memilah dan melektakkan orang atau benda-benda sesuai dengan kebutuhannya.

6) Ordering

Menyusun (ordering) yaitu kemampuan menyusun sesuai urutan sehingga menjadi sistematis.

Menyalin (copying) yaitu kemampuan menirukan sesuatu sesuai dengan aslinya.

8) Paterning

Membuat pola (paterning) yaitu kemampuan memberi contoh, pola, model atau petunjuk untuk ditiru.

9) Contrasting

Membedakan (contrasting) yaitu kemampuan membedakan dua atau lebih suatu benda.

C. Hasil Belajar

Dokumen terkait