• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Kajian Teori

2. Pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning)

Webster dalam Johnson (2007:82) menulis: Konteks” berasal dari kata kerja latin “contexere” yang berarti “menjalin bersama”. Kata Konteks” merujuk pada “keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan” yang berhubungan dengan diri dan yang terjalin dengan bersamanya.

Menurut Johnson (2002:25) Pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) dapat digambarkan sebagai berikut:

“An educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subyects with the context of their daily live, that is, with context of their personal, social, and culture circumstance. To achieve this aims, the system encompasses the following components: making meaningful connections, doing significant work, self-regulated learning, collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual, reaching high standards, using authentic assessment”.

Yang dapat diterjemahkan sebagai berikut: Sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong siswa melihat makna didalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subyek-subyek akademik dengan konteks

dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keaadan pribadi, sosial dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini, pembelajaran harus memenuhi komponen-komponen berikut: membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk berkembang, mencapai standar yang tinggi, menggunakan penilaian autentik.

Sedangkan menurut Nurhadi (2002:6), pembelajaran konstektual (CTL) adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan / mengaitkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa.

Pembelajaran berbasis CTL melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran produktif, yakni:

a. Konstruktivisme (Constructivism)

Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) dari pendekatan contextual teaching and learning ( CTL) yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah sekelompok fakta-fakta, konsep-konsep atau kaidah yang siap diambil dan diingat.

b. Menemukan (Inquiri)

Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran yang berbasis CTL. Ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tapi dari menemukan sendiri. Guru harus merancang kegiatan yang menunjuk pada penemuan.

c. Bertanya (Questioning)

Bertanya merupakan strategi utama yang berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting.

Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:

1). mengggali informasi, baik administrasi maupun akademis. 2). mengecek pemahaman siswa.

3).membangkitkan respon pada siswa.

4). mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa. 5). mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa.

6). memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru. 7). untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa. 8). untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

d. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Dalam CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar (learning

community). Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya

heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberitahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya temannya yang lambat.

Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Seorang guru yang mengajari siswanya bukan contoh masyarakat belajar karena komunikasi hanya satu arah. Seseorang yang terlibat dalam masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan teman bicaranya dan sekaligus minta informasi yang diperlukan dari teman bicaranya.

e. Pemodelan (Modeling)

Maksud dari pemodelan adalah jika dalam sebuah pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu, pasti ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu. Misalnya guru memberi contoh mengerjakan sesuatu, dengan begitu guru memberi model tentang bagaimana cara belajar.

Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa bisa ditunjuk untuk memberi contoh temannya dan model juga dapat didatangkan dari luar.

f. Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa yang lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.

Pengetahuan yang bermakna diperoleh melalui proses. Pengetahuan yang dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang diperluas

sedikit demi sedikit. Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru.

Kunci dari semua itu adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap dibenak siswa. Siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru.

g. Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)

Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan disepanjang proses pembelajaran, maka assessment tidak dilakukan diakhir periode (cawu/semester), pembelajaran seperti pada kegiatan Ujian Akhir Nasional, tetapi dilakukan bersama secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran.

Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning by doing), bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi diakhir periode pembelajaran.

Karena assessment menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Data yang diambil dari kegiatan siswa saat melakukan kegiatan baik di dalam kelas maupun di luar kelas itulah yang disebut data autentik.

Kemajuan belajar dilihat dari proses, bukan melulu hasil. Penilaian autentik menilai pengetahuan dan ketrampilan (performansi) yang diperoleh siswa. Penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman lain atau orang lain. Karakteristik authentic assessment:

1). Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung. 2). Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif.

3). Yang diukur ketrampilan dan performansi, bukan mengingat fakta. 4). Berkesinambungan.

5). Terintegrasi.

6). Dapat digunakan sebagai feedback.

Intinya, dengan authentic assessment, pertanyaan yang ingin dijawab adalah “apakah anak-anak belajar?” , bukan “apa yang sudah diketahui?” Jadi, siswa dinilai kemampuannya dengan berbagai cara. Tidak melulu dari hasil ulangan tulis.

Komponen CTL yang di pilih pada penelitian ini adalah: (1) masyarakat belajar; (2) kontruktivisme ; (3) menemukan ; dan (4) refleksi disesuaikan dengan karakter pembelajaran aproksimasi kesalahan.

Dalam menerapkan pembelajaran contextual teaching and learning(CTL)

ada sejumlah strategi yang sama pentingnya, semuanya secara proporsional dan rasional yang mesti ditempuh yaitu :

1. Pengajaran harus berbasis problem. Dengan adanya problem yang dihadapi, siswa ditantang untuk berpikir kritis dalam memecahkannya. Problem seperti ini akan membawa makna personal dan sosial bagi siswa.

2. Menggunakan konteks yang beragam. Makna / pengetahuan tersebut ada dalam konteks fisikal dan sosial (sekolah, keluarga, masyarakat dan sebagainya), sehingga makna yang diperoleh semakin berkualitas.

3. Mempertimbangkan kebhinekaan siswa. Guru harus mengayomi setiap individu dan meyakini bahwa perbedaan individual dan sosial seyogianya dibermaknakan menjadi mesin penggerak untuk belajar saling menghormati dan membangun toleransi demi terwujudnya ketrampilan interpersonal.

4. Memberdayakan siswa untuk belajar mandiri. Menjadikan pendidikan formal sebagai kawah candradimuka bagi pembelajaran siswa untuk belajar mandiri di kemudian hari. Oleh karena itu perlu dilatih berpikir kritis dan kreatif dalam mencari dan menganalisis informasi.

5. Belajar melalui kolaborasi. Siswa seyogianya dibiasakan saling belajar dari dan dalam kelompok untuk berbagi pengetahuan dan menentukan fokus belajar.

6. Menggunakan penilaian autentik, yaitu mengakui adanya kekhasan sekaligus keleluasaan dalam pembelajaran, materi ajar dan prestasi yang dicapai siswa.

7. Mengejar standar tinggi. Siswa perlu diberi pengertian untuk terus menjadi manusia kompetitif pada era seperti sekarang ini, sehingga standar tinggi merupakan hal yang penting.

Menurut Y. Marpaung (2006:8) pada pembelajaran kontektual, siswa: 1. harus aktif mengolah informasi untuk memperoleh pengetahuan.

2. materi selalu dikaitkan dengan masalah-masalah kontektual. Dengan demikian siswa secara perlahan-lahan melihat makna pengetahuan dalam hubungannya dengan kebutuhan mereka.

3. berinteraksi dengan sesama siswa. Belajar dengan bekerja sama lebih efektif dari pada belajar dengan kompetisi individu.

4. dibimbing oleh guru menuju pencapaian pengetahuan yang diharapkan.

Pembelajaran kontekstual (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari – hari. Pengetahuan dan ketrampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru ketika ia belajar.

Dalam kelas kontektual, menurut Nurhadi (2002:2) tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah team yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.

Pembelajaran kontekstual merupakan bagian dari kerangka pendidikan yang dapat digunakan untuk membantu siswa membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna bagi siswa. Guru memiliki konteks pembelajaran yang tepat bagi siswa dengan cara mengkaitkan pembelajaran dengan kehidupan nyata dan lingkungan dimana anak itu hidup serta budaya yang berlaku dalam masyarakat. Jadi penyajian pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, nilai dan sikap yang ada dalam silabus dilakukan dalam keterkaitan apa yang dipelajari dalam kelas dengan kehidupan sehari – hari siswa.

Dengan memilih konteks secara hati – hati siswa secara perlahan – lahan digerakkan pemikirannya agar tidak hanya berkonsentrasi dalam pembelajaran di lingkungan kelas saja, tetapi mengkaitkan aspek – aspek pembelajaran itu dengan kehidupan mereka sehari – hari, masa depan mereka dan lingkungan masyarakat yang lebih luas.

Pengalaman belajar siswa tidak dikotak – kotakkan dalam silabus yang terpisah – pisah. Karenanya, guru memilih konteks dan merancang pembelajaran yang kondusif untuk belajar, yaitu yang terintegrasi (saling berkaitan), interdisipliner (dipandang dari berbagai bidang ilmu), dan mencerminkan situasi kehidupan nyata.

Di era informasi saat ini sangat diperlukan kemampuan berpikir kristis dan imajinatif, kemampuan menganalisis fakta, menilai logika, dan melahirkan kemungkinan – kemungkinan imajinatif atas ide – ide tradisional. Untuk itu, siswa perlu dilatih agar dapat berpikir demikian.

Berpikir kritis dan kreatif memungkinkan siswa mengkaji masalah – masalah secara sistematis, ditantang untuk mencari cara – cara yang terorganisasi dengan baik dalam memecahkan suatu masalah, dapat merumuskan pertanyaan – pertanyaan yang inovatif dan dapat merancang pemecahan masalah secara tepat.. Berpikir kritis bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang paling lengkap. Berpikir kritis membantu siswa memahami bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri, bagaimana mereka melihat dunia yang seluas ini, dan bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain. Berpikir kritis membantu siswa menguji sikap mereka sendiri dan menghargai nilai – nilai yang harus mereka pelajari. Itu sebabnya, berpikir kritis menjadi salah satu prinsip yang mendasar dalam pembelajaran kontekstual.

Dokumen terkait