• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: PUISI DAN BURUH

D. Pembelajaran Sastra

1. Pengertian Pembelajaran Sastra

Pendidikan, menurut Yudhi Munadi, pada hakikatnya merupakan suatu peristiwa yang memiliki norma. Artinya, dalam peristiwa pendidikan, pendidik dan anak didik berpegang pada ukuran, norma hidup, pandangan terhadap individu dan masyarakat, nilai-nilai moral, kesusilaan yang semuanya merupakan

sumber norma di dalam pendidikan.101 Pembelajaran merupakan bagian dari

proses pendidikan. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita pendidikan yang luhur sebagaimana yang terkandung dalam Bab II, Pasal 3 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi:

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.102

Kata pembelajaran sendiri dipakai sebagai padanan dari kata instruction

(bahasa Inggris). Kata instruction memiliki pengertian yang lebih luas daripada

pengajaran. Jika kata pengajaran ada dalam konteks guru-murid di kelas formal, pembelajaran mencakup pula kegiatan belajar-mengajar yang tidak dihadiri oleh

guru secara fisik.103 Sebagai perbandingan, dapat pula ditinjau pendapat Moh.

Uzer Usman mengenai pengertian proses belajar-mengajar. Menurutnya, proses

100Ibid.

101 Yudhi Munadi, Media Pembelajaran, (Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2012), h.3.

102 Rohinah M. Noor,op. cit., h. 108. 103Ibid., h.4.

belajar-mengajar adalah suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi

edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.104

Pembelajaran haruslah bermakna, artinya apa yang dipelajari oleh anak

harus bisa memberikan manfaat.105 Berkaitan dengan hal tersebut, pembelajaran

sastra hadir sebagai salah satu cara untuk menghadirkan pembelajaran yang bermakna, berkarakter, yang di dalamnya mengandung nilai-nilai moral yang baik untuk peserta didik. Pembelajaran sastra, menurut Rahmanto, dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupan meliputi empat manfaat, yaitu mambantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan

cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak.106

Pembelajaran sastra mencakup tiga genre sastra, yakni puisi, prosa, dan drama. Dalam pengaplikasiannya, ketiganya disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas reseptif siswa. Disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan menulis bagi siswa, yang merupakan aktivitas

produktif mereka. Hal itu berlangsung hingga pada tahap evaluasi.107

2. Tujuan Pembelajaran Sastra

Joan Glazer dalam Rohinah M. Noor berpendapat bahwa sastra membantu perkembangan sosialisasi, yaitu (1) sastra memperlihatkan kepada anak-anak bahwa banyak dari perasaan mereka dialami juga oleh anak-anak yang lainnya semua itu wajar serta alamiah; (2) sastra menjelajahi serta meneliti dari berbagai sudut pandang memberikan suatu gambaran yang lebih utuh dan bulat, memberikan dasar penanaman emosi tersebut; (3) perilaku para tokoh memperlihatkan berbagai pikiran mengenai cara-cara menggarap emosi tersebut; (4) sastra turut memperjelas, bahwa seorang manusia mengalami berbagai

104 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), h. 4.

105 Najib Sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter, (Surabaya: JePe Press Media Utama, 2009), h.42.

106 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kaninus, 1988), h. 16 107 Rohinah M. Noor, op. cit., h.76

perasaan dan perasaan tersebut kadang bertentangan serta memperlihatkan konflik.108

Dalam dunia pendidikan, penanaman moral pada diri anak didik (manusia) merupakan suatu hal yang penting sebab ketika seorang manusia telah memiliki moral yang baik, kepribadian yang menyenangkan, tutur kata yang lembut, dan kepedulian yang tinggi terhadap sesama, dia akan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan, baik bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat,

bangsa maupun negara.109

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Melalui karya sastra itulah diharapkan pembaca mampu mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang

disampaikan.110 Dengan demikian, melalui pembelajaran sastra, diharapkan para

siswa mampu mengambil hikmah atau pelajaran untuk diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran sastra tidak sekedar mengenalkan sastra kepada siswa. Mendekatkan sastra sangatlah penting, terutama nilai-nilainya yang berguna untuk memahami hidup. Ungkapan jiwa, nuansa kehidupan, keindahan, semuanya tercipta dalam sastra. Siswa-siswa dapat mengembangkan pemikirannya serta

talenta dalam menulis sehingga dapat memaknai hidup.111

Dalam sastra terkandung eksplorasi mengenai kebenaran universal. Sastra juga menawarkan berbagai bentuk kisah yang merangsang pembaca untuk bercermin secara telanjang, dan tentu saja setelah itu berbuat sesuatu. Apalagi jika pembacanya adalah anak didik yang fantasinya baru berkembang dan menerima

segala cerita terlepas dari cerita itu masuk akal atau tidak.112

Jika ditelisik lebih jauh, pengajaran sastra tidak hanya membentuk watak dan moral, tetapi juga memiliki peran bagi pemupukan kecerdasan siswa dari

108 Ibid., h. 38-39 109Ibid., h. 64 110Ibid., h. 64-65 111Ibid., h. 66 112 Ibid., h.11-12

semua aspek. Melalui apresiasi sastra, misalnya, kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual siswa dapat diasah. Siswa tidak hanya terlatih untuk

membaca saja, tetapi juga mampu mencari makna dan nilai-nilai yang luhur.113

Selain itu, pembelajaran sastra juga dapat menjadi sebuah pembelajaran yang menyenangkan di tengah kepenatan siswa terhadap pelajaran-pelajaran yang “berat”. Pada saat itu, peran guru sangatlah penting. Melalui pendekatan yang dilakukan dengan proses yang sedikit demi sedikit, pembelajaran sastra dapat mengisi kehausan siswa-siswanya akan sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuat

ekspresi/ungkapan jiwanya keluar begitu alami yang selama ini terendap.114

Singkatnya pembelajaran sastra bisa menjadi sebuah pembelajaran yang menyenangkan sekaligus memberikan manfaat bagi siswa.

Melalui pembelajaran sastra secara langsung maupun tidak langsung akan membantu siswa dalam mengembangkan wawasan terhadap tradisi dalam kehidupan manusia, menambah kepekaan terhadap berbagai problema personal dan masyarakat manusia, dan bahkan sastra pun akan menambah pengetahuan

siswa terhadap berbagai konsep teknologi dan sains.115

Melalui kegiatan apresiasi sastra yang memadai tentunya akan

menciptakan output pendidikan yang lebih arif dan bijak. Dalam konteks ini,

sastra menjadi sangat penting. Sastra tidak hanya berperan dalam penanaman fondasi keluhuran budi pekerti, tetapi juga memiliki andil dalam pembentukan karakter yang jujur sejak dini. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan teks-teks sastra, anak didik akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam tentang manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas problematika

dimensi hidup.116

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian-penelitian yang mengkaji puisi-puisi karya Wiji Thukul ini dapat ditinjau dari beberapa penelitian skripsi. Berikut ini adalah tinjauan penulis pada penelitian yang mengkaji puisi-puisi karya Wiji Thukul.

113 Ibid, h.12 114Ibid. 115Ibid., h. 82-83 116 Ibid, h.13-14

Hantisa Oksinata dari Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul “Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul”. Penelitian saudara Hantisa Oksinata didasarkan atas hubungan antara karya sastra dan kenyataan sosial dan sejarah yang terjadi dalam kehidupan manusia, yang dalam hal ini adalah kritik sosial yang terkandung dalam puisi-puisi Wiji Thukul terhadap situasi sosial yang tengah dialami oleh Indonesia pada suatu masa (masa Orde Baru). Penelitian saudara Hantisa Oksinata ini bertujuan untuk

mendeskripsikan: (1) unsur batin dan kritik sosial yang terdapat dalam puisi Aku

Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul, dan (2) resepsi pembaca dalam puisi Aku Ingin Jadi Peluru. Ada pun dalam penelitian itu, yang dikaji adalah sebelas dari

141 buah puisi yang mewakili tema kritik sosial.117

Kemudian, penelitian yang juga membahas puisi-puisi Wiji Thukul juga dilakukan oleh Wahyu Widodo dari Universitas Negeri Malang dengan judul

“Realisme Sosialis dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji

Thukul (Kajian Strukturalisme Genetik)”. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan unsur puisi dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya

Wiji Thukul, mendeskripsikan latar belakang sosiobudaya penyair yang

terefleksikan ke dalam puisi-puisi dalam Aku Ingin Jadi Peluru, dan

mendeskripsikan ciri-ciri realisme sosialis dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi

Peluru. Penelitian ini memberikan sebuah kesimpulan bahwa pandangan penyair terhadap kondisi sosial budaya masyarakat adalah sebagai berikut: (1) masyarakat bawah yang menderita akibat kesewenang-wenangan pemerintah melalui kebijakannya harus berani untuk menyatakan keberadaan dirinya. Hal ini tercermin dari pokok persoalan yang diangkat oleh penyair dalam puisi-puisinya, (2) masyarakat bawah memunyai kekuatan dan keberanian untuk melawan kesewenang-wenangan pemerintah dengan banyaknya ditemukan penggunaan tanda seru sebagai sebuah seruan dan ajakan serta penegasan keyakinan yang ditempuhnya, yakni jalan melawan pemerintah. Ciri-ciri realisme sosialis dalam

117Hantisa Oksinata, “Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul”, Skripsi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010, http://digilib.fkip.uns.ac.id/contents/skripsi.php?id_skr=1053, diunduh pada 9 Maret 2014 pukul 18:49

kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul, yakni memadukan

antara isi dan bentuk dalam artian isi mengangkat pokok persoalan (subject

matter) dalam masyarakat bawah dengan menggunakan piranti estetika kesusastraan seperti bahasa kiasan, gaya bahasa, dan pilihan kata yang sesuai serta terkondisikan dalam sosial budaya masyarakat bawah yang menderita pada kurun

waktu 1980 sampai 1997 di masa pemerintahan Orde Baru.118

Penelitian lain yang juga membahas puisi-puisi Wiji Thukul juga

dilakukan oleh Moh. Anas Irfan dari Universitas Jember dengan judul “Kumpulan

Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul: Tinjauan Semiotik”. Penelitian

ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur dan keterjalinan antarunsur struktur

yang membangun puisi-puisi Wiji Thukul dalam Aku Ingin Jadi Peluru dengan

menggunakan tinjauan semiotik.

Analisis struktural meliputi tema, diksi, dan bunyi menunjukkan adanya keterjalinan yang dapat membentuk makna yang utuh dalam kelima puisi yang dibahas dalam penelitian ini. Berdasarkan analisis semiotik, ditemukan ketidaklangsungan ekspresi yang meliputi penggantian arti, penyimpangan arti,

dan penciptaan arti. Penggantian arti pada puisi Nyanyian Akar Rumput

menggunakan personifikasi, metafora, dan sinekdoke pars pro toto. Penggantian arti pada puisi “Kuburan Purwoloyo” menggunakan sinekdoke pars pro toto,

metonimia, hiperbola, dan metafora. Penggantian arti pada puisi ”Ayolah

Warsini” menggunakan metafora dan sinekdoke pars pro toto. Penggantian arti

pada puisi “Bunga dan Tembok” menggunakan sinekdoke totem pro parte. Penggantian arti pada puisi ”Kemarau” menggunakan metafora, hiperbola, dan personifikasi. Penyimpangan arti pada kelima puisi tersebut menggunakan enjambement.

118Wahyu Widodo, “Realisme Sosialis dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru

Karya Wiji Thukul (Kajian Strukturalisme Genetik)”, skripsi pada Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/sastra-indonesia/article/view/176, diunduh pada 9 Maret 2014 pukul 18:51

Secara heuristik kelima puisi tersebut menggunakan konvensi bahasa Indonesia. Pembacaan hermeneutik kelima puisi tersebut mengungkapkan protes

sosial rakyat kecil terhadap penguasa pada masa pemerintahan Orde Baru.119

Berdasarkan tinjauan tersebut, maka kiranya memungkinkan bagi penulis untuk membuat skripsi dengan judul “Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde

Baru dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah

Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan

Sastra Indonesia di Sekolah”. Dibandingkan dengan penelitian-penelitian lain

tentang puisi-puisi Wiji Thukul, penelitian yang penulis lakukan lebih menitik beratkan penelitiannya terhadap potret buruh pada masa Orde Baru dalam

kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul. Penelitian yang

menggunakan pendekatan sosiologi sastra ini berusaha untuk mendeskripsikan potret-potret tentang buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang ditampilkan oleh Wiji Thukul melalui puisi-puisinya dan bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

119 Moh. Anas Irfan, “Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul:

Tinjauan Semiotik”, Skripsi pada Fakultas Sastra, Universitas Jember,

http:/repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/6046/Moh%20Anas%20Irfan%20-%20060110201041_1.pdf?sequence=1, diunduh pada 22 April 2014 pukul 19:00

BAB III

WIJI THUKUL: PENYAIR DAN AKTIVIS

A. Biografi Wiji Thukul

Wiji Thukul adalah penyair yang telah memberikan khazanah baru dalam dunia perpuisian Indonesia malalui puisi-puisinya yang bertemakan tentang rakyat kecil. Penyair yang kerap dijuluki sebagai “Penyair Pelo” ini memang

kehidupannya tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan wong cilik. Wiji Thukul

lahir di Solo, 26 Agustus 1963.120 Ia tumbuh di kampung Kalangan yang terletak

di sisi timur kota Solo. Milieu kampung ini adalah pabrik-pabrik dengan segala

buruhnya. Ayah Thukul seorang penarik becak, istrinya buruh menjahit, dan mertuanya pedagang barang rongsokan. Thukul sendiri bekerja sebagai pelitur

mebel.121 Keadaan ayahnya sebagai seorang penarik becak, bahkan Thukul

lukiskan dalam puisi karyanya yang berjudul Nyanyian Abang Becak.

“perut butuh kenyang, kenyang butuh diisi namun bapak cuma abang becak!”

(Thukul: Nyanyian Akar Rumput, h. 51)

Meskipun berasal dari kalangan rakyat kecil yang hidupnya dekat dengan

kemiskinan, hal itu tidak membuat Thukul miskin dalam hal berkarya. Sebagai penyair, Thukul sudah menghasilkan beberapa kumpulan puisi yang di antaranya

adalah Kicau Kepodang (1993), Suara Sebrang Sini (1994), Dari Negeri Poci 2

(1994), Mencari Tanah Lapang (1994), Tumis Kangkun Comberan, (1996), dan Aku Ingin Jadi Peluru (2000).122 Selain kumpulan-kumpulan puisi tersebut, pada

tahun 2013, majalah Tempo menerbitkan kumpulan puisi Wiji Thukul semasa

pelariannya kala dikejar-kejar oleh aparat yang diberi judul Para Jendral

Marah-marah yang dijadikan sebagai bonus majalah Tempo edisi bulan Mei. Kemudian

120 Anonim,Wiji Thukul, antara Fakta dan Fiksi”, (Jurnal Pusat Dokumentrasi Sastra

Buruh Edisi 1 Agustus 2000), h. 10.

121Ton, “Penyair Wiji Thukul, Pemotret Kemiskinan dan Kekejaman”, (Jakarta: Warta Kota, Tahun II nomor 82, Minggu, 30 Juli 2000), h. 10.

122 Anonim, http://id.tamanismailmarzuki.org/Widji_Thukul diunduh pada 26 Maret 2014 pukul 21:33.

diikuti dengan diterbitkannya kumpulan puisi terlengkap Wiji Thukul oleh

Gramedia pada tahun 2014 yang diberi judul Nyanyian Akar Rumput.

Sepanjang kiprahnya dalam dunia kepenyairan, Thukul pun tercatat pernah mendapatkan berbagai prestasi dan penghargaan. Di antara prestasi dan

penghargaan itu adalah mendapatkan Wertheim Encourage Award yang diberikan

Wertheim Stichting pada tahun 1991, Yap Thaim Hien Award pada tahun 2002,

dan undangan membaca puisi di Kedubes Jerman di Jakarta oleh Goethe Institut.123

Sejak kecil, Thukul memang sudah dikenal oleh orang-orang di sekitarnya sebagai seorang yang berjiwa seni. Pada tahun 1977, ketika ia masih duduk di kelas satu SMP (Thukul sekolah di SMP Negeri 8 Solo), ia aktif menjadi anggota kor kapel di tempatnya biasa beribadah. Menurut Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, kakaknya selalu berangkat lebih pagi ke gereja setiap mendapat giliran

menyanyi di kor.124

Lulus dari SMP Negeri 8 Solo, Thukul masuk ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo, jurusan tari. Akan tetapi sekolahnya di SMKI ini tidak sampai tamat. Saat di SMKI, Thukul pun masih aktif di kapel. Suatu ketika menjelang Natal, anak-anak kapel hendak mementaskan teater bertemakan kelahiran Kristus, Thukul diperkenalkan kepada Cempe Lawu Warta, yang di kemudian hari menjadi “guru” yang menempa Thukul dalam berkesenian sekaligus orang yang menambahkan nama Thukul. Nama asli Thukul adalah Wiji Widodo Wiji Thukul artinya “biji yang tumbuh”.125

Dalam proses berkeseniannya, Thukul ditempa oleh Cempe Lawu Warta

di Teater Jagat (Jagat merupakan singkatan dari Jejibahan Agawe Genepe Akal

Tumindak). Di Teater Jagat, Lawu Warta yang pernah aktif di Bengkel Teater W.S. Rendra mengajarkan Thukul perihal berkesenian seperti seni teater. Lawu

Warta lah orang yang mula-mula melihat bakat Thukul di bidang menulis puisi.126

123 Anonim, http://id.wikipedia.org/wiki/Widji_Thukul diunduh pada 26 Maret 2014 pukul 21:33.

124 Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, Teka-teki Orang Hilang, (Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 2013), h. 92-93.

125Ibid., h. 93-94. 126Ibid., h. 101-102.

Selain Lawu Warta, orang yang juga berpengaruh dalam proses berkesenian Thukul adalah Halim H.D., aktivis kebudayaan jebolan Fakultas Filsafat, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Awal perkenalan Thukul dan Halim terjadi di Teater Jagat pada sekitar 1986. Kala itu, Halim memang sering mampir ke Jagat. Halim lah orang yang banyak membantu Thukul mengamen puisi keliling kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Barat untuk memperluas publik audiensnya lewat jaringan kebudayaan yang ia rintis. Kemudian hari, kegiatan inilah yang membantu membentuk kepercayaan diri Wiji Thukul sebagai penyair

sekaligus deklamator.127

Puisi adalah jalan yang dipilih oleh Thukul untuk menumpahkan segala kegelisahannya. Pada awal-awal menulis, Thukul kerap kali menempel puisi karangannya di majalah dinding Teater Jagat. Kemudian sebagian puisinya ia

kirimkan ke Radio PTPN Rasitania, Surakarta, untuk diapresiasikan dan

dibacakan di acara Ruang Puisi.128

Thukul pertama kali menerbitkan kumpulan puisinya lewat Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) di Solo−sekarang Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta (TBS)−pada sekitar 1985. Kumpulan puisi yang dicetak secara stensilan sebanyak

sekitar 100 eksemplar itu bertajuk Puisi Pelo.129 Pada Puisi Pelo ini, Thukul

sudah mengangkat tema tentang kritik sosial, namun belum mengandung unsur politik praktisnya.

Setelah Puisi Pelo diterbitkan, dapat dikatakan terjadi lompatan besar

dalam penulisan Thukul. Dia banyak dipengaruhi naskah teater Jawa karya Bambang “Kenthut” Widoyo S.P.. ia juga dipengaruhi pemikiran Maxim Gorky, Arif Budiman, dan Romo Mangunwijaya. Thukul mulai banyak memasukkan

bahasa Jawa dan bahasa lisan sehari-hari dalam puisinya.130

Selain itu, sejak mengamen puisi keliling Jawa, nama Thukul mulai berkibar. Dia juga mulai memiliki jaringan dan publik sendiri. Pada saat itulah terjadi perbedaan pandangan antara Thukul dengan Lawu Warta, gurunya. Lawu

127Ibid., h. 106. 128Ibid., h. 103. 129Ibid., h. 104-105. 130Ibid., h. 107-108.

tidak sepakat jika Thukul membawa seni (puisi) ke ranah politik praktis,

sementara, Thukul berpandangan sebaliknya.131

Sejak itu, Thukul tidak lagi aktif di Jagat. Pada 1987, setelah menikah dengan Sipon, ia menumpang di rumah Halim. Thukul beserta dengan Sipon dan Halim kemudian membentuk Sanggar Suka Banjir di halaman belakang rumah

mereka. Nama itu diambil dari lingkungan mereka yang memang sering banjir.132

Di Sanggar Suka Banjir, Thukul mulai menulis esai dan artikel pendek yang bertemakan teantang kesenian dan lingkungan. Di sanggar itu pula Thukul mengajari anak-anak kampung melukis, menulis puisi, berteater, dan bernyanyi. Sanggar pun mulai ramai dijadikan tempat berkumpul remaja di sekitarnya dan mulai sejak itulah kegiatan yang dilakukan di sanggar mulai sering diawasi oleh aparat. 133

Pada tahun 1994, Wiji Thukul bersama sahabat-sahabat senimannya yang sering berdiskusi mengenai permasalahan sosial yang tengah terjadi di sekitar mereka, yaitu Semsar Siahaan dan Moelyono sepakat mendirikan sebuah organisasi jaringan kesenian bernama Jaker (Jaringan Kesenian Rakyat). Organisasi kesenian ini dibentuk bertujuan untuk membuat jaringan antar seniman guna menggalang kekuatan dan solidaritas sesama seniman untuk membendung

tindakan represif pemerintah.134

Menurut Moelyono, Jaker terilhami oleh Lekra. Dari Lekra, mereka juga mempelajari gagasan seni untuk rakyat dan konsep turun ke bawah. Namun mereka tak menelan mentah-mentah gagasan tersebut, menurut Moelyono, Jaker

juga terinspirasi Asian Council for People’s Culture.135

Jaker tidak hanya beranggotakan seniman saja, di dalamnya terdapat Hilmar, Daniel, Yuli, Jati, dan Linda Christanty. Mereka adalah anggota inti

131Ibid., h. 109.

132 Ibid., h. 109. 133Ibid., h. 110. 134Ibid., h. 112-113.

135 Tim Liputan Edisi Khusus Lekra Majalah Tempo, “Lekra dan Geger 1965” Edisi 30

Persatuan Rakyat Demokratik yang kemudian hari menjadi Partai Rakyat

Demokratik.136

Semsar, Moelyono, dan Hilmar bukan anggota PRD, sedangkan Thukul berada di posisi tarik ulur itu. Semsar, Moelyono, dan Hilmar sepakat, bahwa Jaker tidak bergerak di bidang politik. Hal ini kemudian menjadi sebuah permasalahan, sebab Thukul justru berharap Jaker bisa berafiliasi ke dalam PRD (Partai Rakyat Demokratik). Kala itu, aktivis PRD memang berupaya menarik

Jaker menjadi organ partai untuk menarik massa.137

Puncaknya pada kongres pembentukan PRD, April 1996, di Yogyakarta. Secara sepihak Thukul dan PRD memasukkan Jaker, yang diketuai Thukul, secara organisasi dan politik bergabung di bawah PRD. Semsar, Moelyono dan Hilmar pun memutuskan tak terlibat lagi dalam kegiatan Jaker karena tak setuju Jaker bergabung dengan PRD. Di PRD, akronim Jaker tetap digunakan, tetapi berubah

menjadi Jaringan Kebudayaan Rakyat dan Thukul menjadi koordinatornya.138

Berkecimpungnya Thukul di dunia politik praktis sangat disayangkan oleh Lawu Warta, gurunya semasa di Teater Jagat. Bahkan, Lawu Warta sudah menasihati Thukul tentang risiko yang mesti dihadapinya jika ia terlibat dalam politik praktis. Akan tetapi, pendirian Thukul tak bisa diubah, menurutnya, politik

adalah alat yang paling cepat untuk mengubah keadaan.139

Jaker sendiri di bawah PRD sebagaimana yang dikatakan Linda Christanty, berfungsi untuk menjadikan para seniman pengorganisasi rakyat

secara tak resmi menjadi underbow PRD.140 Selain itu, Jaker (Jaringan Kerja

Kesenian Rakyat) dibentuk oleh PRD atas kesadaran, bahwa perjuangan budaya menjadi penting karena selama puluhan tahun rakyat dibisukan dan didominasi budaya feodalisme dan ketakutan terhadap negara. Jaker dijadikan sebagai alat

untuk melakukan pembebasan mental itu.141

136 Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h. 115.

137Ibid., h. 116.

138Ibid.

139Ibid., h. 116-117. 140Ibid., h. 115.

141 Miftahudin, Radikalisasi Pemuda PRD Melawan Tirani, (Jakarta: Desantara Utama, 2004), h. 79.

Pada saat deklarasi berdirinya PRD di kantor Yayasan Lembaga Bantuan

Dokumen terkait