• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA

INDONESIA DI SEKOLAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)

Disusun oleh

Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki 1110013000020

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS

ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

Abstrak

Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki, 1110013000020 , Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Jamal D. Rahman, M.Hum.

Puisi-puisi dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul menampilkan banyak potret kehidupasn sosial yang terjadi di Indonesia. Salah satu dari sekian banyak potret kehidupan sosial yang ditampilkan oleh Wiji Thukul adalah potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru.

Penelitian yang menggunakan tinjauan sosiologi sastra ini bertujuan untuk mengetahui sebuah potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

Berdasarkan penelitian, ditemukan 22 puisi yang menampilkan potret buruh Indonesia pada Masa Orde Baru dari 169 puisi yang terhimpun dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput. Dua puluh dua puisi Wiji Thukul tentang buruh tersebut menampilkan berbagai potret buruh Indonesia seperti kehidupan ekonomi buruh yang sulit, permasalahan upah buruh yang rendah, permasalahan lembur paksa, jaminan kesehatan dan keselamatan buruh yang kuang mendapatkan perhatian oleh pihak perusahaan, serta tindakan represif dari pihak perusahaan kepada buruh.

(6)

Abstract

Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki, 1110013000020 , A Portrait of Indonesian

Labor in A Collection of Poetry Nyanyian Akar Rumput by Wiji Thukul: a

Review of Sociology of Literature and Its Implications on Indonesia Languages and Literature Learning in School. Indonesia Language and Literature Education Departement, Faculty of Tarbiya and teaching science, State Islamic University of Syarif Hidayatullah Jakarta. Advisor: Jamal D. Rahman, M.Hum.

The poems in a collection of poetry Nyanyian Akar Rumput by Wiji

Thukul shows many potrait of social life what happened in Indonesia. Among the various a portrait of social life displayed by wiji thukul is a portrait of Indonesian labor in Orde Baru era.

The research which sociology of literature review is conducted to

determine a portrait of Indonesian labor in a collection of poetry Nyanyian Akar

Rumput by Wiji Thukul and its implications on Indonesia language and literature learning in school .

Based on the results of research, found 22 poetry which showing a portrait of Indonesian labor in the Orde Baru era of 169 poetry that has colected in a

collection of poems Nyanyian Akar Rumput. 22 poetry about labor by Wiji Thukul

is showing a variety of Indonesian labor as a portrait of their economy life, the number of low labor wage that are not in accordance with the burden of work performed by labor, forced overtime issues, health care and safety in the work that is underappreciated by the company, and a repressive actions done by the officers of the companies to workers.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah Swt., Tuhan semesta alam yang telah

memberikan petunjuk dan kekuatannya sehingga saya dapat menyelesaikan

penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi

Muhammad Saw., keluarga, para sahabat, dan kita sebagai pengikutnya sampai

akhir zaman. Aamiin!

Terselesaikannya skripsi yang berjudul Potret Buruh Indonesia dalam

Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ini merupakan hasil kerja saya yang tidak terlepas dari dukungan banyak pihak, baik dukungan berupa doa, semangat, sumbangan

pemikiran, maupun bahan-bahan yang dibutuhkan bagi penyempurnaan skripsi

ini. Maka, pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan;

2. Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia;

3. Bapak Jamal D. Rahman, dosen pembimbing skripsi saya yang dengan

penuh dedikasi tinggi telah bersedia membimbing saya dalam hal penulisan skripsi ini;

4. Ibu Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A. selaku dosen penasihat akademik saya

yang telah memberikan pengarahan sampai terselesaikannya perkuliahan saya;

5. Seluruh dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FITK,

UIN Jakarta atas semua ilmu, motivasi, dan inspirasi yang begitu berguna dalam kehidupan saya;

6. Kedua orangtua saya, Basuki, S.Pd. dan Nurhayati Sulistiyo Rahayu

Ningsih, S.Pd. atas segala ketulusan dan pengorbanan yang senantiasa diberikan kepada saya;

7. Kedua adik saya Arbiyan Billah Dini Nurhakiki dan Siti Khairunnisa

Nurhakiki;

8. Sahabat-sahabat saya yang tercinta: Arul, Meizar, Puguh, Anam, Teguh,

Cecep, Ara, Habibah, Lintang, Papat, dan Rizka;

9. Ema Fitriani yang beberapa kali membantu saya dalam menemukan

sumber pustaka;

(8)

11. Sahabat-sahabat seperjuangan di Kemangilodi: Amal, Lina, dan Sri (saat kita tidak punya apa-apa, karyalah yang membawa kita ke mana-mana);

12. Sahabat-sahabat PBSI angkatan 2010;

13. Sahabat senasib, semimpi, dan seperjuangan di Kareina, Mbenk Haryadi

Kareina.

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Maka

dari itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar ke depannya

bisa lebih baik lagi.

Terakhir, saya berharap semoga skripsi ini dapat memberikan konstribusi

wawasan bagi cakrawala ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua.

Aamiin!

Ciputat, 27 November 2014

Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

G. Metode Penelitian ... 7

BAB II: PUISI DAN BURUH A. Puisi ... 12

B. Pendekatan Sosiologi Sastra ... 24

C. Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru... 28

D. Pembelajaran Sastra ... 33

(10)

BAB III: WIJI THUKUL: PENYAIR DAN AKTIVIS

A. Biografi Wiji Thukul ... 40

B. Pemikiran Wiji Thukul tentang Sastra ... 48

C. Deskripsi Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput ... 52

BAB IV: POTRET BURUH INDONESIA DALAM KUMPULAN PUISI NYANYIAN AKAR RUMPUT KARYA WIJI THUKUL

A. Thukul dan Puisi tentang Buruh ... 54

B. Analisis Struktur Puisi-puisi Wiji Thukul Tentang Buruh... 55

C. Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput .. 84

D. Implikasi Puisi-puisi Wiji Thukul tentang Buruh terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah ... 117

BAB V: PENUTUP

A. Simpulan ... 122

B. Saran... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 125 LAMPIRAN-LAMPIRAN

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah perburuhan di negeri mana pun, termasuk di Indonesia, dapat

dikatakan tidak pernah menggembirakan. Kondisi dan nasib para buruh senantiasa

menyedihkan. Mereka selalu saja terbelenggu dalam lingkungan industrial yang

kerap menggerus mereka dalam keadaan tereksploitasi pikiran dan tenaganya.

Sejak masa kolonial hingga saat ini, kondisi dan nasib buruh di negeri ini

tetap saja memperihatinkan, tak ada banyak perubahan berarti ke arah yang lebih

baik dalam kehidupan mereka. Bahkan, lahirnya serikat-serikat buruh sejak era

kemerdekaan, Orde Baru hingga era Reformasi yang diharapkan mampu menjadi

wadah bagi buruh untuk bersatu dan memperjuangkan nasib mereka ternyata

hasilnya masih jauh dari kata memuaskan.

Jika kita menyaksikan kondisi perburuhan di Indonesia, maka kita akan

dapat menyadari betapa kompleks dan rumitnya persoalan yang ada di dalamnya

dan hal itu tak kunjung ada penyelesaiannya. Buruh pun berada dalam sebuah

dilema, di satu sisi, mereka membutuhkan pihak perusahaan untuk bekerja dan

mendapatkan upah, namun di sisi lain, dalam pekerjaannya para buruh kerapkali

dieksploitasi demi kepentingan pihak perusahaan tempat mereka bekerja.

Persoalan tentang buruh dapat dikatakan sebagai persoalan yang krusial.

Persoalan ini bukan sekadar persoalan industrial, tetapi juga menyangkut

persoalan lain seperti sosial, ekonomi, dan politik. Dengan kata lain, sistem

ekonomi-politik suatu negara akan menentukan corak sistem perburuhan yang

diberlakukan.

Persoalan perburuhan sangat ditentukan oleh sistem ekonomi dunia,

khususnya kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme ini, kaum buruh cenderung

dieksploitasi. Bahkan, buruh kerap dikonotasikan sebagai mesin produksi, maka

upah yang diberikan kepada kaum buruh harus disesuaikan dengan tingkat

(12)

dan termarjinalkan dalam dunia industrial. Maka, bukanlah suatu hal yang

mengherankan apabila dari masa ke masa nasib buruh senantiasa

memperihatinkan.

Di Indonesia, pada masa Orde Baru, penguasa kala itu mencanangkan

politik pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas, dan

distribusi. Hal ini kemudian diikuti dengan diterapkannya Hubungan Industrial

Pancasila (HIP) yang membuka peluang intervensi negara. Sialnya, penerapan

politik pembangunan dan HIP oleh ini tidak mampu memperbaiki kehidupan

buruh. Kondisi buruh tetap memperihatinkan. Sistem kapitalistik yang semakin

berkembang terus menggerus kehidupan buruh. Kondisi ini diperparah dengan

intervensi yang kerap dilakukan pemerintah. Dengan dalih menjaga stabilitas,

pemerintah kala itu tidak segan menggunakan aksi represif terhadap buruh yang

mangadakan aksi protes sebagai alat untuk memperjuangkan diri mereka.

Sementara, dalam kehidupan pekerjaannya, pihak perusahaan terus-menerus

mengekploitasi mereka.

Keadaan perburuhan di Indonesia yang seperti inilah yang kemudian

menyadarkan para buruh untuk semakin bertekad memperjuangkan hak dan nasib

mereka demi kehidupan yang lebih baik. Maka mulai lahirlah beberapa serikat

buruh yang benar-benar berpihak pada buruh (bukan serikat buruh bentukan

penguasa yang pada kenyataannya digunakan untuk kepentingan penguasa).

Selain itu, para buruh pun mulai bersatu bersama pihak-pihak lain semisal para

aktivis untuk sama-sama memperjuangkan keadilan bagi buruh. Kehadiran para

aktivis dalam perjuangan buruh ini memiliki posisi yang penting sebagai motor

penggerak bagi buruh untuk menyadari dan memperjuangkan hak mereka.

Di antara aktivis buruh yang menonjol pada masa era Orde Baru adalah

Wiji Thukul. Akan tetapi, dia bukan sekadar aktivis, ia juga seorang penyair yang

sebelumnya juga pernah bekerja sebagai buruh. Sebagai seorang penyair, Wiji

Thukul kerap menggunakan puisinya sebagai media protes sosial terhadap

penguasa. Di antara hal yang sangat sering ia sampaikan dalam protes sosialnya

adalah nasib buruh. Seperti yang sudah penulis katakan, Wiji Thukul sendiri juga

(13)

dekat dengan dunia buruh membuat Thukul bisa merasakan bagaimana nasib

buruh pada masa Orde Baru yang begitu memperihatinkan.

Di antara puisi Wiji Thukul yang menampilkan potret buruh adalah

puisinya yang berjudul “Suti”. Melalui puisi tersebut, Thukul menampilkan potret

seorang buruh bernama Suti yang sakit akibat “terisap” oleh beban pekerjaannya yang berat, namun ia tidak memiliki cukup uang untuk berobat karena upahnya

sebagai buruh tidak mencukupi. Sementara itu, dalam puisi “Leuwigajah”, Wiji

Thukul menampilkan potret buruh (tenaga muda) yang terus diperah, diisap

darahnya, seperti buah disedot vitaminnya.

Dalam puisi lain yang berjudul “Terus Terang Saja”, bahkan Wiji Thukul dengan terang-terangan menyatakan kapitalis sebagai musuh bagi mereka: kaum

buruh. Dengan keras Thukul mengkonotasikan kapitalis sebagai sesuatu yang

terus-menerus memakan tetes-tetes keringat kaum buruh.

Nasib buruh pada masa Orde Baru memang sangat memperihatinkan, jika

tak ingin disebut mengenaskan. Kapitalisme yang terus tumbuh dengan subur

menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial. Para pemilik modal yang banyak di

antaranya adalah orang asing berusaha mencari keuntungan yang

sebesar-besarnya dengan cara mempekerjakan buruh dengan upah yang rendah. Buruh

saat itu dituntut untuk bekerja dengan sangat keras, tetapi tidak diimbangi dengan

upah yang sepadan. Belum lagi tentang banyaknya kisah penganiayaan terhadap

buruh yang dilakukan oleh pihak perusahaan tempat mereka bekerja (ambil

contoh kasus Marsinah, buruh dan aktivis yang meninggal sebab dibunuh oleh

pemilik perusahaan tempatnya bekerja). Hal inilah yang banyak menjadi bahan

protes sosial Wiji Thukul melalui puisi-puisinya.

Pada tahun 2014, terbit kumpulan lengkap puisi Wiji Thukul yang

berjudul Nyanyian Akar Rumput yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka

Utama. Dari sekian banyak puisi yang terdapat dalam kumpulan lengkap puisi

tersebut, terdapat beberapa puisi yang mengangkat tema tentang nasib buruh

Indonesia pada masa Orde Baru. Di antara puisi-puisi itu adalah puisi yang

berjudul “Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu

(14)

membacanya akan dapat menyaksikan bagaimana nasib buruh Indonesia ketika

masa Orde Baru lengkap dengan kondisi batin mereka.

Potret nasib buruh pada masa Orde Baru yang digambarkan oleh Wiji

Thukul dalam puisi-puisinya merupakan suatu hal yang menarik. Thukul bukan

hanya sekedar menulis puisi, ia juga seorang mantan buruh dan setelah menjadi

aktivis ia juga turut menggerakkan buruh untuk melakukan protes terhadap

pemilik pabrik dan penguasa saat itu untuk memperjuangkan nasib mereka.

Bahkan, aksinya dalam menggerakkan buruh itu pernah mengakibatkannya

mendapatkan tindak kekerasan dari aparat. Dengan demikian, dapat dilihat

bagaimana Thukul telah berusaha memperjuangkan nasib buruh melalui puisi

sekaligus aksi.

Sebagai penyair, Wiji Thukul telah berhasil menampilkan potret kenyataan

sosial yang pernah terjadi di negerinya dalam hal ini adalah potret buruh

Indonesia pada masa Orde Baru. Bukan itu saja, ia juga menjadikan puisi-puisinya

sebagai alat protes sosial terhadap penguasa dan pihak perusahaan yang di sisi lain

mampu menggerakkan para buruh untuk bersatu dan memperjuangkan hak dan

nasib mereka. Apa yang dilakukan oleh Thukul melalui puisi-puisinya

menegaskan bahwa puisi dapat dijadikan sebagai media yang mengabadikan

sebuah potret kenyataan sosial yang di sisi lain dapat digunakan sebagai alat

protes sosial.

Nama Wiji Thukul dalam sejarah sastra Indonesia seolah-olah terlupakan

atau bahkan sengaja dilupakan yang mungkin saja akibat dari sosoknya sebagai

penyair sekaligus aktivis pemberontak yang menjadi musuh penguasa. Begitulah,

sejarah memang sering ditulis dan dilupakan demi kepentingan penguasa. Wiji

Thukul sendiri sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya, entah masih hidup

atau tidak, jika sudah meninggal, sampai sekarang jasadnya pun belum

diketemukan. Ia dilaporkan hilang oleh istrinya setelah tragedi krisis 1998.

Banyak yang mengatakan ia telah menjadi korban politik penguasa yang tak tahan

oleh kritik dan aksinya sebagai penyair sekaligus aktivis.

Dapat dikatakan, Wiji Thukul, baik sebagai penyair, aktivis, maupun

(15)

sebagai seorang penyair dan aktivis yang memperjuangkan hak buruh maupun

rakyat kecil lainnya dari kesewenangan penguasa, tetapi justru karena pilihan

hidupnya itulah ia dianggap sebagai musuh oleh penguasa. Berdasarkan hal-hal

tersebut yang telah penulis jelaskan, maka penulis tertarik untuk melakukan

sebuah penelitian mengenai potret kehidupan buruh Indonesia pada masa Orde

Baru yang terdapat dalam puisi-puisi karya Wiji Thukul. Ada pun judul dari

penelitian ini adalah “Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru dalam

Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”. Melalui penelitian ini, penulis berusaha

menguraikan bagaimana kumpulan puisi Wiji Thukul yang berjudul Nyanyian

Akar Rumput mencerminkan nasib buruh Indonesia pada masa Orde Baru.

B. Identifikasi Masalah

Di dalam penelitian tentu terdapat banyak faktor atau unsur yang diteliti.

Faktor atau unsur-unsur tersebut memerlukan pengidentifikasian masalah. Tujuan

adanya identifikasi masalah adalah agar memudahkan peneliti dalam mengkaji

bahasan penelitiannya. Berikut identifikasi masalah yang terdapat dalam skripsi

ini.

1. Potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang tergambarkan dalam

puisi-puisi Wiji Thukul merupakan usaha penyair untuk menguak fakta tentang

kondisi buruh pada zaman itu yang seringkali diperlakukan secara tidak adil,

namun fakta tersebut ditutupi oleh penguasa saat itu.

2. Puisi-puisi Wiji Thukul yang bertemakan tentang buruh merupakan usaha Wiji

Thukul untuk memperjuangkan nasib buruh yang pada masa Orde Baru.

C. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak terlalu meluas, maka

diperlukan batasan masalah. Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada

(16)

Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul serta implikasinya terhadap

pembelajaran sastra di sekolah.

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang terdapat dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang tergambarkan

dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul?

2. Bagaimana implikasi kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji

Thukul terhadap pembelajaran sastra di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru dalam

kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul.

2. Untuk mengetahui implikasi kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput terhadap

pembelajaran sastra di sekolah.

F. Manfaat Penelitian

Untuk menguji kualitas yang dilakukan oleh seorang peneliti, maka suatu

penelitian harus memiliki manfaat baik secara teoretis, maupun praktis.

Berikut merupakan manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian skripsi

ini.

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas ilmu pengetahuan di bidang

kritik sosial, khususnya mengenai permasalahan buruh di Indonesia dan

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bagi para guru Bahasa dan Sastra

Indonesia, akademisi, dan masyarakat umum yang menaruh minat terhadap

bahasa dan sastra Indonesia.

(17)

a) Mengetahui potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang terdapat

dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul serta

relevansinya terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari.

b) Sebagai bahan yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa dan

sastra Indonesia.

c) Sebagai motivasi dan referensi bagi peneliti lain yang berminat terhadap

pembelajaran sastra Indonesia dalam melakukan penelitian lebih lanjut,

serta sebagai inovasi baru bagi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

G. Metode Penelitian

Penelitian yang baik adalah penelitian yang menggunakan metode yang

relevan. Fungsi dari penggunaan metode penelitian adalah agar penelitian yang

dilakukan mendapatkan hasil yang sistematis, valid, dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Berikut ini merupakan metode yang digunakan dalam penelitian skripsi yang berjudul “Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya

Terhadap Pembelajaran Keterampilan Menyimak Sastra di Sekolah Menengah

Atas”.

1) Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif selalu bersifat deskriptif, artinya, data penelitian dari

hasil analisis, yaitu berupa deskripsi, bukan berupa angka-angka atau

numerik, karena objek dalam penelitian kualitatif adalah berupa teks.

Sedangkan pendekatan teori menggunakan pendekatan sosiologi sastra.

Pendekatan sosiologi sastra menurut Abrams adalah pendekatan kajian sastra

yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan

kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan karya sastra sebagai imitasi dari

realitas.1

1

(18)

Dalam penelitian ini, karya sastra yang dianalisis adalah kumpulan puisi

Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul.

2) Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam menyajikan hasil penelitian ini adalah metode

deskriptif. Sebuah deskripsi adalah representasi objektif terhadap fenomena

yang ditanggap.2 Metode deskriptif ini bertujuan untuk mengungkapkan data

dengan pendeskripsian secara cermat dan rinci untuk menggambarkan suatu

hal, keadaan, dan fenomena yang meliputi analisis dan interpretasi terhadap

objek yang diteliti.

Dengan desain tersebut, maka penelitian ini mendeskripsikan atau

menggambarkan apa yang menjadi pokok masalah dalam puisi yang dikaji,

yakni kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan

implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di Sekolah.

3) Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan

sekunder. Data primer adalah data langsung yang berkaitan dengan karya

sastra yang dikaji, dalam hal ini buku kumpulan lengkap puisi Wiji Thukul

Nyanyian Akar Rumput yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, Cetakan I: 2014, dengan tebal 248 halaman. Sedangkan data

sekunder merupakan data tambahan atau pelengkap yang memiliki hubungan

dengan objek penelitian.

2

Winarto Surachmad, Dasar dan Teknik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah,

(19)

4) Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka, dengan

teknik simak dan catat. Teknik pustaka merupakan teknik yang menggunakan

sumber-sumber data tertulis untuk meperoleh data penelitian. Teknik simak

dan catat digunakan sebagai instrumen kunci dalam melakukan penyimakan

secara cermat dan terarah terhadap sumber data. Sumber-sumber tertulis yang

digunakan dalam penelitian sesuai dengan masalah dan tujuan pengkajian

karya sastra yang diteliti.

Dalam penelitian ini, sumber-sumber tertulis yang digunakan sesuai dengan

analisis struktur yang membangun serta potret buruh Indonesia yang terdapat

dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul. Peneliti

melakukan penyimakan dan pencatatan secara cermat terhadap sumber data

primer, yaitu teks puisi “Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”,

“Satu Mimpi Satu Barisan”, “Leuwigajah”, “Catatan Malam”, “Sajak kepada

Bung Dadi”, “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”, “Kuburan Purwoloyo”,

“Lumut”, “Gunung Batu”, “Kampung”, “Jangan Lupa, Kekasihku”, “Nonton

Harga”, “Terus Terang Saja”, “Harimau”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Makin

Terang Bagi Kami”, “Bukan Kata Baru”, “Seorang Buruh Masuk Toko”,

“Edan”, dan “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI” untuk

memperoleh data yang diperlukan. Hasil pencatatan tersebut kemudian

digunakan sebagai sumber data primer yang akan digunakan sebagai sumber

data primer yang akan digunakan dalam penyusunan hasil penelitian sesuai

dengan tujuan penelitian yang akan dicapai.

5) Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penlitian ini adalah teknik

membaca heuristik. Menurut Riffatere dalam Sangidu, pembacaan heuristik

(20)

menginterpretasikan teks satra secara referensial lewat tanda-tanda

linguistik.3.

Langkah awal dalam menganalisis kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput

adalah dengan membaca secara heuristik. Membaca dengan heuristik

bertujuan untuk mengetahui makna secara tersurat secara keseluruhan dari

kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput. Setelah itu, peneliti

mengklasifikasikan puisi Wiji Thukul mana saja yang mengandung potret

buruh Indonesia hingga ditemukan sebanyak 22 puisi Wiji Thukul yang

Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”.

Kemudian, peneliti menganalisis unsur batin dan fisik 22 puisi tersebut. Lalu,

peneliti menganalisis 22 puisi tersebut berdasarkan pendekatan mimetik

untuk mengetahui segala potret buruh Indonesia yang terdapat dalam

puisi-puisi Wiji Thukul tersebut.

Setelah puisi-puisi tersebut dianalisis dengan menggunakan pendekatan

mimetik, selanjutnya peneliti mengimplikasikannya ke dalam pembelajaran

bahasa dan sastra di Sekolah.

6) Validitas Data

Validitas atau keabsahan data merupakan kebenaran data dari proses

penelitian. Adapun tringulasi yang digunakan adalah tringulasi teori, yaitu

penelitian terhadap topik yang sama dengan menggunakan teori yang berbeda

dalam menganalisis data.

3.

(21)

Dalam penelitian skripsi ini, peneliti menggunakan tringulasi sumber. Hal ini

dikarenakan peneliti menggunakan bermacam-macam sumber atau dokumen

untuk menguji data yang sejenis tentang kritik sosial yang terkandung dalam

(22)

BAB II

PUISI DAN BURUH

A. Puisi

1. Pengertian Puisi

Sebagai karya kemanusiaan, puisi pada hakikatnya adalah ungkapan

kualitas kemanusiaan kita−yang disadari atau pun tidak, keberadaannya selalu

hadir dalam kehidupan kemanusiaan kita. Dalam kegiatan bertutur sehari-hari,

misalnya, seringkali kita menjumpai berbagai ekspresi puitis yang terlontar dari

lisan kita. Bahkan, sudah sejak lama jenis puisi seperti mantra digunakan oleh

sebagian masyarakat dalam kegiatan ritual spiritual seperti pemujaan roh nenek

moyang hingga ritual untuk menolak bala. Dengan kata lain, dalam menjalani dan

menyikapi kehidupannya, secara sadar maupun tidak, manusia terbiasa

menggunakan sekaligus memanfaatkan puisi. Hal ini menegaskan pula, bahwa

pada kenyataannya puisi dengan kehidupan manusia adalah dua sisi koin yang

memang tidak dapat dipisahkan. Lantas yang menjadi pertanyaan, apa sebenarnya

pengertian dari puisi itu sendiri?

Puisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ragam

sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan

bait4. Zainuddin menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan puisi adalah karya

sastra yang terikat ketentuan atau syarat tertentu dan pengungkapannya tidak

terperinci, tidak mendetail atau tidak meluas5. Pendapat lain dikemukakan oleh

Waluyo yang mengemukakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang

mengungkapkan pikiran dan perasan penyair secara imajinatif dan disusun

dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.6

Sementara itu, Samuel Jhonson dalam Aswinarko mengatakan bahwa puisi

adalah seni penyatuan kesenangan-kesenangan dengan kebenaran melalui

4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.1112.

2 Zainuddin, Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), h. 100.

(23)

sentuhan imajinasi yang bernalar. Batasan tersebut berkaitan dengan bentuk

batinnya saja.7 Selanjutnya, Winarko dan Ahmad Bahtiar mengemukakan

pendapat tentang pengertian puisi bahwa puisi adalah ungkapan jiwa yang bersifat

emosional dengan mepertimbangkan efek keindahan yang kata-katanya disusun

menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sanjak, dan kata-kata

kias yang penuh makna8.

Mengenai pengertian dari puisi, E. Kosasih berpendapat bahwa puisi

adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya makna9.

Sementara itu, Donald A. Stauffer berpendapat bahwa poetry is concrete. Its

significance is embodied in the symbols of all the senses; and moral statement,

abstract speculations, convictions, hopes, and tenuous emotions, are all set forth

to walk in images and actions.10

2. Struktur Puisi

Secara konvensional, sebuah puisi biasanya menggunakan beberapa atau

salah satu unsur secara dominan untuk membangun makna. E. Kosasih

mengatakan bahwa puisi terdiri atas dua unsur, yaitu unsur fisik dan unsur batin.

Mengenai unsur fisik puisi, akan dijelaskan secara lebih rinci berikut ini.

A) Unsur Fisik

a) Diksi

Ketika menulis puisi, seorang penyair haruslah cermat dalam memilih

kata-kata, sebab kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya,

komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata

lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi. Diksi atau pilihan kata

adalah hasil dari upaya memilih kata yang tepat untuk dipakai dalam suatu tuturan

bahasa.11Sementara itu, Gorys Keraf berpendapat bahwa diksi mencakup

7Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, Kajian Puisi: Teori dan Praktik, (Jakarta: Unindra Press, 2013), h.8.

8 Ibid., h. 9

9 E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: CV. Yrama Widya, 2012), h. 97.

10

Donald A. Stauffer, The Nature of Poetry, (United States of America: Holt, Rinehart, and Winston, 1960), h.471.

11

(24)

pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan,

bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan

ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam

suatu situasi.12

Ada beberapa hal lain yang harus dipertimbangkan oleh penyair dalam

memilih kata-kata dalam puisinya, yaitu perbendaharaan kata, ungkapan, urutan

kata-kata, dan daya sugesti kata-kata. Berikut akan dijelaskan secara lebih detil.

1) Perbendaharaan kata

Perbendaharaan kata penyair di samping sangat penting untuk kekuatan

ekspresi, juga menunjukkan ciri khas penyair. Dalam memilih kata-kata, di

samping penyair memilih berdasarkan makna yang akan disampaikan dan

tingkat perasaan serta suasana batinnya, juga dilatarbelakangi oleh faktor

sosial budaya penyair. Maka penyair satu berbeda dalam memilih kata dari

penyair lainnya.13

2) Urutan kata

Dalam puisi, urutan kata bersifat beku, artinya urutan kata itu tidak dapat

dipindah-pindahkan tempatnya meskipun maknanya tidak berubah oleh

perpindahan tempat itu. Di samping itu, urutan kata-kata juga mendukung

perasaan dan nada yang diinginkan penyair. Jika urutan katanya diubah,

maka perasaan dan nada yang ditimbulkan akan berubah pula.14

3) Daya sugesti kata-kata

Daya sugesti kata-kata ditimbulkan oleh makna kata yang dipandang

sangat tepat mewakili perasaan penyair. Ketepatan pilihan dan ketepatan

penempatannya itulah yang membuat kata-kata itu seolah memancarkan

daya gaib yang mampu memberikan sugesti kepada pembaca untuk ikut

sedih, terharu, bersemangat, marah, dan sebagainya.15

b) Pengimajian

12

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 24.

13

Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995), h. 73

14 Ibid.

(25)

Ada hubungan erat antara diksi, pengimajian, dan kata konkret. Diksi yang

dipilih harus menghasilkan pengimajian dan karena itu kata-kata menjadi lebih

konkret seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa.16

Pengimajinasian atau imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat

mengungkapkan pengalaman inderawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan

perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga yaitu imaji suara (auditif), imaji

penglihatan (visual), dan imaji sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan

pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, dan merasakan apa yang dialami

oleh penyair.17

Herman J. Waluyo mengatakan bahwa pengimajian ditandai dengan

penggunaan kata yang konkret dan khas. Imaji yang ditimbulkan ada tiga macam,

yakni imaji visual (penglihatan), imaji auditif (suara), dan imaji taktil (cita rasa).18

Imaji visual adalah imaji yang menyebabkan pembaca seolah-olah melihat

langsung tentang apa yang diceritakan penyair. Imaji auditif adalah imaji yang

menyebabkan pembaca seolah-olah mendengar langsung tentang apa yang

diceritakan penyair. Sementara itu, imaji taktil adalah imaji rasa kulit yang

menyebabkan pembaca seolah-olah merasakan di bagian kulit terasa nyeri, perih,

panas, dingin, dan sebagainya.19

c) Kata Konkret

Untuk membangkitkan imajinasi pembaca, kata-kata harus diperkonkret

atau diperjelas. Maksudnya adalah bahwa kata-kata itu dapat menyaran kepada

arti yang menyeluruh. Seperti halnya pengimajian, kata yang diperkonkret ini juga

erat hubungannya dengan penggunaan kiasan atau lambang. Kata konkret adalah

syarat atau sebab terjadinya pengimajian. Jika penyair mahir memperkonkret

kata-kata, maka pembaca seolah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan

penyair.20

d) Bahasa Figuratif (Majas)

(26)

Bahasa figuratif merupakan bahasa yang digunakan penyair untuk

mengatakan sesuatu dengan cara membandingkan dengan benda atau kata lain.21

Penggunaan bahasa figuratif ini menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya

memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif digunakan

penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara

tidak langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau

makna lambang22 Berikut akan dijelaskan mengenai makna kiasan dan

perlambangan.

1) Kiasan

Kiasan yang dimaksud di sini mempunyai makna lebih luas dengan gaya

baha kiasan karena mewakili apa yang secara tradisonal disebut gaya

bahasa secara keseluruhan. Tujuan penggunaan kiasan ialah untuk

menciptakan efek lebih kaya, lebih efektif, dan lebih sugestif dalam bahasa

puisi.23 Berikut ini akan dijelaskan metafora (kiasan langsung), persamaan

(kiasan tidak langsung), personifikasi, hiperbola, euphemisme, sinekdoke,

dan ironi.

a. Metafora

Metafora adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan itu

tidak disebutkan. Jadi ungkapan itu langsung berupa kiasan. Contoh:

bunga sedap malam, melati di tapal batas, dan sebagainya.24

b. Perbandingan

Perbandingan atau yang disebut juga sebagai simile adalah kiasan yang

tidak langsung. Benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama

pengiasnya dan digunakan kata-kata seperti, laksana, bagaikan, bagai,

bak, dan sebagainya. Contoh: kau bagai pelita dalam kegelapan, bola

mata hitam bak malam yang dalam, dan sebagainya.25

(27)

Personifikasi adalah keadaan atau peristiwa alam yang dikiaskan

sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia. Dalam hal

ini benda mati dianggap sebagai manusia atau persona. Contoh: angin

bernyanyi, pepohon pun menari, dan sebagainya.26

d. Hiperbola

Hiperbola adalah kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa perlu

melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapatkan

perhatian yang lebih saksama dari pembaca. Contoh: luka yang kau

goreskan adalah kepedihan seribu tahun bagiku.27

e. Sinekdoke

Sinekdoke adalah menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan,

atau menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian. Terbagi atas

parte pro toto (menyebut sebagian untuk keseluruhan) dan totem pro

parte (menyebut keseluruhan untuk maksud sebagian). Contoh: aku

merindukan senyummu, „aku‟ merindukan diri seseorang yang

dikasihinya, tetapi hanya menyebutkan senyum orang yang dikasihinya

saja (parte pro toto), rakyat pun termangu meratapi kemiskinannya,

untuk menggambarkan keadaan sebagian rakyat yang miskin, pada

contoh ini disebutkan semua rakyat termangu meratapi kemiskinannya

seolah-olah semua rakyat miskin.28

f. Ironi

Ironi adalah kata-kata yang bersifat berlawanan untuk memberikan

sindiran.29 Wiji Thukul dalam sebuah puisinya pernah memberi

sindiran kepada penyair yang terlalu mendewakan seni sastra yang

tinggi melalui karyanya, namun tidak seolah-olah tuli dalam

mendengar jeritan kehidupan dan kemiskinan serta kenyataan sosial

(28)

2) Perlambangan

Perlambangan digunakan penyair untuk memperjelas makna dan membuat

nada dan suasana sajak menjadi lebih jelas, sehingga dapat menggugah

pembaca. Perlambangan digunakan penyair sebab ia merasa bahwa

kata-kata dari kehidupan sehari-hari belum cukup untuk mengungkapkan

makna yang hendak disampaikan kepada pembaca. Perlambangan dapat

dilakukan dengan cara memanfaatkan lambang warna, lambang benda,

lambang suasana, dan lambang bunyi. Macam-macam lambang ditentukan

oleh keadaan atau peristiwa apa yang digunakan penyair untuk mengganti

keadaan atau peristiwa itu.30

e) Versifikasi (Rima, Ritma, dan Metrum)

1) Rima

Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Pengulangan bunyi dalam

puisi digunakan untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Dalam

rima terdapat onomatope, bentuk intern pola bunyi, dan pengulangan

kata 31.

a. Onomatope

Onomatope adalah tiruan terhadap bunyi-bunyi yang ada.32 Contoh:

pada tip-tap-tip-tap langkahnya (pada contoh ini digunakan tiruan

bunyi langkah orang yang berjalan, yaitu tip-tap-tip-tap).

b. Bentuk intern pola bunyi

Boulton dalam Herman J. Waluyo mengatakan bahwa yang dimaksud

bentuk intern pola bunyi ini adalah aliterasi, asonansi, persamaan akhir

persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi

bunyi, dan sebagainya.33 Aliterasi adalah persamaan bunyi pada suku

kata pertama sedangkan asonansi adalah ulangan bunyi vokal pada

kata-kata tanpa selingan persamaan bunyi konsonan.34

(29)

c. Pengulangan kata

Pengulangan tidak hanya berbatas pada bunyi, namum juga kata-kata

atau ungkapan. Boulton dalam Herman J. Waluyo mengatakan bahwa

pengulangan bunyi/kata/frasa memberikan efek intelektual dan efek

magis yang murni.35Misalnya dalam puisi “Aku ingin”, Sapardi Djoko

Damono menggunakan dua kali larik aku ingin mencintaimu dengan

sederhana, yakni pada larik pertama bait pertama dan larik pertama

bait kedua.

2) Ritma

Ritma sangatlah erat kaitannya dengan bunyi dan berhubungan dengan

pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritma berbeda dari metrum

(matra). Metrum berupa pengulangan tekanan kata yang tetap. Slamet

Muljana dalam Herman J. Waluyo mengatakan bahwa ritma adalah

pertentangan bunyi: tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/lemah, yang

mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk

keindahan. Membahas metrum dalam puisi Indonesia sangatlah sulit,

sebab dalam bahasa Indonesia, tekanan tidak membedakan arti dan belum

dilakukan, namun dalam deklamasi puisi peranan metrum sangat

penting.36

f) Tipografi (Perwajahan)

Tipografi atau perwajahan adalah pengaturan dan penulisan kata, larik, dan

bait pada puisi.37Tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan

prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak membangun periodisitet yang disebut

paragraf, namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan

berakhir di tepi kanan. Tepi kiri dan tepi kanan dari halaman yang memuat puisi

(30)

Kata-kata yang disusun mewujudkan larik-larik yang panjang dan pendek,

yang membentuk suatu kesatuan padu. Pergantian larik panjang dan pendek

sedemikian bervariasi secara harmonis sehingga menimbulkan ritma yang padu.39

B) Unsur Batin Puisi

Selain memunyai unsur fisik, puisi juga memunyai unsur batin. Berikut

adalah penjelasan mengenai unsur batin dalam puisi.

a) Tema

Tema adalah gagasan pokok yang diungkapkan penyair dalam puisinya.40

Tema juga berupa pengungkapan pokok pikiran dan persoalan manusia yang

hakiki yang mengandung arti (cinta, benci, dendam, duka, keserakahan, keadilan,

kesesangsaraan, penindasan, dan kebahagiaan). Secara umum, tema dapat

dikatakan sebagai dasar untuk mengembangkan suatu puisi atau topik yang

menjadi pokok utama yang disebut juga sebagai gagasan pokok.41

b) Perasaan

Puisi merupakan karya sastra yang paling mewakili ekspresi perasaan

penyair. Bentuk ekspresi itu dapat berupa kerinduan, kegelisahan, atau

pengagungan kepada kekasih, kepada alam, atau Sang Khalik.42 Puisi merupakan

karya yang paling mewakili ekspresi perasaan penyair. Bentuk ekspresi itu dapat

berupa kerinduan, kegelisahan, atau penyair hendak mengagungkan kekaguman

terhadap kekasih, alam atau Sang Pencipta.43

c) Nada dan Suasana

Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap

pembaca, apakah dia ingin bersikap menggurui, menasihati, mengejek, menyindir,

atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair

kepada pembaca ini disebut nada puisi.44 Sementara itu, suasana adalah keadaan

jiwa pembaca setelah membaca puisi. Nada dan suasana puisi sangat

berhubungan. Nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Nada

(31)

kritik yang diberikan penyair dapat menimbulkan suasana penuh pemberontakan

bagi pembaca.45

d) Amanat

Amanat adalah ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan

pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu.46 Puisi mengandung amanat

atau pesan yang dismapaikan penyair kepada pembaca. Setiap pembaca dapat

menafsirkan sebuah puisi secara individual. Pembaca yang satu dengan yang lain

mungkin akan berbeda dalam menafsirkan amanat yang terdapat dalam puisi.47

3. Jenis-jenis Puisi

Berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang hendak

disampaikan, puisi terbagi ke dalam jenis-jenis berikut.

a) Puisi Naratif

Puisi naratif adalah puisi yang mengungkapkan cerita atau penjelasan

penyair.48 Puisi-puisi naratif, misalnya: epik, romansa, balada, dan syair.

Balada adalah puisi yang bercerita tentang orang-orang perkasa, tokoh

pujaan, atau orang-orang yang menjadi pusat perhatian. Sebagai contoh

adalah kumpulan puisi Rendra yang berjudul Balada Orang-orang

Tercinta. Sementara, romansa adalah jenis puisi cerita yang menggunakan

bahasa romantik yang berisi kisah percintaan yang berhubungan dengan

ksatria, dengan diselingi perkelahian dan petualangan yang menambah

percintaan mereka lebih memesonakan.49

b) Puisi Lirik

Puisi lirik adalah puisi yang mengungkapkan aku lirik atau gagasan

pribadi aku lirik.50 Jenis puisi lirik misalnya elegi, ode, dan serenada. Elegi

adalah puisi yang mengungkapkan perasaan duka. Sebagai contoh puisi “Elegi Jakarta” karya Asrul Sani. Serenada adalah sajak percintaan yang dapat dinyanyikan. Sebagai contoh puisi “Serenada Biru” karya Rendra.

(32)

Ode adalah puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal atau suatu keadaan. Sebagai contoh adalah puisi “Diponegoro” karya Chairil

Anwar.51

c) Puisi Deskriptif

Puisi deskriptif adalah puisi yang penyairnya bertindak sebagai pemberi

kesan terhadap keadaan/peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang

menarik perhatian penyair.52 Jenis puisi yang dapat diklasifikasikan dalam

puisi deskriptif di antaranya puisi satire, kritik sosial, dan puisi-puisi

impresionistik. Satire adalah puisi yang mengungkapkan perasaan tidak

puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau

menyatakan keadaan sebaliknya. Puisi kritik sosial adalah puisi yang juga

menyatakan ketidaksenangan penyair terhadap keadaan atau diri

seseorang, namun dengan cara membeberkan kepincangan dan

ketidakberesan keadan/orang tersebut. Sedangkan puisi impresionistik

adalah puisi yang mengungkapkan kesan (impresi) penyair terhadap suatu

hal.53

d) Puisi Kamar

Puisi kamar adalah puisi yang cocok dibaca sendiri dengan satu atau dua

pendengar saja di dalam kamar.54

e) Puisi Audiotorium (Puisi Mimbar)

Puisi audiotorium, disebut juga puisi hukla, yaitu puisi yang cocok dibaca

di hadapan orang banyak (acara seremonial) atau dibaca di audiotorium.55

f) Puisi Pamflet

Puisi pamflet mengungkapkan protes sosial. Disebut puisi pamflet karena

bahasanya adalah bahasa pamflet. Kata-katanya mengungkapkan rasa

tidak puas terhadap keadaan. Munculnya kata-kata yang berisi protes

51

Herman J. Waluyo, op.cit., h.136

52 Ahmad Bahtiar dan Awsinarko, op. cit., h.15

53

Herman J. Waluyo, op.cit., h.137

(33)

secara spontan tanpa proses pemikiran dan perenungan yang mendalam.

Salah satu dari tokoh puisi pamflet adalah Rendra.56

g) Puisi Epik

Puisi epik adalah puisi yang mengungkapkan tentang petualangan atau

perjalanan seorang pahlawan atau tokoh, serta berbagai perbuatan luhur

yang dilakukannya.57

4. Fungsi Puisi dalam Masyarakat

Seorang pemikir Yunani, Horatius, mengemukakan istilah dulce et utile,

dalam tulisannya berjudul Ars Poetica. Artinya, sastra memunyai fungsi ganda,

yakni, menghibur dan sekaligus bermanfaat bagi pembacanya.58 Berdasarkan hal

tersebut, maka dapat dikatakan bahwa karya sastra yang baik bukan hanya sekadar

indah dan menghibur, tetapi juga mengandung pesan atau amanat yang

bermanfaat bagi pembacanya. Herman J. Waluyo dalam Endah Tri Priyatni

berpendapat bahwa fungsi sastra adalah sebagai wahana katarsis, yaitu pencerahan

jiwa atau penyadaran jiwa terhadap lingkungan masyarakat atau terhadap

keterbatasan individu yang seringkali melabrak posisi Tuhan.59

Sementara itu, Y.B. Mangunwijaya mengatakan bahwa karya sastra yang

baik selalu bernilai relijius, artinya, sastra akan selalu mengajak menuju

kehidupan yang lebih baik dan benar.60 Apabila pesan sastra yang baik tersebut

benar-benar diamalkan dan dipatrikan dalam sikap hidup, niscaya ia akan

serta-merta memantul lewat perilaku yang dekat dengan kebaikan.61

Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra merupakan suatu hal yang

tidak bisa terlepas dalam kehidupan manusia. Berkaitan dengan puisi, mantan

(34)

politik kotor, maka puisilah yang akan membersihkannya.62 Apa yang

dikemukakan oleh John F. Kennedy ini bukanlah sebuah bualan belaka, sebab

dalam kenyataannya puisi memang tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan sosial

politik dan keduanya saling memengaruhi.

Dilihat dari sisi yang lain, puisi dapat pula dijadikan sebagai alat kontrol

sekaligus kritik sosial. Rohinah M. Noor bahkan mengatakan bahwa ketika

kekerasaan telah mematikan unsur kemanusiaan, puisi dengan fitrahnya maju

sebagai penggugat dan pembela. Ketika lembaran sejarah begitu amis dengan

darah, puisi juga turut merekamnya.63 Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua fungsi puisi, yakni sebagai media

perekam sejarah sekaligus alat protes sosial (penggugat).

Ada kalanya, puisi juga dapat menjadi sebuah media perubahan sosial dan

penyair menjadi agen perubahannya. Di Irak, terdapat penyair bernama Nazik

Malaikah. Melalui puisi-puisinya, ia menyerukan perubahan dengan nada yang

bergelora juga bertema kekecewaan dan keputusasaan atas kegagalan suatu rezim.

Rakyat Irak menganggap Nazik sebagai pahlawan revolusi yang puisi-puisinya

diakui oleh banyak pengamat telah menjadi sumber revolusi besar Irak pada 14

Juli 1958 yang mengkudetakan rezim Rasyid al-Kilani.64

B. Pendekatan Sosiologi Sastra

1. Pengertian Pendekatan Sosiologi Sastra

Pendekatan sosiologi sastra menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan

karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.65 Dalam kaitan ini, sastra

dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap

diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan.66

Sementara itu, Aswinarko mengatakan bahwa pendekatan sosiologi sastra

bertitik-tolak dari asumsi bahwa sastra (puisi) merupakan cerminan dari

kehidupan masyarakat, yang di dalamnya terjadi interaksi sosial meliputi

62Ibid., h. 29.

63 Ibid, h. 31-32. 64Ibid., h. 32-33.

65 Siswanto, op. cit., h.188.

(35)

peraturan kehidupan sosial, hubungan antarmasyarakat, interaksi antarkomunitas

dalam masyarakat.67 Pendapat yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Atar

Semi yang mengatakan bahwa pendekatan sosiologi sastra bertolak dari asumsi

bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat.68

Pendekatan sosiologi sastra berasal dari dua bidang pengetahuan, yaitu

sosiologi dan sastra. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji hubungan

sosial antarmanusia dalam masyarakat dengan segala peristiwa yang terjadi dalam

kehidupannya. Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Vladimir Jdanov dalam

Robert Escarpit bahwa sastra harus dipandang dalam hubungan yang tak

terpisahkan dengan kehidupan masyarakat, latar belakang unsur sejarah dan

sosial yang mempengaruhi pengarang dan harus mengabaikan sudut pandang

subjektif dan arbitrer yang menganggap setiap buku sebagai suatu karya yang

independen dan berdiri sendiri.69

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.

Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai

cermin kehidupan. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra

tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya

karya sastra.70

Suwardi Endraswara mengatakan bahwa secara esensial sosiologi sastra

adalah penelitian tentang: (1) studi ilmiah manusia dan masyarakat secara

obyektif, (2) studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya, dan (3)

studi proses sosial, yaitu bagaimana masyarakat bekerja, bagaimana masyarakat

mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan hidup.71

Mengutip apa yang dikatakan oleh Laurenson dan Swingewood, lebih

lanjut Suwardi Endraswara mengatakan bahwa pada prinsipnya terdapat tiga

perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang

memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan

(36)

refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang

mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian

yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial

budaya.72

Sosiologi sastra juga dapat meneliti sastra sekurang-kurangnya melalui

tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis

sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, perspektif

biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan menjadi life

history seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Ketiga, perspektif

represif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.73

Ada kalanya, penelitian sastra juga menjurus ke masalah-masalah politik,

karena politik adalah semua cara pengaturan kehidupan masyarakat yang

melibatkan hubungan kekuasaan di dalamnya. Masalah politik ini akan

mendominasi kehidupan masyarakat yang suatu saat akan terekam dalam teks

sastra. Bahkan, kondisi politik juga sering memengaruhi kehidupan sastra itu

sendiri74

Dalam kaitan itu, sosiologi sastra memang merupakan penelitian manusia

dalam kaitannya dengan masyarakat dan teks sastra, karena memang antara

manusia, kehidupan sosial, dan sastra tidak bisa dilepaskan.

2. Hubungan Karya Sastra dan Masyarakat

Sastra, sebagaimana menurut Rohinah M. Noor, merupakan sebuah

produk budaya, kreasi pengarang yang hidup dan terkait dengan tata kehidupan

masyarakatnya. Lebih lanjut, ia mengatakan, bahwa sastra berada dalam

tarik-menarik antara kebebasan kreasi pengarang dan hubungan sosial yang di

dalamnya hidup etika, norma, aturan, kepentingan ideologis, bahkan doktrin

agama.75

Senada dengan Rohinah, Suwardi Endraswara mengatakan bahwa karya

sastra cenderung memantulkan keadaan masyarakat yang mau tidak mau akan

72Ibid., h. 79

73Ibid., h. 80-81

74Ibid., h. 90

(37)

menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, pengarang berupaya untuk

mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara

pengarang dengan pembacanya.76

Pandangan yang amat populer adalah pandangan yang mengatakan bahwa

sastra merupakan cerminan sosial, dalam kata lain karya sastra merupakan cermin

pada zaman ketika karya tersebut diciptakan. Konteks sastra sebagai cermin akan

merujuk pada adanya hubungan timbal balik antara sastra dengan kehidupan

masyarakat. Konteks pandangan ini juga merujuk pada berbagai perubahan dalam

masyarakat. Perubahan dan cara individu dalam bersosialisasi biasanya akan

menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks (sastra).77

Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak

mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang berupaya

untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara

pengarang dengan pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa adanya keterkaitan

antara sastra dengan masyarakat dan oleh karena masyarakat cenderung dinamis,

karya sastra juga cenderung mencerminkan hal yang sama.78

Dalam kaitannya dengan pendekatan cermin, setiap teks sastra

mengandung resonansi sosial, historis, dan politik. Karya sastra sering berada pada “ketaksadaran politik” yang mampu menghilangkan kontradiksi-kontradiksi sejarah. Pengarang sering dibius oleh ketaksadaran ini sehingga secara tak sadar

mengungkapkan heterogenitas di luar teks. Di antara heterogenitas itu adalah

masalah-masalah sosial yang memperkaya teks sastra.79

Pada konteks sosiologi sastra, sastra tidak terlepas dari konteks sosial dan

juga sebaliknya berfungsi bagi kehidupan masyarakat. Akan tetapi, fungsi sastra

dapat berbeda-beda dari zaman ke zaman di pelbagai masyarakat. Di suatu zaman

dan masyarakat tertentu, sastra mungkin berfungsi sebagai alat menyebarluaskan

ideologi, di zaman lain dan masyarakat lain mungkin sekali dianggap sebagai

tempat pelarian yang aman dari kenyataan sehari-hari yang tak tertahankan.

76 Suwardi Endraswara, op. cit., h. 89.

77Ibid., h. 88

78Ibid., h. 89

(38)

Bahkan, mungkin juga sastra dianggap sebagai suatu hal yang mampu

memberikan pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur bagi

pembacanya.80

C. Potret Buruh dalam Sejarah Industrial Indonesia

Kata „buruh‟ bisa dipahami sebagai pekerja di bidang apa saja selama ia

tidak berada pada posisi sebagai pengusaha atau pihak yang membela kepentingan

pengusaha.81 Istilah buruh pada dasarnya dapat dikatakan sama dengan pekerja,

tenaga kerja maupun karyawan. Akan tetapi, dalam kultur Indonesia, "buruh"

berkonotasi sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. sedangkan

pekerja, tenaga kerja dan karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi,

dan diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tapi otak dalam

melakukan kerja.82

Sejarah industrial di Indonesia dimulai dengan sistem perbudakan. Upah

yang diterima oleh budak biasanya berwujud makanan, pakaian, dan perumahan.

Mereka hampir tidak pernah menerima upah dalam bentuk uang.83

Potret perbudakan yang begitu memilukan misalnya pernah terjadi pada

1877 ketika ada seorang raja di Sumba yang meninggal, seratus orang budak

harus dibunuh dengan maksud agar sang raja di dunia baka nanti mempunyai

cukup pengiring, pelayan, dan pekerja.84 Ini adalah salah satu contoh peristiwa

tragis dalam dunia perbudakan yang pernah terjadi di wilayah yang sekarang ini

bernama Indonesia (dulu Nusantara).

Imam Soepomo dalam Abdul Jalil mengatakan pada zaman pendudukan

Inggris (1811-1816), Thomas Stamford Raffles yang merupakan seorang anti

perbudakan pada 1816 sempat mendirikan The Java Benevolent Institution,

semacam lembaga yang bertujuan menghapus perbudakan. Sayangnya ia terlanjur

80Ibid., h. 90-91

81 Anonim, “Sastra Buruh, Apa Itu”, (Tangerang: Jurnal Pusat Dokumentasi Sastra Buruh Edisi 1 Agustus 2000), h. 1.

82Anonim, “Buruh”, http://id.wikipedia.org/wiki/Buruh, diunduh pada Kamis, 10 April

2014 Pukul 20:07.

83

Abdul Jalil, Teologi Buruh, (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2008), h.33

84 Ibid.,

(39)

harus meninggalkan Hindia Belanda sebelum sempat mewujudkan cita-citanya

itu.85

Pada 1817 ketika Indonesia dikuasai oleh Belanda, pemerintah kolonial

membuat beberapa peraturan tentang perbudakan di antaranya larangan

memasukkan budak ke pulau Jawa. Pemerintah kolonial juga membuat peraturan

yang memungkinkan bagi seorang budak untuk merdeka. Sebagai contoh, budak

yang pernah mengikuti tuannya ke benua lain menjadi merdeka sepulangnya dari

negeri tuannya. Budak yang menolong tuannya dari bahaya maut juga dinyatakan

merdeka.86

Pada masa penjajahan Belanda, masalah perbudakan tak kunjung jua

terhapuskan, malah timbul sistem perbudakan baru: kerja rodi. Di Jawa, kerja rodi

ini pada mulanya dilakukan untuk kepentingan raja dan anggota keluarganya, para

pembesar, dan para pegawai lainnya, serta untuk kepentingan bersama. Akan

tetapi, tidak jarang para penguasa menggunakan kerja bersama ini untuk

kepentingannya sendiri.87 Salah satu kerja rodi terbesar yang pernah terjadi di

Indonesia adalah kerja rodi pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang dilakukan

oleh rakyat Indonesia atas paksaan pemerintah kolonial pimpinan Deandles.

Berdasarkan catatan koloni, Indonesia (yang dulu masih bernama Hindia

Belanda) dikatakan bebas dari perbudakan pada tahun 1922 dan sistem kerja rodi

dihapus pada 1 Februari 1938.88 Sistem hubungan kerja industrial pada 1930-an

mulai bersifat kapitalistik. Hal itu dipicu adanya produksi komoditas internasional

secara massal. Data statistik pemerintah Hindia Belanda tahun 1930 menyebutkan

bahwa penduduk Indonesia yang berprofesi sebagai buruh ada sekitar enam juta

orang dan setengah jutanya adalah buruh yang sudah bersentuhan dengan

teknologi seperti pertambangan, transportasi, dan perbengkelan. Sedangkan

(40)

tetap tidak dapat dikatakan membaik, pemerintah kolonial banyak membuat

peraturan yang kerap merugikan pihak buruh yang cenderung membuat para

buruh terus dieksploitasi.

Sementara itu, pada masa awal kemerdekaan, hubungan industrial tampak

diwarnai pergolakan politik, namun relatif berjalan baik. Serikat-serikat buruh

memunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, pemerintahan, dan politik

praktis. Mereka pun berafiliasi dengan partai-partai politik dan aliran-aliran

ideologi tertentu dengan tujuan menjadikannya sebagai alat perjuangan.90 Tumbuh

suburnya serikat-serikat buruh pada awal kemerdekaan tak telepas dari

diratifikasinya Kovensi ILO tahun 1948 tentang kebebasan berserikat dan

perlindungan berorganisasi. Pada 1956, pemerintah Indonesia kembali

meratifikasi Konvensi ILO No. 98/1949. Implikasinya, pada periode 1960-an

jumlah dan keanggotaan serikat buruh menjamur dan sulit dihitung. Meskipun

demikian, tingkat kesejahteraan buruh ternyata tidak berubah secara signifikan.91

Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru

Pada saat Orde Baru berkuasa di Indonesia, agenda industrialisasi mulai

dijalankan secara serius. Arah umum kebijakan jangka panjang yang ditetapkan

dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menyatakan bahwa salah satu

tujuan utama pembangunan jangka panjang Indonesia adalah untuk mencapai

struktur ekonomi yang seimbang dengan industri manufaktur yang kuat dan maju

didukung oleh sektor pertanian yang tangguh.92

Dalam tempo yang relatif cepat, perubahan dalam dunia industrial di

Indonesia ini membuat mulai tergeserkannya sektor pertanian sebagai motor

utama pertumbuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian membentuk MPBI (Majelis

Permusyawaratan Buruh Indonesia) untuk membicarakan berbagai hal guna

mengonsolidasi kehidupan para buruh yang kemudian diikuti dengan

dileburkannya dua puluh satu serikat buruh pada 1972 menjadi Federasi Buruh

Seluruh Indonesia (FBSI). Akan tetapi, dalam perjalanannya federasi ini dinilai

tidak demokratis. Tuduhan itu dilontarkan oleh WCL (World Convenderation of

(41)

Labour) dan ICFTU (International Convenderation of Free Trade Unites) yang

menuntut agar pemerintah Indonesia membuka kesempatan seluas-luasnya kepada

buruh untuk berorganisasi dan menentukan tempat kerja yang nyaman, terhindar

dari eksploitasi, tersusunnya syarat-syarat kerja yang sesuai dengan keinginan

buruh dan manajemen serta lingkungan kerja yang bebas dari polusi industri.93

Menanggapi penilaian negatif tersebut pemerintah Orde Baru kemudian

merumuskan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang diharapkan dengan ini

hubungan industrial di Indonesia bisa berjalan sesuai dengan budaya bangsa yang

tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945.94 Akan tetapi, dalam

perkembangannya, konsep hubungan ini tidak menghasilkan manfaat yang

optimal bagi buruh. Peraturan-peraturan tentang buruh yang dibuat pemerintah

Orde Baru ternyata lebih mengedepankan stabilitas nasional sehingga nasib buruh

seringkali dikorbankan demi mewujudkan stabilitas. Tak pelak,

peraturan-peraturan pemerintah itu memicu timbulnya gejolak dan gelombang protes dari

kaum buruh karena dirasa sangat merugikan dan membtasi gerak buruh dan

akhirnya pada 1993 pemerintah mencabut bebrapa peraturan yang dianggap

merugikan kaum buruh.95

Pada 1992, lahir sebuah serikat buruh yang berhaluan independen, yakni

Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) sebagai tandingan Serikat Pekerja

Seluruh Indonesia (SPSI). SBSI menuntut perubahan kepada pemerintah antara

lain: agar menyediakan kesempatan yang luas bagi buruh untuk berorganisasi

sesuai dengan piliha mereka sendiri dan menaikkan upah minimum bagi buruh.

Pemerintah Orde Baru kemudian memang menaikkan Upah Minimum Regional

(UMR), akan tetapi presentase kenaikan UMR tersebut tidak sebanding dengan

peningkatan kebutuhan buruh dan masyarakat. Keadaan inilah yang membuat

eskalasi tuntutan dan demonstrasi buruh semakin meningkat.96

Dalam mengahadapi demonstrasi kaum buruh, pihak pemerintah tidak

jarang menggunakan kekerasan dengan melibatkan militer karena demo buruh

Gambar

gambaran kehidupan buruh yang sulit “sepanjang hidupnya memburuh,
Tabel Tema Puisi Wiji Thukul tentang Buruh
Tabel II
Tabel III

Referensi

Dokumen terkait

Objek penelitian ini adalah aspek sosial masyarakat pinggiran dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru yang difokuskan pada bagian buku kedua Ketika Rakyat Pergi

atas segala rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi yang berjudul “ Aspek Sosial Masyarakat Pinggiran dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi

Kritik Sosial dalam Antologi Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra).. Jurnal Fakultas Bahasa dan

kritik sosial dalam kumpulan puisi Terkenang Topeng Cirebon karya Ajip. Rosidi dengan menggunakan tinjauan

Dalam penelitian ini memfokuskan pada sosiologi karya sastra, dimana peneliti akan menelaah protes sosial yang terdapat dalam puisi Sajak Bulan Mei 1998

karya sastra yaitu puisi anak sebagai potret sosial yang terjadi di Indonesia pada.. tahun

Bab IV: merupakan inti dari penelitian yang membahas tentang kritik sosial dalam kumpulan puisi Terkenang Topeng Cirebon karya Ajip Rosidi dengan menggunakan tinjauan sosiologi

Beberapa puisi yang dianalisis dalam buku kumpulan puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachri dapat digunakan sebagai contoh dalam pembelajaran sastra mengenai unsur