• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembelian Impulsif

dikatakan “buruk” daripada “baik”, sehingga pembelian yang dilakukan terjadi secara spontan dan tidak hati-hati. Hal yang serupa dikatakan oleh Weinberg & Gottwald (dalam Park & Choi, 2013) yang berkata bahwa pembelian impulsif ditandai dengan tingginya aktivitas emosional, dan rendahnya kontrol kognitif. Hal ini diperkuat oleh sebuah penelitian yang dilakukan untuk mengidentifikasikan hubungan pembelian secara impulsif dengan indikator dari Big Five personality membuktikan bahwa impulsif berkorelasi positif dengan neurotisisme atau dengan kata lain ketidakstabilan emosional. Hal ini mengakibatkan perilaku pembelian impulsif berkaitan dengan tidak stabilnya emosional individu (Shahjehan, Qureshi, Zeb & Saifullah, 2012).

Pembelian impulsif juga timbul dikarenakan adanya faktor internal yang mempengaruhi, seperti halnya suasana hati dalam diri individu. Ketika individu merasa stress atau depresi, maka ia akan cenderung untuk melakukan pembelian impulsif (Youn & Faber dalam Alagoz & Ekici, 2011). Keinginan untuk menunjukkan identitas diri, meningkatkan rasa kepercayaan diri serta sebagai bentuk penghargaan terhadap diri juga menjadi faktor internal penyebab timbulnya pembelian impulsif (Youn & Faber dalam Alagoz & Ekici, 2011; Beatty & Ferrel dalam Alagoz & Ekici, 2011).

Selain faktor internal yang memiliki peran sebagai penyebab timbulnya pembelian impulsif, terdapat faktor eksternal yang mempengaruhi. Atmosfer toko, lokasi rak, bau dan warna dari produk sebagai faktor lingkungan penyebab terjadinya pembelian impulsif (Alagoz & Ekici, 2011). Faktor budaya juga menjadi salah satu faktor yang memiliki pengaruh terhadap pembelian impulsif (Wood; Dittmar, Beattie, & Friese dalam Lai, 2010; Yang, Huang & Feng, 2011; Lin & Lin, 2005; Kacen & Lee, 2002). Hofstede dan Minkov (dalam Dameyasani & Abraham, 2013) mendefinisikan budaya sebagai suatu program yang terdapat dalam pikiran manusia yang digunakan untuk mengevaluasi dan membedakan kelompok satu dengan yang lainnya.

Berkaitan dengan budaya sebagai evaluasi, sikap kebangsaan dalam studi lintas budaya diukur dan digunakan sebagai salah satu variabel yang berfungsi dalam mengevaluasi suatu produk, juga menjadi penentu dalam orientasi budaya (Chen, 2008). Salah satunya adalah ethnosentrisme konsumen (Alsughayir, 2013; Chen, 2008).

Ethnosentrisme konsumen dianggap memiliki dampak terhadap evaluasi produk (Hooley, Graham, Shipley & Nathalie dalam Chen 2008). Ethnosetrisme konsumen juga merupakan faktor penting dalam pengambilan keputusan membeli pada konsumen terhadap produk tertentu (Khan & Rahman, 2012; Yaprak, Attila, Baughn & Christopher dalam Chen, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Chen (2008) juga menunjukkan bahwa ethnosentrisme memiliki pengaruh terhadap niat

membeli, bahkan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembelian impulsif (Worchel & Cooper, dalam Shimp & Sharma, 1987).

Konsumen Ethnosentrisme melakukan pemilihan secara khusus terhadap suatu produk, khususnya produk impor yang akan dikonsumsi. Ketika melakukan pembelian terhadap produk impor maka dapat dikatakan sebagai suatu hal yang salah (Lundstrom, Lee & White dalam Candan, Aydin & Yamamoto, 2008; Shimp & Sharma dalam Anggasari, Yuiati & Retnaningsing, 2013; Lantz dan Loeb dalam Watson & Wright, 2000).

Dengan ethnosentrisme yang dimiliki individu, maka individu akan mampu untuk mengevaluasi produk yang akan dibelinya terlebih dahulu, sehingga kecenderungan pembelian impulsif semakin berkurang. Hal ini dikarenakan orang yang dengan ethnosentrisme tinggi akan membeli produk yang dijual di negaranya, terlebih apabila produk lokal memiliki kelebihan tersendiri. Hal ini dapat menyebabkan tingkat ethnosentrisme semakin tinggi (Chen, 2008; Anggasari, Yuiati & Retnaningsing, 2013). Berbeda dengan individu yang memiliki ethnosentrisme yang rendah. Mereka akan cenderung untum membeli produk yang dijual oleh negara lain atau dengan kata lainnya produk impor (Chen, 2008).

Penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara kecenderungan pembelian impulsif dan ethnosentrisme pernah dilakukan oleh Grety (2014). Hasil penelitian tersebut menunjukkan tidak adanya hubungan

antara kecenderungan pembelian impulsif dengan ethnosentrisme. Hasil tersebut dicurigai karena adanya keterbatasan pada variabel kecenderungan pembelian impulsif, yaitu kurangnya pengkhususan terhadap produk impor. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian yang sama dengan menambahkan produk impor pada variabel kecenderungan pembelian impulsif.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang akan diteliti adalah apakah ada hubungan antara ethnosentrisme konsumen dengan perilaku pembelian impulsif terhadap produk fashion impor pada remaja ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara ethnosentrisme konsumen dengan perilaku pembelian impulsif terhadap produk fashion impor pada remaja.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan menambah pengetahuan di dalam bidang psikologi konsumen dan juga psikologi perkembangan terkait dengan ethnosentrisme konsumen dengan

perilaku pembelian impulsif terhadap produk fashion impor pada remaja.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi para remaja berkaitan dengan ethnosentrisme konsumen dan perilaku pembelian impulsif, khususnya terhadap produk fashion impor, sehingga remaja dapat merefleksikannya pada pribadi masing-masing.

13

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pembelian Impulsif

1. Pengertian Pembelian Impulsif

Pembelian impulsif dikembangkan dan dikatakan sebagai suatu kecenderungan oleh Beatty dan Ferrell (dalam Park & Lennon, 2006). Pembelian impulsif didefinisikan sebagai suatu tindakan membeli secara spontan dan tidak terencana (Rook, 1987; Dameyasani & Abraham, 2013; Stern dalam Alagoz & Ekici, 2011). Hal ini dilihat dari tindakan konsumen yang melakukan pembelian produk yang tidak ada dalam daftar belanjaan yang dikarenakan adanya dorongan kuat untuk membeli secara tiba-tiba sebuah produk dengan segera (Rook dalam Verplanken & Herabadi, 2001; Beatty dan Ferrell dalam Strack & Deutsch, 2006; Baumeister, 2002: Alagoz & Ekici, 2011).

Studi yang dilakukan oleh Rook dan Fisher (dalam George & Yaoyuneyong, 2010) menunjukkan bahwa pembelian impulsif dikarenakan oleh dorongan psikologis. Dorongan tersebut menyebabkan individu akan cepat menanggapi secara langsung suatu stimulus tanpa adanya pertimbangan secara menyeluruh dan juga perencanaan sebelumnya (Kroeber-Riel dalam Niu & Wang, 2009; Baumeister, 2002; Beatty & Ferrell dalam Alagoz & Ekici, 2011).

Pembelian impulsif dinyatakan sebagai suatu tindakan pembelian berdasarkan respon emosional yang sulit untuk dikontrol (Dameyasani & Abraham, 2013). Hal yang serupa juga dikatakan oleh Weinberg & Gottwald (dalam Park & Choi, 2013) yang mengatakan bahwa pembelian impulsif adalah suatu tindakan yang ditandai dengan tingginya aktivitas emosional dan rendahnya kontrol kognitif. Hal ini menyebabkan individu akan segera membuat keputusan dengan cepat secara emosional untuk membeli produk tersebut tanpa memikirkan konsekuensi atas pembelian yang telah dilakukan (Kroeber-Riel dalam Niu & Wang, 2009; Baumeister, 2002; Beatty & Ferrell dalam Alagoz & Ekici, 2011; Rook, 1987). Akan tetapi, emosional yang paling menonjol pada saat melalukan pembelian secara impulsif adalah rasa senang dan gembira (Verplanken & Herabadi, 2001).

Pembelian impulsif juga dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang reaktif. Hal ini dikarenakan pembelian impulsif memiliki konsep untuk mencapai kepuasan dengan segera, terutama sebagai sarana pemuas hedonistik. Dengan begitu, konsumen akan mendapatkan kesenangan dan gairah tersendiri yang tidak dapat diberikan oleh pembelian yang direncanakan (Kroeber-Riel dalam Niu & Wang, 2009; Rook, 1987; Holbrook & Hirschman dalam George & Yaoyuneyong, 2010; Lee & Yi, dalam George & Yaoyuneyong, 2010; Strack & Deutsch, 2006).

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pembelian impulsif merupakan pembelian yang dilakukan secara tidak terencana, karena adanya dorongan yang kuat secara spontan dan tiba-tiba, sehingga konsumen melakukan pembelian tanpa pertimbangan untuk mendapatkan kepuasan dengan segera.

2. Aspek Pembelian Impulsif

Verplanken dan Herabadi (2001) mengatakan bahwa terdapat dua aspek psikologis dalam pembelian impulsif, yaitu aspek kognitif dan aspek afektif.

1) Aspek kognitif

Aspek ini berfokus pada konflik yang terjadi pada kognitif individu pada saat melakukan pembelian impulsif, meliputi: tidak adanya pertimbangan mengenai harga dan kegunaan produk, tidak melakukan evaluasi terhadap suatu produk dan tidak melakukan perbandingan produk terlebih dahulu.

2) Aspek afektif

Aspek ini berfokus pada kondisi emosional individu saat melakukan pembelian impulsif, meliputi: dorongan perasaan untuk melakukan pembelian dengan segera, adanya

perasaan senang dan puas setelah melakukan pembelian, dan perasaaan menyesal setelah melakukan pembelian.

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek yang terdapat pada pembelian impulsif adalah aspek kognitif, yaitu tidak melakukan pertimbangan sebelumnya ketika membeli suatu produk, dan juga aspek afektif, yaitu perasaan senang dan puas ketika melakukan pembelian.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya pembelian impulsif pada invididu, antara lain:

a. Faktor Internal

Rook (dalam Park & Lennon, 2006) menyebutkan bahwa terdapat berbagai dorongan psikologis yang menimbulkan terjadinya pembelian impulsif. Chen (dalam Yang, Huang & Feng, 2011) menyebutkan bahwa kepribadian merupakan salah satu faktor dari persepsi intern dalam individu yang mempengaruhi pembelian impulsif. Akan tetapi, kecenderungan pembelian impulsif juga dianggap sebagai suatu ciri kepribadian (Dholakia; Murray dalam Park & Lennon, 2006; Sharma et. al dalam Brici, Hodkinson & Sullivan-Mort, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Lin & Chuang (2005) mengatakan bahwa Emotional Intelligence memiliki pengaruh terhadap pembelian impulsif. Orang yang memiliki Emotional Intelligence yang tinggi memiliki tingkat pembelian impulsif yang rendah. Akan tetapi, orang yang memiliki Emotional Intelligence rendah memiliki tingkat pembelian impulsif yang tinggi.

Selain itu, suasana hati dalam diri individu juga menjadi salah satu faktor penyebab pembelian impulsif (Youn & Faber dalam Alagoz & Ekici, 2011). Misalnya saja, ketika individu merasa stres atau depresi, maka ia akan cenderung untuk melakukan pembelian impulsif yang berguna mengatasi ketegangan dalam dirinya (Alagoz & Ekici, 2011; Youn & Faber dalam Alagoz & Ekici, 2011). Keinginan untuk menunjukkan identitas diri, meningkatkan rasa kepercayaan diri serta sebagai bentuk penghargaan terhadap diri juga menjadi faktor penyebab timbulnya pembelian impulsif (Youn & Faber dalam Alagoz & Ekici, 2011; Beatty & Ferrel dalam Alagoz & Ekici, 2011).

Berdasarkan pernyataan tersebut, faktor-faktor internal yang dapat mempengaruhi pembelian impulsif, antara lain: kepribadian, Emotional Intelligence, suasana hati, serta keinginan untuk menunjukkan identitas, meningkatkan kepercayaan diri serta penghargaan terhadap diri.

b. Faktor Eksternal

Chen (dalam Yang, Huang & Feng, 2011) dalam artikelnya menjelaskan bahwa pembelian impulsif terjadi karena adanya stimulasi eksternal. Salah satu contohnya adalah strategi promosi yang menyebabkan konsumen berkeinginan untuk melakukan pembelian dengan segera (Yang, Huang & Feng, 2011; Chen dalam Yang, Huang & Feng, 2011). Gambar, desain kemasan produk dan peletakan produk di dekat kasir juga dapat dikatakan menjadi faktor timbulnya pembelian impulsif (Hoyer & Maclnnis; Jones et al dalam Niu & Wang, 2009; Torlak & Tiltay dalam Alagoz & Ekici, 2011). Hal serupa juga dikatakan oleh Alagoz & Ekici (2011) yang mengatakan bahwa kemasan serta gambar produk dapat menyebabkan individu melakukan pembelian impulsif.

Selain itu, pemasaran kontemporer seperti toko 24 jam, saluran televisi dan belanja menggunakan internet, juga dikatakan menjadi faktor penyebab meningkatnya jumlah pembelian impulsif (Hoyer & Maclnnis; Jones et al dalam Niu & Wang, 2009). Alagoz & Ekici (2011) menambahkan atmosfer toko, lokasi rak, bau dan warna dari produk sebagai faktor lingkungan penyebab terjadinya pembelian impulsif. Musik yang terdengar didalam toko juga menjadi faktor timbulnya pembelian impulsif (Beatty & Ferrel dalam Alagoz & Ekici, 2011).

Faktor lain yang ditemukan adalah demografi, seperti: usia, jenis kelamin. Ditemukan bahwa pembelian impulsif pada wanita lebih tinggi daripada pria. Sedangkan, untuk usia ditemukan bahwa usia 15 – 19 tahun sangat signifikan terhadap pembelian impulsif. Selain itu, faktor ekonomi, seperti pendapatan, uang saku dan uang dari hasil kerja paruh waktu. Semakin tinggi uang saku yang dimiliki, semakin tinggi pula tingkat pembelian impulsifnya (Yang, Huang & Feng, 2011; Lin & Lin, 2005).

Budaya juga menjadi salah satu faktor yang memiliki pengaruh terhadap pembelian impulsif (Wood; Dittmar, Beattie, & Friese dalam Lai, 2010; Yang, Huang & Feng, 2011; Lin & Lin, 2005; Kacen & Lee, 2002). Salah satunya adalah ethnosentrisme (Alsughayir, 2013; Chen, 2008).

Ethnosentrisme dikatakan memiliki pengaruh terhadap niat membeli dan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembelian impulsif (Chen, 2008; Worchel & Cooper, dalam Shimp & Sharma, 1987). Ethnosentrisme juga disebut sebagai salah satu faktor penting dalam pengambilan keputusan dalam pembelian suatu produk (Khan & Rahman, 2012; Yaprak, Attila, Baughn & Christopher dalam Chen, 2008).

Berdasarkan penjelasan tersebut, faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi munculnya pembelian impulsif antara lain: strategi promosi, gambar dan desain produk, pemasaran

kontemporer, faktor lingkungan seperti: atmosfer toko, lokasi rak, bau dan warna dari produk, faktor demografi, seperti: usia dan jenis kelamin, faktor ekonomi, seperti: pendapatan, uang saku dan uang dari hasil kerja paruh waktu, dan faktor budaya, salah satunya adalah ethnosentrisme.

Dokumen terkait