• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III SISTEM INFERENSI KABUR UNTUK PENETAPAN BESARNYA

A. Pembentukan Himpunan kabur

C. Fungsi Pengaburan D. Penalaran Kabur E. Fungi Penegasan

BAB IV PENUTUP DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

5 BAB II

HIMPUNAN DAN LOGIKA KABUR

A. Himpunan Kabur

Himpunan kabur pertama kali dipublikasikan oleh Zadeh pada tahun 1965. Himpunan kabur merupakan perluasan dari himpunan klasik. Derajat keanggotaan pada himpunan klasik hanya 0 dan 1, sedangkan pada himpunan kabur derajat keanggotaannya adalah bilangan real dalam selang tertutup dari 0 sampai dengan 1.

Setiap himpunan kabur dinyatakan dengan menggunakan fungsi keanggotaan. Fungsi keanggotaan dari suatu himpunan kabur ̃ dalam semesta adalah pemetaan ̃ dari ke selang tertutup [ ], yaitu ̃ [ ]. Nilai fungsi ̃ menyatakan derajat keanggotaan unsur dalam himpunan kabur ̃. Jika nilai fungsi sama dengan 1, maka merupakan anggota penuh dari himpunan kabur ̃. Jika nilai fungsi sama dengan 0, maka bukan anggota dari himpunan kabur ̃. Himpunan kabur ̃ dapat didefinisikan sebagai berikut

Definisi 2.1 (Zimmerman, 1991: 11)

Himpunan kabur ̃ dalam semesta adalah himpunan pasangan terurut: ̃ {( ̃ ) },

dengan ̃ adalah fungsi keanggotaan dari himpunan kabur ̃.

Untuk semesta diskret, himpunan kabur dapat dinyatakan dengan cara daftar, yaitu daftar anggota-anggota semesta dan derajat keanggotaannya.

Contoh 2.1

Dalam semesta ={Indah, Dude, Gilang, Nadi, Bima} yang terdiri dari siswa dengan tinggi badan berturut-turut 165 cm, 150 cm, 168 cm, 158 cm, dan 167 cm. Himpunan kabur ̃ “himpunan siswa yang tinggi” dinyatakan dengan cara daftar sebagai berikut

̃ 0.9/Gilang + 0.8/Bima + 0.6/Indah + 0.4/ Nadi + 0.2/ Dude. Sedangkan untuk semesta yang kontinu, himpunan kabur dapat dinyatakan dengan cara analitik untuk merepresentasikan fungsi keanggotaan himpunan kabur itu dalam bentuk suatu formula matematis yang dapat disajikan dalam bentuk grafik.

Contoh 2.2

Himpunan kabur ̃ “Bilangan real yang dekat dengan 2” dalam semesta dapat dinyatakan dengan menggunakan fungsi keanggotaan sebagai berikut

̃ {

u tu u tu u tu dengan grafik sebagai berikut

Gambar 2.1 Grafik fungsi keanggotaan himpunan kabur “bilangan real yang dekat dengan 2”

Nilai fungsi keanggotaan ̃ ̃ ̃ ̃ ̃ Pendukung dari suatu himpunan kabur ̃, yang dilambangkan dengan ̃ , adalah himpunan tegas yang memuat semua unsur dari semesta yang mempunyai derajat keanggotaan taknol dalam ̃, yaitu

( ̃) { ̃ }

Teras dari suatu himpunan kabur ̃, yang dilambangkan dengan Teras( ̃), adalah himpunan semua unsur dari semesta yang mempunyai derajat keanggotaan sama dengan 1, yaitu

( ̃) { ̃ }

Pusat dari suatu himpunan kabur didefinisikan sebagai berikut: Jika nilai purata dari semua titik di mana fungsi keanggotaan himpunan kabur itu mencapai nilai maksimum adalah berhingga, maka pusat himpunan kabur itu adalah nilai purata tersebut. Jika nilai purata itu tak hingga positif (negatif), maka pusat himpunan kabur adalah yang terkecil (terbesar) di antara semua titik yang mencapai nilai fungsi keanggotaan maksimum.

Tinggi dari suatu himpunan kabur ̃, yang dilambangkan dengan Tinggi( ̃), dideinisikan sebagai

( ̃) su

{ ̃ }

Suatu himpunan kabur yang tingginya sama dengan 1 disebut himpunan kabur normal, sedangkan himpunan kabur yang tingginya kurang dari 1 disebut himpunan kabur subnormal.

Titik silang dari suatu himpunan kabur ̃ adalah titik dari semesta yang mempunyai derajat keanggotaan sama dengan 0.5 dalam ̃

Fungsi keanggotaan dapat direpresentasikan dalam bentuk grafik. Beberapa fungsi keanggotaan yang sering digunakan antara lain adalah fungsi keanggotaan segitiga dan fungsi keanggotan trapesium.

1. Fungsi Keanggotaan Segitiga

Fungsi keanggotaan segitiga dari suatu himpunan kabur ̃ dalam semesta adalah pemetaan ̃ dari ke selang tertutup [ ] yang mempunyai tiga buah parameter, yaitu dengan , dan dinyatakan dengan lambang yang memenuhi aturan:

{ u tu u tu u tu

Fungsi keanggotaan segitiga tersebut juga dapat dinyatakan dengan formula sebagai berikut:

( (

) ) Contoh 2.3

Fungsi keanggotaan Segitiga( ;1, 2,7) dapat dinyatakan sebagai berikut:

{ u tu u tu u tu { u tu u tu u tu

Gambar 2.2 Grafik fungsi keanggotaan Segitiga( ; 1, 2,7) Nilai fungsi keanggotaan ̃ ̃ ̃

2. Fungsi Keanggotaan Trapesium

Fungsi keanggotaan trapesium dari suatu himpunan kabur ̃ dalam semesta adalah pemetaan ̃ dari ke selang tertutup [ ] yang mempunyai empat buah parameter, yaitu dengan , dan dinyatakan dengan lambang yang memenuhi aturan:

{ u tu u tu u tu u tu

Fungsi keanggotaan trapesium tersebut juga dapat dinyatakan dengan formula sebagai berikut:

( (

) ) Contoh 2.4

{ u tu u tu u tu u tu { u tu u tu u tu u tu

Gambar 2.3 memperlihatkan grafik fungsi keanggotaan Trapesium (x; 1, 2, 4, 7), dengan nilai fungsi keanggotaan ̃ ̃ ̃ ̃

Gambar 2.3 Fungsi keanggotaan Trapesium (x; 1, 2, 4, 7)

B. Operasi Pada Himpunan Kabur

Operasi himpunan adalah aturan untuk membentuk himpunan baru dari satu atau lebih himpunan yang diketahui. Operasi dengan satu himpunan disebut operasi uner, sedangkan operasi dengan dua himpunan disebut operasi biner.

Terdapat tiga macam operasi pada himpunan kabur, yaitu komplemen, gabungan, dan irisan.

Komplemen dari suatu himpunan kabur ̃, dengan notasi ̃ , adalah himpunan kabur yang didefinisikan dengan fungsi keanggotaan:

̃ ̃ ,

Gabungan dua buah himpunan kabur ̃ dan ̃, dengan notasi ̃ ̃, adalah himpunan kabur yang didefinisikan dengan fungsi keanggotaan:

̃ ̃ { ̃ ̃ },

Irisan dua buah himpunan kabur ̃ dan ̃, dengan notasi ̃ ̃, adalah himpunan kabur yang didefinisikan dengan fungsi keanggotaan:

̃ ̃ { ̃ ̃ } Contoh2.5

Misalkan dalam semesta ={-5,-4,-3,-2,-1,0,1,2,3} diketahui himpunan kabur

̃ = 0.1/-4 + 0.8/-3 + 0.5/-2 + 0.7/1 + 0.6/2 + 0.2/3 ̃ = 0.4/-4 + 0.3/-3 + 0.8/-2 + 0.7/-1 + 1/0 + 0.9/2, maka ̃ = 1/-5 + 0.2/-3 + 0.5/-2 + 1/-1 + 1/0 + 0.3/1 + 0.4/2 + 0.8/3 ̃ ̃ = 0.4/-4 + 0.8/-3 + 0.8/-2 + 0.7/-1 + 1/0 + 0.9/2 + 0.2/3 ̃ ̃ = 0.1/-4 + 0.3/-3 + 0.5/-2 + 0.6/2

Operasi komplemen, gabungan, dan irisan dari himpunan kabur diatas disebut operasi baku himpunan kabur, yang merupakan perampatan operasi pada himpunan tegas.

C. Prinsip Perluasan

Prinsip perluasan merupakan suatu prinsip matematika yang digunakan untuk memperluas (mengaburkan) konsep matematika yang tegas menjadi konsep yang kabur.

Misalkan dan berturut-turut adalah himpunan kuasa kabur dari semesta dan , yaitu himpunan semua himpunan kabur dalam dan berturut-turut.

Definisi 2.4

Suatu fungsi tegas dikatakan dikaburkan bila fungsi tersebut diperluas menjadi fungsi dengan aturan: untuk setiap himpunan kabur ̃ , ̃ adalah himpunan kabur dalam dengan fungsi keanggotaan

̃ { su { ̃ }

Invers fungsi tegas dikatakan dikaburkan bila fungsi tersebut diperluas menjadi fungsi dengan aturan: untuk setiap himpunan kabur ̃ ̃ adalah himpunan kabur dalam ) dengan fungsi keanggotaan

̃ ̃ .

Jika adalah fungsi satu-satu, maka fungsi keanggotaan himpunan kabur ̃ adalah

Contoh 2.5

Misalkan = {1, 2, 3, 4, 5, 6} dan = {7, 8, 9, 10}. Pemetaan didefinisikan sebagai berikut: (1) = (2) = 7 (3) = 9, (4) = (5) = (6)= 10. Bila diberikan himpuanan kabur ̃ = 0.6/1 + 0.2/2 + 0.7/3 + 0.5/4 + 1/5 + 0.9/6 dalam , dan himpunan kabur ̃ = 0.3/7 + 0.7/8 + 0.9/9 + 0.5/10 dalam , maka dengan prinsip perluasan diperoleh

) = (2) = 7 sup {0.6, 0.2} = 0.6 ̃ (3) = 9 sup {0.7} = 0.7 ̃ (4) = f(5) = f(6) = 10 sup {0.5, 1, 0.9}= 1 ̃ Jadi diperoleh f( ̃) = 0.6/7 + 0.7/9 + 1/10 dalam , dan himpunan kabur ̃ = 0.3/1 + 0.3/2 + 0.9/3 + 0.5/4 + 0.5/5 + 0.5/6 dalam

D. Logika Kabur

Logika kabur merupakan logika dwinilai yang diperluas menjadi logika multinilai atau logika dengan tak hingga banyak nilai, yang nilai kebenarannya dinyatakan dengan bilangan real dalam selang [0,1]. Ada beberapa konsep penting dalam logika kabur, yaitu variabel linguistik, proposisi kabur, implikasi kabur, dan penalaran kabur.

1. Variabel Linguisik

Variabel linguistik adalah suatu lambang atau kata yang digunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang tidak tertentu dalam semesta wacana bila semesta wacana tersebut adalah himpunan kata-kata atau istilah dari bahasa sehari-hari.

Variabel linguistik adalah suatu rangkap-5 ( ) di mana adalah lambang dari variabel, adalah himpunan nilai-nilai lingustik yang dapat menggantikan , adalah semesta wacana dari nilai-nilai lingustik dalam adalah himpunan aturan-aturan sintaksis yang mengatur pembentukan

istilah-istilah anggota , dan adalah himpunan aturan semantik yang mengaitkan setiap istilah dalam dengan satu himpunan kabur dalam semesta .

Contoh 2.8

Misalkan variabel lingustik adalah “umur”, maka sebagai himpunan nilai-nilai linguistik dapat diambil himpunan istilah-istilah = {muda, sangat muda, agak muda, tidak sangat muda, tidak muda dan tidak tua, agak tua, tua, tidak sangat tua, sangat tua}, dengan semesta = [0,100] himpunan aturan sintaksis yang mengatur pembentukan istilah-istilah anggota , dan himpunan aturan semantik yang mengaitkan setiap istilah dalam dengan satu himpunan kabur dalam semesta .

2. Proposisi Kabur

Proposisi kabur adalah kalimat yang memuat predikat kabur, yaitu predikat yang dapat direpresentasikan dengan suatu himpunan kabur dengan nilai kebenaran yang disajikan dengan suatu bilangan real dalam selang [0,1]. Proposisi kabur dengan nilai kebenaran tertentu disebut pernyataan kabur dan nilai kebenarannya disebut derajat kebenaran. Bentuk umum dari suatu proposisi kabur adalah

adalah ̃

dengan adalah suatu variabel linguistik dan predikat adalah suatu nilai linguistik dari . Bila ̃ adalah himpunan kabur yang dikaitkan dengan nilai lingustik dan adalah suatu elemen tertentu dalam semesta dari himpunan kabur ̃,maka mempunyai derajat keanggotaan ̃ dalam himpunan kabur ̃. Derajat dari pernyataan kabur

adalah

didefinisikan sama dengan derajat keanggotaan dalam himpunan kabur ̃, yaitu

Dari proposisi-proposisi kabur tunggal, kita dapat membentuk proposisi kabur majemuk, dengan menggunakan operator logika. Proposisi kabur majemuk yang paling sering digunakan adalah implikasi kabur.

3. Implikasi Kabur

Bentuk umum implikasi kabur adalah

Bila adalah , maka adalah

dengan dan adalah predikat-predikat kabur yang dikaitkan dengan himpunan-himpunan kabur ̃ dan ̃ dalam semesta dan berturut-turut. Implikasi kabur dapat dipandang sebagai suatu relasi kabur dalam , yang dilambangkan dengan . Implikasi kabur dapat diinterpretasikan bermacam-macam. Salah satu interpretasi implikasi kabur adalah implikasi Mamdani. Implikasi ini didasarkan pada asumsi bahwa implikasi kabur pada dasarnya bersifat lokal dalam arti bahwa implikasi

Bila adalah , maka adalah

hanya berbicara pada keadaan dengan adalah dan adalah , dan tidak mengenai keadaan di luar itu. Berdasarkan asumsi tersebut, implikasi kabur dipandang sebagai suatu konjungsi kabur, sehingga diperoleh

( ̃ ̃ )

yang disebut implikasi Mamdani. Bila sebagai norma- diambil operasi baku “min’, diperoleh

( ̃ ̃ ) Contoh 2.9

Diketahui implikasi kabur “Bila tinggi, maka kecil”, dengan dan berturut-turut adalah variabel linguistik dalam semesta { } dan { }. Jika predikat “tinggi”dan “kecil” berturut-turut dikaitkan dengan himpunan kabur

̃= 0.2/a + 0.5/b + 0.7/c + 0.9/d dan ̃= 0.4/p + 0.6/q + 0.8/r, maka dengan implikasi Mamdani diperoleh

0.2/(a,p) + 0.2/(a,q) + 0.2/(a,r) + 0.4/(b,q) + 0.5/(b,r) + 0.4/(c,p) + 0.6/(c,q) + 0.7/(c,r) + 0.4/(d,p) + 0.6/(d,q) + 0.6/(d,r)

4. Penalaran kabur

Penalaran kabur adalah suatu cara untuk menarik kesimpulan berdasarkan seperangkat implikasi kabur dan suatu fakta yang diketahui. Salah satu aturan penalaran yang paling sering digunakan ialah modus ponens, yang didasarkan pada tautologi:

( ) Bentuk umum penalaran modus ponens adalah sebagai berikut: 1. Bila adalah , maka adalah (Premis 1/ Kaidah) 2. adalah (Premis 2/ Fakta) 3. adalah (Kesimpulan)

Contoh 2.10

Premis 1 : Bila seorang mahasiswa lulus dengan indeks prestasi lebih besar dari 3.5, maka ia dinyatakan lulus dengan pujian (Kaidah)

Premis 2 : Linda lulus dengan indeks prestasi lebih besar dari 3.5 (Fakta) Kesimpulan : Linda dinyatakan lulus dengan pujian (Kesimpulan)

Aturan penalaran tegas ini dapat dirampatkan menjadi aturan penalaran kabur dengan premis-premis dan kesimpulannya adalah proposisi-proposisi kabur. Contoh 2.11

Premis 1 : Bila pakaian kotor, maka pencuciannya agak lama. Premis 2 : Pakaian agak kotor.

Kesimpulan : Pencucianya agak lama.

Penalaran tersebut dapat dirumuskan secara umum dengan skema sebagai berikut sebagai berikut :

Premis 1 : Bila adalah , maka adalah Premis 2 : adalah

Kesimpulan : adalah

Penalaran kabur dengan skema seperti di atas disebut modus ponens rampat. Modus ponens rampat dapat digeneralisasikan menjadi modus ponens rampat multikondisional, yang terdiri dari buah premis kabur berupa kaidah, sebuah premis kabur berupa fakta, dan sebuah kesimpulan. Skema umumnya adalah sebagai berikut:

Premis 1 : Bila adalah dan dan adalah , maka adalah Premis 2 : Bila adalah dan dan adalah , maka adalah

Premis : Bila adalah dan dan adalah , maka adalah Fakta : adalah dan dan adalah

Kesimpulan : adalah

dengan dan adalah predikat kabur yang dikaitkan dengan himpunan kabur ̃ dan ̃ dalam semesta , dan adalah predikat kabur yang dikaitkan dengan himpunan kabur ̃ dalam semesta Masing-masing premis tersebut dapat dipandang sebagai suatu relasi kabur ̃ dalam dan faktanya sebagai himpunan kabur ̃ ̃ ̃ dalam . Premis-premis ̃ tersebut biasanya diperlakukan secara disjungtif, sehingga semua premis itu dapat digabung menjadi satu premis ̃ yaitu ̃ ⋃ ̃ Maka kesimpulan “ adalah ” dapat diperoleh dengan kaidah inferensi komposisional untuk menentukan himpunan kabur ̃ ̃ ̃

dalam semesta dengan fungsi keanggotaan (dengan mengambil operasi baku “min” untuk norma- dan “max” untuk gabungan kabur)

̃ ̃ ̃ su { ̃ ̃ } su { ̃ { }( ̃ )} su { } { ̃ ̃ } { } su { ̃ ̃ } { }{ ̃ ̃ } ( ̃ ̃ )

untuk setiap . Jadi ̃ ̃ ̃ ⋃ ( ̃ ̃) ⋃ ̃ , di mana ̃ ̃ ̃ .

Jika untuk implikasi kabur ̃ tersebut diambil implikasi Mamdani , sehingga fungsi keanggotaannya adalah

̃ { ̃ ̃ ̃ } maka fungsi keanggotaan ̃ adalah

̃ ̃ ̃ { } su { ̃ ̃ ( ̃ ̃ ̃ )} { } su { ( ̃ ( ) ) ( ̃ ( ) ) ̃ } { } { su ( ̃ ( ) ̃ ( )) ( ̃ )} { } { ̃ } dengan { } su ( ̃ ( ) ̃ ( )) su ( ̃ ̃ ) , yang merupakan derajat keserasian antara fakta ̃ yang diberikan

dengan anteseden ̃ dari premis/kaidah ̃ , sedangkan yang merupakan minimum dari semua untuk disebut daya sulut yang menyatakan sejauh mana anteseden dari kaidah ̃ dipenuhi oleh fakta ̃ yang diberikan dan menyulut konsekuen dari kaidah tersebut. Dengan demikian kesimpulan ̃ ditentukan dengan empat langkah sebagai berikut:

Langkah 1 : Tentukan derajat keserasian , yaitu supremum dari ̃ ̃ untuk setiap dan

Langkah 2 : Untuk setiap i, tentukan daya sulut sebagai minimum dari semua derajat keserasian ( ).

Langkah 3 : Untuk setiap , tentukan irisan dengan ̃.

Langkah 4 : Gabunglah semua irisan tersebut untuk memperoleh ̃ .

E. Sistem Inferensi Kabur

Sistem inferensi kabur merupakan sistem komputasi yang bekerja berdasarkan penalaran kabur. Salah satu sistem inferensi kabur yang dikenal adalah sistem kendali kabur. Sistem kendali ini berfungsi untuk mengendaikan proses tertentu dengan mempergunakan aturan inferensi berdasarkan logika kabur. (Susilo, 2006: 161)

Pada dasarnya sistem kendali kabur terdiri dari empat unit, yaitu: unit pengaburan, unit penalaran logika kabur, unit basis pengetahuan, dan unit penegasan. Pada unit pengaburan nilai variabel dari masukan diubah ke dalam himpunan kabur. Hasil pengukuran yang telah dikaburkan itu kemudian diproses oleh unit penalaran, yang dengan menggunakan unit basis pengetahuan, menghasilkan himpunan kabur sebagai keluarannya. Langkah terakhir diolah oleh unit penegasan, yaitu menerjemahkan himpunan-himpunan kabur keluaran tersebut ke dalam nilai-nilai yang tegas.

1. Fungsi Pengaburan

Langkah pertama pada sistem kendali logika kabur adalah mengubah masukan tegas yang diterima menjadi masukan kabur. Fungsi pengaburan adalah pemetaan dengan adalah suatu kelas himpunan kabur dalam semesta . Salah satu contoh fungsi pengaburan adalah fungsi pengaburam Elemen Tunggal. Fungsi pengaburan Elemen Tunggal memetakan nilai ke himpunan kabur ̃ dengan fungsi keanggotaan

̃ {

untuk setiap . Jadi sebenarnya himpunan kabur ̃ ini adalah himpunan tegas dengan elemen tunggal, yaitu ̃ { }

2. Basis Pengetahuan

Basis pengetahuan dari suatu sistem kendali kabur terdiri dari basis data dan basis kaidah. Basis data adalah himpunan fungsi-fungsi keanggotaan dari himpunan-himpunan kabur yang terkait dengan nilai-nilai nilai lingustik dari variabel-variabel yang terlibat dalam sistem. Sedangkan basis kaidah adalah himpunan implikasi-implikasi kabur yang berlaku sebagai kaidah dalam sistem itu. Bila sistem itu mempunyai buah kaidah dengan variabel, maka bentuk umum kaidah ke adalah sebagai berikut:

Bila adalah dan dan adalah maka y adalah dengan adalah variabel linguistik dengan semesta numeris . 3. Unit Penalaran Kabur

Masukan kabur hasil pengolahan unit pengaburan diterima oleh unit penalaran untuk disimpulkan berdasarkan kaidah-kaidah yang tersedia dalam basis pengetahuan. Penarikan kesimpulan itu dilaksanakan berdasarkan aturan modus ponens rampat multikondisional dengan skema sebagai berikut:

Kaidah 1 : Bila adalah dan dan adalah maka adalah Kaidah 2 : Bila adalah dan dan adalah maka adalah

Kaidah m : Bila adalah dan dan adalah maka adalah

Masukan : adalah dan dan adalah Kesimpulan : adalah

dengan dan adalah predikat kabur yang dikaitkan dengan himpunan kabur ̃ dan ̃ dalam semesta , dan adalah predikat kabur yang dikaitkan dengan himpunan kabur ̃ dalam semesta . Jika masukannya dinyatakan dengan himpunan kabur ̃ ̃ ̃ dalam , masing-masing kaidah dinyatakan dengan relasi kabur ̃ dalam , dan ̃ ⋃ ̃ , maka kesimpulan “ adalah

” dapat diperoleh dengan menggunakan modus ponens rampat multikondisional untuk menentukan himpunan kabur ̃ ̃ ̃ dalam .

4. Fungsi Penegasan

Unit penegasan yang memuat fungsi-fungsi penegasan berfungsi untuk mengubah nilai kabur keluaran menjadi nilai yang tegas. Fungsi penegasan adalah suatu pemetaan , dengan adalah suatu kelas himpunan-himpunan kabur, yang memetakan suatu himpunan-himpunan kabur ke suatu bilangan real yang tegas. Terdapat beberapa fungsi penegasan, di antaranya adalah Purata Maksimum dan Rerata pusat.

Purata Maksimum: Himpunan kabur ̃ dalam semesta diubah menjadi bilangan tegas ̃ yang merupakan purata dari semua nilai yang mencapai nilai maksimum dalam ̃ , yaitu

( ̃ )

dengan { ̃ ̃ }. Apabila [ ], maka ( ̃ )

.

Rerata pusat: Jika himpunan kabur ̃ dalam semesta merupakan gabungan dari m buah himpunan kabur, yaitu ̃ ⋃ ̃ , maka ̃ diubah menjadi bilangan tegas ( ̃ ) yang merupakan rerata terbobot dari pusat-pusat dengan tinggi masing-masing himpunan kabur tersebut sebagai bobotnya, jadi

( ̃ )

dengan adalah pusat dari himpunan kabur ̃ dan ̃ . G. Penyusunan Sistem Kendali Kabur

Penyusunan sistem kendali kabur terdiri dari lima langkah sebagai berikut: Langkah 1 : Menentukan semua variabel yang terkait dalam proses yang

akan dikendalikan. Selanjutnya menentukan nilai-nilai linguistik untuk masing-masing variabel, himpunan-himpunan kabur yang terkait, serta fungsi keanggotaan dari setiap himpunan kabur sebagai basis data dari sistem yang disusun.

Langkah 2 : Untuk masing-masing variabel masukan ditentukan suatu fungsi pengaburan yang sesuai.

Langkah 3 : Menyusun basis kaidah, yaitu himpunan kaidah-kaidah berupa buah implikasi kabur yang menyatakan relasi antara variabel masukan dengan variabel keluaran.

Langkah 4 : Menyusun kaidah-kaidah tersebut beserta masukannya dalam skema modus ponens rampat multikondisional.

Langkah 5 : Menentukan fungsi penegasan yang sesuai untuk mengubah keluaran yang masih berupa himpunan kabur menjadi suatu bilangan real yang tegas.

G. Asuransi

Asuransi adalah suatu sistem kerjasama ekonomi keuangan yang memungkinkan seorang pemegang polis asuransi atau tertanggung untuk mendapatkan ganti kerugian yang mungkin besar dengan sejumlah kecil tertentu (Williams, 1984: 29). Asuransi merupakan bentuk pengalihan resiko yang timbul karena kebutuhan manusia. Ada berbagai macam asuransi, misalnya asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, dan sebagainya. Asuransi jiwa adalah asuransi yang bertujuan untuk menanggung orang terhadap kerugian finansial tak terduga yang disebabkan karena meninggal terlalu cepat atau hidup terlalu lama. Calon tertanggung sebelumnya akan diseleksi, yaitu apakah ia dapat diterima sebagai tertanggung atau tidak. Setiap perusahaan asuransi mempunyai syarat-syarat untuk menerima atau menolak calon tertanggung. Mehr dan Osler (2007:77) mengemukakan bahwa dalam proses seleksi calon tertanggung harus pula diperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan kebiasaan, pekerjaan, kesehatan dan sebagainya. Selanjutnya setelah menjadi tertanggung, ada kewajiban yang harus dilakukan oleh tertanggung, yaitu membayar premi kepada perusahaan asuransi. Premi adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi secara berkala, sesuai dengan masa kontrak yang telah disepakati.

Ada beberapa hal yang diperhatikan oleh perusahaan asuransi dalam seleksi, misalnya usia, kondisi ekonomi, dan jangka waktu asuransi, dan. Ketiga hal ini akan mempengaruhi besar premi yang harus dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi. Usia menjadi faktor penentu besarnya premi sebab semakin tua usia, kesehatan seseorang semakin menurun. Hal ini juga berlaku untuk jangka waktu asuransi. Semakin lama jangka waktu asuransi, berarti semakin bertambah usia, sehingga meningkat pula resiko kesehatan. Selain usia dan jangka waktu

asuransi, faktor kondisi ekonomi juga menjadi hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan besarnya premi. Kondisi ekonomi seseorang dapat dilihat dari pekerjaannya. Semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin besar pula premi yang harus dibayar.

25 BAB III

SISTEM INFERENSI KABUR UNTUK PENETAPAN BESARNYA PREMI

1. Pembentukan Himpunan Kabur

Ada 4 variabel kabur yang digunakan dalam sistem pengambilan keputusan menggunakan sistem inferensi kabur dalam penulisan makalah ini, yaitu kesehatan, keadaan ekonomi, masa asuransi, dan besarnya premi dengan menggunakan fungsi keanggotaan segitiga. Variabel masukan dalam sistem pengambilan keputusan ini adalah kesehatan, keadaan ekonomi, dan masa asuransi, sedangkan variabel keluarannya adalah besarnya premi.

1. Variabel Kesehatan

Variabel kesehatan adalah keadaan kesehatan dari nasabah yang dilihat dari segi usia. Semakin tinggi usia diasumsikan semakin menurun kesehatan seseorang. Misalkan adalah variabel linguistik kesehatan yang mengambil nilai kabur “baik”, “sedang”, dan “buruk” (dengan semesta numerik bilangan real dalam selang [15,55] dengan satuan tahun). Nilai-nilai kabur itu misalnya berturut-turut dinyatakan dengan himpunan kabur ̃ ̃ , dan ̃ dengan fungsi keanggotaan sebagai berikut:

̃ {

u tu u tu

̃ { u tu u tu u tu ̃ { u tu u tu

Grafik fungsi keanggotaan ketiga himpunan kabur tersebut adalah sebagai berikut:

Gambar 3.1 Grafik fungsi keanggotaan variabel kesehatan

2. Variabel Keadaan Ekonomi

Variabel keadaan ekonomi diasumsikan berdasarkan penghasilan yang dilihat dari pekerjaan nasabah. Misalkan adalah variabel linguistik keadaan ekonomi yang mengambil nilai kabur “miskin”, “menengah”, dan “kaya” (dengan semesta numerik bilangan real dalam selang [1,15] dengan satuan juta rupiah). Nilai kabur itu misalnya berturut-turut dinyatakan dengan himpunan kabur ̃ ̃ , dan ̃ dengan fungsi keanggotaan sebagai berikut:

̃ { u tu u tu ̃ { u tu u tu u tu ̃ { u tu u tu

Grafik fungsi keanggotaan ketiga himpunan kabur tersebut adalah sebagai berikut:

Gambar 3.2 Grafik fungsi keanggotaan variabel keadaan ekonomi

3. Variabel Masa Asuransi

Variabel masa asuransi mempunyai 3 nilai himpunan kabur, yaitu jangka pendek, sedang, dan jangka lama. Misalkan adalah variabel linguistik masa asuransi yang mengambil nilai kabur “jangka pendek”, “sedang”, dan “jangka lama” (dengan semesta numerik bilangan real dalam selang [1, 15] dengan satuan

tahun). Nilai kabur itu misalnya berturut-turut dinyatakan dengan himpunan kabur ̃ ̃ , dan ̃ dengan fungsi keanggotaan sebagai berikut:

̃ { u tu u tu ̃ { u tu u tu u tu ̃ { u tu u tu

Grafik fungsi keanggotaan ketiga himpunan kabur tersebut adalah sebagai berikut:

Gambar 3.3 Grafik fungsi keanggotaan variabel masa asuransi

4. Variabel Besarnya Premi

Variabel besarnya premi mempunyai menjadi 3 nilai himpunan kabur, yaitu sedikit, sedang, dan banyak. Misalkan adalah variabel linguistik besarnya premi yang mengambil nilai kabur “sedikit”, “sedang”, dan “banyak” (dengan

semesta numerik bilangan real dalam selang [100, 5000] dengan satuan ribu rupiah). Nilai kabur itu misalnya berturut-turut dinyatakan dengan himpunan kabur ̃ ̃ , dan ̃ dengan fungsi keanggotaan sebagai berikut:

̃ { u tu u tu ̃ { u tu u tu u tu ̃ { u tu u tu

Grafik fungsi keanggotaan ketiga himpunan kabur tersebut adalah sebagai berikut:

Dokumen terkait