• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pembentukan Identitas

hal tentang dirinya dan akhirnya mampu menentukan identitas.

Pada kasus-kasus diatas, eksplorasi yang dilakukan remaja dalam pembentukan identitas kurang berjalan baik. Eksplorasi merupakan usaha untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya terkait alternatif pilihan dalam rangka pembentukan identitas (Santrock, 2002). Usaha yang dilakukan remaja membutuhkan bantuan orang-orang terdekatnya terutama orangtua. Saat remaja memutuskan untuk berkomitmen, maka dapat bertanggungjawab pada pilihannya tersebut. Komitmen sendiri adalah pengambilan keputusan dengan memilih salah satu dari setiap alternatif pilihan yang ada dan setia pada pilihannya (Santrock, 2002).

Pembentukan identitas tidak terlepas dari peran orangtua. Orangtua yang terdiri dari ayah dan ibu merupakan orang terdekat bagi remaja di keluarga

(Dagun, 1990). Peran orangtua penting dalam perkembangan anak yang sedang memasuki masa remaja (Hurlock, 1995). Remaja melakukan eksplorasi dengan pendampingan dari orangtua. Saat remaja berkomitmen, orangtua memberikan dukungannya agar remaja mampu bertanggungjawab terhadap keputusan yang diambilnya.

Pada studi Lamb tahun 1975, ayah merupakan kontributor yang terlupakan dalam perkembangan anak. Peran ayah dalam perkembangan emosi dan sosial anak mereka sangat sedikit (Shaffer, 2002). Selama tahun 1970-an menurut Fein serta Lamb (Phares, 1996), peran ayah dalam perkembangan anak mulai mengalami perubahan. Hasil penelitian McIntyre, Nass dan Battistone (2005) mengenai peran ayah dalam pengasuhan anak menemukan bahwa 88% responden menyatakan bahwa ayah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan ibu. Meskipun penelitian tentang ayah selama tiga dekade mengalami peningkatan, akan tetapi penelitian terkait tentang keluarga lebih banyak dilakukan pada figur ibu (Roggman dkk, 2000). Untuk itu peneliti tertarik untuk melihat peran ayah dalam pembentukan identitas remaja.

Sosok ayah memiliki peran besar yang dalam keluarga (Berk, 1997). Ayah mempunyai peran yang sentral dalam keluarga, salah satunya sebagai teladan bagi anak-anaknya dalam berperilaku. Peran ayah yang awalnya bersifat tunggal dan hanya meliputi satu dimensi telah mengalami banyak perubahan baik sebagai teman, pengasuh, pasangan, pelindung, model, penuntun moral ataupun sebagai pencari nafkah (Lamb, 1997).

Bagi remaja, peran ayah tersebut mampu mempengaruhi kehidupannya sehari-hari dalam melewati masa remaja (Dagun, 1990 & Santrock, 2007). Penelitian Montemayor (1997) menunjukkan bahwa keterlibatan ayah bagi remaja putra memiliki pengaruh yang besar. Ayah diibaratkan sebagai cermin dan model dalam berinteraksi dengan teman-temannya (Lamb, 1981). Penelitian Dirgagunarsa & Dirgagunarsa (2004) menguatkan pernyataan Lamb bahwa cermin remaja putra dilihat ayah sebagai dirinya, sedangkan remaja putra melihat ayahnya sebagai cermin dirinya di masa depan. Untuk itu, remaja putra mengidentifikasi sosok dan peran ayah.

Penelitian juga menunjukkan bahwa kedekatan ayah pada masa kanak-kanak berpengaruh positif pada anak perempuan dewasa (Amato, 1994). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perempuan yang memiliki kedekatan dengan ayahnya akan mencari pasangan mirip dengan sifat ayahnya. Pada penelitian tersebut terlihat bahwa figur ayah bagi anak perempuan remaja penting karena mempengaruhi rasa percaya pada sosok laki-laki. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas maka dapat disimpulkan bahwa keterlibatan dan peran ayah sangat mempengaruhi perkembangan remaja, baik bagi remaja laki-laki maupun perempuan.

Penelitian menyebutkan bahwa remaja akan merasa lebih puas bila menjadikan ayah sebagai teman bermain atau playmate (Dubowitz, 2001). Dagun (1990) menguatkan pernyataan tersebut bahwa remaja yang menghabiskan waktu dengan ayah akan merasa lebih puas daripada saat bersama ibu. Remaja yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan ayah akan lebih terbiasa dalam

melakukan aktivitas fisik. Untuk itu, saat ayah tidak berperan maka eksplorasi diri yang dilakuakan terkait dengan aktivitas fisik akan terhambat.

Menurut Hart (1999) peran ayah juga mampu menjadi teladan bagi remaja. Perilaku ayah dalam keluarga dijadikan oleh remaja sebagai teladan. Untuk itu, baik perilaku positif ataupun negatif menjadi tolak ukur remaja untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku negatif akan mampu memberikan teladan yang buruk bagi remaja. Hal tersebut dapat menghambat remaja dalam melewati tahap pembentukan identitas. Peran ayah sebagai problem solver dan penasehat mampu membantu remaja saat mengalami permasalahan. Masa remaja adalah masa dimana remaja banyak mengalami permasalahan (Santrock, 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Watson & Lindgren (1973) menyimpulkan bahwa kelompok anak yang tidak merasakan peran ayah cenderung memiliki kemampuan akademik menurun, aktivitas sosial terhambat, dan interaksi sosial terbatas. Pada pembentukan identitas, dampak tersebut mampu menghambat remaja untuk mengeksplorasi diri terkait dengan prestasi dan relasinya. Absennya peranan ayah dalam keluarga memiliki dampak negatif yang lebih signifikan bagi anak dibanding absennya peranan ibu. Untuk itu, USDepartemen of Justice pada tahun 1988 menyatakan bahwa ketidakadaan peranan ayah dalam pendidikan anak menjadi prediktor yang paling signifikan bagi tindak kriminal dan kekerasan anak-anaknya.

Di sisi lain, penelitian-penelitian sebelumnya tentang pembentukan identitas belum pernah membahas secara khusus terkait dengan peran ayah. Penelitian yang pernah diteliti yaitu penelitian Waterman (1982) terkait dengan

proses eksplorasi dalam pembentukan identitas dan penelitian Luyckx (2007) terkait dengan pembentukan identitas yang terjadi pada remaja laki-laki serta perempuan. Untuk itu, penelitian ini bermaksud untuk meneliti lebih lanjut hubungan antara peran ayah dengan pembentukan identitas remaja.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka perumusan masalah yang dibuat oleh peneliti yaitu: apakah ada hubungan antara peran ayah dengan pembentukan identitas remaja?

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara peran ayah dengan pembentukan identitas remaja.

D.Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu sumbangsih bagi ilmu psikologi dan bisa menjadi acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya terkait dengan peran ayah (fatherhood) dan pembentukan identitas remaja.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi informasi bagi orangtua dalam perannya untuk mengasuh seorang anak, sehingga kontribusi tersebut dapat menjadi sarana dalam pembentukan identitas remaja.

Hasil penelitian ini diharapkan juga mampu menjadi bahan evaluasi dari peran ayah dalam merawat dan mengasuh anaknya, sehingga mampu mengurangi tingkat permasalahan yang terjadi pada remaja.

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A.Pembentukan Identitas

1. Pengertian Pembentukan Identitas

Menurut Erikson (dalam Marcia, 1993) pembentukan identitas merupakan tahapan yang sangat penting pada masa remaja. Tugas utama yang terdapat di dalamnya yaitu mencari dan menegaskan eksistensi serta jati dirinya, mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, mencari arah dan tujuan, menjalin hubungan dengan orang yang dianggap penting.

Erikson (dalam Cremers, 1989) mengemukakan bahwa pembentukan identitas merupakan tugas perkembangan yang penting pada masa remaja dan tidak langsung berakhir saat itu juga. Proses ini secara definitive tidak mampu ditetapkan karena sifatnya dinamis. Marcia (dalam Desmita, 2007) menguatkan pendapat Erikson bahwa adanya pembentukan identitas remaja awal mampu menimbulkan krisis bila pada remaja akhir tidak terselesaikan. Menurut Erikson (dalam Cremers, 1989) remaja yang mempunyai identitas mampu melihat perbedaan dirinya dengan orang lain, menyadari potensi-potensi dan keterbatasannya. Selain itu, ditandai pula dengan perasaan nyaman akan dirinya sehingga relatif bebas dari kecemasan, depresi maupun gejala patologis lainnya. Di samping itu, tanda lain yang muncul yaitu mampu membangun hubungan yang hangat dengan orang lain.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, peneliti memberikan batasan bahwa pembentukan identitas merupakan proses pada remaja untuk mengenali diri secara spesifik dengan menemukan potensi-potensi dan keterbatasannya, sehingga mampu menemukan tujuan hidup dan dapat menunjukkan eksistensinya dengan memiliki relasi sosial yang baik.

Peneliti memilih variabel pembentukan identitas dalam penelitian ini karena pembentukan identitas menjadi awal untuk mencari dan menentukan suatu identitas yang membuat remaja merasa nyaman dalam menjalaninya.

2. Aspek-aspek Pembentukan Identitas

Menurut Erikson (dalam Santrock, 2002) aspek-aspek dalam pembentukan identitas antara lain:

a. Eksplorasi.

Merupakan usaha untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya terkait alternatif pilihan dalam rangka pembentukan identitas. Semakin banyak remaja menemukan alternatif pilihan dan mengetahui masing-masing kelebihan serta kekurangannya, maka tingkat eksplorasi semakin tinggi. Pada aspek ini, terdapat dua indikator yang menunjukkan adanya eksplorasi yaitu:

1. Penguasaan pengetahuan, yaitu kemampuan untuk memahami berbagai alternatif pilihan yang ada.

2. Pertimbangan alternatif, yaitu usaha untuk membandingkan alternatif pilihan berdasarkan kelebihan dan kekurangannya.

b. Komitmen.

Merupakan pengambilan keputusan dengan memilih salah satu dari setiap alternatif pilihan yang ada dan setia pada pilihannya. Semakin banyak indikator dari komitmen yang muncul, maka tingkat komitmen remaja juga semakin tinggi. Berikut ini empat indikator yang menunjukkan adanya komitmen yaitu:

1. Kegiatan yang diarahkan, yaitu usaha remaja untuk mengarahkan kegiatannya sesuai dengan identitas yang telah dipilihnya.

2. Identifikasi model, yaitu usaha remaja untuk mengidentifikasi model yang dianggap sukses karena memiliki pilihan identitas yang sama. 3. Proyeksi ke masa depan, yaitu kemampuan membuat gambaran dirinya

di masa depan dengan pilihan identitasnya.

4. Daya tahan terhadap goncangan, yaitu kesetiaan pada komitmen walaupun selama proses menjalani pilihan identitas mengalami banyak tantangan.

Indikator yang digunakan dalam aspek eksplorasi yaitu penguasaan pengetahuan dan pertimbangan alternatif. Pada aspek komitmen, indikator yang digunakan yaitu kegiatan yang diarahkan, proyeksi ke masa depan, dan daya tahan terhadap goncangan. Indikator identifikasi model tidak digunakan karena pemilihan dan kesetiaan komitmen pada remaja kurang terlihat (Desmita, 2007).

3. Domain Pembentukan Identitas

Pembentukan identitas ini akan semakin mengalami perubahan dan terus menerus berjalan lebih lancar. Hal ini karena eksplorasi dan komitmen semakin meningkat. Pembentukan identitas juga tidak hanya dilihat dari aspek dan indikator-indikator, tetapi tidak terlepas dari domain yang ada di masyarakat. Domain merupakan area yang mewakili tingkat eksplorasi dan komitmen pada identitas remaja.

Domain tersebut dilihat berdasarkan alternatif pilihan identitas yang ada di masyarakat. Alternatif tersebut telah dibagi Erikson sesuai dengan cakupan dari identitas yang terdiri dari (dalam Santrock, 2012):

a. Vokasional/pekerjaan yaitu pilihan karir/ pilihan pekerjaan saat ini atau yang diinginkan di masa yang akan datang. Pilihan-pilihan pekerjaan seperti apa yang ditawarkan di masyarakat dan mampu mendukung remaja untuk mengeksplorasi diri.

b. Politis yaitu keyakinan-keyakinan terkait dengan sikap, nilai politik yang dianut dan menurutnya ideal bila dijalankan di masyarakat.

c. Spritual yaitu keyakinan agama, sikap-sikap terhadap agama, praktik dan perilaku yang menunjukkan moralnya (Upton, 2012). Munculnya sikap yang menandai bahwa individu percaya pada kekuatan yang besar dan dapat menghubungkannya dengan Tuhan (Hudori, 2008).

d. Relasi yaitu adanya hubungan dekat dengan teman sebaya, orang yang lebih tua, orang yang lebih muda, bahkan dapat terkait dengan status yang dimiliki seperti: lajang, menikah, bercerai, dan sebagainya. Relasi remaja

identik dengan teman sebaya (Santrock, 2012). Aktivitasnya lebih banyak dilakukan di luar rumah dan membuatnya menghabiskan waktu bersama teman sebayanya. Teman sebaya memberikan pengaruh dalam kehidupan remaja. Salah satunya, remaja mengeksplorasi banyak hal baru karena pengaruh tersebut.

e. Prestasi yaitu seberapa besar tingkat remaja termotivasi untuk berprestasi. Pada remaja, kebutuhan untuk diakui dan diterima sangatlah penting. Remaja ingin menunjukkan eksistensinya di masyarakat. Salah satu cara yang dilakukan yaitu melalui pencapaian prestasi.

f. Seksual yaitu orientasi seksual remaja terhadap partnernya yaitu cenderung mengarah pada heteroseksual, homoseksual, atau biseksual. Pada domain ini, terlihat saat remaja mulai memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Remaja lebih berorientasi dengan lawan jenisnya.

g. Minat yaitu hal-hal yang senang dilakukan remaja seperti: olahraga, musik, membaca, dan sebagainya. Banyaknya aktivitas remaja di luar rumah, membuatnya menemukan hal-hal baru yang mulai disukainya.

h. Etnis/budaya yaitu latar belakang negara dari remaja dan seberapa kuat budaya asalnya dapat diidentifikasi. Domain ini nampak jelas pada remaja di Barat dibandingkan dengan budaya remaja di Timur (salah satunya Indonesia) karena adanya mayoritas dan minoritas dari etnis tertentu (Santrock, 2012).

i. Fisik yaitu citra tubuh dan keyakinan pada penampilan diri. Remaja mulai memikirkan penampilan fisiknya untuk menunjang relasinya dengan orang

lain atau bahkan menarik simpati lawan jenisnya. Remaja yang memiliki gambaran ideal tentang dirinya menilai sendiri sejauh mana perkembangan fisiknya saat ini.

j. Kepribadian yaitu karakteristik-karakteristik individual yang menentukan pola tertentu, seperti ekstrvert, introvert, pemalu, pemarah, ramah, pencemas, dan sebagainya.

Menurut peneliti, domain yang akan digunakan dalam penelitian yaitu vokasional/pekerjaan, politis, relasi, prestasi, seksual, dan fisik. Hal ini dikuatkan dengan penelitian Purwadi (2004) bahwa enam domain tersebut lebih mudah untuk dipahami oleh remaja Indonesia.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Identitas

Berikut ini faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan identitas yaitu (Erikson, dalam Marcia 1993):

a. Pola asuh dengan orang yang membesarkan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Purwadi (2000), pengasuhan orangtua memiliki hubungan yang signifikan dengan pembentukan identitas diri remaja. Pengasuhan yang diberikan orangtua yaitu terkait cara mendidik dan memperlakukan anak dalam kehidupan sehari-hari. Gaya pengasuhan yang diterapkan orangtua memiliki suasana yang berbeda dalam mengekspresikan gagasan dan pikiran, sehingga identitas yang terbentuk juga berbeda-beda. Untuk itu, orangtua menjadi sumber inspirasi dan informasi, serta figur penting bagi anak. Dengan demikian sikap dan

perilaku orangtua akan memberi pengaruh dalam menentukan dan membentuk sikap dan perilaku anak. Santrock (1997) menguatkan pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa ayah-ibu yang kooperatif dan saling menghormati dalam membantu anak akan membentuk sikap yang positif.

b. Harapan sosial tentang pilihan identitas dalam keluarga, sekolah, dan kelompok teman sebaya.

Munculnya harapan-harapan dari lingkungan sekitar akan membuat remaja merasa memiliki tuntutan dalam hidupnya yang harus terpenuhi. Lingkungan di sekitar ini terdiri dari keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama, sekolah sebagai lingkungan kedua dalam bersosialisasi, dan kelompok teman sebaya sebagai lingkungan yang banyak digemari oleh para remaja untuk mengekspresikan diri. Saat individu bergaul maka, lingkungan tempat ia tinggal memiliki nilai dan kriteria tersendiri berdasarkan ukuran masyaraktnya. Hal ini membuat individu berusaha memenuhi tuntutan tersebut sehingga dipandang baik oleh lingkungannya. Untuk itu, kriteria yang diberikan masyarakat akan mempengaruhi remaja dalam membentuk identitasnya.

c. Sejauh mana orang mampu mengungkap berbagai alternatif identitas dirinya.

Tingkat individu dalam menemukan dan mengungkap pilihan komponen-komponen pembentuk identitas akan membuat pembentukan identitas semakin lancar. Alternatif pilihan tersebut banyak disajikan

melalui media cetak, media elektronik ataupun langsung ditemukan dan dialami di lingkungan sekitar. Makin banyak mengungkap alternatif pilihan tersebut maka pembentukan identitas semakin matang.

d. Kepribadian pra-remaja memberikan fondasi untuk mengatasi kekhawatiran identitas.

Kepribadian yang dimiliki individu sebelum masa remaja akan menjadi fondasi yang kuat untuk pembentukan identitas. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Reese (dalam Dusek, 1977) bahwa tahap perkembangan satu dengan tahap perkembangan yang lain merupakan kelanjutan, sehingga sifat kepribadian pada masa sebelumnya memiliki peran yang sangat penting bagi pembentukan identitas remaja.

Dokumen terkait