• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan Mikrokapsul dengan Ragam Konsentrasi Sel-Sel

Konsentrasi sel-sel Leydig: (a) 1×104, (b) 1×105, (c) 1×106, dan (d) 1×107 sel/mL dengan perbesaran 4×10; panah = sel Leydig; garis skala = 50 µm.

ABSTRAK

DEVI RAHAYU. Optimisasi Pembentukan Mikrokapsul dengan Penyalut

Alginat-Kitosan untuk Enkapsulasi Sel-Sel Leydig. Dibimbing oleh IRMANIDA

BATUBARA dan KUSDIANTORO MOHAMAD.

Hipogonadisme adalah kondisi klinik yang ditandai dengan rendahnya

konsentrasi hormon testosteron. Hipogonadisme disebabkan oleh fungsi sel

Leydig sebagai penghasil testosteron yang tidak mencukupi. Metode enkapsulasi

akan melindungi sel yang akan ditransplantasikan sehingga dapat mencegah

terjadinya penolakan oleh sistem kekebalan tubuh. Penelitian ini bertujuan

mengoptimisasi pembentukan mikrokapsul untuk mengenkapsulasi sel Leydig.

Mikrokapsul dibuat menggunakan alginat sebagai penyalut pertama dan kitosan

sebagai penyalut kedua. Konsentrasi minimum larutan alginat untuk membuat

kapsul berbentuk bulat, yaitu 1,5% (b/v) dengan viskositas 33,8 cPs yang

menghasilkan mikrokapsul dengan diameter berkisar 230-270

µm.

Kondisi

optimum penyalut kedua, kitosan, adalah 0,5% (b/v) yang menghasilkan

mikrokapsul berbentuk bulat dengan memiliki stabilitas mekanik sampai 4 jam.

Sel-sel Leydig dapat terperangkap di dalam kapsul dengan kerapatan berbanding

lurus dengan konsentrasi sel yang digunakan dalam enkapsulasi.

ABSTRACT

DEVI RAHAYU. Optimization of Alginate-Chitosan Microcapsules Formation

for Leydig Cells Encapsulation. Supervised by IRMANIDA BATUBARA and

KUSDIANTORO MOHAMAD.

Hypogonadism is a clinical condition characterized by low concentrations of

testosterone. It is caused by malfunction of Leydig cells in producing testosterone.

Encapsulation method will protect the transplanted cells from the immune system

rejection. The aims of this study was to optimize the formation of microcapsules

for Leydig cells encapsulation. The microcapsules were made of alginate and

chitosan as the first and the second coating agents, respectively. The result

showed that the minimum concentration of alginate was 1.5% (w/v) with a

viscosity of 33.8 cPs, resulted spherical microcapsules with diameters of 230-270

µm. The optimum concentration of chitosan as the second coating agent was 0.5%

(w/v), resulted spherical microcapsule with mechanical stability in 4 hours.

Leydig cells can be trapped inside the capsule with a density that proportional

with concentration of cells used in the encapsulation.

PENDAHULUAN

Hipogonadisme adalah kondisi klinis yang ditandai dengan rendahnya konsentrasi

hormon testosteron. Hipogonadisme

disebabkan oleh fungsi sel Leydig sebagai penghasil testosteron yang tidak mencukupi (Rhoden dan Morgentaler 2004). Gejala klinis yang ditimbulkan akibat hipogonadisme antara lain atropi dan kelemahan otot, osteoporosis, menurunnya densitas tulang, fungsi seksual, dan meningkatnya massa lemak serta gejala lain yang sama pada usia muda (Gruenewald dan Matsumoto 2003). Pengobatan yang selama ini digunakan adalah dengan terapi pemberian hormon sintetis. Namun demikian, terapi dengan hormon sintetis ini dalam jangka panjang dapat menimbulkan risiko, yaitu ischemia arteri koroner (penyakit jantung koroner) (Gruenewald dan Matsumoto 2003), fluid retention, kanker prostat, hepatotoxicity, dan

sleep apnee (Rhoden dan Morgentaler 2004). Oleh karena itu, metode lain sebagai alternatif pengobatan diperlukan untuk mengurangi risiko yang dapat berdampak buruk pada kesehatan.

Salah satu cara untuk mengatasi kelemahan tersebut ialah dengan cara terapi sel menggunakan transplantasi sel-sel Leydig, sel penghasil hormon testosteron. Akan tetapi, transplantasi sel memiliki kendala penolakan oleh sistem kekebalan tubuh. Salah satu cara mengatasi penolakan ini adalah dengan enkapsulasi sel dengan suatu penyalut, yang memungkinkan difusi nutrisi dan metabolit keluar masuk mikrokapsul tetapi menghalangi sistem kekebalan mencapai sel.

Mikrokapsul merupakan partikel kecil yang berisi senyawa aktif atau bahan inti yang dibungkus oleh suatu lapisan atau cangkang (Beneta 1996). Enkapsulasi dibedakan menjadi dua, yaitu makroenkapsulasi dan mikroenkapsulasi. Kedua proses dibedakan berdasarkan ukuran kapsul yang dihasilkan (Uludag et al. 2000). Proses enkapsulasi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan bahan penyalut alginat dan kitosan. Alginat adalah polisakarida anionik yang diperoleh dari ekstraksi alga cokelat (Macrocytis pyrifera) dan merupakan kopolimer yang

terdiri atas residu asam β(1,4)-D-manuronat

(M) dan asam α(1,4)-L-guluronat (G) (Sæther

et al. 2008) (Gambar 1). Alginat telah banyak digunakan dalam proses enkapsulasi karena sifatnya yang biokompatibel dan murah (Friedli & Schlager 2005).

Gambar 1 Struktur Na-alginat.

Kitosan merupakan biopolimer

polikationik yang tersusun dari unit berulang 2-amino-2-deoksi-D-glukopiranosa yang

terhubung oleh ikatan β-(1,4) (Gambar 2). Kitosan bersifat alami, biodegradabel, biokompatibel, dan tidak beracun bagi tubuh. Polimer terdiri dari polimer yang bersifat kationik dan anionik. Kitosan merupakan polimer bermuatan positif sehingga dapat membentuk ikatan silang dengan polimer anionik, yaitu polimer yang bermuatan negatif diantaranya adalah alginat, karagenan, dan karboksimetil selulosa. Penggunaan sistem penyalut berganda alginat kitosan dapat mengurangi porositas dan meningkatkan kestabilan kapsul yang dihasilkan (Silva et al.

2006).

Gambar 2 Struktur kitosan.

Beberapa penelitian tentang enkapsulasi pernah dilakukan dengan menggunakan bahan penyalut alginat-kitosan terhadap bahan aktif seperti ibuprofen (Wukirsari 2006), ketoprofen (Sugita et al. 2010; Arianto 2010), kurkumin (Herdini et al. 2010) sedangkan untuk materi biologis pernah dilakukan enkapsulasi terhadap hemoglobin (Silva et al.

2006) dan sel hidup seperti sel bakteri (Mandal et al. 2006) serta pulau-pulau Langerhans menggunakan poli(etilen glikol) (Teramura dan Iwata 2009). Penelitian mengenai alginat-kitosan sebagai bahan penyalut sel-sel Leydig penghasil testosteron belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan sel-sel Leydig yang terenkapsulasi dengan alginat dan kitosan.

Metode enkapsulasi yang pernah dilakukan oleh Sugita et al. 2010, Arianto (2010), dan Herdini et al. (2010) tidak dapat digunakan untuk enkapsulasi sel karena pada penelitian tersebut menggunakan alat penyemprot kering (spray drying) sehingga dapat mengakibatkan kerusakan pada sel. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan teknik pembentukan droplet gel alginat-CaCl2

dengan metode ekstruksi, yaitu dengan penetesan langsung larutan alginat ke dalam larutan CaCl2 sehingga terbentuk gel alginat

kemudian disalut menggunakan larutan kitosan. Penelitian ini bertujuan melakukan optimisasi pembentukan mikrokapsul alginat dengan ragam konsentrasi alginat dan CaCl2,

menguji stabilitas mekanik mikrokapsul alginat-kitosan dengan ragam konsentrasi kitosan, dan enkapsulasi sel-sel Leydig dengan ragam konsentrasi sel.

METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alginat (Sigma Aldrich), kitosan niaga dari Bratachem dengan derajat asetilasi dan bobot molekul berturut-turut 73,76% dan ± 3,7×105 g/mol, sel-sel Leydig hasil isolasi dari jaringan testis tikus jantan Sprague Dawley. Alat-alat yang digunakan adalah viskometer Brookfield, osmometer krioskopik, sentrifuse swing rotor, biological safety cabinet, dan mikroskop cahaya.

Lingkup Kerja

Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahapan (Lampiran 1). Tahap pertama adalah pencirian sifat bahan penyalut (alginat dan kitosan) meliputi penentuan kadar air, kadar abu, osmolaritas, dan viskositas dari berbagai larutan yang digunakan dalam penelitian. Tahap kedua adalah penentuan optimisasi pembentukkan mikrokapsul gel alginat dengan ragam konsentrasi alginat dan CaCl2

serta pengujian stabilitas mekanik mikrokapsul dengan ragam konsentrasi kitosan sebagai penyalut kedua. Tahap ketiga adalah aplikasi enkapsulasi sel-sel Leydig dengan ragam konsentrasi sel dengan penyalut alginat-kitosan.

Penentuan Kadar Air

Penentuan kadar air dilakukan

menggunakan metode standar AOAC (1999). Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105 °C selama 30 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3 g bahan penyalut (alginat dan kitosan) dimasukkan ke dalam cawan lalu dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105 °C selama 3 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Prosedur ini dilakukan hingga diperoleh bobot yang tetap.

Kadar air (%) =

100%

A

B

A

Keterangan:

A = bobot contoh awal (g)

B = bobot contoh kering (g)

Penentuan Kadar Abu

Penentuan kadar abu bahan penyalut dilakukan menggunakan metode standar AOAC (1999). Cawan porselen yang bersih dan kering dipanaskan di dalam tanur untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran yang menempel di cawan. Setelah didinginkan dalam desikator, cawan ditimbang. Sebanyak 0,5 g bahan penyalut dimasukkan ke dalam cawan tersebut dan dipanaskan sampai tidak berasap kemudian dibakar dalam tanur pada suhu 600 °C sampai diperoleh abu. Cawan berisi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Kadar abu (%) =

100%

A

B

Keterangan:

A = bobot contoh awal (g)

B = bobot abu (g)

Pengukuran Osmolaritas dan Viskositas

Larutan alginat dibuat dengan ragam konsentrasi 0,5; 1,0; 1,5; 2,0 % (b/v) dalam akuades dan buffer fosfat salin. Larutan kitosan dibuat dengan ragam konsentrasi 0,5; 1,0; 1,5; 2,0 % (b/v) dalam pelarut CH3COOH

1%. Larutan CaCl2 dibuat dengan ragam

konsentrasi 0,05; 0,1; 0,15; 0,2 M dalam akuades. Semua larutan diukur nilai osmolaritasnya dengan alat osmometer

cryoscopic (Osmomat 030, Jerman). Larutan alginat dan kitosan juga diukur nilai viskositasnya dengan viskometer Brokkfield dengan kecepatan 50 rpm dan spindel yang digunakan adalah nomor M2.

Metode enkapsulasi yang pernah dilakukan oleh Sugita et al. 2010, Arianto (2010), dan Herdini et al. (2010) tidak dapat digunakan untuk enkapsulasi sel karena pada penelitian tersebut menggunakan alat penyemprot kering (spray drying) sehingga dapat mengakibatkan kerusakan pada sel. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan teknik pembentukan droplet gel alginat-CaCl2

dengan metode ekstruksi, yaitu dengan penetesan langsung larutan alginat ke dalam larutan CaCl2 sehingga terbentuk gel alginat

kemudian disalut menggunakan larutan kitosan. Penelitian ini bertujuan melakukan optimisasi pembentukan mikrokapsul alginat dengan ragam konsentrasi alginat dan CaCl2,

menguji stabilitas mekanik mikrokapsul alginat-kitosan dengan ragam konsentrasi kitosan, dan enkapsulasi sel-sel Leydig dengan ragam konsentrasi sel.

METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alginat (Sigma Aldrich), kitosan niaga dari Bratachem dengan derajat asetilasi dan bobot molekul berturut-turut 73,76% dan ± 3,7×105 g/mol, sel-sel Leydig hasil isolasi dari jaringan testis tikus jantan Sprague Dawley. Alat-alat yang digunakan adalah viskometer Brookfield, osmometer krioskopik, sentrifuse swing rotor, biological safety cabinet, dan mikroskop cahaya.

Lingkup Kerja

Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahapan (Lampiran 1). Tahap pertama adalah pencirian sifat bahan penyalut (alginat dan kitosan) meliputi penentuan kadar air, kadar abu, osmolaritas, dan viskositas dari berbagai larutan yang digunakan dalam penelitian. Tahap kedua adalah penentuan optimisasi pembentukkan mikrokapsul gel alginat dengan ragam konsentrasi alginat dan CaCl2

serta pengujian stabilitas mekanik mikrokapsul dengan ragam konsentrasi kitosan sebagai penyalut kedua. Tahap ketiga adalah aplikasi enkapsulasi sel-sel Leydig dengan ragam konsentrasi sel dengan penyalut alginat-kitosan.

Penentuan Kadar Air

Penentuan kadar air dilakukan

menggunakan metode standar AOAC (1999). Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105 °C selama 30 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3 g bahan penyalut (alginat dan kitosan) dimasukkan ke dalam cawan lalu dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105 °C selama 3 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Prosedur ini dilakukan hingga diperoleh bobot yang tetap.

Kadar air (%) =

100%

A

B

A

Keterangan:

A = bobot contoh awal (g)

B = bobot contoh kering (g)

Penentuan Kadar Abu

Penentuan kadar abu bahan penyalut dilakukan menggunakan metode standar AOAC (1999). Cawan porselen yang bersih dan kering dipanaskan di dalam tanur untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran yang menempel di cawan. Setelah didinginkan dalam desikator, cawan ditimbang. Sebanyak 0,5 g bahan penyalut dimasukkan ke dalam cawan tersebut dan dipanaskan sampai tidak berasap kemudian dibakar dalam tanur pada suhu 600 °C sampai diperoleh abu. Cawan berisi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Kadar abu (%) =

100%

A

B

Keterangan:

A = bobot contoh awal (g)

B = bobot abu (g)

Pengukuran Osmolaritas dan Viskositas

Larutan alginat dibuat dengan ragam konsentrasi 0,5; 1,0; 1,5; 2,0 % (b/v) dalam akuades dan buffer fosfat salin. Larutan kitosan dibuat dengan ragam konsentrasi 0,5; 1,0; 1,5; 2,0 % (b/v) dalam pelarut CH3COOH

1%. Larutan CaCl2 dibuat dengan ragam

konsentrasi 0,05; 0,1; 0,15; 0,2 M dalam akuades. Semua larutan diukur nilai osmolaritasnya dengan alat osmometer

cryoscopic (Osmomat 030, Jerman). Larutan alginat dan kitosan juga diukur nilai viskositasnya dengan viskometer Brokkfield dengan kecepatan 50 rpm dan spindel yang digunakan adalah nomor M2.

Pengkondisian Optimum Pembentukan Inti Mikrokapsul

Optimisasi pembentukkan mikrokapsul didahului dengan menggunakan metode (Wukirsari 2006), akan tetapi metode ini tidak dapat digunakan karena sel akan mengalami kerusakan. Selanjutnya metode yang digunakan adalah metode Goosen et al. (1987) yang dimodifikasi. Larutan alginat dengan konsentrasi 0,5; 1,0; 1,5; 2,0 % (b/v) dalam buffer fosfat salin diteteskan ke dalam larutan CaCl2 dengan ragam konsentrasi 0,05; 0,1;

0,15; 0,2 M. Penetesan dilakukan dengan pipet mikro. Lama kontak gel alginat dalam CaCl2 selama 15 menit. Mikrokapsul yang

terbentuk lalu dicuci tiga kali dengan buffer fosfat. Bentuk mikrokapsul diamati, lama pengerasan gel dihitung, serta diameter mikrokapsul diukur dengan menggunakan mikroskop cahaya yang telah dilengkapi dengan garis skala mikrometer.

Uji Stabilitas Mekanik

Setelah diperoleh konsentrasi alginat

minimum maka dilanjutkan dengan

penyalutan ganda. Konsentrasi alginat yang digunakan adalah 1,5% (b/v) dan CaCl2 0,15

M (berdasarkan hasil optimisasi tahap sebelumnya). Mikrokapsul hasil penyalutan pertama dimasukkan ke dalam larutan kitosan dengan ragam konsentrasi 0,5; 1,0; 1,5; 2,0 % (b/v). Lama kontak inti mikrokapsul dengan kitosan selama 6 menit. Mikrokapsul dicuci dengan akuades lalu dicuci dengan buffer fosfat. Pengujian kestabilan mikrokapsul dilakukan dengan menggunakan metode Zhu

et al. (2005) yang dimodifikasi. Sebanyak 25 buah mikrokapsul dimasukkan ke dalam gelas piala yang berisi larutan buffer fosfat salin pH 7,2 dan didiamkan selama 15 menit. Mikrokapsul diaduk dengan pengaduk magnetik dengan kecepatan 500 rpm. Lama waktu kerusakan mikrokapsul mencapai 50% ditentukan.

Isolasi Sel-Sel Leydig dari Jaringan Testis Tikus

Sel-sel Leydig diisolasi dari jaringan testis tikus jantan Sprague Dawley usia 8 minggu (pubertas). Isolasi dan purifikasi sel-sel Leydig menggunakan metode Chemes et al.

(1992) yang telah dimodifikasi. Testis diambil dari tikus yang telah dibius dengan eter dan dietanuasi secara dislocatio cervicalis. Selaput tunika albugunea dan jaringan ikat dibuang

lalu kurang lebih 700 mg jaringan testis ditempatkan di tempat yang bersih kemudian dicuci tiga kali dengan Dulbecco’s Phosphat Buffer Saline (DPBS). Pengambilan jaringan testis dilakukan secara aseptis. Jaringan testis diurai menggunakan pinset steril di dalam cawan petri yang telah mengandung DPBS

dengan kolagenase 0,04% dan 10 µg/mL

tripsin inhibitor. Setelah tubulus seminiferus terurai sempurna, potongan jaringan testis kemudian dipindahkan ke dalam tabung yang berisi larutan yang sama dan diinkubasi pada suhu 34 °C selama 40 menit. Setelah itu larutan kolagenase diencerkan 4 kali volume awal dengan menggunakan DPBS kemudian didiamkan selama 2 menit agar potongan kecil jaringan hasil cerna enzimatis mengendap membentuk sedimen. Cairan supernatan yang mengandung sel-sel hasil cerna enzimatis disentrifugasi dengan kecepatan 200 X g selama 3 menit. Pelet sel dicuci sebanyak 2 kali dengan DPBS dengan cara sentrifugasi. Pelet sel diencerkan dengan 0,5 mL larutan DPBS pada pencucian akhir.

Suspensi sel-sel interstisial selanjutnya dimurnikan dengan menggunakan larutan Percoll dengan gradien 21, 26, 34, dan 60%. Tabung berisi suspensi sel dalam Percoll gradien disentrifugasi dengan kecepatan 400 X g selama 15 menit dan dilanjutkan dengan kecepatan 800 X g selama 15 menit dengan menggunakan sentrifuse swing rotor pada suhu ruang. Fraksi sel-sel yang terletak diantara gradien 34 dan 60% dikoleksi dan dicuci berturut-turut dengan DPBS sebanyak 2 kali, dan DPBS + serum sebanyak 2 kali. Selanjutnya konsentrasi sel dihitung dengan

menggunakan Neubauer chamber dan

diencerkan dengan alginat 1,5% dalam saline (osmolaritas 300 mosmol/kg) sehingga diperoleh konsentrasi akhir 1×107 sel/mL.

Enkapsulasi Sel-Sel Leydig

Enkapsulasi sel-sel Leydig menggunakan metode Goosen et al. (1987) yang dimodifikasi. Sel-sel Leydig diencerkan dengan ragam konsentrasi, yaitu 1×107, 1×106, 1×105, dan 1×104 sel/mL. Larutan alginat yang mengandung sel-sel Leydig kemudian diteteskan dengan pipet mikro ke dalam CaCl2 0,15 M. Mikrokapsul yang

terbentuk dicuci dengan buffer fosfat lalu dilanjutkan dengan penyalut kedua, yaitu disalut dengan kitosan 0,5% (b/v) (kondisi optimum hasil percobaan tahap sebelumnya) lama kontak selama 6 menit. Mikrokapsul lalu dicuci dengan buffer sitrat dan akuades.

Mikrokapsul diamati dan diukur diameternya dengan mikroskop cahaya yang dilengkapi dengan mikrometer.

HASIL

Kadar Air dan Kadar Abu

Bahan penyalut yang digunakan dalam penelitian ini adalah alginat dan kitosan. Kadar air dapat dilihat pada Lampiran 2 sedangkan kadar abu pada Lampiran 3. Alginat yang digunakan dalam penelitian memiliki kadar air 9,74% dan kitosan sebesar 13,85%. Kadar abu alginat jauh lebih tinggi daripada kitosan, yaitu sebesar 56,71% sedangkan kitosan sebesar 0,03% (Tabel 1).

Tabel 1 Hasil kadar air dan kadar abu

Analisis (%) Bahan penyalut

Alginat Kitosan

Kadar air 9,74 13,85

Kadar abu 56,71 0,03

Sifat-sifat alginat bergantung pada tingkat polimerisasi dan perbandingan komposisi guluronan dan mannuronan dalam molekul. Alginat tidak dapat larut dalam pelarut organik dan dapat mengendap dalam alkohol (Rasyid 2003). Ciri kitosan antara lain berupa padatan amorf putih, serpihan bening, tidak larut dalam air, alkohol, aseton, dan larutan basa, tetapi larut dalam asam organik maupun anorganik. Mutu kitosan ditentukan oleh viskositas, nilai derajat deasetilasi, kadar abu, dan kadar air. Larutan kitosan pada batas konsentrasi tertentu dalam larutan asam asetat 1% dapat membentuk gel (Khan et al. 2002). Gel kitosan tersebut dapat menahan air dalam strukturnya sehingga disebut sebagai hidrogel dan memiliki formasi tiga dimensi (Wang et al. 2004).

Osmolaritas

Hasil pengukuran osmolaritas larutan CaCl2, alginat, dan kitosan dalam ragam

konsentrasi ditunjukkan pada Lampiran 4. Larutan CaCl2 dengan ragam konsentrasi

0,05-0,2 M memiliki osmolaritas dengan kisaran 75-249 mosmol/kg. Osmolaritas alginat dalam akuades berkisar 78-240 mosmol/kg sedangkan dalam pelarut buffer nilai osmolaritasnya naik menjadi 357-618 mosmol/kg. Larutan buffer dapat menaikkan osmolaritas suatu larutan karena adanya keberadaan ion-ion yang terkandung dalam

larutan buffer fosfat salin. Nilai osmolaritas larutan kitosan berkisar 33-123 mosmol/kg. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan maka nilai osmolaritasnya semakin tinggi pula.

Viskositas

Pegukuran viskositas dilakukan

mengunakan viskometer Brookfield.

Kecepatan spindel yang digunakan adalah 50 rpm dengan spindel nomor M2. Larutan yang diukur adalah alginat dan kitosan dalam ragam konsentrasi. Larutan alginat yang diukur memiliki nilai viskositas berkisar 10,5- 52,1 cPs sedangkan viskositas larutan kitosan berkisar 8,76-43,88 cPs (Tabel 2). Viskositas larutan menunjukkan kekentalan dan tingkat konsentrasi suatu larutan. Semakin tinggi konsentrasi larutan maka semakin tinggi nilai viskositasnya (Lampiran 5).

Tabel 2 Penentuan viskositas larutan

Larutan Konsentrasi (%) (b/v) Viskositas (cPs) Alginat 0,5 10,5 1,0 17,6 1,5 33,8 2,0 52,1 Kitosan 0,5 8,76 1,0 13,72 1,5 24,76 2,0 43,38

Kondisi Optimum Inti Mikrokapsul

Enkapsulasi diawali dengan pembuatan inti mikrokapsul menggunakan larutan alginat. Penetesan larutan alginat ke dalam larutan CaCl2 dilakukan dengan ragam konsentrasi

0,5-2,0 % (b/v) dengan menggunakan pipet mikro. Larutan alginat dengan konsentrasi 0,5 dan 1,0% (b/v) ketika diteteskan ke dalam CaCl2 menghasilkan kapsul yang berukuran

besar, tidak berbentuk bulat, bentuk tidak beraturan, dan kapsul berbentuk seperti cincin (Gambar 3). Droplet alginat mulai berbentuk bulat ketika menggunakan larutan alginat dengan konsentrasi 1,5% dengan viskositas sebesar 33,8 cPs. Kapsul yang dihasilkan berbentuk bulat, berwarna putih, dan berukuran mikron. pembentukan kapsul dengan konsentrasi alginat rendah tidak dapat menghasilkan mikrokapsul sehingga tidak dapat dilanjutkan untuk proses enkapsulasi menggunakan sel-sel Leydig. Bentuk kapsul merupakan parameter yang dijadikan acuan untuk penentuan kondisi optimum dalam

pembentukan mikrokapsul. Lampiran 6 menunjukkan hasil pengamatan dalam pembentukan inti mikrokapsul untuk mendapatkan kondisi yang optimum.

Gambar 3 Pembentukan mikrokapsul dengan ragam konsentrasi alginat: a. 0,5%; b. 1,0%; c. 1,5%; dan d. 2,0%, panah = mikrokapsul. Kapsul yang dibuat menggunakan alginat 0,5% tidak dapat ditentukan diameter kapsulnya karena kapsul berbentuk tidak beraturan sedangkan mikrokapsul dengan konsentrasi alginat 1,0% memiliki rerata diameter 310,35-322,13 µm (Lampiran 7). Kapsul yang dibuat menggunakan alginat 1,5 dan 2,0% dan CaCl2 0,15 dan 0,2 M memiliki

rerata diameter sebesar 205,80-258,00 µm (Gambar 4).

Gambar 4 Diameter mikrokapsul dengan ragam konsentrasi alginat dan CaCl2.

Larutan alginat yang diteteskan ke dalam CaCl2 membentuk gel dan mengeras dengan

waktu pengerasan gel alginat berbanding

terbalik dengan konsentrasi larutan CaCl2.

Semakin tinggi konsentrasi CaCl2 maka waktu

pengerasan gel akan semakin cepat. Pembentukan gel alginat dengan konsentrasi

CaCl2 0,05 M membutuhkan waktu

pengerasan lebih lama daripada dengan CaCl2

0,15 atau 0,2 M (Gambar 5).

Gambar 5 Waktu pengerasan gel alginat dengan ragam konsentrasi alginat dan CaCl2.

Pengerasan gel alginat 0,5 %

membutuhkan waktu 1519 detik sedangkan gel alginat dengan konsentrasi 1,5 dan 2,0 % membutuhkan waktu kurang dari satu menit, yaitu berkisar 5-34 detik (Lampiran 8). Pembentukan kompleks antara polianionik alginat dan kation divalen, yaitu CaCl2

berlangsung secara spontan. Kation Ca2+ dapat digantikan dengan kation yang lainnya seperti Ba2+, Sr2+, Fe3+, dan Al3+.

Uji Stabilitas Mekanik Mikrokapsul

Pengujian stabilitas mikrokapsul alginat- kitosan dilakukan dengan cara pengadukan mikrokapsul dalam larutan buffer fosfat salin dengan kecepatan 500 rpm dengan ragam konsentrasi. Mikrokapsul gel alginat berubah warna menjadi kuning setelah dimasukkan ke dalam larutan kitosan. Kitosan dapat berikatan dengan alginat secara ionik. Setelah gel alginat disalut dengan kitosan maka mikrokapsul menjadi lebih keras daripada gel alginat-CaCl2.

Gambar 6 menunjukkan hasil pengujian stabilitas mikrokapsul. Mikrokapsul yang disalut dengan kitosan 0,5 dan 1,0 % mengalami kerusakan di atas 50% setelah dilakukan pengadukan selama 4 jam, yaitu

a

b

sebesar 58,67% dan 64% secara berurutan, mikrokapsul dengan kitosan 1,5% mengalami kerusakan di atas 50% setelah diaduk selama 5 jam, yaitu sebesar 56%, sedangkan kerusakan mikrokapsul yang disalut dengan kitosan 2,0% mengalami rusak 50,67% setelah diaduk 11 jam (Lampiran 9).

Gambar 6 Stabilitas mekanik mikrokapsul dengan konsentrasi kitosan (◊: 0,5; □: 1,0; ∆: 1,5; dan ○: 2,0% (b/v)).

Enkapsulasi Sel-Sel Leydig

Sel Leydig sebagai penghasil hormon dapat digunakan untuk pengganti terapi hormon sehingga defisiensi hormonal dapat diatasi dengan terapi sel. Terapi sel Leydig bisa diterapkan dengan metode enkapsulasi (Uludag et al. 2000). Enkapsulasi sel-sel Leydig menggunakan larutan alginat 1,5% dan CaCl2 0,15 M. Hasil enkapsulasi sel-sel

Leydig menunjukkan bahwa sel yang disalut dapat terperangkap ke dalam inti mikrokapsul alginat. Mikrokapsul yang dihasilkan berwarna putih dan berbentuk bulat. Diameter mikrokapsul yang berhasil dibuat berkisar 230-270 µm (Lampiran 10).

Sel-sel Leydig terperangkap di dalam inti mikrokapsul secara menyebar (Gambar 7). Konsentrasi sel dibuat beragam untuk mengetahui perbedaan kerapatan persebaran sel-sel di dalam mikrokapsul. Mikrokapsul yang dibuat dengan konsentrasi sel 1×104 sel/mL memiliki kerapatan sel yang paling renggang , sel yang disalut dengan konsentrasi 1×105 dan 1×106 sel/mL memiliki kerapatan sedang, sedangkan dengan konsentrasi 1×107 sel/mL kerapatan sel di dalam mikrokapsul

sangat rapat. Kerapatan sel berbanding lurus dengan konsentrasi sel yang digunakan.

Gambar 7 Mikrokapsul dengan ragam konsentrasi sel-sel Leydig: (a) 1×104, (b) 1×105, (c) 1×106, dan (d) 1×107 sel/mL yang diamati dengan mikroskop cahaya

Dokumen terkait