• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM PEMBERIAN HIBAH TERHADAP ANAK

2. Pemberian Hibah Terhadap Anak

Hibah merupakan pemberian yang dilakukan seseorang kepada pihak yang berhak menerimanya secara cuma-cuma tanpa mengharapkan imbalan. Pada pembahasan ini, pewaris yang memberikan ialah orang tua dan ahli waris yang dimaksud ialah golongan yang sedarah dengan pewaris yang menyerahkan harta pemberian. Dengan kata lain yang mempunyai hubungan garis keturunan ke bawah dengan pewaris atau yang biasa disebut dengan anak kandung pewaris.

Pemberian hibah yang dilakukan orang tua kepada anaknya ini boleh dilakukan dan dianjurkan jika orang tua merasa hartanya

22

mencukupi dan layak dimanfaatkan untuk kepentingan anak-anaknya.

Terutama untuk dirinya, keluarganya dan orang sekitar yang sedang membutuhkan. Sebab banyak masyarakat muslim yang memberikan harta mereka secara Cuma-Cuma sewaktu mereka masih hidup kepada anak-anaknya tanpa membedakan bagian anak laki-laki dan perempuan.

Hal ini tiada lain hanya sebagai bentuk untuk menghindari pembagian dari sistem aturan waris 2 : 1 dan lebih mengarah kepada pembagian sama rata 1 : 1.29

Hibah orang tua terhadap anak seharusnya tidak boleh melebihi dari bagian warisan anak tersebut karena hibah orang tua kepada anak dapat diperhitungkan sebagai warisan. Terkadang orang tua berwenang memutuskan sendiri hibahnya ke salah satu anak yang dianggapnya banyak membantu orang tua. Namun jika di kemudian hari orang tua meninggal dunia dan ahli waris lainnya mempersoalkan harta warisan maka hibah yang diterima oleh salah satu anak tersebut bisa dipermasalahkan. Harta hibah yang diterima salah satu anak tersebut dapat dihitung sebagai warisan.

Secara kasuistik, hibah kepada anak dapat diperhitungkan sebagai warisan apabila:

a. Harta yang diwarisi sangat kecil, sehingga jika hibah yang diterima salah seorang anak tidak diperhitungkan sebagai warisan, ahli waris yang lain tidak memperoleh pembagian waris yang sesuai dengan aturan.

b. Penerima hibah hartawan dan berkecukupan, sedangkan ahli waris yang lain tidak berkecukupan, sehingga pemberian hibah di sini memperkaya yang sudah kaya dan memelaratkan yang sudah

29 Faizah Bafadhal, “Analisis Tentang Hibah dan Korelasinya dengan Kewarisan dan Pembatalan Hibah menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, (2003), h. 22.

23

melarat dan tidak berkecukupan. Oleh karena itu pantas dan layak untuk memperhitungkan hibah sebagai warisan.30

3. Pemberian Hibah Perspektif Fikih

Fikih merupakan istilah dalam syariat Islam yang membahas tentang hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalil terperinci. Fikih merupakan himpunan aturan ataupun norma yang berlaku di masyarakat yang berasal dari ijtihad para ulama terdahulu.

Pembahasan yang penulis angkat akan dikaitkan dengan perspektif fikih dengan alasan karena hibah sendiri asalnya dari hukum Islam dan perlu adanya aturan hukum Islam yang akan lebih menegaskan terkait aturan ketentuan pemberian hibah yang kemudian dikaitkan dengan pendapat para ulama terdahulu dan sahabat Nabi atau hasil ijtihad para ulama fikih.

Menurut Imam Abu Zahrah, fikih ialah:

ةيليصفتلا اهتلدأ نم ةيلمعلا ةيعرشلا ماكحلأاب ملعلا

“Ilmu yang menerapkan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”.

Pemberian hibah yang dilakukan orang tua kepada anaknya ini boleh dilakukan dan dianjurkan jika orang tua merasa hartanya mencukupi dan layak dimanfaatkan untuk kepentingan anak-anaknya.

Terutama untuk dirinya, keluarganya dan orang sekitar yang sedang membutuhkan. Sebab banyak masyarakat muslim yang memberikan harta mereka secara Cuma-Cuma sewaktu mereka masih hidup kepada anak-anaknya tanpa membedakan bagian anak laki-laki dan perempuan.

Hal ini tiada lain hanya sebagai bentuk untuk menghindari pembagian

30 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2011), h. 94.

24

dari sistem aturan waris 2 : 1 dan lebih mengarah kepada pembagian sama rata 1 : 1.31

Menurut pendapat Imam Ahmad Ishaq, Tsauri dan beberapa pakar hukum Islam lainnya mengatakan bahwa hibah batal apabila melebihkan satu dengan yang lain, tidak diperkenankan menghibahkan hartanya kepada salah seorang anaknya, haruslah bersikap adil di antara anak-anaknya. Kalau sudah terlanjur dilakukannya, maka harus dicabut kembali. Yang masih diperselisihkan para ahli hukum Islam tentang cara penyamaan sikap dan perlakuan terhadap anak-anak. Ada yang berpendapat bahwa pemberian itu adalah sama di antara anak laki-laki dan anak perempuan, ada pula yang berpendapat bahwa penyamaan antara anak laki-laki itu dengan cara menetapkan bagian untuk seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, sesuai dengan pembagian waris.

Tidak ada perbedaan di kalangan mayoritas ulama bahwa bagi orang tua disunnahkan bersikap adil dan menyamaratakan pemberian kepada anak-anaknya dan makruh membeda-bedakannya. Akan tetapi mayoritas ulama berbeda pendapat dalam mengartikan pemerataan (taswiyah) dalam pemberian hibah. Abu Yusuf dari Mazhab Hanafi serta dari golongan Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i ini merupakan kelompok mayoritas berpendapat bahwa orang tua disunnahkan menyamaratakan pemberian dan tidak membeda-bedakan dalam pemberian kepada anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Anak perempuan akan menerima pemberian yang sepadan dengan apa yang diberikan anak laki-laki.32

31 Faizah Bafadhal, “Analisis Tentang Hibah dan Korelasinya dengan Kewarisan dan Pembatalan Hibah menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, (2003), h. 22.

32 Fajar Imamudin, “Hibah terhadap Anak antara Pemerataan dan Keadilan”. (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002), h. 30.

25

Abu Yusuf berkata, “Pemberian kepada anak wajib disamakan, baik laki-laki maupun perempuan. Jika melebihkan sebagian anak itu mengakibatkan mudharat bagi yang lainnya.”

Mayoritas ulama berpendapat bahwa perintah untuk menyamakan pemberian hibah adalah mustahab (disukai). Pemberian kepada sebagian anak yang dilebihkan atas sebagian yang lain hukumnya sah tetapi makruh. Bila hal ini terjadi, maka dianjurkan untuk segera menyamakan atau mengambilnya kembali. Mereka memahami perintah dalam hadis di atas berindikasi anjuran dan larangan yang ada berindikasi tanzih.

Di antara hujjah mereka yang mewajibkannya adalah bahwa masalah ini merupakan pendahuluan dari segala hal yang bersifat wajib.

Karena memutuskan hubungan rahim dan durhaka kepada orang tua termasuk perbuatan yang diharamkan, maka semua yang mengarah kepadanya juga diharamkan. Sementara itu, melebihkan pemberian kepada sebagian anak dapat mengarah kepada perkara tersebut.33

"Tidak boleh bagi siapapun mengutamakan pemberian kepada sebagian dari anak-anaknya dari sebagian yang lain dalam pemberian karena tindakan ini dapat menimbulkan permusuhan dan memutuskan hubungan yang diperintahkan oleh Allah". Pendapat ini dianut oleh Imam Ahmad, Ishak, Tsauri, Thawus dan sebagian penganut Mazhab Maliki. Mereka mengatakan, “Pengutamaan di antara anak-anak merupakan kebathilan yang tidak sesuai dengan aturan dan harus digugurkan oleh orang yang melakukannya”. Imam Bukhari pun menegaskan hal ini. Mereka berhujjah terkait pendapat ini dengan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:

33 Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Shahih Al-Bukhari (Fathul Baari), Terj.

Amiruddin, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2005), h. 380.

26

ىِف ْمُكِد َلَ ْوَا َنْيَب ا ْو ُّوَس : َلاَق َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُهلَّلا ىَّلَص ِ ّيِبَّنلا ِنَع ساَّبَع ِنْبا ِنَع ىقهيبلا هاور( ِلاَج ِّرلا ىَلَع َءاَسِّنلا َت ْرَثَ َلَ اًرِثْؤُم َتْنُك ْوَل َو ِةَّيِطَعْلا )

Artinya: “Dari Ibn Abbas, dari Nabi SAW bersabda: Persamakan di antara anak-anak kalian dalam pemberian. Seandainya aku (diperkenankan) mengutamakan seseorang niscaya aku mengutamakan kaum wanita.” (H.R. Baihaqi)34

Dari Hadis di atas tampak Nabi SAW menceritakan dalam bersikap adil dalam pemberian hibah kepada anak-anak dan kalau akan bersikap melebihkan maka diperintahkan untuk melebihkan pemberian kepada anak perempuan. Sikap adil dalam pemberian hibah dan dalam muamalat memang merupakan hal yang dituntut oleh agama. Hanya saja mayoritas ulama memandang perintah ini sebagai sunnah saja.

Sedangkan menurut sebagian ahli hukum Islam, persamaan pemberian itu bukan hal yang wajib dilaksanakan, tetapi sunnah saja.

Mereka menyatakan bahwa hadis yang menyatakan perlunya pemerataan anak-anaknya dalam pemberian hibah adalah lemah, demikian juga hadis yang menyatakan bahwa pemberian semua harta yang berbentuk hibah kepada anak-anaknya yang nakal. Pendapat yang mewajibkan dalam hal menyamakan pemberian pada anak-anaknya dan larangan pemberian semua harta berupa hibah kepada anak-anaknya adalah pendapat yang kuat. Oleh karena itu, jika dalam hal pemberian hibah itu tidak sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan, maka hibahnya adalah batal.35

Dari Sya’bi dari Nu’man bin Basyir, dia berkata, “Bapakku memberiku suatu pemberian, Ismail bin Salim yang termasuk salah satu dari komunitas mereka mengatakan, “Bapaknya memberikan pembantu

34 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 5 terj. Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009), h. 554-555.

35 Ash-Shan’ani, Syarah Bulughul Maram, (t.tp : Darus Sunnah Press, 2015), h. 322.

27

kepadanya, lantas ibuku, Amrah binti Rawahah berkata kepadanya,

“Temuilah Rasulullah SAW dan persaksikan kepada beliau”. Dia pun segera menemui Rasulullah SAW dan menyebutkan hal itu kepada beliau. Dia berkata, “Aku memberikan kepada anakku, Nu’man, suatu pemberian, namun Amrah memintaku agar mempersaksikan hal itu kepadamu”. Beliau bertanya, “Apakah kamu mempunyai anak selain dia?”. Dia berkata, “Ya, jawabku”. Beliau bertanya lagi, “Mereka semua kamu beri seperti yang kamu berikan kepada Nu’man?”. “Tidak”.

Jawabnya. Menurut sebagian ahli hadis, beliau bersabda, “Ini kesewenang-wenangan”. Sementara menurut ahli hadis yang lain beliau bersabda:

ي ِرْيَغ اَذَه ىَلَع ْدِهْشَأَف ,ٌةَئ ِجْلَت اَذَه

"Ini adalah pilih kasih, maka persaksikan ini kepada orang selain aku.”

Munghirah mengatakan dalam hadisnya:

؟ٌءا َوَس ِفْطُّللا َو ِّرِبْلا يِف َكَل ا ْوُن ْوُكَي ْنَأ َكُّرُسَي َسْيَل َأ

“Bukankah menyenangkanmu bila mereka sama dalam bukti dan kasih sayang kepadamu?”

“Iya”. Jawab orang tua Nu’man. Beliau bersabda, “Persaksikan ini kepada orang selain aku”. Mujahid menyebutkan dalam hadisnya:

َأ اَمَك ,ْمُهَنْيَب َلِدْعَت ْنَأ ِّقَحْلا َنِم َكْيَلَع ْمُهَل َّنِإ َك ْوُّرَبَي ْنَأ ِّقَحْلا َنِم ْمِهْيَلَع َكَل َّن

“Sesungguhnya di antara hak mereka yang harus kamu tunaikan adalah kamu harus berlaku adil di antara mereka, sebagaimana di antara hakmu yang harus mereka tunaikan adalah mereka harus berbakti kepadamu”.

Ibnu Qayyim berkata, “Hadis ini termasuk rincian sikap adil yang diperintahkan oleh Allah dalam kitab-Nya. Keadilan ini sangat selaras dengan Alquran dibanding semua parameter yang ada di muka bumi dan ia adalah dalil yang sangat tegas kejelasannya. Maka keserupaan

28

tersebut (maksudnya keserupaan antara kesamaan dalam pemberian dengan kesamaan dalam berbakti kepada orang tua) dapat disanggah dengan sabda beliau:

َنْيِعَمْجَأ ِساَّنلا َو ِهِدَل َو ْنِم ِهِلاَمِب ُّقَحَأ دَحَأ ُّلُك

“Setiap orang lebih berhak terhadap hartanya dari pada anaknya dan seluruh manusia”

Lantaran seseorang yang paling berhak terhadap hartanya, maka konsekuensinya dia boleh mempergunakannya sebagaimana yang dikehendakinya dan keserupaan tersebut diqiyaskan dengan pemberian kepada pihak-pihak lain. Sudah jelas diketahui bahwa keserupaan ini termasuk dalam cakupan yang umum, sementara qiyas tidak dapat dihadapkan pada ketentuan hukum yang sangat jelas”.36

Hal ini merupakan ancaman yang serius, bukan sesuatu yang mubah, karena Rasulullah SAW menyebutnya sebagai penyelewengan atau penganiayaan dan ini bertentangan dengan prinsip keadilan.

Rasulullah SAW memberitahu bahwa hal itu tidak baik dan memerintahkannya untuk mengembalikannya. Sesuatu yang mustahil seandainya Allah memberi izin kepada Rasulullah SAW untuk bersaksi terhadap masalah ini. Kepada Allah kita memohon pertolongan.37

Sayyid Sabiq dan Chairuman Pasaribu mengemukakan bahwa para ahli hukum Islam sepakat bahwa seseorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli warisnya.38 Tetapi Muhammad Ibnu Hasan dan sebagian pentahkik mazhab Hanafi

36 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 5 terj. Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009), h. 556.

37 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Panduan Hukum Islam, Terj. Asep Saefullah FM, Kamaluddim Sa’adiyatulharamain, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007), h. 790-791.

38 Choiruman Pasaribu & Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), h. 391.

29

mengemukakan bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk keperluan kebaikan. Mereka menganggap orang yang melakukan itu sebagai orang yang lemah akalnya. Sedangkan orang yang meminta-minta kepada orang lain jika terdesak kebutuhan, maka dia tidak boleh menyedekahkan seluruh hartanya tidak pula sebagian besar hartanya.

Inilah kesimpulan yang dapat mempertemukan antara hadis-hadis yang menunjukkan bahwa pemberian yang melebihi bagian sepertiga tidak sesuai dengan ketentuan syariat, dengan dalil-dalil yang menunjukkan diperkenankannya bersedekah dengan besaran melebihi bagian sepertiga”.39

Hal ini dapat dibedakan dalam dua hal, jika hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) atau suatu badan hukum, mayoritas pakar hukum Islam sepakat tidak ada batasnya, tetapi jika hibah diberikan kepada anak-anak pemberi hibah, menurut Imam Malik dan ahlul Zahir tidak memperbolehkannya.

Prinsip pelaksanaan hibah orang tua kepada anaknya haruslah sesuai petunjuk Rasulullah SAW. Dalam beberapa hadis dikemukakan bahwa bagian mereka supaya disamakan dan tidak dibenarkan memberi semua harta kepada salah seorang anaknya. Jika hibah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya melebihi dari ketentuan bagian waris, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai warisan. Sikap seperti ini menurut kompilasi hukum Islam didasarkan pada kebiasaan yang dianggap positif oleh masyarakat. Karena bukan suatu hal yang aneh apabila bagian waris yang dilakukan tidak adil akan menimbulkan penderitaan bagi pihak tertentu, lebih-lebih kalau penyelesaiannya sampai ke Pengadilan Agama tentu akan terjadi perpecahan keluarga.

Sehubungan dengan hal ini Umar Ibnu Al-Khattab pernah mengemukakan bahwa kembalikan putusan itu di antara sanak keluarga,

39 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 5 terj. Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009), h. 553.

30

sehingga mereka membuat perdamaian, karena sesungguhnya putusan pengadilan itu sangat menyakitkan hati dan menimbulkan penderitaan.40 4. Pemberian Hibah Perspektif Hukum Perdata di Indonesia

Hukum perdata di Indonesia merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan (pribadi). Hal ini perlu dijelaskan karena mengingat Hukum Perdata berisi produk seperti fatwa, keputusan pengadilan dan Undang-Undang yang secara keseluruhan tidak terpisahkan merupakan satu kesatuan dari bangunan hukum Islam. Oleh karena itu, mengingat Negara kita adalah Negara yang tidak berdasarkan atas agama tertentu maka berkembangnya hukum Islam menjadi menarik untuk ditelaah.41

Lahirnya Undang-Undang Hukum Perdata merupakan warisan dari penjajah bangsa Eropa yang bersumber dari Kode Civil Perancis.

Pada buku ketiga bab ke-10 mengatur tentang hibah yang secara rinci mengatur tentang tata cara atau unsur-unsur dan syarat-syarat suatu hibah. Sedangkan ketentuan konsep hibah menurut hukum Islam adalah bersumber dari Alquran dan Hadis Nabi SAW.42

Masalah terkait Hukum Perdata ini tidak jauh beda dengan hukum perdata Islam yang sudah banyak kita temui di lingkungan sekitar kita. Seperti halnya dalam masalah Munakahat (perkawinan, perceraian dan akibat hukumnya), Waris (mengatur segala masalah dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian warisan) dan Muamalah (mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda,

40 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), h. 137-138.

41 Andi Fariana, 2016, “Hukum Perdata Islam di Indonesia”, https://dosen.perbanas.id/hukum-perdata-islam-di-indonesia/, Diakses pada Kamis, 22 Juli 2021, Pukul 21.45 WIB.

42 A. Zainuddin, "Perbandingan Hibah", Jurnal Al-Himayah, 1:1, (Maret 2017), h. 97.

31

tata hubungan manusia dalam jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, kontrak dan sebagainya).

Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan pembatasan dalam pemberian harta hibah hanya 1/3 dari harta yang dimilikinya agar tidak mengganggu hak-hak ahli waris lainnya dengan pertimbangan-pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan bagi ahli waris.

Hibah merupakan perbuatan hukum yang sepihak, saat penghibahan terjadi pihak penerima hanya menerima apa yang dihibahkan kepadanya yaitu dilaksanakan secara cuma-cuma. Akibat hukum hibah yang diberikan melebihi dari aturan hukum yang berlaku, maka pemberiannya dianggap tidak sah dan dapat dibatalkan oleh Pengadilan Agama apabila ada ahli waris lainnya yang menggugat, kecuali ahli waris menyetujui pemberian hibah tersebut, maka hibahnya dianggap sah.43

B. Kerangka Teori 1. Teori Keadilan

Dalam hukum Islam, teori keadilan merupakan suatu bentuk kepuasan seseorang terhadap apa yang ia dapatkan dengan merasakan adanya keadilan atau tidak adil atas suatu situasi yanga dialaminya.

Sebab keadilan adalah norma kehidupan yang didambakan oleh setiap orang dalam tatanan kehidup sosial mereka. Dan pastinya sudah kita ketahui, keadilan yang sempurna hanyalah milik Allah SWT.

43 Indamayasari, Analisis Yuridis terhadap Penerima Hibah yang Melebihi Ketentuan dalam Fikih dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 616/Pdt.G/2010/PA-Mdn)".

32

Di dalam Kamus al-Arab menyatakan bahwa: ”Suatu hal yang ada dalam pikiran dengan keadaan jujur adalah keadilan, setiap yang tidak lurus atau tidak layak dianggap sebagai tidak adil”.44

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai suatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Bagi kebanyakan orang keadilan adalah prinsip umum bahwa individu-individu tersebut seharusnya menerima apa yang sepantasnya mereka terima. Di Indonesia keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai Dasar Negara yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada sila tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan dalam hidup bersama. Adapun dasar tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu hubungan antara manusia dengan diri sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat serta hubungan manusia dengan Tuhannya.45

Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Etika Nicomachean Ethics menjelaskan pemikirannya tentang keadilan. Keadilan adalah keutamaan dan bersifat umum. Bagi kebanyakan orang keadilan adalah prinsip umum, bahwa individu-individu manusia seharusnya menerima apa yang sepantasnya mereka terima. Sebagian menyebutnya dengan istilah legal justice atau keadilan hukum yang merujuk pada pelaksanaan hukum menurut prinsip-prinsip yang ditentukan dalam negara hukum. Ada pula istilah social justice atau keadilan sosial yang didefinisikan sebagai konsepsi-konsepsi umum mengenai social firmness atau keadilan sosial yang mungkin dapat dan mungkin tidak

44 M. Agus Santoso, Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, (Jakarta : Kencana, 2014), Cet.2, h. 86

45 M. Agus Santoso, Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, (Jakarta : Kencana, 2014), Cet.2, h. 85-87.

33

berselisih dengan konsepsi keadilan individu atau keadilan secara umum.46

Theo Huijbers menjelaskan mengenai keadilan menurut Aristoteles di samping keutamaan umum, juga adanya keadilan sebagai keutamaan moral khusus yang berkaitan dengan sikap manusia dalam bidang tertentu yaitu menentukan hubungan baik antara orang-orang dan keseimbangan antara dua pihak.47

Keadilan berarti dapat menempatkan sesuatu secara proporsional dan persamaan hak sesuai dengan kapasitas dan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan sesuatu masalah.48

Menurut Hans Kelsen, keadilan adalah suatu tertib sosial tertentu yang dibawah lindungannya ada usaha untuk mencari kebenaran yang bisa berkembang dan subur. Karena keadilan menurutnya adalah keadilan kemerdekaan, keadilan perdamaian, keadilan demokrasi dan keadilan toleransi.49

Problematika para pencari keadilan tentu sering terjadi di tengah masyarakat, terutama dalam hal masalah perkara perdata. Para pihak baik pemberi dan penerima hibah merasa tidak mendapatkan keadilan karena adanya faktor keadaan yang berbeda yang dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda pula. Dengan begitu tidak boleh ada monopoli di dalamnya atau hanya menguntungkan segelintir orang saja. Keadilan haruslah sesuai dengan norma dan dapat membawa manfaat bagi semua.

46 Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum Edisi Lengkap (Dari Klasik ke Postmodernisme), (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 2015), Cet.5, h. 241.

47 Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum Edisi Lengkap (Dari Klasik ke Postmodernisme), (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 2015), Cet.5, h. 241.

48 Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 537.

49 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2014), cet.8, h. 174.

34

Sebagaimana dalam Q.s. An-Nahl (16) : 90 yang menganjurkan kita untuk berbuat adil antarsesama:

ِرَكْنُمْلا َو ِءۤاَشْحَفْلا ِنَع ى َٰهْنَي َو ىَٰب ْرُقْلا ىِذ ِئۤاَتْيِا َو ِناَسْحِ ْلَا َو ِلْدَعْلاِب ُرُمْأَي َهّٰللا َّنِا َن ْوُرَّكَذَت ْمُكَّلَعَل ْمُكُظِعَي ِيْغَبْلا َو

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

(An-Nahl (16) : 90)

Hubungan hukum dan keadilan sangatlah erat kaitannya sehingga tidak dapat dipisahkan. Allah adalah pemegang kedaulatan, penguasa dan sekaligus pembuat hukum melalui wahyu-Nya berupa Alquran dan Hadis. Semua hukum yang telah ditetapkan oleh Tuhan harus diakui dengan keadilan karena sudah pasti ideal dan sempurna serta tidak dapat diganggu gugat, dibuat untuk waktu sepanjang masa dan berlaku bagi seluruh manusia. Bahkan berlaku adil itu merupakan perintah Allah: “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”.50

Hal ini sesuai dengan permasalahan penelitian penulis yaitu adanya keadilan yang harus dipertanyakan pada saat putusan pembagian harta hibah dikeluarkan. Lain dari pada itu, teori keadilan juga dipergunakan dalam mempertimbangkan suatu keadaan apabila sebuah persoalan hibah antar sesama umat beragama Islam namun pelaksanaannya tidak mempertimbangkan syariat Islam itu sendiri, telah sesuai atau belum dengan keadilan yang di cita-citakan oleh sebuah aturan hukum yang hakiki.

Oleh karena itu, para pihak perlu berusaha semaksimal mungkin untuk mengatasi segala hambatannya. Sehingga dalam hal ini pihak

50 M. Agus Santoso, Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, (Jakarta : Kencana, 2014), cet.2, h. 92.

35

pemberi dan penerima hibah perlu melakukan kesepakatan keluarga ataupun ahli waris dalam pembagiannya yang berpedoman dari aturan hukum yang ada.

2. Teori Kepastian Hukum

Keberlakuan hukum dalam masyarakat harus memperhatikan kepastian hukum di dalamnya agar hukum tersebut diterima oleh masyarakat. Kepastian hukum adalah suatu pondasi bahwa hukum harus dijalankan dengan cara yang baik dan tepat sehingga tidak menimbulkan keraguan (multi-tafsir) dan konflik baru. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan

Keberlakuan hukum dalam masyarakat harus memperhatikan kepastian hukum di dalamnya agar hukum tersebut diterima oleh masyarakat. Kepastian hukum adalah suatu pondasi bahwa hukum harus dijalankan dengan cara yang baik dan tepat sehingga tidak menimbulkan keraguan (multi-tafsir) dan konflik baru. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan

Dokumen terkait