• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program Studi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1442 H / 2021 M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Program Studi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1442 H / 2021 M"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

Ketentuan Pemberian Hibah Terhadap Anak Perspektif Fikih dan Hukum Perdata di Indonesia (Studi Kasus di Beji, Depok)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Rafidah Husnul Khotimah 11170430000083

Program Studi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah Dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

1442 H / 2021 M

(2)

ii

(3)

Jakarta, 28 September 2021

(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 28 September 2021

Rafidah Husnul Khotimah

(5)

v ABSTRAK

RAFIDAH HUSNUL KHOTIMAH, NIM 11170430000083.

KETENTUAN PEMBERIAN HIBAH TERHADAP ANAK PERSPEKTIF FIKIH DAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA (STUDI KASUS DI BEJI, DEPOK).

Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui praktek pelaksanaan pemberian hibah terhadap anak di masyarakat dan ketentuan pemberian hibah terhadap anak dalam perspektif fikih dan hukum perdata di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian yuridis normatif yang lebih mengedepankan pada peraturan perundang-undangan yang relevan dan dari buku-buku serta jurnal-jurnal ilmiah yang berkaitan dengan judul skripsi, lalu dikomparasikan dengan Hukum Islam dan Fikih.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedua aturan antara Fikih dan Hukum Perdata memiliki kesamaan yaitu sama-sama mempunyai tujuan menguntungkan pihak yang diberi hibah serta memerintahkan kepada penghibah untuk berlaku adil. Para ulama sepakat bahwa persamaan dalam pemberian hibah kepada anak merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, sedangkan kelebihan di antara mereka adalah haram. Akan tetapi apabila kelebihan di antara anak itu dengan alasan yang dapat dibenarkan seperti salah satu dari anak tersebut memiliki kebutuhan yang sangat atau karena miskin atau kesibukannya dengan ilmu atau juga karena fasik, maka dalam kondisi seperti ini pemberian yang lebih di antara mereka dapat dibenarkan.

Kata Kunci : Pemberian, Hibah, Ahli Waris, Anak, Fikih, Hukum Perdata

Pembimbing Skripsi : Muhammad Ishar Helmi, S.Sy., S.H., M.H.

Daftar Pustaka : 1972 s.d 2020

(6)

vi

KATA PENGANTAR

ميحرلا نمحرلا هللا مسب

Alhamdulillah, puji dan syukur hanya bagi Allah SWT atas segala nikmat dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Tak lupa shalawat dan salam penulis haturkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW., semoga syafa’at-Nya senantiasa tercurahkan kepada umat muslim.

Penulisan skripsi ini disusun selain dalam rangka memenuhi gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Prodi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga untuk membantu peneliti lain sebagai sumber referensi.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak sehingga ucapan terima kasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Siti Hanna, Lc., M.A. selaku Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum.

4. Bapak Muhammad Ishar Helmi, S.Sy., S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang tidak pernah lelah dan selalu sabar memberikan saran serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Dr. Fuad Thohari, M.Ag. selaku Penguji I dan Ibu Dr. Fitriyani, M.H.

selaku Penguji II yang telah merevisi, memberikan tambahan ilmu dan nilai yang memuaskan kepada penulis.

6. Ayahanda tercinta Gozi Rachmadi, Kakak Hana, Adik Hanifah dan keluarga lainnya yang tak pernah henti memberikan do’a, semangat, nasihat dan

(7)

vii

motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Ibunda tersayang Almarhumah Yulistiawati yang semasa hidupnya tidak pernah bosan dan selalu memberikan nasihat, motivasi, do’a dan dukungan sehingga penulis bisa memulai penyusunan proposal skripsi dari penulis duduk di semester 6 dan bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini di waktu yang tepat. Terima kasih Ibundaku tersayang.

8. Teman-teman Akhwat Program Studi Perbandingan Mazhab 2017 Kelas B yang telah menemani penulis selama perkuliahan dan mendukung penulis dalam penyusunan skripsi ini.

9. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, hal tersebut tidak mengurangi rasa terima kasih dan syukur penulis terhadap pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga Allah SWT menerima dan membalas semua kebaikan dan ketulusan semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga ini dapat menjadi pengalaman berharga bagi penulis.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi banyak pihak demi kemajuan serta bernilai ibadah dihadapan Allah SWT.

Jakarta, 28 September 2021

Penulis

(8)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Metode Penelitian ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN UMUM PEMBERIAN HIBAH TERHADAP ANAK PERSPEKTIF FIKIH DAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA A. Kerangka Konseptual ... 10

1. Hibah ... 10

2. Pemberian Hibah Terhadap Anak ... 21

3. Hibah Perspektif Fikih ... 23

4. Hibah Perspektif Hukum Perdata di Indonesia ... 30

B. Kerangka Teori ... 31

1. Teori Keadilan ... 31

2. Teori Kepastian Hukum ... 34

3. Teori Kemaslahatan ... 36

(9)

ix

C. Review Studi Terdahulu ... 38 BAB III HAK ANAK TERHADAP PEMBERIAN HIBAH DARI ORANG

TUA

A. Peralihan Hak Milik Perspektif Fikih dan Hukum Perdata ... 40 1. Hak Milik Perspektif Fikih ... ... 40 2. Hak Milik Perspektif Hukum Perdata ... 43 B. Faktor Yang Mempengaruhi Pemberian Hibah Orang Tua Terhadap Anak ... 46 C. Hasil Wawancara Terhadap Pelaksanaan Pemberian Hibah Orang Tua Di Masyarakat Beji, Depok... 48 BAB IV PEMBERIAN HIBAH ORANG TUA TERHADAP ANAK PERSPEKTIF FIKIH DAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA A. Analisis Pelaksanaan Pemberian Hibah Orang Tua terhadap Anak di Masyarakat Beji, Depok ... 52 B. Perbandingan Pelaksanaan Pemberian Hibah terhadap Anak Perspektif Fikih dan Hukum Perdata di Indonesia ... 59

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 67 B. Rekomendasi ... 68 DAFTAR PUSTAKA ... 69

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemberian hibah di masyarakat bukan lagi suatu hal yang jarang dilakukan oleh sebagian keluarga. Pemberian hibah biasa dilakukan saat orang tua merasa mampu dan memiliki niat untuk memberikan sebagian hartanya kepada anaknya saat orang tua masih hidup. Berbeda ketika orang tua sudah meninggal dunia, pemberian ini dinamakan sebagai waris.

Sedangkan hibah merupakan akad yang pada pokok intinya tindakan seseorang untuk mengalihkan kepemilikan harta kepada orang lain pada saat kedua belah pihak masih hidup tanpa imbalan.1 Dalam buku Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 huruf g hibah diartikan sebagai pemberian suatu benda yang dilakukan secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki sepenuhnya.2 Dengan demikian disinilah letak kerelaan pemberi dan penerima hibah dalam melakukan perbuatan hukum tanpa ada paksaan dari pihak lain merupakan unsur yang harus ada dalam hibah atau dengan kata lain asas dari pelaksanaan hibah adalah sukarela.3

Seiring berkembangnya zaman banyak masyarakat di lingkungan sekitar kita yang tidak mengetahui aturan dan ketentuan pemberian hibah yang sesuai dengan syariat Islam. Mereka lebih cenderung memberikan hartanya atas kemauannya sendiri sehingga tidak memperhatikan faktor keadilan. Seperti halnya pemberian yang dilakukan orang tua kepada

1 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 5 terj. Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009), h. 547.

2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Citra Umbara, 2019), h. 375.

3 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), cet.1, h. 133.

(11)

2

anaknya. Tidak semua hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya melalui prosedur yang diatur dalam aturan hukum yang sudah ditetapkan karena kebanyakan dari anak yang merasa dirinya kurang dan ingin memiliki juga atas harta yang dimiliki orang tuanya tanpa mengetahui lebih lanjut bahwa adanya aturan pada pelaksanaan dan ketentuan terhadap pemberian harta hibah. Sehingga orang tua merasa ringan hati untuk memberikan harta yang dimilikinya kepada anaknya.

Terkait hal ini, tidak ada perbedaan di kalangan mayoritas ulama bahwa bagi orang tua disunnahkan bersikap adil dan menyamaratakan pemberian kepada anak-anaknya dan makruh membeda-bedakannya. Di sini para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan istilah dari pemerataan (al-taswiyah) dalam pemberian hibah. Abu Yusuf dari kalangan Mazhab Hanafi, serta Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i ini berpendapat bahwa orang tua dianjurkan menyamaratakan dan tidak membeda-bedakan dalam pemberian kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan.

Terkait hal ini anak perempuan akan memperoleh pemberian yang sepadan dengan yang diperoleh anak laki-laki, seperti petunjuk yang diberikan Nabi SAW, “Bersikaplah sama dalam pemberian kepada anak-anakmu. Jika kamu akan mendahulukan, dahulukanlah anak-anak perempuan atas laki- laki”

Di dalam riwayat lain Nabi SAW menegaskan, “Takutlah engkau kepada Allah dan bersikaplah adil terhadap anak-anak kalian”.4

Dari hadis di atas tampak Nabi menceritakan atas sikap adilnya dalam pemberian kepada anak-anaknya dan kalau akan bersikap melebihkan maka diperintahkan untuk melebihkan pemberian terhadap anak perempuan. Sikap adil dalam pemberian dan dalam mu’amalat

4 Ali Muhtarom, “Hibah terhadap Anak-Anak dalam Keluarga (Antara Pemerataan dan Keadilan)”, Mafhum, 5:1, (2020), h. 7.

(12)

3

memang merupakan hal yang dituntut agama. Hanya saja, mayoritas ulama terdahulu memandang bahwa perintah ini hukumnya sunnah.

Sedangkan menurut Hukum (peraturan) Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, hibah merupakan pemberian “Orang yang minimal telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan tidak lebih dari ⅓ harta yang dimilikinya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki”.5 Besar jumlah yang dikeluarkannya pun sesuai kesepakatan pemberi dan penerima hibah tanpa mementingkan keadilan, terlebih dilakukan atas dasar rela. Sehingga dapat diartikan bahwa hibah disini harus dilakukan oleh orang yang sudah dewasa tanpa adanya paksaan dari orang lain dan dilakukan atas dasar ridha dan ikhlas karena Allah SWT.

Oleh karena itu tentu pasti adanya masalah sosial dan kekeluargaan yang menyangkut sengketa antara orang tua kepada anak-anaknya yang tidak memperoleh hibah atau sengketa anak yang memperoleh hibah dengan yang tidak memperoleh hibah dari orang tuanya.

Berdasarkan temuan penulis bahwa adanya suatu kasus sengketa hibah yang terjadi di Kelurahan Pondok Cina, Beji, Depok. Terdapat orang tua yang sebelum beliau meninggal telah menghibahkan sebagian harta kepada anaknya dengan kadar jumlah yang tidak sama antara anak yang satu dengan yang lainnya. Dan juga terdapat anaknya yang lain tidak mendapatkan pemberian dari orang tuanya, sehingga menimbulkan konflik antara anak-anaknya. Proses pelaksanaan pemberian hibah yang dilakukan orang tua di sini dianggap belum adil dan merata terhadap anak-anaknya dan proses pemberian hibah yang dilakukan belum mengikuti pada tata cara pelaksanaan hibah yang sesuai dengan aturan dan masih dilakukan secara lisan tanpa adanya bukti atau saksi sehingga timbul konflik antara anak-

5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Citra Umbara, 2019), h. 386.

(13)

4

anaknya setelah menerima hibah dan ketika orang tuanya sudah meninggal dunia.

Dapat kita lihat berdasarkan realita yang sudah dipaparkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum mengetahui kadar atau ketentuan dalam pemberian hibah terhadap anak. Sebab orang tua yang memberikan harta kepada anaknya karena melihat dari segi ekonomi dan sosiologis tanpa mengetahui aturan yang sudah ditetapkan. Jika kita lihat dari kacamata hukum Islam bahwa pemberian hibah tidak boleh lebih ⅓ dari harta yang dimiliki pewaris. Berbeda dengan hukum perdata yang tidak membatasi jumlah batas harta yang boleh dihibahkan, tidak lain atas dasar kerelaan.

Dengan adanya penelitian ini penulis berharap masyarakat mampu memahami ketentuan yang sudah ditetapkan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Berangkat dari fenomena di atas, penulis tertarik untuk menyelidiki masalah tersebut untuk dijadikan bahan penelitian dan bermaksud melakukan penelitian masalah ini lebih mendalam dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul, “Ketentuan Pemberian Hibah terhadap Anak Perspektif Fikih dan Hukum Perdata di Indonesia”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas dapat disimpulkan identifikasi masalahnya adalah sebagai berikut:

a. Anak yang kurang adanya rasa syukur terhadap pemberian hibah yang diberikan orang tua.

b. Orang tua yang mempunyai keterbatasan ilmu sehingga belum mengetahui kadar atau ketentuan dalam pemberian harta hibah terhadap anak.

(14)

5

c. Adanya perbedaan aturan dan ketentuan antara hukum Islam, hukum (peraturan) perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan realita di masyarakat sehingga adanya perbedaan keyakinan dan pandangan tentang pemberian harta hibah orang tua terhadap anak.

2. Pembatasan Masalah

Hukum ternyata juga mengatur dan membatasi kebebasan pemberian atas kepemilikan suatu hak. Mengingat luasnya cakupan tentang hibah, maka penulis akan membuat batasan terhadap masalah tersebut agar penulisan penelitian ini lebih terarah dan terfokus pada satu masalah untuk mencapai hasil yang optimal. Maka penelitian ini hanya difokuskan pada Ketentuan Pemberian Hibah yang diberikan Orang Tua terhadap Anak Perspektif Fikih dan Hukum Perdata di Indonesia. Seperti halnya aturan yang ada pada UU Perkawinan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Pendapat sahabat Nabi dan Ulama Terdahulu.

1. Perumusan Masalah

a. Bagaimana pelaksanaan pemberian hibah terhadap anak di masyarakat?

b. Bagaimana ketentuan pemberian hibah terhadap anak dalam perspektif fikih dan hukum perdata di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memaparkan pelaksanaan pemberian hibah terhadap anak di masyarakat.

2. Menjelaskan ketentuan pemberian hibah terhadap anak perspektif fikih dan hukum perdata di Indonesia.

(15)

6

Sedangkan manfaat dari hasil penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Manfaat secara teoritis yaitu untuk mengembangkan pengetahuan tentang ilmu hukum dan hukum Islam khususnya ketentuan hukum atas pemberian hibah orang tua terhadap anak.

2. Manfaat secara praktis yaitu dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan literatur bagi mahasiswa pada umumnya. Dan dari hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan kepada pemberi dan penerima hibah dalam melakukan akad hibahnya sesuai dengan tata caranya, sehingga tidak bertentangan dengan aturan yang ada.

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penyusunan penelitian ini ialah Penelitian Yuridis Normatif. Jenis penelitian ini penulis lebih mengedepankan pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan judul skripsi ini. Lalu dikomparasikan dengan Hukum Islam, fikih dan Hukum Perdata di Indonesia. Penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum pustaka atau data sekunder belaka sehingga dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.6

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang penulis gunakan disini ialah dengan pendekatan perundang-undangan yaitu mencakup UU Perkawinan.

Namun dalam hal ini penulis juga mengkaji lebih dalam untuk pemahaman hukum hibah dan ketentuannya antara aturan fikih dan

6 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Depok : Rajawali Pers, 2019), h. 13.

(16)

7

hukum perdata di Indonesia. Serta aturan hukum Islam yang berdasarkan Alquran dan Hadis. Dan juga melalui pendekatan kasus yang sekarang masih banyak masyarakat yang belum mengetahui ketentuan akan hal ini.

3. Sumber Bahan Hukum

a. Sumber Bahan Hukum Primer:

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

2) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2019 perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Hibah kepada Pemerintah Asing/Lembaga Asing;

3) Kompilasi Hukum Islam (KHI);

4) Wawancara.

b. Sumber Bahan Hukum Sekunder:

1) Alquran dan Hadis;

2) Buku-buku terkait dengan ketentuan pemberian hibah orang tua terhadap anak;

3) Jurnal-jurnal Hukum;

4) Artikel Ilmiah;

5) E-book Perpustakaan Nasional;

6) Kasus Hukum yang berkaitan dengan penelitian penulis c. Sumber Bahan Hukum Tersier

1) Kamus Praktis Bahasa Indonesia 4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Terkait upaya pengumpulan data yang diperlukan, penulis menggunakan metode sebagai berikut:

a. Kepustakaan

Metode kepustakaan penulis memperoleh bahan hukumnya dari jurnal hukum, literatur-literatur hukum serta dari penelitian

(17)

8

terdahulu yang memiliki persamaan dengan judul yang penulis angkat. Dari sini penulis menemukan aspek-aspek baru yang belum diketemukan oleh peneliti terdahulu.

b. Wawancara

Penulis melakukan wawancara secara langsung dan online dengan responden untuk memperoleh informasi. Penulisan skripsi ini penulis melakukan wawancara dengan beberapa orang yang penulis anggap mengetahui dan memahami akan penelitian yang penulis angkat. Narasumber yang penulis wawancarai diantaranya:

1) Ramdhoni Wahid (Masyarakat Beji, Depok)

2) Fakih Tri Pambudi (Pegawai Pengadilan Agama Depok) 3) Gozi Rachmadi (Masyarakat Beji, Depok)

Disini penulis mengajukan pertanyaan berdasarkan pengalaman konkret dari responden.7

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun teknik pengolahan dalam penelitian ini yaitu:

a. Memilah literatur hukum Islam, kitab-kitab fikih, UU Perkawinan dan buku-buku hukum perdata yang mengatur tentang kadar atau ketentuan hibah orang tua terhadap anak.

b. Membuat secara terstruktur dan sistematik dari aturan-aturan hukum tersebut yang kemudian dihubungkan, dikomparasikan dan dianalisis guna memperoleh garis besar yang berdasarkan dengan rumusan masalah dalam penelitian sehingga menghasilkan kesimpulan yang jelas dan padu.

6. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada hal-hal yang diatur dan dibukukan dalam buku

7 Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, (PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2007), h. 102.

(18)

9

Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut:

Pada bagian pertama, penulis membahas mengenai Pendahuluan, Latar Belakang, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penelitian.

Pada bagian kedua, penulis menyajikan Kajian Pustaka yang berisi Kerangka Konseptual, Kerangka Teori dan Review Hasil Studi Terdahulu.

Pada bagian ketiga, penulis membahas data penelitian. Penyediaan data berupa deskripsi data yang diawali dengan penjelasan tentang hak milik, dilanjutkan dengan penjelasan yang sesuai dengan judul skripsi yaitu pengertian hibah menurut beberapa pandangan serta ketentuan pemberian hibah terhadap anak dalam pandangan fikih dan hukum perdata di Indonesia.

Pada bagian keempat merupakan analisa penulis. Disini penulis membahas Pelaksanaan Pemberian Hibah Orang Tua terhadap Anak di Masyarakat. Dilanjutkan dengan teori tentang Ketentuan Hibah terhadap Anak perspektif Fikih dan Hukum Perdata di Indonesia. Dan juga meliputi analisa penulis terhadap pemberian hibah dalam kacamata hukum Islam.

Pada bagian terakhir adalah penutup. Bab penutup berisi kesimpulan hasil penelitian yang berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan sekaligus jawaban terhadap inti masalah penelitian. Dan dalam hal ini juga berisi rekomendasi atau saran dari penulis yang berkaitan dengan apa yang penulis kaji.

(19)

10 BAB II

TINJAUAN UMUM PEMBERIAN HIBAH TERHADAP ANAK PERSPEKTIF FIKIH DAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA

A. Kerangka Konseptual 1. Hibah

a. Pengertian Hibah

Istilah hibah digunakan sebagai pemberian sukarela kepada orang lain, baik itu dengan harta maupun yang lainnya. Kata hibah sendiri berasal dari bahasa Arab yang sudah diadopsi menjadi bahasa Indonesia. Kata ini merupakan mashdar dari kata بهو yang berarti pemberian. Apabila seseorang memberikan harta miliknya kepada orang lain, maka berarti pemberi itu menghibahkan barang miliknya. Hibah dalam arti pemberian juga bermakna bahwa pihak pemberi hibah bersedia melepaskan haknya atas benda yang dihibahkan. Dikaitkan dengan suatu perbuatan hukum, hibah termasuk salah satu bentuk pemindahan hak milik.8

Dijelaskan dalam buku Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa mengharapkan imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.9

Hibah diambil dari kata hubub ar-rih yang berarti hembusan angin. Istilah hibah digunakan dan dimaksudkan sebagai pemberian sukarela kepada orang lain, baik itu dengan harta maupun yang lainnya. Kata hibah sendiri berasal dari bahasa Arab yang sudah diadopsi menjadi bahasa Indonesia. Kata ini merupakan mashdar

8 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 73-74.

9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Citra Umbara, 2019), h. 375.

(20)

11

dari kata بهو yang berarti pemberian. Apabila seseorang memberikan harta miliknya kepada orang lain maka berarti si pemberi itu menghibahkan barang miliknya. Hibah dalam arti pemberian juga bermakna bahwa pihak penghibah bersedia melepaskan haknya atas benda yang dihibahkan. Dikaitkan dengan suatu perbuatan hukum, hibah termasuk salah satu bentuk pemindahan hak milik.

Menurut terminologi, kata hibah dirumuskan dalam redaksi yang berbeda-beda, diantaranya:

1) Hibah adalah pengeluaran harta semasa hidup atas dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorang atau untuk kepentingan sesuatu badan sosial, keagamaan, ilmiah, juga kepada seseorang yang berhak menjadi ahli warisnya.10

2) Menurut istilah syariat, hibah adalah akad atas suatu tindakan seseorang untuk mengalihkan kepemilikan hartanya kepada orang lain pada saat masih hidup tanpa imbalan. Hibah mutlak tidak berimplikasi pada adanya imbalan, baik hibah itu pada yang serupa dengan imbalan, di bawahnya, maupun yang lebih tinggi darinya.11

3) Jumhur ulama sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, merumuskan hibah adalah:

اع ّوطت ةايحلا لاح ضوع لاب كيلمّتلا ديفي دقع

Artinya: “Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela”.

Maksudnya, hibah adalah pemberian sukarela yang diberikan seseorang kepada orang lain tanpa ganti rugi yang

10 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h.

138.

11 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 5, Terj. Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009), h. 547-548.

(21)

12

mengakibatkan berpindahnya pemilikan harta itu dari pemberi kepada orang yang diberi.

4) Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al- Arba’ah menghimpun empat definisi hibah dari empat mazhab, yaitu menurut mazhab Hanafi, hibah adalah akad pemberian suatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan. Sedangkan menurut mazhab Maliki yaitu memberikan sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang berhak menerima dan juga bisa disebut hadiah. Mazhab Syafi’i dengan singkat menyatakan bahwa hibah menurut pengertian umum adalah memberikan hak milik secara sadar sewaktu para pihak masih hidup.

Definisi yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan oleh Imam Ahmad, “Pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta itu, baik harta itu tertentu maupun tidak, bendanya ada dan boleh diserahkan yang penyerahannya dilakukan ketika pemberi masih hidup, tanpa mengharapkan imbalan”.12

5) Hibah adalah pengeluaran harta semasa hidup atas dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorang atau kepentingan sesuatu badan sosial, keagamaan, ilmiah, juga kepada seseorang yang berhak menjadi ahli warisnya. Intinya adalah pemberian suatu benda semasa hidup seseorang tanpa mengharapkan imbalan.13 6) Menurut Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam (KHI),

Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan

12 Abd al-Rahman al-Jazira, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah Juz III, (Beirut : Dar al-Fikr, 1972), h. 208-209.

13 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h.

138.

(22)

13

tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.14

7) Menurut Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam (KHI), Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.

b. Dasar Hukum Hibah 1) Alquran

Ayat-ayat Alquran maupun Hadis banyak yang menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong-menolong dan salah satu bentuk tolong-menolong adalah memberikan harta kepada orang lain yang betul-betul membutuhkannya, firman Allah:

ۙ ىًذَأ ٓ َلَ َو اًّنَم ۟اوُقَفنَأ ٓاَم َنوُعِبْتُي َلَ َّمُث ِهَّللٱ ِليِبَس ىِف ْمُهَل ََٰوْمَأ َنوُقِفنُي َنيِذَّلٱ َنوُن َز ْحَي ْمُه َلَ َو ْمِهْيَلَع ٌف ْوَخ َلَ َو ْمِهِّبَر َدنِع ْمُهُرْجَأ ْمُهَّل

Artinya: Orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang dia infakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati”. (Al-Baqarah (2) : 262)

Kata hibah juga dipakai oleh Alquran dalam arti pemberian. Pemberian ini dimaksud diberikan kepada keturunannya yang akan menguasai harta orang tuanya. Hal ini dapat ditemui pada firman Allah SWT.

ْنِم ْيِل ْبَهَف اًرِقاَع ْيِتَاَرْما ِتَناَك َو ْيِءآَر َّو ْنِم َيِلا َوَمْلا ُتْف ِخ ْيِّنِا َو اًّيِل َو َكْنُدَّل (

5 ( اًّي ِضَر ِّبَر ُهْلَعْجا َو َب ْوُقْعَي ِلَٰا ْنِم ُث ِرَي َو ْيِنُث ِرَي ) 6

)

14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf g, (Bandung : Citra Umbara, 2019), h. 375.

(23)

14

Artinya: “Dan sungguh, aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal istriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu. Yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Yakub; dan jadikanlah dia, ya Tuhanku, seorang yang diridai”. (Maryam (19) : 5-6) 2) Hadis

Allah menetapkan hibah lantaran dalam hal ini terkandung nilai penyadaran hati dan penguatan jalinan kasih sayang di antara manusia. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

ا ْوُباَحَت ا ْوُداَهَت

Artinya: “Hendaklah kalian saling memberi hadiah niscaya kalian saling mengasihi”.15

Dan Hadis dari riwayat Ahmad:

َع ْن ِلا َخ ِد ِن ْبا ِد َع ْي َأ َّيِبَّنلا َّن َع هللا ىَّلَص َل ْي

َو ِه َس َم َّل َق ، ْنَم" : َلا َءا َج

ُه

ِم ْن ِخ َأ ْي َم ِه ُر ْع ْو ٌف ِم ْن ْي َغ ِر َر ْشإ َو فا َم َلَ

ْس َأ َل ة ُهْلَبْقَيْلَف َو ,

ُي َلَ

َر ُه َّد َف ِإ َم َّن ا

َو ُه َس ٌق ْز ِر َقا ِإ هللا ُه َل ْي ِه )دمحا هاور( "

Artinya: “Dari Khalid Bin Adi, Bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Barang siapa yang diberi oleh saudaranya kebaikan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak dia minta, maka hendaklah diterimanya (jangan ditolak), sesungguhnya yang demikian itu adalah rezeki yang diberikan oleh Allah kepadanya.” (H.R. Ahmad)16

15 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 5, Terj. Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009), h. 548.

16 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2011), h. 79.

(24)

15

c. Rukun Hibah Perspektif Fikih dan Hukum Perdata

Hibah dinyatakan sah dengan adanya ijab dan kabul dengan ungkapan apapun yang bermakna penyerahan kepemilikan harta tanpa adanya imbalan. Yaitu pihak yang memberikan hibah mengucapkan, “Aku hibahkan kepadamu. Atau, “Aku hadiahkan kepadamu.” Atau, “Aku akan berikan kepadamu.” Dan ungkapan semacamnya. Dan pihak yang menerimanya mengucapkan, “Aku Terima.”

1) Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa dengan penerimaan maka hibah sudah dapat dinyatakan sah.

2) Sebagian penganut Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijab saja sudah cukup. Inilah pendapat yang paling shahih.

3) Penganut Mazhab Hanbali mengatakan “Hibah dinyatakan sah dengan adanya pemberian dan penerimaan yang menunjukkan maksud hibah. Sebab Rasulullah SAW memberi hadiah dan menerima hadiah, demikian pula dilakukan oleh para sahabat Nabi SAW (tanpa adanya ungkapan ijab kabul). Dan tidak ada riwayat dari mereka yang menyatakan bahwa mereka menetapkan syarat ijab dan kabul serta syarat semacamnya.”17

Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid sebagaimana yang dikutip oleh Jaziri mengemukakan bahwa rukun hibah ada tiga yang esensial, yaitu:

1) Orang yang memberi hibah (al-wahib) 2) Orang yang menerima hibah (al-mauhublah) 3) Pemberiannya atau perbuatan hibah (al-hibah)18

17 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 5 terj. Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009), h. 550-551.

18 Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Shahih Al-Bukhari (Fathul Baari), Terj.

Amiruddin, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2005), h. 368.

(25)

16

Pihak pemberi hibah adalah orang yang memberikan hibah atau orang yang menghibahkan hartanya kepada orang lain. Pemberi hibah sebagai salah satu pihak pelaku dalam transaksi hibah disyaratkan harus sebagai pemilik sempurna atas sesuatu benda yang dihibahkan. Pihak pemberi hibah harus seorang yang cakap bertindak secara sempurna (kamilah), yaitu baligh dan berakal.

Sebab orang yang cakap bertindaklah yang dapat mengetahui baik dan buruk dari suatu perbuatannya dan sekaligus dia tentu sudah mempunyai pertimbangan yang matang atas untung rugi perbuatannya dalam menghibahkan sesuatu miliknya. Pihak pemberi hibah juga hendaknya melakukan perbuatannya itu atas kemauan sendiri dengan penuh kerelaan dan bukan dalam keadaan terpaksa.19

Terkait pihak yang menerima hibah, ditetapkan bahwa syarat penerima hibah harus benar-benar ada secara fisik saat pemberian hibah. Jika secara fisik dia tidak ada di tempat atau dia dinyatakan ada tapi masih dalam prediksi, yaitu misalnya dia masih berupa janin dan belum lahir, maka pemberian hibah tidak sah. Ketika pihak yang diberi hadiah ada di tempat pada saat pemberian hibah, namun dia masih dikategorikan sebagai anak kecil atau gila, maka walinya atau orang yang mendapat wasiat darinya atau orang yang mengasuhnya, meskipun dia pihak lain (tidak terikat hubungan kekerabatan), maka orang itu boleh mewakilinya untuk menerima pemberian hibah20

Sebagaimana disyaratkan, hendaklah objek hibah ada pada waktu akad. Ini adalah syarat yang harus ada untuk setiap akad pemberian hak kepemilikan pada waktu sekarang, demi menjaga akad dari pembatalan. Adapun hibah saham umum yang bisa dibagi

19 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 76.

20 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 5 terj. Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009), h. 551.

(26)

17

seperti rumah dan bangunan besar, maka mayoritas fuqaha membolehkannya seperti jual beli barang umum. Hanafiyah tidak membolehkannya kecuali dengan membaginya dalam bentuk uang dan menerimanya secara dipisahkan dari yang lain.21

Dalam hibah barang yang diberikan belum menjadi milik yang diberi melainkan sesudah diterima oleh penerima hibah, tidak dengan semata-mata akad. Nabi pernah memberikan 30 buah kasturi kepada Najasyi, kemudian Najasyi meninggal dunia sebelum diterimanya, Nabi kemudian mencabut pemberian tersebut setelah Najasyi meninggal. Jika meninggal salah satunya maka ahli waris salah seorang boleh menerima barang yang telah diperjanjikan tersebut dan boleh juga mencabutnya.22

Adapun dalam Daftar Rencana Pemberian Hibah sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2019 ayat (2) tentang Tata Cara Pemberian Hibah kepada Pemerintah Asing/Lembaga Asing, paling sedikit memuat:

1) Calon Penerima Hibah;

2) Indikasi besaran Pemberian Hibah;

3) Peruntukan hibah;

4) Jangka waktu pemberian hibah; dan

5) Kementerian/lembaga dan/atau unit pengelola dana sebagai penanggung jawab kegiatan.23

Begitupun ketika kita mengkaji pasal-pasal yang mengatur tentang hibah dalam Undang-Undang yang berlaku di Indonesia,

21 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta : Gema Insani, 2011), h. 659.

22 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, cet. Ke-17, (Jakarta : Attahiriyah, t.th), h. 313.

23 Salinan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2019 Pasal 10 ayat (4) tentang Tata Cara Pemberian Hibah kepada Pemerintah Asing/Lembaga Asing.

(27)

18

maka dapat dikatakan bahwa unsur-unsur suatu hibah ada tiga macam, yaitu ada pihak pemberi hibah, penerima hibah dan barang atau benda yang dihibahkan.

Pihak yang memberi hibah, ditetapkan syarat-syarat berikut ini:

1) Pemberi tidak ada halangan dalam melakukan perbuatan hukum (gila, hilang ingatan dan pemboros), dan tidak adanya cacat kehendak. Sebab orang gila dan pemboros tidak sah memberikan harta benda miliknya, begitu pula wali terhadap penerima harta benda yang diserahkan kepadanya.24

2) Pemberi hibah harus sebagai pemilik barang yang dihibahkannya.

3) Dia tidak dalam kondisi dibatasi kewenangannya lantaran suatu sebab yang menjadikan kewenangannya dibatasi.

4) Dia harus berusia baligh karena anak kecil belum layak untuk melakukan akad hibah.

5) Pemberian hibahnya harus dilakukan atas inisiatifnya sendiri karena hibah merupakan akad yang ditetapkan padanya syarat ridha.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2019 Pasal 16 ayat (1) menjelaskan bahwa, “Setiap pemberian hibah harus dituangkan di dalam perjanjian pemberian hibah. Begitupun dalam ayat (3) bahwa, “Perjanjian pemberian hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

1) Jumlah;

2) Bentuk hibah;

24 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2011), h.79.

(28)

19 3) Peruntukan;

4) Ketentuan dan persyaratan; dan

5) Ketentuan penyelesaian sengketa yang tunduk pada peraturan ,perundang-undangan nasional dengan pilihan tempat penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.25 d. Hukum Hibah

Pemberian hibah memiliki beberapa ketentuan yang sudah diatur menurut hukumnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Wajib

Hibah dapat dikatakan wajib apabila pemberian hibah yang diberikan suami kepada istri dan anaknya hukumnya wajib sesuai dengan kemampuannya. Rasulullah SAW bersabda:

ِفْطُّللا َو ِّرِبْلا يِف ْمُكَنْيَب اوُلِدْعَي ْنَأ َنوُّب ِحُت اَمَك ،ِلْحُّنلا يِف ْمُكِدلَ ْوَأ َنْيَب اوُلِدْعا

Artinya: “Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut”.26

Hadis ini, Nabi SAW mengisyaratkan bahwa keadilan dalam hibah akan membuat anak-anak juga akan adil dalam berbakti. Sebaliknya, ketidakadilan bisa menimbulkan kebencian di antara anak-anak kita atau memicu kebencian kepada orang tua yang membawa kepada durhaka.

25 Salinan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2019 Pasal 16 ayat (3) tentang Tata Cara Pemberian Hibah kepada Pemerintah Asing/Lembaga Asing.

26 Anas Burhanudin, “Berlaku Adil kepada Anak”, https://almanhaj.or.id/4153-berlaku- adil-kepada-anak.html, Diakses pada 25 Juni 2021 pukul 10.05 WIB.

(29)

20 2) Haram

Pemberian hibah akan menjadi haram hukumnya apabila harta yang telah dihibahkan ditarik kembali oleh si pemberi hibah. Terkecuali hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya. Pasal 212 Kompilasi Hukum Islam dengan sangat tegas menyatakan bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya.27

Sejalan dengan itu, penulis juga menemukan ungkapan Imam Syafi’i dalam kitab Syirah Fath al-Qadir tentang kebolehan orang tua menarik kembali harta hibah yang telah diberikan kepada anaknya, sebagai berikut:

عجريلَ( ملسو هيلع هللا ىلص هلوقل اهيف عوجر لَ : ىعفاشلا لاقو )هدلول بهي اميفدلاولا لَإ هتبه يف بهاولا

Artinya: Dan berkata Imam Syafi’i, "Tidak ada penarikan suatu pemberian sesuai dengan sabda Rasulullah SAW (Tidak boleh bagi si penghibah menarik kembali hibahnya kecuali hibah orang tua kepada anaknya)".28

3) Makruh

Pemberian hibah akan menjadi makruh hukumnya apabila menghibahkan sesuatu dengan maksud akan mendapatkan imbalan sesuatu baik berimbang maupun mengharapkan lebih banyak dari sesuatu yang akan didapatnya dikemudian hari. Penerima hibah tidak diwajibkan memberikan

27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf g, (Bandung : Citra Umbara, 2019), h. 387.

28 Azwar Hamid, "Penarikan Harta Hibah oleh Orang Tua kepada Anak", JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah), 16:1, ( Juni 2017), h. 33.

(30)

21

imbalan jasa atas hadiah yang diterima sehingga tidak ada ketetapan apapun setelah hibah diberikan atau diterima oleh orang lain.

ُهُهْج َو ِهِب يِغَتْبا َو اًصِلاَخ ُهَل َناَك اَم َّلَِإ ِلَمَعْلا َنِم ُلَبْقَي َلَ َّلَج َو َّزَع َهللا َّنِإ

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali yang murni dan hanya mengharap ridho Allah.” (H.R. Abu Daud dan Nasa’i)

Berdasarkan hadis diatas dijelaskan bahwa pemberian yang murni ialah pemberian yang dilakukan semata-mata hanya mengharapkan pahala dan ikhlas karena Allah dan tidak dicampur adukan dengan niat untuk kepentingan duniawi.

Pemberian dengan ikhlas ini sangat berpengaruh terhadap fisik dan psikis seseorang, sebab dalam hal ini akan diukur sejauh mana niat kita diawal dalam memberi dan menerima pemberian hibah dan menuju ke arah mana amalan yang sudah kita lakukan, melibatkan tujuan akhirat atau hanya untuk kepentingan duniawi semata.

2. Pemberian Hibah terhadap Anak

Hibah merupakan pemberian yang dilakukan seseorang kepada pihak yang berhak menerimanya secara cuma-cuma tanpa mengharapkan imbalan. Pada pembahasan ini, pewaris yang memberikan ialah orang tua dan ahli waris yang dimaksud ialah golongan yang sedarah dengan pewaris yang menyerahkan harta pemberian. Dengan kata lain yang mempunyai hubungan garis keturunan ke bawah dengan pewaris atau yang biasa disebut dengan anak kandung pewaris.

Pemberian hibah yang dilakukan orang tua kepada anaknya ini boleh dilakukan dan dianjurkan jika orang tua merasa hartanya

(31)

22

mencukupi dan layak dimanfaatkan untuk kepentingan anak-anaknya.

Terutama untuk dirinya, keluarganya dan orang sekitar yang sedang membutuhkan. Sebab banyak masyarakat muslim yang memberikan harta mereka secara Cuma-Cuma sewaktu mereka masih hidup kepada anak-anaknya tanpa membedakan bagian anak laki-laki dan perempuan.

Hal ini tiada lain hanya sebagai bentuk untuk menghindari pembagian dari sistem aturan waris 2 : 1 dan lebih mengarah kepada pembagian sama rata 1 : 1.29

Hibah orang tua terhadap anak seharusnya tidak boleh melebihi dari bagian warisan anak tersebut karena hibah orang tua kepada anak dapat diperhitungkan sebagai warisan. Terkadang orang tua berwenang memutuskan sendiri hibahnya ke salah satu anak yang dianggapnya banyak membantu orang tua. Namun jika di kemudian hari orang tua meninggal dunia dan ahli waris lainnya mempersoalkan harta warisan maka hibah yang diterima oleh salah satu anak tersebut bisa dipermasalahkan. Harta hibah yang diterima salah satu anak tersebut dapat dihitung sebagai warisan.

Secara kasuistik, hibah kepada anak dapat diperhitungkan sebagai warisan apabila:

a. Harta yang diwarisi sangat kecil, sehingga jika hibah yang diterima salah seorang anak tidak diperhitungkan sebagai warisan, ahli waris yang lain tidak memperoleh pembagian waris yang sesuai dengan aturan.

b. Penerima hibah hartawan dan berkecukupan, sedangkan ahli waris yang lain tidak berkecukupan, sehingga pemberian hibah di sini memperkaya yang sudah kaya dan memelaratkan yang sudah

29 Faizah Bafadhal, “Analisis Tentang Hibah dan Korelasinya dengan Kewarisan dan Pembatalan Hibah menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, (2003), h. 22.

(32)

23

melarat dan tidak berkecukupan. Oleh karena itu pantas dan layak untuk memperhitungkan hibah sebagai warisan.30

3. Pemberian Hibah Perspektif Fikih

Fikih merupakan istilah dalam syariat Islam yang membahas tentang hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalil terperinci. Fikih merupakan himpunan aturan ataupun norma yang berlaku di masyarakat yang berasal dari ijtihad para ulama terdahulu.

Pembahasan yang penulis angkat akan dikaitkan dengan perspektif fikih dengan alasan karena hibah sendiri asalnya dari hukum Islam dan perlu adanya aturan hukum Islam yang akan lebih menegaskan terkait aturan ketentuan pemberian hibah yang kemudian dikaitkan dengan pendapat para ulama terdahulu dan sahabat Nabi atau hasil ijtihad para ulama fikih.

Menurut Imam Abu Zahrah, fikih ialah:

ةيليصفتلا اهتلدأ نم ةيلمعلا ةيعرشلا ماكحلأاب ملعلا

“Ilmu yang menerapkan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”.

Pemberian hibah yang dilakukan orang tua kepada anaknya ini boleh dilakukan dan dianjurkan jika orang tua merasa hartanya mencukupi dan layak dimanfaatkan untuk kepentingan anak-anaknya.

Terutama untuk dirinya, keluarganya dan orang sekitar yang sedang membutuhkan. Sebab banyak masyarakat muslim yang memberikan harta mereka secara Cuma-Cuma sewaktu mereka masih hidup kepada anak-anaknya tanpa membedakan bagian anak laki-laki dan perempuan.

Hal ini tiada lain hanya sebagai bentuk untuk menghindari pembagian

30 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2011), h. 94.

(33)

24

dari sistem aturan waris 2 : 1 dan lebih mengarah kepada pembagian sama rata 1 : 1.31

Menurut pendapat Imam Ahmad Ishaq, Tsauri dan beberapa pakar hukum Islam lainnya mengatakan bahwa hibah batal apabila melebihkan satu dengan yang lain, tidak diperkenankan menghibahkan hartanya kepada salah seorang anaknya, haruslah bersikap adil di antara anak-anaknya. Kalau sudah terlanjur dilakukannya, maka harus dicabut kembali. Yang masih diperselisihkan para ahli hukum Islam tentang cara penyamaan sikap dan perlakuan terhadap anak-anak. Ada yang berpendapat bahwa pemberian itu adalah sama di antara anak laki-laki dan anak perempuan, ada pula yang berpendapat bahwa penyamaan antara anak laki-laki itu dengan cara menetapkan bagian untuk seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, sesuai dengan pembagian waris.

Tidak ada perbedaan di kalangan mayoritas ulama bahwa bagi orang tua disunnahkan bersikap adil dan menyamaratakan pemberian kepada anak-anaknya dan makruh membeda-bedakannya. Akan tetapi mayoritas ulama berbeda pendapat dalam mengartikan pemerataan (taswiyah) dalam pemberian hibah. Abu Yusuf dari Mazhab Hanafi serta dari golongan Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i ini merupakan kelompok mayoritas berpendapat bahwa orang tua disunnahkan menyamaratakan pemberian dan tidak membeda-bedakan dalam pemberian kepada anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Anak perempuan akan menerima pemberian yang sepadan dengan apa yang diberikan anak laki-laki.32

31 Faizah Bafadhal, “Analisis Tentang Hibah dan Korelasinya dengan Kewarisan dan Pembatalan Hibah menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, (2003), h. 22.

32 Fajar Imamudin, “Hibah terhadap Anak antara Pemerataan dan Keadilan”. (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002), h. 30.

(34)

25

Abu Yusuf berkata, “Pemberian kepada anak wajib disamakan, baik laki-laki maupun perempuan. Jika melebihkan sebagian anak itu mengakibatkan mudharat bagi yang lainnya.”

Mayoritas ulama berpendapat bahwa perintah untuk menyamakan pemberian hibah adalah mustahab (disukai). Pemberian kepada sebagian anak yang dilebihkan atas sebagian yang lain hukumnya sah tetapi makruh. Bila hal ini terjadi, maka dianjurkan untuk segera menyamakan atau mengambilnya kembali. Mereka memahami perintah dalam hadis di atas berindikasi anjuran dan larangan yang ada berindikasi tanzih.

Di antara hujjah mereka yang mewajibkannya adalah bahwa masalah ini merupakan pendahuluan dari segala hal yang bersifat wajib.

Karena memutuskan hubungan rahim dan durhaka kepada orang tua termasuk perbuatan yang diharamkan, maka semua yang mengarah kepadanya juga diharamkan. Sementara itu, melebihkan pemberian kepada sebagian anak dapat mengarah kepada perkara tersebut.33

"Tidak boleh bagi siapapun mengutamakan pemberian kepada sebagian dari anak-anaknya dari sebagian yang lain dalam pemberian karena tindakan ini dapat menimbulkan permusuhan dan memutuskan hubungan yang diperintahkan oleh Allah". Pendapat ini dianut oleh Imam Ahmad, Ishak, Tsauri, Thawus dan sebagian penganut Mazhab Maliki. Mereka mengatakan, “Pengutamaan di antara anak-anak merupakan kebathilan yang tidak sesuai dengan aturan dan harus digugurkan oleh orang yang melakukannya”. Imam Bukhari pun menegaskan hal ini. Mereka berhujjah terkait pendapat ini dengan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:

33 Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Shahih Al-Bukhari (Fathul Baari), Terj.

Amiruddin, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2005), h. 380.

(35)

26

ىِف ْمُكِد َلَ ْوَا َنْيَب ا ْو ُّوَس : َلاَق َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُهلَّلا ىَّلَص ِ ّيِبَّنلا ِنَع ساَّبَع ِنْبا ِنَع ىقهيبلا هاور( ِلاَج ِّرلا ىَلَع َءاَسِّنلا َت ْرَثَ َلَ اًرِثْؤُم َتْنُك ْوَل َو ِةَّيِطَعْلا )

Artinya: “Dari Ibn Abbas, dari Nabi SAW bersabda: Persamakan di antara anak-anak kalian dalam pemberian. Seandainya aku (diperkenankan) mengutamakan seseorang niscaya aku mengutamakan kaum wanita.” (H.R. Baihaqi)34

Dari Hadis di atas tampak Nabi SAW menceritakan dalam bersikap adil dalam pemberian hibah kepada anak-anak dan kalau akan bersikap melebihkan maka diperintahkan untuk melebihkan pemberian kepada anak perempuan. Sikap adil dalam pemberian hibah dan dalam muamalat memang merupakan hal yang dituntut oleh agama. Hanya saja mayoritas ulama memandang perintah ini sebagai sunnah saja.

Sedangkan menurut sebagian ahli hukum Islam, persamaan pemberian itu bukan hal yang wajib dilaksanakan, tetapi sunnah saja.

Mereka menyatakan bahwa hadis yang menyatakan perlunya pemerataan anak-anaknya dalam pemberian hibah adalah lemah, demikian juga hadis yang menyatakan bahwa pemberian semua harta yang berbentuk hibah kepada anak-anaknya yang nakal. Pendapat yang mewajibkan dalam hal menyamakan pemberian pada anak-anaknya dan larangan pemberian semua harta berupa hibah kepada anak-anaknya adalah pendapat yang kuat. Oleh karena itu, jika dalam hal pemberian hibah itu tidak sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan, maka hibahnya adalah batal.35

Dari Sya’bi dari Nu’man bin Basyir, dia berkata, “Bapakku memberiku suatu pemberian, Ismail bin Salim yang termasuk salah satu dari komunitas mereka mengatakan, “Bapaknya memberikan pembantu

34 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 5 terj. Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009), h. 554-555.

35 Ash-Shan’ani, Syarah Bulughul Maram, (t.tp : Darus Sunnah Press, 2015), h. 322.

(36)

27

kepadanya, lantas ibuku, Amrah binti Rawahah berkata kepadanya,

“Temuilah Rasulullah SAW dan persaksikan kepada beliau”. Dia pun segera menemui Rasulullah SAW dan menyebutkan hal itu kepada beliau. Dia berkata, “Aku memberikan kepada anakku, Nu’man, suatu pemberian, namun Amrah memintaku agar mempersaksikan hal itu kepadamu”. Beliau bertanya, “Apakah kamu mempunyai anak selain dia?”. Dia berkata, “Ya, jawabku”. Beliau bertanya lagi, “Mereka semua kamu beri seperti yang kamu berikan kepada Nu’man?”. “Tidak”.

Jawabnya. Menurut sebagian ahli hadis, beliau bersabda, “Ini kesewenang-wenangan”. Sementara menurut ahli hadis yang lain beliau bersabda:

ي ِرْيَغ اَذَه ىَلَع ْدِهْشَأَف ,ٌةَئ ِجْلَت اَذَه

"Ini adalah pilih kasih, maka persaksikan ini kepada orang selain aku.”

Munghirah mengatakan dalam hadisnya:

؟ٌءا َوَس ِفْطُّللا َو ِّرِبْلا يِف َكَل ا ْوُن ْوُكَي ْنَأ َكُّرُسَي َسْيَل َأ

“Bukankah menyenangkanmu bila mereka sama dalam bukti dan kasih sayang kepadamu?”

“Iya”. Jawab orang tua Nu’man. Beliau bersabda, “Persaksikan ini kepada orang selain aku”. Mujahid menyebutkan dalam hadisnya:

َأ اَمَك ,ْمُهَنْيَب َلِدْعَت ْنَأ ِّقَحْلا َنِم َكْيَلَع ْمُهَل َّنِإ َك ْوُّرَبَي ْنَأ ِّقَحْلا َنِم ْمِهْيَلَع َكَل َّن

“Sesungguhnya di antara hak mereka yang harus kamu tunaikan adalah kamu harus berlaku adil di antara mereka, sebagaimana di antara hakmu yang harus mereka tunaikan adalah mereka harus berbakti kepadamu”.

Ibnu Qayyim berkata, “Hadis ini termasuk rincian sikap adil yang diperintahkan oleh Allah dalam kitab-Nya. Keadilan ini sangat selaras dengan Alquran dibanding semua parameter yang ada di muka bumi dan ia adalah dalil yang sangat tegas kejelasannya. Maka keserupaan

(37)

28

tersebut (maksudnya keserupaan antara kesamaan dalam pemberian dengan kesamaan dalam berbakti kepada orang tua) dapat disanggah dengan sabda beliau:

َنْيِعَمْجَأ ِساَّنلا َو ِهِدَل َو ْنِم ِهِلاَمِب ُّقَحَأ دَحَأ ُّلُك

“Setiap orang lebih berhak terhadap hartanya dari pada anaknya dan seluruh manusia”

Lantaran seseorang yang paling berhak terhadap hartanya, maka konsekuensinya dia boleh mempergunakannya sebagaimana yang dikehendakinya dan keserupaan tersebut diqiyaskan dengan pemberian kepada pihak-pihak lain. Sudah jelas diketahui bahwa keserupaan ini termasuk dalam cakupan yang umum, sementara qiyas tidak dapat dihadapkan pada ketentuan hukum yang sangat jelas”.36

Hal ini merupakan ancaman yang serius, bukan sesuatu yang mubah, karena Rasulullah SAW menyebutnya sebagai penyelewengan atau penganiayaan dan ini bertentangan dengan prinsip keadilan.

Rasulullah SAW memberitahu bahwa hal itu tidak baik dan memerintahkannya untuk mengembalikannya. Sesuatu yang mustahil seandainya Allah memberi izin kepada Rasulullah SAW untuk bersaksi terhadap masalah ini. Kepada Allah kita memohon pertolongan.37

Sayyid Sabiq dan Chairuman Pasaribu mengemukakan bahwa para ahli hukum Islam sepakat bahwa seseorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli warisnya.38 Tetapi Muhammad Ibnu Hasan dan sebagian pentahkik mazhab Hanafi

36 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 5 terj. Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009), h. 556.

37 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Panduan Hukum Islam, Terj. Asep Saefullah FM, Kamaluddim Sa’adiyatulharamain, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007), h. 790-791.

38 Choiruman Pasaribu & Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), h. 391.

(38)

29

mengemukakan bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk keperluan kebaikan. Mereka menganggap orang yang melakukan itu sebagai orang yang lemah akalnya. Sedangkan orang yang meminta- minta kepada orang lain jika terdesak kebutuhan, maka dia tidak boleh menyedekahkan seluruh hartanya tidak pula sebagian besar hartanya.

Inilah kesimpulan yang dapat mempertemukan antara hadis-hadis yang menunjukkan bahwa pemberian yang melebihi bagian sepertiga tidak sesuai dengan ketentuan syariat, dengan dalil-dalil yang menunjukkan diperkenankannya bersedekah dengan besaran melebihi bagian sepertiga”.39

Hal ini dapat dibedakan dalam dua hal, jika hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) atau suatu badan hukum, mayoritas pakar hukum Islam sepakat tidak ada batasnya, tetapi jika hibah diberikan kepada anak-anak pemberi hibah, menurut Imam Malik dan ahlul Zahir tidak memperbolehkannya.

Prinsip pelaksanaan hibah orang tua kepada anaknya haruslah sesuai petunjuk Rasulullah SAW. Dalam beberapa hadis dikemukakan bahwa bagian mereka supaya disamakan dan tidak dibenarkan memberi semua harta kepada salah seorang anaknya. Jika hibah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya melebihi dari ketentuan bagian waris, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai warisan. Sikap seperti ini menurut kompilasi hukum Islam didasarkan pada kebiasaan yang dianggap positif oleh masyarakat. Karena bukan suatu hal yang aneh apabila bagian waris yang dilakukan tidak adil akan menimbulkan penderitaan bagi pihak tertentu, lebih-lebih kalau penyelesaiannya sampai ke Pengadilan Agama tentu akan terjadi perpecahan keluarga.

Sehubungan dengan hal ini Umar Ibnu Al-Khattab pernah mengemukakan bahwa kembalikan putusan itu di antara sanak keluarga,

39 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 5 terj. Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009), h. 553.

(39)

30

sehingga mereka membuat perdamaian, karena sesungguhnya putusan pengadilan itu sangat menyakitkan hati dan menimbulkan penderitaan.40 4. Pemberian Hibah Perspektif Hukum Perdata di Indonesia

Hukum perdata di Indonesia merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan (pribadi). Hal ini perlu dijelaskan karena mengingat Hukum Perdata berisi produk seperti fatwa, keputusan pengadilan dan Undang-Undang yang secara keseluruhan tidak terpisahkan merupakan satu kesatuan dari bangunan hukum Islam. Oleh karena itu, mengingat Negara kita adalah Negara yang tidak berdasarkan atas agama tertentu maka berkembangnya hukum Islam menjadi menarik untuk ditelaah.41

Lahirnya Undang-Undang Hukum Perdata merupakan warisan dari penjajah bangsa Eropa yang bersumber dari Kode Civil Perancis.

Pada buku ketiga bab ke-10 mengatur tentang hibah yang secara rinci mengatur tentang tata cara atau unsur-unsur dan syarat-syarat suatu hibah. Sedangkan ketentuan konsep hibah menurut hukum Islam adalah bersumber dari Alquran dan Hadis Nabi SAW.42

Masalah terkait Hukum Perdata ini tidak jauh beda dengan hukum perdata Islam yang sudah banyak kita temui di lingkungan sekitar kita. Seperti halnya dalam masalah Munakahat (perkawinan, perceraian dan akibat hukumnya), Waris (mengatur segala masalah dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian warisan) dan Muamalah (mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda,

40 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), h. 137-138.

41 Andi Fariana, 2016, “Hukum Perdata Islam di Indonesia”, https://dosen.perbanas.id/hukum-perdata-islam-di-indonesia/, Diakses pada Kamis, 22 Juli 2021, Pukul 21.45 WIB.

42 A. Zainuddin, "Perbandingan Hibah", Jurnal Al-Himayah, 1:1, (Maret 2017), h. 97.

(40)

31

tata hubungan manusia dalam jual beli, sewa-menyewa, pinjam- meminjam, perserikatan, kontrak dan sebagainya).

Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan pembatasan dalam pemberian harta hibah hanya 1/3 dari harta yang dimilikinya agar tidak mengganggu hak-hak ahli waris lainnya dengan pertimbangan- pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan bagi ahli waris.

Hibah merupakan perbuatan hukum yang sepihak, saat penghibahan terjadi pihak penerima hanya menerima apa yang dihibahkan kepadanya yaitu dilaksanakan secara cuma-cuma. Akibat hukum hibah yang diberikan melebihi dari aturan hukum yang berlaku, maka pemberiannya dianggap tidak sah dan dapat dibatalkan oleh Pengadilan Agama apabila ada ahli waris lainnya yang menggugat, kecuali ahli waris menyetujui pemberian hibah tersebut, maka hibahnya dianggap sah.43

B. Kerangka Teori 1. Teori Keadilan

Dalam hukum Islam, teori keadilan merupakan suatu bentuk kepuasan seseorang terhadap apa yang ia dapatkan dengan merasakan adanya keadilan atau tidak adil atas suatu situasi yanga dialaminya.

Sebab keadilan adalah norma kehidupan yang didambakan oleh setiap orang dalam tatanan kehidup sosial mereka. Dan pastinya sudah kita ketahui, keadilan yang sempurna hanyalah milik Allah SWT.

43 Indamayasari, Analisis Yuridis terhadap Penerima Hibah yang Melebihi Ketentuan dalam Fikih dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 616/Pdt.G/2010/PA-Mdn)".

(41)

32

Di dalam Kamus al-Arab menyatakan bahwa: ”Suatu hal yang ada dalam pikiran dengan keadaan jujur adalah keadilan, setiap yang tidak lurus atau tidak layak dianggap sebagai tidak adil”.44

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai suatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Bagi kebanyakan orang keadilan adalah prinsip umum bahwa individu-individu tersebut seharusnya menerima apa yang sepantasnya mereka terima. Di Indonesia keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai Dasar Negara yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada sila tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan dalam hidup bersama. Adapun dasar tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu hubungan antara manusia dengan diri sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat serta hubungan manusia dengan Tuhannya.45

Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Etika Nicomachean Ethics menjelaskan pemikirannya tentang keadilan. Keadilan adalah keutamaan dan bersifat umum. Bagi kebanyakan orang keadilan adalah prinsip umum, bahwa individu-individu manusia seharusnya menerima apa yang sepantasnya mereka terima. Sebagian menyebutnya dengan istilah legal justice atau keadilan hukum yang merujuk pada pelaksanaan hukum menurut prinsip-prinsip yang ditentukan dalam negara hukum. Ada pula istilah social justice atau keadilan sosial yang didefinisikan sebagai konsepsi-konsepsi umum mengenai social firmness atau keadilan sosial yang mungkin dapat dan mungkin tidak

44 M. Agus Santoso, Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, (Jakarta : Kencana, 2014), Cet.2, h. 86

45 M. Agus Santoso, Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, (Jakarta : Kencana, 2014), Cet.2, h. 85-87.

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang terjadi yaitu pengawasan terhadap profesi hakim terbentur dengan regulasi “kekuasaan hakim yang merdeka dan bebas dari campur tangan penguasa dan

Pada penelitian ini arsitektur jaringan menggunakan neuron untuk input layer berjumlah tiga neuron yaitu harga pembukaan saham (Y1), harga tertinggi saham (Y2),

Menurut Riyanto (2013:219) Pasar Primer adalah pasar bagi efek yang pertama kali diterbitkan dan ditawarkan dalam pasar modal, sedangkan Pasar Sekunder adalah pasar bagi

Investasi syariah yang dijalankan oleh PT ALAMI sudah sesuai dengan fatwa DSN MUI No 117/DSN-MUI/II2018 tentang layanan pembiayaan berbasis teknologi

Alhamdulillah, segala puji serta syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan

Selanjutnya pada penelitian ini akan membahas mengenai pemodelan dan prediksi cadangan devisa menggunakan data cadangan devisa Indonesia, nilai ekspor Indonesia,

Hasil penelitian menunjukan bahwa berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan

Hasil dari jalur atau sub struktural 2 memperlihatkan bahwa Beban Kerja, Lingkungan Kerja, dan Stres Kerja berpengaruh secara signifikan terhadap Kinerja Karyawan