• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1443 H/2021 M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1443 H/2021 M"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

1

Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh

EVA LATIFAH HANUM NIM. 11160480000039

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H/2021 M

(2)

i

DUALISME KEDUDUKAN JABATAN HAKIM DI INDONESIA (Analisis Undang–Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman dan Undang–Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh

EVA LATIFAH HANUM NIM. 11160480000039

COVER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H/2021 M

(3)

ii SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Eva Latifah Hanum NIM. 11160480000039

Pembimbing I

Dr. Abdul Halim, M. Ag.

NIP. 19670608 199403 1 005

Pembimbing II

Muhammad Ishar Helmi, S. H., M. H.

NIDN. 9920112859

LEMBAR PERSETUJUAN

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H / 2021 M

(4)

iii

Skripsi berjudul “DUALISME KEDUDUKAN JABATAN HAKIM DI INDONESIA (Analisis Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara).” Oleh Eva Latifah Hanum NIM. 11160480000039 telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 November 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) Pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 27 Januari 2022 Mengesahkan,

Dekan,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.

NIP. 19760807 200312 1 001 PANITIA UJIAN MUNAQOSYAH

1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. ( ) NIP. 19670203 201411 1 001

2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. ( ) NIP. 19650908 199503 1 001

3. Pembimbing I : Dr. Abdul Halim, M.Ag. ( ) NIP. 19670608 199403 1 005

4. Pembimbing II : Muhammad Ishar Helmi, S.Sy., S.H., M.H. ( ) NIDN. 2009039003

5. Penguji I : Dr. Syafrudin Makmur, S.H., M.H. ( ) NUPN. 9920112680

6. Penguji II : Mohamad Mujibur Rohman, M.A. ( ) NIP. 19760408 200710 1 001

(5)
(6)

v Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Eva Latifah Hanum Tempat, tanggal lahir : Cirebon, 22 Juni 1998

NIM : 11160480000039

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Pondok Aren, RT. 4 RW. 05, Pondok Kacang Timur, Kota Tangerang Selatan

No. HP/Email : 085710243894/eva.hanum16@mhs.uinjkt.ac.id

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka peneliti bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 17 November 2021

Eva Latifah Hanum

(7)

vi

Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara). Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1443 H/ 2021 M. -+ 73 halaman.

Studi ini membahas terkait adanya inkonstitusional kedudukan jabatan hakim di Indonesia. Status hakim memang sudah jelas sebagai pejabat negara.

Namun, dalam hal pengaturan hakim masih diatur dalam dua undang-undang, yakni dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Pun terdapat dalam peraturan turunan, yakni dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2002 tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim. Cukup terlihat jelas dalam undang-undang tersebut, bahwasannya hakim belum memiliki satu payung hukum khusus yang mengatur tentangnya.

Pengaturan mengenai hakim ini masih tercampur dengan regulasi pemerintahan, yang secara tidak langsung kedudukan jabatan hakim ini sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), sehingga rentan terjadi intervensi dari lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Sedangkan hakim merupakan pilar utama dalam kekuasaan kehakiman yang sifatnya independent, artinya merdeka, tidak terpengaruh oleh kekuasaan lain (kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif).

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif dengan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Juga dengan melakukan pengkajian beserta analisis terhadap peraturan perundang- undangan, buku-buku, jurnal ilmiah, serta literatur lain yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Hakim merupakan elemen dari kekuasaan kehakiman yang berada dalam lingkup kekuasaan yudikatif. yang mana hakim dalam menjalankan tugasnya harus menjaga kemandiriannya. Pun dengan status kedudukan jabatan hakim yang masih belum jelas, itu perlu di garis bawahi.

Karena hal tersebut bukanlah untuk kepentingan hakim dan pengadilan semata, tetapi menjadi kebutuhan dari terselenggaranya negara hukum Indonesia. Karena jika semua hak dan fasilitas hakim sudah sesuai dengan kedudukannya sebagai pejabat negara terpenuhi, maka akan berfungsi memperkokoh independensinya sehingga keadilan yang diselenggarakan oleh hakim pengadilan semakin berkualitas dan berwibawa. Hal ini pun menjadikan teori efektitas hukum dan teori kepastian hukum berjalan sesuai praktiknya.

Kata Kunci : Dualisme, Kekuasaan Kehakiman, Jabatan Hakim Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Abdul Halim, M. Ag.

2. Muhammad Ishar Helmi, S. H., M. H.

Daftar Pustaka : Tahun 1963 sampai Tahun 2021

(8)

vii

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam, yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “DUALISME KEDUDUKAN JABATAN HAKIM DI INDONESIA (Analisis Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara)”. Sholawat serta salam tidak lupa tercurah oleh penulis kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari jaman jahiliyah, kepada jaman Islamiyah pada saat ini.

Dalam proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar- besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik secara langsung dan tidak langsung atas pencapaian yang telah dicapai oleh penulis, hingga penulis menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, tidak lupa juga penulis ucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S. Ag., S. H., M. H., M. A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S. H., M. Hum. Ketua Progran Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S. H., M. Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Abdul Halim, M. Ag., dan Muhammad Ishar Helmi, S. H., M. H.

Pembimbing skripsi penulis yang telah membagi ilmu, meluangkan waktu, dan terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

4. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Kepala Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah

(9)

viii

selaku orang tua yang telah mendukung dan memberikan segalanya baik formil maupun materil serta doa tiada hentinya dan doa tanpa balas jasanya sampai penulis mampu menyelesaikan masa studi S1. Tak lupa untuk adik tersayang Zahrotul Aulia Safitri yang selalu memberikan semangat dan tiada hentinya menaburkan doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Pihak-pihak yang selalu memberikan energi positif kepada penulis, menjadi penenang disaat penulis panik, selalu memberikan motivasi maupun semangat terhadap penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Teruntuk Imaduddin, S. Pd., Lia Fauziyyah Ahmad, S. H., Hanifatul Fitriah, S. H., ka Indah Dewi Nurlaili, S. E., Vira Oktania Yusuf, Firda Safira, Nora Damar Rahayu, Sri Mulyani, Andinta Ayu, dll. Selaku kaka juga sahabat, Sekali lagi, terimakasih banyak untuk kalian.

Demikian ucapan terimakasih penulis, semoga Allah SWT.

Senantiasa menganugerahkan pahala yang berlipat ganda atas setiap doa, bantuan, motivasi dan bimbingan yang mereka berikan kepada penulis.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya untuk para pembaca serta dapat menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Aammiin.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 17 November 2021 Penulis,

Eva Latifah Hanum

(10)

ix

COVER ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian ... 7

E. Sistematika Pembahasan ... 9

BAB II KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA... 11

A. Kerangka Konseptual ... 11

1. Dualisme Kedudukan Jabatan Hakim ... 11

2. Jabatan Hakim di Indonesia ... 16

3. Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ... 18

4. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ... 21

B. Kerangka Teori ... 23

1. Teori Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan ... 23

2. Teori Efektifitas Hukum ... 25

3. Teori Kepastian Hukum ... 29

4. Teori Pengawasan Hukum... 31

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 34

BAB III KEDUDUKAN JABATAN HAKIM DI INDONESIA... 36

A. Pengertian Hakim ... 36

B. Tugas dan Fungsi Hakim ... 38

C. Lembaga Pengawas Profesi Hakim ... 41

D. Kekuasaan Kehakiman Bukan Kekuasaan Eksekutif ... 44

(11)

x

BAB V PENUTUP ... 67 A. Kesimpulan ... 67 B. Saran ... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA ... 70

(12)

1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Peradilan sebagai lambang supremasi hukum dan benteng terakhir keadilan seharusnya tidak memihak, dan memberikan perlakuan hukum yang setara bagi masyarakat. Karena itu, hakim yang merupakan pelaksana dan ujung tombak peradilan serta yang berinteraksi dengan masyarakat dituntut untuk memiliki kualitas dan profesionalitas dalam meneliti, menimbang, dan menetapkan putusan hukum untuk suatu perkara. Pada titik ini, dimensi kode etik dan pedoman perilaku hakim menjadi demikian penting bagi seorang hakim sehingga pemahaman dan penghayatan dimensi tersebut menjadi keharusan bagi setiap hakim.1

Secara yuridis, hakim tidak dapat dilepaskan dari landasan konstitusional Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, khususnya Bab IX Kekuasaan Kehakiman. Hakim sebagai pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman mutlak untuk menjaga integritas, kemandirian, dan profesionalitasnya serta dijamin keamanan dan kesejahteraannya, sehingga ia dapat terbebas dari segala macam intervensi baik yang datang dari internal maupun eksternal. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam arti bebas dari campur tangan pihak kekuasaan ekstrayudisial lain, merupakan ideologi universal masa kini maupun masa akan datang. Karena kekuasaan kehakiman merdeka itu bersifat universal, maka Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan, terlepas dari perdebatan apakah Indonesia menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau (distribution of power) maupun alokasi kekuasaan (allocation of power), pada prinsipnya Indonesia menganut ideologi dan konsep negara hukum dan kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent judiciary), sesuai dengan kondisi budaya dan kepribadian Indonesia.2 Dengan

1 Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 4.

2 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, FH UI, Cet. Ketujuh, h. 145.

(13)

mengutip pendapat John Alder, “The principle of separation of powers is particularly important for the judiciary”, menurut Jimly Asshiddiqie, dalam sistem negara modern cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri. Bahkan Montesquieu dalam bukunya “L’Esprit des Lois” memimpikan pentingnya pemisahan kekuasaan yang ekstern antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan terutama kekuasaan yudisial.3 Ajaran pemisahan kekuasaan yang diletakkan oleh Montesquieu ditiru oleh banyak negara di dunia dengan berbagai macam varian, oleh karena tidak dapat diterapkan secara mutlak tergantung dari sistem ketatanegaraan yang dianut oleh sebuah negara.4

Sejalan dengan itu, Bagir Manan menyatakan menurut teori konstitusi bahwa dalam suatu negara harus ada pemisahan kekuasaan dan pembatasan kekuasaan negara untuk menjamin hak asasi manusia. Selain itu, harus dibentuk lembaga-embaga negara sebagai institusi penyelenggara negara.

Untuk itu, semua akan diperlukan adanya lembaga kekuasaan kehakiman yang bertugas untuk mengawasi jalannya hukum dan pemerintahan agar tidak menyimpang dari konstitusi. Menurut teori demokrasi bahwa kehidupan demokratis selalu berada dalam negara hukum. Didalam negara hukum harus ada kekuasaan kehakiman sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan.

Menurut teori negara hukum bahwa keberadaan lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan ciri utama dan akarnya negara hukum.5 Namun dalam praktik ketatanegaraan sering kali penegak hukum tidak berdaya yang bersumber pada kondisi natural dimana penegak hukum khususnya pengadilan, hakim menempati kedudukan paling lemah dibandingkan cabang kekuasaan lain. Adapun ketidakberdayaan yang

3 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cetakan ke – 8, (Jakarta;

Rajawali Pers, 2016), h. 310.

4 Novianto Murti Hantoro, dkk, Hakim antara Pengaturan dan Implementasinya, (Jakarta:

Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2018), h. 1.

5 Bagir Manan, Kedudukan Penegak Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Majalah Hukum Varia Peradilan Nomor 243, Mahkamah Agung RI, (Jakarta; 2006), h.

9.

(14)

bersumber dari faktor eksternal mencakup sekurang-kurangnya ada faktor politik, sosial, dan budaya.

Melihat ketidakberdayaan tersebut, Bagir Manan lebih lanjut menyatakan, bahwa kekuasaan kehakiman harus mengundang substansi, pertama, kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial yang meliputi kekuasaan memutus suatu perkara atau sengketa, dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum. Kekuasaan-kekuasaan di luar kekuasaan memeriksa dan memutus perkara dan membuat ketetapan hukum dimungkinkan dicampuri, seperti supervisi dan pemeriksaan dari cabang-cabang kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman, seperti yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau sesuatu yang natuur merupakan pekerjaan pemerintahan misalnya pelaksanaan aggaran; kedua, kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat putusan atau ketetapan hukum yang dibuat; ketiga, kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak objektif, jujur, dan tidak berpihak; keempat, pengawasan kekuasan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata melalui upaya hukum biasa atau luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri; kelima, kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur tangan dari kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman; dan keenam, semua tindakan terhadap hakim semata-mata dilakukan menurut undang-undang.6

Kedudukan hakim sampai saat ini masih dirasakan adanya dualisme status dan kedudukan hakim, yaitu adanya dua entitas pada diri seorang hakim, pertama sebagai pegawai negeri sipil (PNS) yang kedua sebagai pejabat negara. Jabatan hakim pada awalnya berkedudukan sebagai Pegawai Negara Sipil (PNS), hal ini dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Hakim sebagai pejabat negara telah diatur dalam beberapa undang-undang, antara lain di dalam Undang-

6 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam Undang – Undang No. 4 Tahun 2004, (Yogyakarta: FH UI Press, 2007), h. 29 – 30.

(15)

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pasal 1 ayat (1) dan pasal 2 Undang- Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menyatakan bahwa penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan menyebutkan bahwa yang termasuk penyelenggara negara yaitu diantaranya adalah hakim.

Kedudukan profesi hakim sebagai ujung tombak dalam penegakan hukum di Indonesia dicederai dan tercoreng dengan berbagai kasus yang menimpa profesi hakim itu sendiri seperti, perselingkuhan, penyuapan, gratifikasi, manipulasi putusan, perjudian, narkoba, dan beberapa hakim terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kejadian-kejadian tersebut terus berulang kali terjadi, sehingga dirasakan penting dan mutlaknya fungsi pengawasan terhadap profesi hakim.7 Pengawasan terhadap hakim di Indonesia selain dilakukan oleh BAWAS Mahkamah Agung secara internal, juga dilakukan oleh Komisi Yudisial secara eksternal.

Mahkamah Agung (MA) sebagai suatu lembaga negara dan badan peradilan di bawahnya merupakan tempat para hakim bertugas menyelesaikan suatu perkara. Berbeda dengan tugas polisi atau jaksa yang masuk dalam instansi kepolisian atau kejaksaan, mereka lebih banyak melakukan tugas untuk melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Tugas seorang hakim menjadi sangat penting, untuk menerima, memproses, dan membuat putusan terhadap sebuah perkara. Adapun putusan ini harus diambil sampai pada putusan tetap yang tidak dapat diganggu gugat lagi atau putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Tugas seorang hakim dapat

7 Novianto Murti Hantoro, dkk, Hakim antara Pengaturan dan Implementasinya, (Jakarta:

Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018), h. 169.

(16)

dikatakan cukup berat. Apabila terjadi suatu perkara yang aturan perundang- undangan atau hukumnya tidak jelas, tidak lengkap, atau bahkan tidak ada, maka hakim tidak boleh menolak perkara dan harus mencari hukumnya atau melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).8 Oleh karena itu, profesi hakim sebagai penegak hukum dan juga mengembangkan ilmu hukum menjadi sangat penting. Tidak hanya di Indonesia, di seluruh dunia, keberadaan hakim merupakan tonggak bagi terwujudnya kepastian dan penegakan hukum.

Permasalahan yang terjadi yaitu pengawasan terhadap profesi hakim terbentur dengan regulasi “kekuasaan hakim yang merdeka dan bebas dari campur tangan penguasa dan kekuasaan lainnya.” sebagaimana ditentukan dalam amandemen ketiga UUD 1945 dan Undang-Undang Nmor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan sifat dan karakter kekuasaan kehakiman dengan menyatakan Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Fungsi pengawasan merupakan salah satu faktor kunci untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada pengadilan. Dengan kewajiban mengawasi 800 satuan kerja pada Badan Peradilan, maka beban yang harus diselesaikan oleh Badan Pengawasan menjadi sedemikian besar. Dalam kenyataannya, penyelenggaraan ketatanegaraan di Indonesia secara administratif, keuangan, dan politik masih ada ketergantungan secara kelembagaan, aparatur, organisasi, dan perorangan dengan lembaga – lembaga negara lainnya terutama eksekutif. Pun dengan pengawasan hakim dan pengadilan memang hingga kini masih menjadi hal yang penting dalam reformasi peradilan, mengingat masih rendahnya kepercayaan publik pada pengadilan dan masih lemahnya kapasitas birokrasi pengadilan dalam menjalankan fungsinya, Sehingga fokus kajian skripsi ini berjudul:

“DUALISME KEDUDUKAN JABATAN HAKIM DI INDONESIA

8 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,1993), h. 32.

(17)

(Analisis Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara).”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dijabarkan sebelumnya, maka identifikasi masalah penelitian ini sebagai berikut:

a. Inkonsistensi kedudukan jabatan hakim di Indonesia b. Lembaga pengawas profesi hakim di Indonesia c. fungsi pengawasan hakim di Indonesia

d. Dampak adanya status ganda yang di emban oleh hakim 2. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan masalah diatas yang berkaitan dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, maka penelitian hanya akan terfokus pada status kedudukan jabatan hakim di Indonesia.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka penulis memutuskan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Status kedudukan jabatan hakim di Indonesia dalam menjalankan profesi yang merdeka.

b. Implikasi terhadap adanya dualism jabatan hakim di Indonesia.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dirumuskan diatas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

a. Untuk menganalisis kepastian mengenai kedudukan jabatan hakim di Indonesia

(18)

b. Untuk menelaah profesionalitas hakim dalam menjalankan amanah untuk menjadi Hakim yang independen.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Secara keilmuan, penelitian ini memberikan tambahan pengetahuan mengenai tolak ukur pengawasan kode etik hakim karena adanya inkonsisten terhadap kedudukan jabatan hakim.

b. Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat bagi para peminat hukum tata negara dan praktisi ketatanegaraan untuk menganalisis mengenai penegasan regulasi terhadap kedudukan jabatan hakim di Indonesia.

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan normatif-yuridis. Peter Mahmud Marzuki mendefinisakan penelitian hukum sebagai suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk dapat menjawab isu hukum yang dihadapi, dengan hasil yang hendak dicapai adalah memberikan preskriptif apa yang seyogyanya.9 2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan undang-undang (statute approach), yaitu Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

9 Peter Mahmud Marzuki (A), Penelitian Hukum Edisi Revisi, cetakan ke 1, (Jakarta : Prenada Media Group, 2016), h.57.

(19)

3. Sumber Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah :

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah :

1) Buku

2) Jurnal ilmiah 3) Skripsi

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah :

1) Kamus Hukum

2) Kamus Besar Bahasa Indonesia 3) Ensiklopedia

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penelitian ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan). Studi dokumen adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan mempergunakan content analisys.10 Teknik ini berguna untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji dan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen, laporan, arsip dan hasil penelitian lainnya baik cetak maupun elektronik

10 Peter Mahmud Marzuki (A), Penelitian Hukum Edisi Revisi, cetakan ke 1, (Jakarta : Prenada Media Group, 2016), h.21.

(20)

yang berhubungan dengan kedudukan jabatan hakim dalam menjalankan profesi yang merdeka.

5. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan komprehensif. Analisis data seperti ini akan menghasilkan produk penelitian hukum normatif yang sempurna, karena data yang didapat akan dipilah-pilah atau dikategorikan, kemudian akan dianalisis berdasarkan permasalahan yang sudah dirumuskan. Selanjutnya, akan ditarik kesimpulan secara induktif. Yaitu penarikan kesimpulan dari hal yang bersifat umum ke khusus.

6. Teknik penulisan

Pada penelitian ini penulis menggunakan teknik penulisan skripsi yang mengacu pada Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2017 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penelitian

Skripsi ini disusun yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing- masing bab serta pokok pembahasannya sebagai berikut:

Bab pertama penulis menyajikan latar belakang masalah, Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penelitian yang merupakan bagian Pendahuluan.

Bab kedua penulis membahas terkait Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Pada bagian kerangka konseptual penulis menyajikan materi mengenai Jabatan Hakim di Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Apartur Sipil Negara. Sedangkan pada Kerangka Teori terdapat

(21)

Teori Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan, Teori Efektivitas Hukum serta Teori Pengawasan Hukum.

Bab ketiga penulis mengajukan pembahasan terkait Kedudukan Jabatan Hakim di Indonesia. Yang mana sub-sub nya akan diisikan oleh materi mengenai pengertian Hakim, Tugas dan Fungsi Hakim, Lembaga Pengawas Profesi Hakim, serta mengenai Kekuasaan Kehakiman dalam ranah Kekuasaan Yudikatif.

Bab keempat penulis mengangkat pembahasan tentang Status Kedudukan Jabatan Hakim serta mengenai Tugas dan Fungsi Hakim dalam Menjalankan Profesi yang Merdeka. Bagian ini merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian pada bab satu.

Bab kelima yang berisi penutup berupa kesimpulan dan rekomendasi dari hasil penelitian.

(22)

11

KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Kerangka Konseptual

Dalam pembahasan ini, akan diuraikan beberapa konsep terkait istilah yang akan sering digunakan dalam studi ini, yaitu:

1. Dualisme Kedudukan Jabatan Hakim

Hakim merupakan pilar utama dan tempat terakhir bagi pencari keadilan dalam proses peradilan. Sebagai salah satu elemen kekuasaan kehakiman yang menerima, memeriksa, dan memutus perkara, hakim dituntut untuk memberikan keadilan kepada para pencari keadilan.

Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Kemerdekaan atau independensi sudah menjadi suatu hal yang melekat bahkan menjadi salah satu sifat kekuasaan kehakiman, sebagaimana disinggung oleh Bagir Manan tentang kekuasaan kehakiman, bahwa:1 a. Kekuasaan kehakiman adalah badan yang merdeka lepas dari campur

tangan kekuasaan lain;

b. Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan asas pemisahan kekuasaan, daripada pembagian kekuasaan.

Dalam konteks ini dapat diartikan bahwa siapa pun dan dalam bentuk jabatan apapun kekuasaan menghakimi (menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara) itu harus dilaksanakan secara merdeka yaitu lepas dari segala tekanan, kekangan, ikatan dan kecenderungan dalam menyelenggarakan peradilan sehingga tegaklah implementasinya. Karenanya hukum dan keadilan bisa ditegakkan baik dan benar melalui seorang hakim atau peradilan yang independent dan imparsial.

1 Bagir Manan, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, (Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia, 2009), h. 82.

(23)

Saat ini kedudukan atau status jabatan hakim berada pada dua identifikasi, yaitu sebagai Pejabat Negara dan sebagai PNS. Eksistensi kedudukan hakim sebagai pejabat negara telah diatur dalam perundang- undangan baik dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ataupun dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Walaupun sudah secara tegas ditetapkan dalam perundang-undangan, namun dalam peraturan perundang-undangan serta implementasinya masih menggunakan sistem PNS.

Pemberlakuan sebagian sistem pengelolaan kepegawaian PNS terhadap hakim senyatanya bertentangan dengan penetapan hakim sebagai pejabat negara. Misalnya penerapan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), sistem kepengkatan dan kepensiunan terhadapnya secara tidak langsung mendegrasi kedudukan pejabat negaranya hakim Kembali pada kepegawaian pemerintah (eksekutif) yang notabene rentan akan terintervensi terhadap independensi dan kontraproduktif dengan tugas pokok dan fungsi hakim.

Padahal independensi hakim ini merupakan senjata utamanya hakim dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Manajerial jabatan hakim harusnya memperkuat dan menjaga independensi tersebut.

Sungguh ironis jika sistem manajerial jabatannya yang dualism tersebut justru berpotensi memperlemah tameng utama (independensi) berfungsinya kekuasaan kehakiman.2 Jika independensi hakim tereduksi baik secara langsung maupun tidak langsung, maka imparsialitasnya pun akan terganggu dalam menyelenggarakan peradila a quo memberikan putusan keadilan bagi masyarakat. Karenanya secara asasi, manajerial jabatan hakim yang dualism tersebut akhirnya kontraproduktif dengan pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman yang independen.

2 Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakkan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta : UII Press, 2010), h. 43.

(24)

Beberapa masalah dualisme manajerial jabatan hakim yang saat ini menghasilkan diss-insentif terhadap independensi kekuasaan kehakiman diantaranya yaitu :3 pertama, kondisi dualism jabatan dan tidak tepatnya mendudukan hakim sebagai pejabat negara yang “umum” dan sebagai PNS tercermin dalam masalah proses seleksi atau rekrutmennya yang dianggap berpotensi mereduksi independensi judisial. Sebelum era reformasi, hakim didudukkan sebagai seoranng PNS. Mulai dari proses seleksi, pengangkatan, pembinaan, pengawasan, pemberhentian dan kepensiunannya menggunakan manajemen jabatan PNS yang mana pengelolaannya berinduk pada Kementerian Kehakiman (untuk Hakim peradilan umum dan TUN) dan Kementerian Agama (untuk Hakim peradilan agama). Pada saat itu rekrutmen atau proses seleksi dilakukan oleh kementerian terkait. Pada konteks ini cenderung rawan diintervensi oleh eksekutif dan Mahkamah Agung selaku lembaga peradilan tertinggi hanya ditempatkan sebagai pengguna saja.

Setelah era reformasi dan diberlakukan kebijakan sistem satu atap, hakim dilepaskan dari status jabatan PNS nya dan pengelolaannya yang berada di bawah kekuasaan eksekutif, sehingga didudukkan dalam status sebagai pejabat negara dan pengelolaannya dibawah Mahkamah Agung.

Dalam perkembangan selanjutnya, sehubungan dengan kedudukannya sebagai pejabat negara tersebut maka secara normatif membuka keterlibatan Lembaga negara lain (ekstra yudisial) menangani sistem rekrutmen atau proses seleksi. Komisi Yudisial diberikan kewenangan bersama Mahkamah Agung melakukan proses seleksi dan membentuk peraturan bersama tentangnya. Ratio legis dari ketentuan yang melibatkan Komisi Yudisial adalah untuk membuka transparansi dan akuntabilitas proses seleksi sehingga diasumsikan akan menghasilkan hakim yang berkualitas dan berintegritas. Selayaknya Hakim Agung proses seleksi hingga pengangkatannya melibatkan Lembaga negara lain. Misalnya

3 Budi Suhariyanto, dkk., Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Jabatan Hakim, (Jakarta : Balitbang Diklat KumDil Mahkamah Agung RI, 2015), h. 84. (selanjutnya disebut bagian halaman saja)

(25)

pengusulan, persetujuan dan pengangkatannya melibatkan 3 (tiga) Lembaga negara yaitu Komisi Yudisial, DPR, dan Presiden. Konsepsi tersebut merupakan bagian dari sistem transparansi dan akuntabilitas serta partisipasi yang sangat nyata dan kuat sehingga Hakim Agung yang dihasilkan berkualitas.

Kedua, sebagai pejabat negara pada dasarnya dalam hal pelaksanaan tugasnya hakim tidak memiliki atasan yang bersifat vertical atau sub-ordinate. Namun kondisi saat ini dalam konteks pelaksanaan tugasnya, Hakim dituntut untuk membuat Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dimasa Pimpinan Pengadilan memiliki otoritas menilai kinerjanya. Selain masalah sistem penilaian yang sifatnya subyektif dan memantik conflict of interest, konten-konten penilaian SKP lainnya yang bersifat kuantitatif juga secara tidak lansgung berpengaruh pada produktivitas dan aktualisasi hakim dalam bekerja. Target kerja selayaknya tenaga administrasi yang bertumpu pada pemberkasan dan rutinitas, senyatanya kurang cocok dengan konstruksi kinerja hakim yang menerima, memeriksa, memutus dan meyelesaikan perkara. Sangat tidak mungkin hakim dituntut untuk menargetkan perkara yang akan ditangani karena hakim bersifat pasif dalam menerima perkara. Sistem target kerja yang bersifat kuantitatif ini senyatanya dapat menyebabkan disorientasi fungsi hakim.4

Meskipun hakim bukan lagi PNS dan merupakan Pejabat Negara, namun bukan berarti norma-norma penilaian dan sistem audit kinerja layaknya pejabat negara pada umumnyaa bisa diberlakukan secara serta merta. Selayaknya pejabat negara yang dinilai atau dimintakan pertanggungjawaban kinerjanya melalui DPR yang notabene representasi Daulat rakyat. Sehingga DPR bisa memanggil, mengklarifikasi dan menilai kinerja pejabat negara dalam konteks transparansi dan akuntabilitas publik. Terhadap hakim, hal ini tidak bisa diberlakukan karena hakim dengan independensi judisialnya tidak mungkin ditanya dan diklarifikasi serta dipertanggungjawabkan putusannya dihadapan lembaga

4 Budi Suhariyanto, dkk., Naskah Akademik Rancangan ……., h. 88.

(26)

atau kekuasaan negara lainnya meskipun itu adalah DPR. Hal ini akan berpengaruh sangat mendasar bagi independensi judisial. Selanjutnya intervensi terhadap hakim akan merajalela jika sistem penilaian kinerja seperti pejabat negara “umum” ini diberlakukan. Karenanya perlu dibuat sistem penilaian kinerja yang cocok dengan jenis tugas dan fungsi hakim sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman.

Menurut Suparman Marzuki, kinerja hakim adalah salah satu aspek penting yang harus diawasi, terutama aspek kedisiplinan, kecermatan, dan kompetensi. Kedisiplinan terkait dengan ketepatan dalam memulai persidangan, kehadiran dalam sidang, kesungguhan dalam mencermati proses dan materi persidangan, dan daya tahan fisik. Sementara kecermatan menyangkut akurasi semua aspek dalam persidangan dan terutama putusan. Tidak sedikit temuan terkait kekurangcermatan hakim dalam menuliskan pelbagai aspek dalam putusan. Kesalahan nama subjek hukum, objek hukum, nilai gugatan, copy paste dari putusan lain, dst.

Sedangkan kompetensi berkaitan dengan kualitas pertimbangan hukum dari putusan. Tidak sedikit hakim yang tidak memiliki kemampuan cukup sehingga jarang membuat putusan. Bahkan dalam beberapa temuan, putusan dibuat oleh panitera.5

Adanya dualisme jabatan hakim ini cenderung mengganggu beberapa hak asasi dari hakim, yaitu :6 pertama, dualisme kedudukan dan manajerial jabatan secara normatif ini berdampak pada dimensi psikologis hakim dalam konteks untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum akan sebuah identitas profesi. Sebagaimana dijaminkan oleh konstitusi sebagai salah satu hak asasi manusia yang tercermin dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

5 Supratman Marzuki, Pengawasan Terhadap Teknis Yudisial, Kinerja dan Perilaku Hakim, Makalah disampaikan Seminar Uji Publik Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tanggal 18 September 2015 bertempat di Ruang III.I.I Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

6 Budi Suhariyanto, dkk., Naskah Akademik Rancangan ………., h. 96.

(27)

yang sama di hadapan hukum”. Sangat ironis seorang hakim yang disebut sebagai penegak hukum dan pemberi kepastian hukum kepada masyarakat yang diadilinya, justru diperlakukan secara tidak pasti dalam hal kedudukan jabatan atau profesinya. Kedua, ambigunya identitas hakim sebagai pejabat negara dalam implementasi kebijakan negara atau pemerintahan telah menampakkan perlakuan yang kurang adil dan layak.

Cukup ironis bahwa seorang hakim yang notabene penegak keadilan dan memberikan keadilan dalam putusannya terhadap masyarakat pencari keadilan justru diperlakuakan secara tidak adil dan layak.

Selain hak-hak konstitusional hakim atas jabatannya yang cenderung terganggu akibat dualisme tersebut, senyatanya dalam perspektif sosiologis pun kewibawaan hakim sangat terbatas. Hakim yang melakukan pekerjaan mulia yaitu memberikan keadilan atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan disebut “yang Mulia” dalam persidangan, senyatanya diluar persidangan kemuliannya tidak berlaku saat di dalam persidangan.7 Sangat urgen dilakukan upaya-upaya mengembalikan citra hakim untuk mengatasi masalah-masalah ini. Sebab hakim yang profesional dan berwibawa ini merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat, oleh karena itu perlunya kepastian atas status kedudukan jabatan hakim ini.

2. Jabatan Hakim di Indonesia

Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman (pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), yakni pejabat peradilan yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (pasal 1 butir (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). Istilah pejabat membawa konsekuensi yang berat oleh karena kewenangan dan tanggung

7 Budi Suhariyanto, dkk., Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Jabatan Hakim, (Jakarta : Balitbang Diklat KumDil Mahkamah Agung RI, 2015), h. 98.

(28)

jawabnya terumuskan dalam rangkaian tugas, kewajiban, sifat, dan sikap tertentu, yaitu penegak hukum dan keadilan.8

Adil mengandung pengertian meletakkan sesuatu pada tempatnya, untuk menegakkan hukum dan keadilan itulah dibebankan pada pundak hakim sebagai konsekuensi dari negara hukum, sebagaimana penjelasan UUD 1945 menyebutkan bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum dan konsekuensinya ditentukan kekuasaan kehakiman yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan karenanya harus ada jaminan tentang kedudukan hakim.9

Sebagaimana kita ketahui bahwa sampai saat ini, kedudukan hakim sebagai sebuah jabatan dinilai masih bias dan belum tertegaskan secara integral. Bilamana hakim agung pada Mahkamah Agung dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi telah jelas penetapannya sebagai pejabat negara dengan segala implementasinya. Tidak demikian dengan hakim karier yang bertugas di lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung, kedudukan dan perlakuan terhadapnya baik dari segi normatif maupun implementatif masih belum sepenuhnya ditempatkan layaknya pejabat negara. Pada satu sisi ditegaskan sebagai pejabat negara, namun dalam kenyataannya pada beberapa aspek yang mengenainya masih terikat dengan sistem Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam konteks ini secara simultan hakim memiliki status sebagai PNS. Oleh karenanya jabatan hakim sering dikatakan berstatus ganda yaitu sebagai pejabat negara dan PNS.10

Jabatan hakim ini diibaratkan satu kakinya berada di wilayah eksekutif sedangkan satu kaki yang lain berada di wilayah judikatif. Atas penetapan status jabatan yang demikian, senyatanya negara telah bersikap inkonsisten dalam penerapan pemisahan atau pembagian kekuasaan secara

8 Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik, Etika Profesi dan Tanggung Jawab Hakim, (Jakarta:

Mahkamah Agung RI, 2004), h. 2.

9 Wildan Suyuthi Mustofa, …………, h. 3.

10 Siti Nurjannah, Mewujudkan Visi MA Tentang Badan Peradilan yang Agung Melalui Undang-Undang Jabatan Hakim (Realize The Vision of The Supreme Court Through The Agency Law Judge Position), Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4, No. 1, (Maret, 2015), h. 66.

(29)

konstitusionalism. Selain itu, secara fungsional status dan kedudukan antara sebagai pejabat negara dan sebagai pegawai negeri sipil ini memiliki berbagai perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaannya antara lain terletak pada sistem dan pola rekrutmen, pengangkatan, gaji dan tunjangan, hak dan kewajiban, pembinaan, promosi dan mutase, maupun protokolernya.11

Mendiamkan status ganda yang dimiliki oleh hakim saat ini, nyatanya telah menimbulkan berbagai masalah serius baik dari segi manajerial pada umumnya maupun secara khusus terkait dengan potensi reduksi independensi peradilan. Selanjutnya jika independensi mulai tereduksi maka secara qonditio sine quanon, implikasi dari problematika jabatan hakim ini adalah menghambat upaya mewujudkan visi Mahkamah Agung yaitu mewujudkan badan peradilan yang agung. Oleh karenanya, tidak mungkin badan peradilan yang agung dapat terwujud jika independensi kekuasaan kehakiman terlemahkan eksistensinya baik secara personal (hakim) maupun intitusional (fungsi manajerial jabatan hakim).12 3. Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau sekelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.13 Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Dengan adanya pasal 24 ayat (1) UUD 1945 amandemen maka selanjutnya muncul keharusan untuk mengganti

11 Siti Nurjannah, Mewujudkan Visi MA Tentang Badan Peradilan yang Agung Melalui Undang-Undang Jabatan Hakim (Realize The Vision of The Supreme Court Through The Agency Law Judge Position), Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4, No. 1, (Maret, 2015), h. 66.

12 Siti Nurjannah, Mewujudkan Visi MA …………, h. 66.

13 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 17.

(30)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan dirubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang mengatur mengenai hal yang sama. Ada beberapa hal ditambahkan dan berbeda dalam Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009, diantaranya adalah Undang-Undang ini lebih komprehensif, lebih lengkap dan lebih tuntas dalam Menyusun kerangka kekuasaan kehakiman di Indonesia, seperti yang terdapat didalam pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mencerminkan keinginan yang kuat dan konsekuen untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang benar-benar mandiri dan merdeka dari ketakutan intervensi pihak luar yang dapat merusak pada keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.14

Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu bentuk kekuasaan tertinggi di Indonesia (prime power). Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.

Ketentuan hukum tersebut mengartikan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka mendapatkan landasan kuat untuk dilaksanakan dan diakui secara konstitusional. Karena tidak ada negara hukum tanpa adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Kekuasaan kehakiman di Indonesia diselenggarakan oleh lembaga peradilan tertinggi yaitu Mahkamah Agung yang membawahi empat lingkup peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama / Mahkamah Syar’iyah, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, dan

14 Josef M. Monteiro, Lembaga-Lembaga Negara Setelah Amandemen UUD 1945, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2014), h. 97.

(31)

Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan kehakiman, secara global diakui sebagai kekuasaan yang harus independent (merdeka) dari berbagai intervensi maupun intimidasi dari pihak lain yang dapat mengganggu proses hukum yang sedang berjalan.

Didalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyajikan juga mengenai asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni terdapat dalam pasal 23 yang menyebutkan bahwa Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.15 Menurut Sudikno Mertakusumo, asas hukum adalah pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut. Asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diantaranya adalah :

a. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

b. Asas equality before the law atau asas mengadili menurut hukum tanpa membedakan orang.

c. Asas hakim pasif artinya jika tidak ada perkara yang diajukan kepada hakim maka hakim bersifat menunggu datangnya perkara yang diajukan kepadanya.

d. Asas hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak atau kurang jelas.

e. Asas hakim dianggap tahu akan hukum (ius curia novit)

15 Jaenal Aripin, Himpunan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, (Surabaya: Prenada Media Group, 2010), h. 196.

(32)

f. Asas terbuka untuk umum, asas ini dimaksudkan untuk lebih menjamin objektivitas kekuasaan kehakiman kecuali apabila undang- undang menentukan lain.

Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dijelaskan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Pasal 24 ayat (2) bahwa terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.16

Mengenai status kedudukan jabatan hakim dijelaskan dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Hakim Pengadilan dibawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan dibawah Mahkamah Agung. Jadi, menurut undang-undang ini jabatan hakim adalah sebagai pejabat negara yang mana fokus tugasnya berada dalam wilayah khusus yakni memeriksa, mengadili, dan memutus perkara di dalam pengadilan.

4. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara memuat perubahan-perubahan dalam sistem manajemen kepegawaian secara keseluruhan, mulai dari sistem perencanaan, pengadaan, pengembangan karier/promosi, penggajian, serta sistem dan batas usia pensiun. Perubahan itu didasarkan pada sistem merit yang mengedepankan prinsip profesionalisme/kompetensi, kualifikasi, kinerja, transparansi, obyektivitas, serta bebas dari intervensi politik dan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Sasaran utama dari UU ASN adalah

16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

(33)

mewujudkan birokrasi yang professional, kompeten, berintegritas, memberikan pelayanan terbaik pada rakyat. Dalam sosialisasi UU ASN yang diadakan oleh Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, dijelaskan tentang hal-hal baru yang terdapat dalam UU ASN antara lain:17 1. UU ASN mengatur berbagai instrument manajemen SDM yang

menekankan pada pembangunan ASN sebagai profesi.

2. UU ASN membagi 2 (dua) jenis pegawai yaitu PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

3. UU ASN mengatur 3 (tiga) jenis jabatan, yaitu jabatan administrasi, jabatan fungsional, dan jabatan pimpinan tinggi.

4. Perubahan pejabat yang berwenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan.

5. Pengaturan mengenai penguatan kompetisi, kompetensi, dan pengembangan karier.

6. Pengaturan mengenai Batas Usia Pensisun (BUP) yang eksplisit dimuat dalam batang tubuh undang-undang.

7. Penegasan terhadap sistem pay as you go menjadi sistem full funded secara bertahap.

8. Penguatan sistem informasi ASN yang akan dibangun secara nasional dan terintegrasi antar instansi pemerintah.

Pasal 8 dan pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) menjelaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang merupakan pegawai ASN berkedudukan sebagai unsur aparatur negara, yang melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan instansi pemerintah, harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.18

BAB X Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Aparatur Sipil Negara pasal 121 yang menyebutkan bahwa “Pegawai ASN dapat menjadi Pejabat Negara”. Sebagaimana dipaparkan lebih luas dalam pasal

17 Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, Sosialisasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, (Jakarta: BPP, 2014), h. 1.

18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

(34)

122 UU ASN terkait siapa saja yang menjadi pejabat negara salah satunya adalah hakim.19

Jadi, status jabatan hakim disebutkan juga dalam pasal 122 huruf (e) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Aparatur Sipil Negara walaupun disebutkan secara eksplisit saja. Dalam hal ini, beberapa hal mengenai hak dan kewajiban hakim masih diatur dalam UU ASN yang dimana hakim sama dengan Pegawai Negeri Sipil.

B. Kerangka Teori

1. Teori Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan

Teori pembagian kekuasaan adalah teori yang bertujuan membatasi kekuasaan negara agar tidak hanya berada dalam satu tangan saja. Telah banyak pakar-pakar hukum maupun politik dari seluruh dunia mengurai tentang teori yang dicetuskan awalnya oleh John Locke kemudian dilanjutkan serta diuraikan secara terperinci oleh Montesquieu dan diberi nama Trias Politika oleh Immanuel Kant.

Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam 3 (tiga) cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Menurutnya, ketiga jenis kekuasaan tersebut haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya, terutama adanya kebebasan badan yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu yang mempunyai latar belakang sebagai hakim, karena disinilah letak kemerdekaan individu dan hak asasi manusia perlu dijamin dan dipertauhkan. Kekuasaan legislatif

19 Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara : Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 121 UU ASN yaitu : (a) Presiden dan Wakil Presiden;

(b) Ketua, Wakil Ketua dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; (d) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah; (e) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc; (f) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; (g) Ketua,, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; (h) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Komisi Yudisial; (i) Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; (j) Menteri dan jabatan setingkat Menteri; (k) Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; (l) Gubernur dan wakil Gubernuir; (m) Bupati/walikota dan wakil bupati/walikota; dan (n) Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.

(35)

menurutnya adalah kekuasaan untuk membuat Undang-Undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan Undang-Undang, sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-Undang.20

Pemisahan kekuasaan juga terkait erat dengan independensi peradilan. Prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) itu menghendaki agar para hakim bekerja secara independent dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legisltaif. Bahkan dalam memahami dan menafsirkan Undang-undang, hakim harus independen dari pendapat dan kehendak politik para perumus Undang-Undang itu sendiri ketika perumusan dilakukan meskipun anggota parlemen dan presiden dipilih langsung oleh rakyat yang mencerminkan kedaulatan rakyat. Jika dikaji lebih dalam secara cermat dari teori pembagian kekuasaan yang diajarkan oleh John Lock (distribution of power) dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power) yang diajarkan oleh Montesquieu, kemudian dikembangkan oleh muridnya Immanuel Kant dengan istilah Trias Politica, maka pada teori Trias Politica lah kekuasaan kehakiman dan peradilan menemukan bentuknya atau yang menjadi tumpuannya.21

Pada negara kesejahteraan (welfare state), negara berhak ikut campur dalam sebagian besar kehidupan rakyat. Penggunaan kekuasaan negara itu mempunyai potensi melanggar hak rakyat terutama hak asasi manusia. Hal ini sejalan dengan adagium yang dikemukakan oleh Lord Acton yaitu “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Dengan demikian, moral kekuasaan tidak boleh hanya diserahkan pada niat ataupun sifat pribadi seseorang yang sedang

20 Suparto, Pemisahan Kekuasaan, Konstitusi dan Kekuasaan Kehakiman yang Independen Menurut Islam, Jurnal Selat, Vol. 4 Nomor 1, 2016, h. 116.

21 Andi Suherman, Implementasi Independensi Hakim dalam Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman, SIGn Jurnal Hukum, Vol. 1, No. 1, 2019, h. 48.

(36)

memegang kekuasaan sehingga kekuasaan tetaplah harus diatur dan dibatasi.22

2. Teori Efektifitas Hukum

Kata efektif berasal dari Bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau tercapainya sesuatu sesuai dengan harapan. Kamus ilmiah popular memberi definisi, bahwa, kata efektifitas sebagai ketepatan penggunaan, sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif adalah sesuatu yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) sejak dimulai berlakunya suatu Undang-Undang atau peraturan.23

Sedangkan efektifitas itu sendiri adalah keadaan dimana ia yang diperankan untuk melakukan kontrol. Namun, dilihat dari sudut hukum, yang dimaksud dengan “ia” adalah pihak yang mempunyai otoritas untuk melakukan kontroling yaitu polisi dan/atau apparat lainnya. Kata efektifitas sendiri berasal dari kata efektif, yang berarti terjadi implikasi atau akibat dari sesuatu yang dikehendaki dalam suatu perbuatan. Setiap pekerjaan efisien dan kondusif berarti sudah bisa dikatakan efektif, karena dilihat dari segi hasil tujuan yang hendak dicapai atau dikehendaki dari perbuatan itu sendiri.

Mengenai peraturan perundang-undangan yang telah berlaku, baik yang tingkatnya lebih rendah maupun lebih tinggi bertujuan agar masyarakat maupun aparatur penegak hukum dapat melaksanakan secara konsisten dan tanpa membedakan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Semua orang dipandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Namun, dalam realitanya peraturan perundang- undangan yang ditetapkan tersebut sering dilanggar, sehingga aturan tersebut tidak berlaku efektif. Yang membuat tidak efektifnya suatu Undang-Undang disebabkan karena Undang-Undangnya kabur atau tidak jelas, aparatur penegak yang tidak konsisten dan atau masyarakat yang

22 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta : FH UII PRESS, 2005), h. 37.

23 Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan,

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/efektif , diakses pada 11 oktober 2021.

(37)

tidak mendukung pelaksanaan Undang-Undang tersebut. Teori yang menganalisis dan mengkaji hal tersebut ialah teori efektifitas hukum.24

Pada dasarnya efektifitas merupakan tingkat keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Efektivitas adalah parameter dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam teori sosiologi hukum, hukum bisa memiliki fungsi sebagai a tool of social control yaitu, sebuah upaya untuk mewujudkan kondisi yang balance dalam kehidupan masyarakat, dengan tujuan terciptanya suatu keadaan yang selaras antara stabilitas dan perubahan didalam masyarakat. Selain itu, hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai a tool of social engineering maksudnya adalah hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang irasional menjadi pemikiran yang rasional atau modern. Efektifitas hukum merupakan proses yang bertujuan agar hukum berlaku efektif dengan konsep negara hukum yang telah diamanahkan oleh konstitusi.

Ketika ingin mengukur sejauh mana efektifitas dari produk hukum, maka Langkah pertama adalah mengukur sejauh mana hukum itu ditaati oleh Sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, hukum bisa dinilai efektif apabila ketaatan masyarakat pada hukum itu sendiri atas dasar kepekaan dan kesadaran. Namun, sekalipun dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi masih dapat diperjelas melalui pertanyaan seberapa derajat efektifitas produk hukum itu sendiri, mengingat bahwa seseorang menaati atau tidak suatu aturan hukum tergantung pada kepentingannya.25

Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni

24 Salim HS, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta; Raja Grfindo Persada, 2013), h. 301.

25 Achmad Ali, Menguak Teori Hukumm (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), h. 375.

(38)

struktur hukum (structure of law), substansi hukum (substance of the law), dan budaya hukum (legal culture). Teori tersebut dikembangkan lagi oleh Sorjono Soekanto, bahwasannya efektif tidaknya suatu hukum dapat dilihat dari lima faktor, yaitu : faktor undang – undang, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum, faktor masyarakat, dan faktor budaya.26

Achmad Ali dalam bukunya yang berjudul Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan memaparkan bahwa, terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi parameter ketaatan terhadap hukum secara umum antara lain:27

a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu.

b. Kejelasan rumusan dari substandi aturan hukum yang telah dibuat, sehingga dengan mudah dipahami oleh objek hukum.

c. Menggalakkan sosialisasi.

d. Hukum harus menghadirkan putusan yang bersifat dan memaksa.

e. Adanya sanksi tegas terhadap pelanggaran hukum.

f. Hukum harus mampu berlaku proporsional.

C.G. Howard & R. S. Mumnresyang berpendapat bahwa semestinya yang dikaji bukan ketaatan terhadap hukum pada umumnya, melainkan ketaatan terhadap aturan hukum tertentu saja. Sedangkan lain halnya dengan Achmad Ali yang berpendapat bahwa kajian tetap dapat dilakukan terhadap keduanya. Pandangan Achmad Ali terhadap efektifnya sebuah produk hukum pada intinya terletak pada profesionalitasnya penegak hukum dalam rangka memainkan perannya. Dan optimalisasi wewenang dan fungsinya dalam menjalankan peraturan perundang- undangan untuk melaksanakan penegakan hukum.

26 Soerjono Soekanto, Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegak Hukum. (Jakarta : PT.

Raja Grafindo Persada, 2008). h. 8.

27 Achmad Ali, Menguak Teori Hukumm (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), h. 376.

(39)

Menurut Soerjono Soekanto taraf kepatuhan yang tinggi adalah indikator suatu berfungsinya suatu sistem hukum dan berfungsinya hukum merupakan pertanda hukum tersebut mencapai tujuan hukum yaitu berusaha mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.28 Dalam bukunya yang berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, menyatakan bahwa setidaknya ada 3 (tiga) hal yang mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia, yaitu:29 1) Faktor hukum, 2) Faktor Penegak Hukum, 3) Faktor Mayarakat.

a. Faktor Hukum

Hukum pada dasarnya mempunyai peranan mewujudkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian hukum sifatnya konkrit berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga Ketika seorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan Undang-Undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka Ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum normatif.

b. Faktor Penegak Hukum

Penegak hukum menjadi sangat penting demi berjalan proses penegakan hukum yang adil dan bersih. Untuk itu seleksi dalam mencari subjek penegak hukum memang harus benar-benar selektif.

Artinya integritas serta kompetensi yang mumpuni dalam memahami dinamika penegakan hukum di Indonesia yang bersumber dari KUHP ataupun KUHPer. Yang kesemuanya diharapkan betul-betul menguasai teori serta praktik dalam pola penegakan hukum yang berlaku di Indonesia. Penegak hukum dalam melaksanakan

28 Soerjono Soekanto, Efektifitas Hukum dan Peran Saksi, (Bandung: Remaja Karya, 1985), h. 7.

29 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2007), h. 5.

Referensi

Dokumen terkait

Alat yang dipakai dalam penataan rambut panjang pola simetris sebenarnya sama dengan alat yang digunakan pada penataan sanggul modern pola simetris untuk rambut pendek. Namun demikian

42 tahun 2007 tentang waralaba, waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha

1. Memaparkan pelaksanaan pemberian hibah terhadap anak di masyarakat. Menjelaskan ketentuan pemberian hibah terhadap anak perspektif fikih dan hukum perdata di

“tentangan yang dinyatakan oleh kolektivitas dengan sadar”. Pemidanaan merupakan suatu tindakan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, dapat dibenarkan

Kartu 5 langkah cuci tangan 1 kertas ukuran A4, jenis Art Paper 260gr, satu sisi, doff laminating. Kartu Kuman di Tangan 1 kertas ukuran A4, jenis Art Paper 260gr, satu sisi, doff

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan

Berdasarkan data yang terkumpul, dapat dikatakan bahwa semua responden mendukung diperlukan suatu perbaikan sistem tata kelola lembaga pendidikan Katolik. Lebih lanjut,

PROGRAM- PROGRAM INI DITUJUKAN UNTUK MENGHASILKAN MASYARAKAT YANG MANDIRI DALAM MENINGKATKAN STANDAR KEHIDUPAN MEREKA DENGAN MEMANFAATKAN POTENSI EKONOMI YANG ADA...