BAB 1 PENDAHULUAN
D. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan normatif-yuridis. Peter Mahmud Marzuki mendefinisakan penelitian hukum sebagai suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk dapat menjawab isu hukum yang dihadapi, dengan hasil yang hendak dicapai adalah memberikan preskriptif apa yang seyogyanya.9 2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan undang-undang (statute approach), yaitu Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
9 Peter Mahmud Marzuki (A), Penelitian Hukum Edisi Revisi, cetakan ke 1, (Jakarta : Prenada Media Group, 2016), h.57.
3. Sumber Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah :
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah :
1) Buku
2) Jurnal ilmiah 3) Skripsi
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah :
1) Kamus Hukum
2) Kamus Besar Bahasa Indonesia 3) Ensiklopedia
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penelitian ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan). Studi dokumen adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan mempergunakan content analisys.10 Teknik ini berguna untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji dan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen, laporan, arsip dan hasil penelitian lainnya baik cetak maupun elektronik
10 Peter Mahmud Marzuki (A), Penelitian Hukum Edisi Revisi, cetakan ke 1, (Jakarta : Prenada Media Group, 2016), h.21.
yang berhubungan dengan kedudukan jabatan hakim dalam menjalankan profesi yang merdeka.
5. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan komprehensif. Analisis data seperti ini akan menghasilkan produk penelitian hukum normatif yang sempurna, karena data yang didapat akan dipilah-pilah atau dikategorikan, kemudian akan dianalisis berdasarkan permasalahan yang sudah dirumuskan. Selanjutnya, akan ditarik kesimpulan secara induktif. Yaitu penarikan kesimpulan dari hal yang bersifat umum ke khusus.
6. Teknik penulisan
Pada penelitian ini penulis menggunakan teknik penulisan skripsi yang mengacu pada Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2017 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penelitian
Skripsi ini disusun yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya sebagai berikut:
Bab pertama penulis menyajikan latar belakang masalah, Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penelitian yang merupakan bagian Pendahuluan.
Bab kedua penulis membahas terkait Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Pada bagian kerangka konseptual penulis menyajikan materi mengenai Jabatan Hakim di Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Apartur Sipil Negara. Sedangkan pada Kerangka Teori terdapat
Teori Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan, Teori Efektivitas Hukum serta Teori Pengawasan Hukum.
Bab ketiga penulis mengajukan pembahasan terkait Kedudukan Jabatan Hakim di Indonesia. Yang mana sub-sub nya akan diisikan oleh materi mengenai pengertian Hakim, Tugas dan Fungsi Hakim, Lembaga Pengawas Profesi Hakim, serta mengenai Kekuasaan Kehakiman dalam ranah Kekuasaan Yudikatif.
Bab keempat penulis mengangkat pembahasan tentang Status Kedudukan Jabatan Hakim serta mengenai Tugas dan Fungsi Hakim dalam Menjalankan Profesi yang Merdeka. Bagian ini merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian pada bab satu.
Bab kelima yang berisi penutup berupa kesimpulan dan rekomendasi dari hasil penelitian.
11
KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Kerangka Konseptual
Dalam pembahasan ini, akan diuraikan beberapa konsep terkait istilah yang akan sering digunakan dalam studi ini, yaitu:
1. Dualisme Kedudukan Jabatan Hakim
Hakim merupakan pilar utama dan tempat terakhir bagi pencari keadilan dalam proses peradilan. Sebagai salah satu elemen kekuasaan kehakiman yang menerima, memeriksa, dan memutus perkara, hakim dituntut untuk memberikan keadilan kepada para pencari keadilan.
Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Kemerdekaan atau independensi sudah menjadi suatu hal yang melekat bahkan menjadi salah satu sifat kekuasaan kehakiman, sebagaimana disinggung oleh Bagir Manan tentang kekuasaan kehakiman, bahwa:1 a. Kekuasaan kehakiman adalah badan yang merdeka lepas dari campur
tangan kekuasaan lain;
b. Hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara yang lain, lebih mencerminkan asas pemisahan kekuasaan, daripada pembagian kekuasaan.
Dalam konteks ini dapat diartikan bahwa siapa pun dan dalam bentuk jabatan apapun kekuasaan menghakimi (menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara) itu harus dilaksanakan secara merdeka yaitu lepas dari segala tekanan, kekangan, ikatan dan kecenderungan dalam menyelenggarakan peradilan sehingga tegaklah implementasinya. Karenanya hukum dan keadilan bisa ditegakkan baik dan benar melalui seorang hakim atau peradilan yang independent dan imparsial.
1 Bagir Manan, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, (Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia, 2009), h. 82.
Saat ini kedudukan atau status jabatan hakim berada pada dua identifikasi, yaitu sebagai Pejabat Negara dan sebagai PNS. Eksistensi kedudukan hakim sebagai pejabat negara telah diatur dalam perundang-undangan baik dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ataupun dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Walaupun sudah secara tegas ditetapkan dalam perundang-undangan, namun dalam peraturan perundang-undangan serta implementasinya masih menggunakan sistem PNS.
Pemberlakuan sebagian sistem pengelolaan kepegawaian PNS terhadap hakim senyatanya bertentangan dengan penetapan hakim sebagai pejabat negara. Misalnya penerapan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), sistem kepengkatan dan kepensiunan terhadapnya secara tidak langsung mendegrasi kedudukan pejabat negaranya hakim Kembali pada kepegawaian pemerintah (eksekutif) yang notabene rentan akan terintervensi terhadap independensi dan kontraproduktif dengan tugas pokok dan fungsi hakim.
Padahal independensi hakim ini merupakan senjata utamanya hakim dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Manajerial jabatan hakim harusnya memperkuat dan menjaga independensi tersebut.
Sungguh ironis jika sistem manajerial jabatannya yang dualism tersebut justru berpotensi memperlemah tameng utama (independensi) berfungsinya kekuasaan kehakiman.2 Jika independensi hakim tereduksi baik secara langsung maupun tidak langsung, maka imparsialitasnya pun akan terganggu dalam menyelenggarakan peradila a quo memberikan putusan keadilan bagi masyarakat. Karenanya secara asasi, manajerial jabatan hakim yang dualism tersebut akhirnya kontraproduktif dengan pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman yang independen.
2 Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakkan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta : UII Press, 2010), h. 43.
Beberapa masalah dualisme manajerial jabatan hakim yang saat ini menghasilkan diss-insentif terhadap independensi kekuasaan kehakiman diantaranya yaitu :3 pertama, kondisi dualism jabatan dan tidak tepatnya mendudukan hakim sebagai pejabat negara yang “umum” dan sebagai PNS tercermin dalam masalah proses seleksi atau rekrutmennya yang dianggap berpotensi mereduksi independensi judisial. Sebelum era reformasi, hakim didudukkan sebagai seoranng PNS. Mulai dari proses seleksi, pengangkatan, pembinaan, pengawasan, pemberhentian dan kepensiunannya menggunakan manajemen jabatan PNS yang mana pengelolaannya berinduk pada Kementerian Kehakiman (untuk Hakim peradilan umum dan TUN) dan Kementerian Agama (untuk Hakim peradilan agama). Pada saat itu rekrutmen atau proses seleksi dilakukan oleh kementerian terkait. Pada konteks ini cenderung rawan diintervensi oleh eksekutif dan Mahkamah Agung selaku lembaga peradilan tertinggi hanya ditempatkan sebagai pengguna saja.
Setelah era reformasi dan diberlakukan kebijakan sistem satu atap, hakim dilepaskan dari status jabatan PNS nya dan pengelolaannya yang berada di bawah kekuasaan eksekutif, sehingga didudukkan dalam status sebagai pejabat negara dan pengelolaannya dibawah Mahkamah Agung.
Dalam perkembangan selanjutnya, sehubungan dengan kedudukannya sebagai pejabat negara tersebut maka secara normatif membuka keterlibatan Lembaga negara lain (ekstra yudisial) menangani sistem rekrutmen atau proses seleksi. Komisi Yudisial diberikan kewenangan bersama Mahkamah Agung melakukan proses seleksi dan membentuk peraturan bersama tentangnya. Ratio legis dari ketentuan yang melibatkan Komisi Yudisial adalah untuk membuka transparansi dan akuntabilitas proses seleksi sehingga diasumsikan akan menghasilkan hakim yang berkualitas dan berintegritas. Selayaknya Hakim Agung proses seleksi hingga pengangkatannya melibatkan Lembaga negara lain. Misalnya
3 Budi Suhariyanto, dkk., Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Jabatan Hakim, (Jakarta : Balitbang Diklat KumDil Mahkamah Agung RI, 2015), h. 84. (selanjutnya disebut bagian halaman saja)
pengusulan, persetujuan dan pengangkatannya melibatkan 3 (tiga) Lembaga negara yaitu Komisi Yudisial, DPR, dan Presiden. Konsepsi tersebut merupakan bagian dari sistem transparansi dan akuntabilitas serta partisipasi yang sangat nyata dan kuat sehingga Hakim Agung yang dihasilkan berkualitas.
Kedua, sebagai pejabat negara pada dasarnya dalam hal pelaksanaan tugasnya hakim tidak memiliki atasan yang bersifat vertical atau sub-ordinate. Namun kondisi saat ini dalam konteks pelaksanaan tugasnya, Hakim dituntut untuk membuat Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dimasa Pimpinan Pengadilan memiliki otoritas menilai kinerjanya. Selain masalah sistem penilaian yang sifatnya subyektif dan memantik conflict of interest, konten-konten penilaian SKP lainnya yang bersifat kuantitatif juga secara tidak lansgung berpengaruh pada produktivitas dan aktualisasi hakim dalam bekerja. Target kerja selayaknya tenaga administrasi yang bertumpu pada pemberkasan dan rutinitas, senyatanya kurang cocok dengan konstruksi kinerja hakim yang menerima, memeriksa, memutus dan meyelesaikan perkara. Sangat tidak mungkin hakim dituntut untuk menargetkan perkara yang akan ditangani karena hakim bersifat pasif dalam menerima perkara. Sistem target kerja yang bersifat kuantitatif ini senyatanya dapat menyebabkan disorientasi fungsi hakim.4
Meskipun hakim bukan lagi PNS dan merupakan Pejabat Negara, namun bukan berarti norma-norma penilaian dan sistem audit kinerja layaknya pejabat negara pada umumnyaa bisa diberlakukan secara serta merta. Selayaknya pejabat negara yang dinilai atau dimintakan pertanggungjawaban kinerjanya melalui DPR yang notabene representasi Daulat rakyat. Sehingga DPR bisa memanggil, mengklarifikasi dan menilai kinerja pejabat negara dalam konteks transparansi dan akuntabilitas publik. Terhadap hakim, hal ini tidak bisa diberlakukan karena hakim dengan independensi judisialnya tidak mungkin ditanya dan diklarifikasi serta dipertanggungjawabkan putusannya dihadapan lembaga
4 Budi Suhariyanto, dkk., Naskah Akademik Rancangan ……., h. 88.
atau kekuasaan negara lainnya meskipun itu adalah DPR. Hal ini akan berpengaruh sangat mendasar bagi independensi judisial. Selanjutnya intervensi terhadap hakim akan merajalela jika sistem penilaian kinerja seperti pejabat negara “umum” ini diberlakukan. Karenanya perlu dibuat sistem penilaian kinerja yang cocok dengan jenis tugas dan fungsi hakim sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman.
Menurut Suparman Marzuki, kinerja hakim adalah salah satu aspek penting yang harus diawasi, terutama aspek kedisiplinan, kecermatan, dan kompetensi. Kedisiplinan terkait dengan ketepatan dalam memulai persidangan, kehadiran dalam sidang, kesungguhan dalam mencermati proses dan materi persidangan, dan daya tahan fisik. Sementara kecermatan menyangkut akurasi semua aspek dalam persidangan dan terutama putusan. Tidak sedikit temuan terkait kekurangcermatan hakim dalam menuliskan pelbagai aspek dalam putusan. Kesalahan nama subjek hukum, objek hukum, nilai gugatan, copy paste dari putusan lain, dst.
Sedangkan kompetensi berkaitan dengan kualitas pertimbangan hukum dari putusan. Tidak sedikit hakim yang tidak memiliki kemampuan cukup sehingga jarang membuat putusan. Bahkan dalam beberapa temuan, putusan dibuat oleh panitera.5
Adanya dualisme jabatan hakim ini cenderung mengganggu beberapa hak asasi dari hakim, yaitu :6 pertama, dualisme kedudukan dan manajerial jabatan secara normatif ini berdampak pada dimensi psikologis hakim dalam konteks untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum akan sebuah identitas profesi. Sebagaimana dijaminkan oleh konstitusi sebagai salah satu hak asasi manusia yang tercermin dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
5 Supratman Marzuki, Pengawasan Terhadap Teknis Yudisial, Kinerja dan Perilaku Hakim, Makalah disampaikan Seminar Uji Publik Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tanggal 18 September 2015 bertempat di Ruang III.I.I Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
6 Budi Suhariyanto, dkk., Naskah Akademik Rancangan ………., h. 96.
yang sama di hadapan hukum”. Sangat ironis seorang hakim yang disebut sebagai penegak hukum dan pemberi kepastian hukum kepada masyarakat yang diadilinya, justru diperlakukan secara tidak pasti dalam hal kedudukan jabatan atau profesinya. Kedua, ambigunya identitas hakim sebagai pejabat negara dalam implementasi kebijakan negara atau pemerintahan telah menampakkan perlakuan yang kurang adil dan layak.
Cukup ironis bahwa seorang hakim yang notabene penegak keadilan dan memberikan keadilan dalam putusannya terhadap masyarakat pencari keadilan justru diperlakuakan secara tidak adil dan layak.
Selain hak-hak konstitusional hakim atas jabatannya yang cenderung terganggu akibat dualisme tersebut, senyatanya dalam perspektif sosiologis pun kewibawaan hakim sangat terbatas. Hakim yang melakukan pekerjaan mulia yaitu memberikan keadilan atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan disebut “yang Mulia” dalam persidangan, senyatanya diluar persidangan kemuliannya tidak berlaku saat di dalam persidangan.7 Sangat urgen dilakukan upaya-upaya mengembalikan citra hakim untuk mengatasi masalah-masalah ini. Sebab hakim yang profesional dan berwibawa ini merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat, oleh karena itu perlunya kepastian atas status kedudukan jabatan hakim ini.
2. Jabatan Hakim di Indonesia
Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman (pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), yakni pejabat peradilan yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (pasal 1 butir (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). Istilah pejabat membawa konsekuensi yang berat oleh karena kewenangan dan tanggung
7 Budi Suhariyanto, dkk., Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Jabatan Hakim, (Jakarta : Balitbang Diklat KumDil Mahkamah Agung RI, 2015), h. 98.
jawabnya terumuskan dalam rangkaian tugas, kewajiban, sifat, dan sikap tertentu, yaitu penegak hukum dan keadilan.8
Adil mengandung pengertian meletakkan sesuatu pada tempatnya, untuk menegakkan hukum dan keadilan itulah dibebankan pada pundak hakim sebagai konsekuensi dari negara hukum, sebagaimana penjelasan UUD 1945 menyebutkan bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum dan konsekuensinya ditentukan kekuasaan kehakiman yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan karenanya harus ada jaminan tentang kedudukan hakim.9
Sebagaimana kita ketahui bahwa sampai saat ini, kedudukan hakim sebagai sebuah jabatan dinilai masih bias dan belum tertegaskan secara integral. Bilamana hakim agung pada Mahkamah Agung dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi telah jelas penetapannya sebagai pejabat negara dengan segala implementasinya. Tidak demikian dengan hakim karier yang bertugas di lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung, kedudukan dan perlakuan terhadapnya baik dari segi normatif maupun implementatif masih belum sepenuhnya ditempatkan layaknya pejabat negara. Pada satu sisi ditegaskan sebagai pejabat negara, namun dalam kenyataannya pada beberapa aspek yang mengenainya masih terikat dengan sistem Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam konteks ini secara simultan hakim memiliki status sebagai PNS. Oleh karenanya jabatan hakim sering dikatakan berstatus ganda yaitu sebagai pejabat negara dan PNS.10
Jabatan hakim ini diibaratkan satu kakinya berada di wilayah eksekutif sedangkan satu kaki yang lain berada di wilayah judikatif. Atas penetapan status jabatan yang demikian, senyatanya negara telah bersikap inkonsisten dalam penerapan pemisahan atau pembagian kekuasaan secara
8 Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik, Etika Profesi dan Tanggung Jawab Hakim, (Jakarta:
Mahkamah Agung RI, 2004), h. 2.
9 Wildan Suyuthi Mustofa, …………, h. 3.
10 Siti Nurjannah, Mewujudkan Visi MA Tentang Badan Peradilan yang Agung Melalui Undang-Undang Jabatan Hakim (Realize The Vision of The Supreme Court Through The Agency Law Judge Position), Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4, No. 1, (Maret, 2015), h. 66.
konstitusionalism. Selain itu, secara fungsional status dan kedudukan antara sebagai pejabat negara dan sebagai pegawai negeri sipil ini memiliki berbagai perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaannya antara lain terletak pada sistem dan pola rekrutmen, pengangkatan, gaji dan tunjangan, hak dan kewajiban, pembinaan, promosi dan mutase, maupun protokolernya.11
Mendiamkan status ganda yang dimiliki oleh hakim saat ini, nyatanya telah menimbulkan berbagai masalah serius baik dari segi manajerial pada umumnya maupun secara khusus terkait dengan potensi reduksi independensi peradilan. Selanjutnya jika independensi mulai tereduksi maka secara qonditio sine quanon, implikasi dari problematika jabatan hakim ini adalah menghambat upaya mewujudkan visi Mahkamah Agung yaitu mewujudkan badan peradilan yang agung. Oleh karenanya, tidak mungkin badan peradilan yang agung dapat terwujud jika independensi kekuasaan kehakiman terlemahkan eksistensinya baik secara personal (hakim) maupun intitusional (fungsi manajerial jabatan hakim).12 3. Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau sekelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.13 Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Dengan adanya pasal 24 ayat (1) UUD 1945 amandemen maka selanjutnya muncul keharusan untuk mengganti
11 Siti Nurjannah, Mewujudkan Visi MA Tentang Badan Peradilan yang Agung Melalui Undang-Undang Jabatan Hakim (Realize The Vision of The Supreme Court Through The Agency Law Judge Position), Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4, No. 1, (Maret, 2015), h. 66.
12 Siti Nurjannah, Mewujudkan Visi MA …………, h. 66.
13 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 17.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan dirubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang mengatur mengenai hal yang sama. Ada beberapa hal ditambahkan dan berbeda dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, diantaranya adalah Undang-Undang-Undang-Undang ini lebih komprehensif, lebih lengkap dan lebih tuntas dalam Menyusun kerangka kekuasaan kehakiman di Indonesia, seperti yang terdapat didalam pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mencerminkan keinginan yang kuat dan konsekuen untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang benar-benar mandiri dan merdeka dari ketakutan intervensi pihak luar yang dapat merusak pada keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.14
Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu bentuk kekuasaan tertinggi di Indonesia (prime power). Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
Ketentuan hukum tersebut mengartikan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka mendapatkan landasan kuat untuk dilaksanakan dan diakui secara konstitusional. Karena tidak ada negara hukum tanpa adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Kekuasaan kehakiman di Indonesia diselenggarakan oleh lembaga peradilan tertinggi yaitu Mahkamah Agung yang membawahi empat lingkup peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama / Mahkamah Syar’iyah, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, dan
14 Josef M. Monteiro, Lembaga-Lembaga Negara Setelah Amandemen UUD 1945, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2014), h. 97.
Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan kehakiman, secara global diakui sebagai kekuasaan yang harus independent (merdeka) dari berbagai intervensi maupun intimidasi dari pihak lain yang dapat mengganggu proses hukum yang sedang berjalan.
Didalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyajikan juga mengenai asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni terdapat dalam pasal 23 yang menyebutkan bahwa Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.15 Menurut Sudikno Mertakusumo, asas hukum adalah pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut. Asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diantaranya adalah :
a. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
b. Asas equality before the law atau asas mengadili menurut hukum tanpa membedakan orang.
c. Asas hakim pasif artinya jika tidak ada perkara yang diajukan kepada hakim maka hakim bersifat menunggu datangnya perkara yang diajukan kepadanya.
d. Asas hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak atau kurang jelas.
e. Asas hakim dianggap tahu akan hukum (ius curia novit)
15 Jaenal Aripin, Himpunan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, (Surabaya: Prenada Media Group, 2010), h. 196.
f. Asas terbuka untuk umum, asas ini dimaksudkan untuk lebih menjamin objektivitas kekuasaan kehakiman kecuali apabila undang-undang menentukan lain.
Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dijelaskan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Pasal 24 ayat (2) bahwa terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.16
Mengenai status kedudukan jabatan hakim dijelaskan dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Hakim Pengadilan dibawah
Mengenai status kedudukan jabatan hakim dijelaskan dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Hakim Pengadilan dibawah