• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

A. Kerangka Konseptual

2. Jabatan Hakim di Indonesia

Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman (pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), yakni pejabat peradilan yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (pasal 1 butir (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). Istilah pejabat membawa konsekuensi yang berat oleh karena kewenangan dan tanggung

7 Budi Suhariyanto, dkk., Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Jabatan Hakim, (Jakarta : Balitbang Diklat KumDil Mahkamah Agung RI, 2015), h. 98.

jawabnya terumuskan dalam rangkaian tugas, kewajiban, sifat, dan sikap tertentu, yaitu penegak hukum dan keadilan.8

Adil mengandung pengertian meletakkan sesuatu pada tempatnya, untuk menegakkan hukum dan keadilan itulah dibebankan pada pundak hakim sebagai konsekuensi dari negara hukum, sebagaimana penjelasan UUD 1945 menyebutkan bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum dan konsekuensinya ditentukan kekuasaan kehakiman yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan karenanya harus ada jaminan tentang kedudukan hakim.9

Sebagaimana kita ketahui bahwa sampai saat ini, kedudukan hakim sebagai sebuah jabatan dinilai masih bias dan belum tertegaskan secara integral. Bilamana hakim agung pada Mahkamah Agung dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi telah jelas penetapannya sebagai pejabat negara dengan segala implementasinya. Tidak demikian dengan hakim karier yang bertugas di lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung, kedudukan dan perlakuan terhadapnya baik dari segi normatif maupun implementatif masih belum sepenuhnya ditempatkan layaknya pejabat negara. Pada satu sisi ditegaskan sebagai pejabat negara, namun dalam kenyataannya pada beberapa aspek yang mengenainya masih terikat dengan sistem Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam konteks ini secara simultan hakim memiliki status sebagai PNS. Oleh karenanya jabatan hakim sering dikatakan berstatus ganda yaitu sebagai pejabat negara dan PNS.10

Jabatan hakim ini diibaratkan satu kakinya berada di wilayah eksekutif sedangkan satu kaki yang lain berada di wilayah judikatif. Atas penetapan status jabatan yang demikian, senyatanya negara telah bersikap inkonsisten dalam penerapan pemisahan atau pembagian kekuasaan secara

8 Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik, Etika Profesi dan Tanggung Jawab Hakim, (Jakarta:

Mahkamah Agung RI, 2004), h. 2.

9 Wildan Suyuthi Mustofa, …………, h. 3.

10 Siti Nurjannah, Mewujudkan Visi MA Tentang Badan Peradilan yang Agung Melalui Undang-Undang Jabatan Hakim (Realize The Vision of The Supreme Court Through The Agency Law Judge Position), Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4, No. 1, (Maret, 2015), h. 66.

konstitusionalism. Selain itu, secara fungsional status dan kedudukan antara sebagai pejabat negara dan sebagai pegawai negeri sipil ini memiliki berbagai perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaannya antara lain terletak pada sistem dan pola rekrutmen, pengangkatan, gaji dan tunjangan, hak dan kewajiban, pembinaan, promosi dan mutase, maupun protokolernya.11

Mendiamkan status ganda yang dimiliki oleh hakim saat ini, nyatanya telah menimbulkan berbagai masalah serius baik dari segi manajerial pada umumnya maupun secara khusus terkait dengan potensi reduksi independensi peradilan. Selanjutnya jika independensi mulai tereduksi maka secara qonditio sine quanon, implikasi dari problematika jabatan hakim ini adalah menghambat upaya mewujudkan visi Mahkamah Agung yaitu mewujudkan badan peradilan yang agung. Oleh karenanya, tidak mungkin badan peradilan yang agung dapat terwujud jika independensi kekuasaan kehakiman terlemahkan eksistensinya baik secara personal (hakim) maupun intitusional (fungsi manajerial jabatan hakim).12 3. Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau sekelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.13 Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Dengan adanya pasal 24 ayat (1) UUD 1945 amandemen maka selanjutnya muncul keharusan untuk mengganti

11 Siti Nurjannah, Mewujudkan Visi MA Tentang Badan Peradilan yang Agung Melalui Undang-Undang Jabatan Hakim (Realize The Vision of The Supreme Court Through The Agency Law Judge Position), Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4, No. 1, (Maret, 2015), h. 66.

12 Siti Nurjannah, Mewujudkan Visi MA …………, h. 66.

13 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 17.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan dirubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang mengatur mengenai hal yang sama. Ada beberapa hal ditambahkan dan berbeda dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, diantaranya adalah Undang-Undang-Undang-Undang ini lebih komprehensif, lebih lengkap dan lebih tuntas dalam Menyusun kerangka kekuasaan kehakiman di Indonesia, seperti yang terdapat didalam pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mencerminkan keinginan yang kuat dan konsekuen untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang benar-benar mandiri dan merdeka dari ketakutan intervensi pihak luar yang dapat merusak pada keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.14

Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu bentuk kekuasaan tertinggi di Indonesia (prime power). Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.

Ketentuan hukum tersebut mengartikan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka mendapatkan landasan kuat untuk dilaksanakan dan diakui secara konstitusional. Karena tidak ada negara hukum tanpa adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Kekuasaan kehakiman di Indonesia diselenggarakan oleh lembaga peradilan tertinggi yaitu Mahkamah Agung yang membawahi empat lingkup peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama / Mahkamah Syar’iyah, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, dan

14 Josef M. Monteiro, Lembaga-Lembaga Negara Setelah Amandemen UUD 1945, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2014), h. 97.

Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan kehakiman, secara global diakui sebagai kekuasaan yang harus independent (merdeka) dari berbagai intervensi maupun intimidasi dari pihak lain yang dapat mengganggu proses hukum yang sedang berjalan.

Didalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyajikan juga mengenai asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni terdapat dalam pasal 23 yang menyebutkan bahwa Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.15 Menurut Sudikno Mertakusumo, asas hukum adalah pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut. Asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diantaranya adalah :

a. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

b. Asas equality before the law atau asas mengadili menurut hukum tanpa membedakan orang.

c. Asas hakim pasif artinya jika tidak ada perkara yang diajukan kepada hakim maka hakim bersifat menunggu datangnya perkara yang diajukan kepadanya.

d. Asas hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak atau kurang jelas.

e. Asas hakim dianggap tahu akan hukum (ius curia novit)

15 Jaenal Aripin, Himpunan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, (Surabaya: Prenada Media Group, 2010), h. 196.

f. Asas terbuka untuk umum, asas ini dimaksudkan untuk lebih menjamin objektivitas kekuasaan kehakiman kecuali apabila undang-undang menentukan lain.

Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dijelaskan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Pasal 24 ayat (2) bahwa terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.16

Mengenai status kedudukan jabatan hakim dijelaskan dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Hakim Pengadilan dibawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan dibawah Mahkamah Agung. Jadi, menurut undang-undang ini jabatan hakim adalah sebagai pejabat negara yang mana fokus tugasnya berada dalam wilayah khusus yakni memeriksa, mengadili, dan memutus perkara di dalam pengadilan.

4. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara memuat perubahan-perubahan dalam sistem manajemen kepegawaian secara keseluruhan, mulai dari sistem perencanaan, pengadaan, pengembangan karier/promosi, penggajian, serta sistem dan batas usia pensiun. Perubahan itu didasarkan pada sistem merit yang mengedepankan prinsip profesionalisme/kompetensi, kualifikasi, kinerja, transparansi, obyektivitas, serta bebas dari intervensi politik dan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Sasaran utama dari UU ASN adalah

16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

mewujudkan birokrasi yang professional, kompeten, berintegritas, memberikan pelayanan terbaik pada rakyat. Dalam sosialisasi UU ASN yang diadakan oleh Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, dijelaskan tentang hal-hal baru yang terdapat dalam UU ASN antara lain:17 1. UU ASN mengatur berbagai instrument manajemen SDM yang

menekankan pada pembangunan ASN sebagai profesi.

2. UU ASN membagi 2 (dua) jenis pegawai yaitu PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

3. UU ASN mengatur 3 (tiga) jenis jabatan, yaitu jabatan administrasi, jabatan fungsional, dan jabatan pimpinan tinggi.

4. Perubahan pejabat yang berwenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan.

5. Pengaturan mengenai penguatan kompetisi, kompetensi, dan pengembangan karier.

6. Pengaturan mengenai Batas Usia Pensisun (BUP) yang eksplisit dimuat dalam batang tubuh undang-undang.

7. Penegasan terhadap sistem pay as you go menjadi sistem full funded secara bertahap.

8. Penguatan sistem informasi ASN yang akan dibangun secara nasional dan terintegrasi antar instansi pemerintah.

Pasal 8 dan pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) menjelaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang merupakan pegawai ASN berkedudukan sebagai unsur aparatur negara, yang melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan instansi pemerintah, harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.18

BAB X Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Aparatur Sipil Negara pasal 121 yang menyebutkan bahwa “Pegawai ASN dapat menjadi Pejabat Negara”. Sebagaimana dipaparkan lebih luas dalam pasal

17 Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, Sosialisasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, (Jakarta: BPP, 2014), h. 1.

18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

122 UU ASN terkait siapa saja yang menjadi pejabat negara salah satunya dimana hakim sama dengan Pegawai Negeri Sipil.

B. Kerangka Teori

1. Teori Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan

Teori pembagian kekuasaan adalah teori yang bertujuan membatasi kekuasaan negara agar tidak hanya berada dalam satu tangan saja. Telah banyak pakar-pakar hukum maupun politik dari seluruh dunia mengurai tentang teori yang dicetuskan awalnya oleh John Locke kemudian dilanjutkan serta diuraikan secara terperinci oleh Montesquieu dan diberi nama Trias Politika oleh Immanuel Kant.

Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam 3 (tiga) cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Menurutnya, ketiga jenis kekuasaan tersebut haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya, terutama adanya kebebasan badan yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu yang mempunyai latar belakang sebagai hakim, karena disinilah letak kemerdekaan individu dan hak asasi manusia perlu dijamin dan dipertauhkan. Kekuasaan legislatif

19 Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara : Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 121 UU ASN yaitu : (a) Presiden dan Wakil Presiden;

(b) Ketua, Wakil Ketua dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; (d) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah; (e) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc; (f) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; (g) Ketua,, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; (h) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Komisi Yudisial; (i) Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; (j) Menteri dan jabatan setingkat Menteri; (k) Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; (l) Gubernur dan wakil Gubernuir; (m) Bupati/walikota dan wakil bupati/walikota; dan (n) Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.

menurutnya adalah kekuasaan untuk membuat Undang-Undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan Undang-Undang, sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-Undang.20

Pemisahan kekuasaan juga terkait erat dengan independensi peradilan. Prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) itu menghendaki agar para hakim bekerja secara independent dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legisltaif. Bahkan dalam memahami dan menafsirkan Undang-undang, hakim harus independen dari pendapat dan kehendak politik para perumus Undang-Undang itu sendiri ketika perumusan dilakukan meskipun anggota parlemen dan presiden dipilih langsung oleh rakyat yang mencerminkan kedaulatan rakyat. Jika dikaji lebih dalam secara cermat dari teori pembagian kekuasaan yang diajarkan oleh John Lock (distribution of power) dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power) yang diajarkan oleh Montesquieu, kemudian dikembangkan oleh muridnya Immanuel Kant dengan istilah Trias Politica, maka pada teori Trias Politica lah kekuasaan kehakiman dan peradilan menemukan bentuknya atau yang menjadi tumpuannya.21

Pada negara kesejahteraan (welfare state), negara berhak ikut campur dalam sebagian besar kehidupan rakyat. Penggunaan kekuasaan negara itu mempunyai potensi melanggar hak rakyat terutama hak asasi manusia. Hal ini sejalan dengan adagium yang dikemukakan oleh Lord Acton yaitu “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Dengan demikian, moral kekuasaan tidak boleh hanya diserahkan pada niat ataupun sifat pribadi seseorang yang sedang

20 Suparto, Pemisahan Kekuasaan, Konstitusi dan Kekuasaan Kehakiman yang Independen Menurut Islam, Jurnal Selat, Vol. 4 Nomor 1, 2016, h. 116.

21 Andi Suherman, Implementasi Independensi Hakim dalam Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman, SIGn Jurnal Hukum, Vol. 1, No. 1, 2019, h. 48.

memegang kekuasaan sehingga kekuasaan tetaplah harus diatur dan dibatasi.22

2. Teori Efektifitas Hukum

Kata efektif berasal dari Bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau tercapainya sesuatu sesuai dengan harapan. Kamus ilmiah popular memberi definisi, bahwa, kata efektifitas sebagai ketepatan penggunaan, sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif adalah sesuatu yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) sejak dimulai berlakunya suatu Undang-Undang atau peraturan.23

Sedangkan efektifitas itu sendiri adalah keadaan dimana ia yang diperankan untuk melakukan kontrol. Namun, dilihat dari sudut hukum, yang dimaksud dengan “ia” adalah pihak yang mempunyai otoritas untuk melakukan kontroling yaitu polisi dan/atau apparat lainnya. Kata efektifitas sendiri berasal dari kata efektif, yang berarti terjadi implikasi atau akibat dari sesuatu yang dikehendaki dalam suatu perbuatan. Setiap pekerjaan efisien dan kondusif berarti sudah bisa dikatakan efektif, karena dilihat dari segi hasil tujuan yang hendak dicapai atau dikehendaki dari perbuatan itu sendiri.

Mengenai peraturan perundang-undangan yang telah berlaku, baik yang tingkatnya lebih rendah maupun lebih tinggi bertujuan agar masyarakat maupun aparatur penegak hukum dapat melaksanakan secara konsisten dan tanpa membedakan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Semua orang dipandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Namun, dalam realitanya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan tersebut sering dilanggar, sehingga aturan tersebut tidak berlaku efektif. Yang membuat tidak efektifnya suatu Undang-Undang disebabkan karena Undang-Undangnya kabur atau tidak jelas, aparatur penegak yang tidak konsisten dan atau masyarakat yang

22 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta : FH UII PRESS, 2005), h. 37.

23 Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan,

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/efektif , diakses pada 11 oktober 2021.

tidak mendukung pelaksanaan Undang-Undang tersebut. Teori yang menganalisis dan mengkaji hal tersebut ialah teori efektifitas hukum.24

Pada dasarnya efektifitas merupakan tingkat keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Efektivitas adalah parameter dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam teori sosiologi hukum, hukum bisa memiliki fungsi sebagai a tool of social control yaitu, sebuah upaya untuk mewujudkan kondisi yang balance dalam kehidupan masyarakat, dengan tujuan terciptanya suatu keadaan yang selaras antara stabilitas dan perubahan didalam masyarakat. Selain itu, hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai a tool of social engineering maksudnya adalah hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang irasional menjadi pemikiran yang rasional atau modern. Efektifitas hukum merupakan proses yang bertujuan agar hukum berlaku efektif dengan konsep negara hukum yang telah diamanahkan oleh konstitusi.

Ketika ingin mengukur sejauh mana efektifitas dari produk hukum, maka Langkah pertama adalah mengukur sejauh mana hukum itu ditaati oleh Sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, hukum bisa dinilai efektif apabila ketaatan masyarakat pada hukum itu sendiri atas dasar kepekaan dan kesadaran. Namun, sekalipun dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi masih dapat diperjelas melalui pertanyaan seberapa derajat efektifitas produk hukum itu sendiri, mengingat bahwa seseorang menaati atau tidak suatu aturan hukum tergantung pada kepentingannya.25

Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni

24 Salim HS, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta; Raja Grfindo Persada, 2013), h. 301.

25 Achmad Ali, Menguak Teori Hukumm (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), h. 375.

struktur hukum (structure of law), substansi hukum (substance of the law), dan budaya hukum (legal culture). Teori tersebut dikembangkan lagi oleh Sorjono Soekanto, bahwasannya efektif tidaknya suatu hukum dapat dilihat dari lima faktor, yaitu : faktor undang – undang, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum, faktor masyarakat, dan faktor budaya.26

Achmad Ali dalam bukunya yang berjudul Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan memaparkan bahwa, terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi parameter ketaatan terhadap hukum secara umum antara lain:27

a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu.

b. Kejelasan rumusan dari substandi aturan hukum yang telah dibuat, sehingga dengan mudah dipahami oleh objek hukum.

c. Menggalakkan sosialisasi.

d. Hukum harus menghadirkan putusan yang bersifat dan memaksa.

e. Adanya sanksi tegas terhadap pelanggaran hukum.

f. Hukum harus mampu berlaku proporsional.

C.G. Howard & R. S. Mumnresyang berpendapat bahwa semestinya yang dikaji bukan ketaatan terhadap hukum pada umumnya, melainkan ketaatan terhadap aturan hukum tertentu saja. Sedangkan lain halnya dengan Achmad Ali yang berpendapat bahwa kajian tetap dapat dilakukan terhadap keduanya. Pandangan Achmad Ali terhadap efektifnya sebuah produk hukum pada intinya terletak pada profesionalitasnya penegak hukum dalam rangka memainkan perannya. Dan optimalisasi wewenang dan fungsinya dalam menjalankan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan penegakan hukum.

26 Soerjono Soekanto, Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegak Hukum. (Jakarta : PT.

Raja Grafindo Persada, 2008). h. 8.

27 Achmad Ali, Menguak Teori Hukumm (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), h. 376.

Menurut Soerjono Soekanto taraf kepatuhan yang tinggi adalah indikator suatu berfungsinya suatu sistem hukum dan berfungsinya hukum merupakan pertanda hukum tersebut mencapai tujuan hukum yaitu berusaha mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.28 Dalam bukunya yang berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, menyatakan bahwa setidaknya ada 3 (tiga) hal yang mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia, yaitu:29 1) Faktor hukum, 2) Faktor Penegak Hukum, 3) Faktor Mayarakat.

a. Faktor Hukum

Hukum pada dasarnya mempunyai peranan mewujudkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian hukum sifatnya konkrit berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga Ketika seorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan Undang-Undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka Ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum normatif.

b. Faktor Penegak Hukum

Penegak hukum menjadi sangat penting demi berjalan proses penegakan hukum yang adil dan bersih. Untuk itu seleksi dalam mencari subjek penegak hukum memang harus benar-benar selektif.

Artinya integritas serta kompetensi yang mumpuni dalam memahami dinamika penegakan hukum di Indonesia yang bersumber dari KUHP ataupun KUHPer. Yang kesemuanya diharapkan betul-betul menguasai teori serta praktik dalam pola penegakan hukum yang berlaku di Indonesia. Penegak hukum dalam melaksanakan

28 Soerjono Soekanto, Efektifitas Hukum dan Peran Saksi, (Bandung: Remaja Karya, 1985), h. 7.

29 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2007), h. 5.

wewenangnya sering dihadapkan dengan persoalan karena sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang (Abuse of Power) aatau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum.

c. Faktor Mayarakat

Pada dasarnya hukum hadir untuk semua, tanpa memandang status sosialnya. Oleh karena itu hukum bisa berjalan secara efektif apabila objek dari hukum itu sendiri mentaatinya. Artinya masyarakat menjadi peran vital demi terwujudnya penegakan hukum yang efisien dan efektif. Tapi yang menjadi persoalan adalah tentang bagaimana memberikan edukasi terhadap masyarakat yang sudah tidak lagi percaya tentang adanya proses penegakan hukum yang adil ? itu menunjukan bahwa penilaian masyarakat tentang penegakan hukum di Indonesia relative masih rendah

Ketiga faktor diatas erat saling berkaitan satu dengan yang lainnya, karena semuanya menjadi hal pokok dalam realisasi penegakan hukum di Indonesia. Serta dijadikan sebagai tolok ukur dari efektifitas penegakan hukum. Dari tiga faktor penegakan hukum tersebut, faktor penegak hukumnya sendiri yang menjadi titik

Ketiga faktor diatas erat saling berkaitan satu dengan yang lainnya, karena semuanya menjadi hal pokok dalam realisasi penegakan hukum di Indonesia. Serta dijadikan sebagai tolok ukur dari efektifitas penegakan hukum. Dari tiga faktor penegakan hukum tersebut, faktor penegak hukumnya sendiri yang menjadi titik

Dokumen terkait